Allah Menyesal dalam Alkitab: Suatu Kajian Teologis

“Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐬𝐚𝐥𝐥𝐚𝐡 TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. Berfirmanlah TUHAN: "Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐬𝐚𝐥, bahwa Aku telah menjadikan mereka." (Kejadian 6:5-7)
Allah Menyesal dalam Alkitab: Suatu Kajian Teologis
“Allah bukanlah manusia sehingga Ia berdusta, bukan anak manusia sehingga Ia 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐬𝐚𝐥. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?” (Bilangan 23: 19)
-----
Kedua ayat di atas, sepertinya saling berkontradiksi mengenai Allah menyesal sehingga menimbulkan salah-pengertian mengenai “penyesalan” Allah.

Banyak manusia yang berpikir bahwa Allah adalah seperti manusia yang menghadapi masalah kehidupan. Tetapi, mengapa Allah harus menyesal atas apa yang diperbuat-Nya? Bagaimana mungkin Allah menyesali apa yang sudah terjadi? Bagaimana pula Allah bisa berubah pikiran? Jika memang reaksi Allah adalah seperti reaksi manusia, tentunya Ia juga tidak bisa disebut sebagai “Yang Maha-tahu”. Bahkan Alah yang demikian bukanlah Oknum yang maha-kuasa, Maha-tahu, Maka-kasih, Maha-bijak, dan Maha-suci. Jika Allah mempunyai rasa sesal, penyesalan dan pikiran yang berubah-ubah, maka Ia adalah Tuhan yang tidak sempurna.

Ada sebagian umat Kristen yang mempercayai bahwa Allah adalah Oknum yang menyesuaikan rancanganNya dengan apa yang terjadi di dunia. Setiap kejadian di dunia tidak akan luput dari pandangan mataNya dan karena itu Ia bisa berubah sikap sesuai dengan perubahan sikap manusia. Pandangan semacam itu adalah pandangan “Te-isme terbuka” atau “Open Theism” yang merendahkan derajat Tuhan karena Ia yang Maha-kuasa harus menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia. Padahal sebaliknya, Tuhan mampu melaksanakan rancanganNya di antara pergolakan dan dinamika yang ada dalam hidup manusia.

Terhadap istilah "menyesal" seringkali dipersoalkan, sebab istilah ini menunjukkan seolah-olah Allah "tidak Maha tahu", Allah yang "berubah sikap" (tidak konsisten), dan lain-lain.

Kata “menyesal” dalam Bahasa Ibrani adalah “𝐍𝐚𝐤𝐡𝐚𝐦” yang mempunyai arti yang banyak sesuai dengan konteks kalimat yang ditulis.Tim penerjemah Alkitab King James Version, kata “Nakham” itu diterjemahkan menjadi kata “comfort” (57 kali), “repent” (41 kali), “comforter” (9 kali), “ease” (1x). Demikian juga kata ini diterjemahkan dengan makna yang mirip dengan kata-kata tsb dalam Alkitab bahasa Indonesia (LAI).

Total terdapat 108 kata Ibrani “Nakham” didalam Alkitab, yang apabila diterjemahkan kedalam bahasa lain, artinya seringkali tidak cukup mewakili maksud “Nakham” ini. Kata Ibrani “Nakham” bermakna sangat luas dan dalam : bersedih hati, menyatakan rasa simpati, sikap melunak, menghibur, menyesal, bertobat, dll. tergantung dengan konteks yang dibicarakan.

Kata Ibrani “Nakham” secara "konseptual" kata bermakna ' tidak sesuai dengan yang dikehendaki sehingga memperlukan penghiburan, hal-hal yang tidak memuaskan hati'. Oleh sebab itu, kata ini tidak boleh dianggap “repent” ( menyesal)” dalam artian telah berbuat kesalahan.

Kata “Nakham” bermakna dalam dan luas, sehingga tidak cukup diwakili dengan 1 kata terjemahan. JIka kata Ibrani “Nakham” dalam suatu ayat diterjemahkan dengan "repent" atau "sorry" atau "bersedih/ grieved" atau "menyesal" ungkapan ini digunakan untuk menyatakan ada sesuatu dalam perasaan Allah yang tidak diinginkan-Nya terjadi.

Dalam Kejadian 6:5-7 menyatakan kejahatan manusia yang meraja-lela, dan itu membuat “sedih” (Nakham) hati Allah. Dan ungkapan ini adalah ungkapan yang bersifat “𝐚𝐧𝐭𝐡𝐫𝐨𝐩𝐨𝐦𝐨𝐫𝐟𝐢𝐬𝐦𝐞” (Men-ceritakan sikap Allah dalam bahasa manusia). Allah tidak menghendaki siapa pun berbuat dosa, namun tatkala manusia berbuat dosa maka Allah menjadi “Nakham”.

Istilah “𝐚𝐧𝐭𝐡𝐫𝐨𝐩𝐨𝐦𝐨𝐫𝐟𝐢𝐬𝐦𝐞” dapat diartikan sebagai pengenaan atau penyamaan pada Allah terhadap bentuk-bentuk atau perilaku manusiawi. Kata “anthropomorfisme” mengacu pada persepsi bahwa Tuhan memiliki bentuk dan sikap yang sama dengan manusia.

Sebagaimana dikatakan oleh Yohanes 4:24: "Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran." Karena Allah itu Roh, maka Allah tidak memiliki karakteristik fisik secara manusiawi. Namun demikian, di dalam Alkitab menggunakan karakteristik manusia kepada Allah sebagai bahasa kias untuk memungkinkan manusia memahami Allah. Penggunaan karakteristik manusia untuk menggambar-kan Allah itulah yang dikenal dengan istilah "antropomorfisme."

Antropomorfisme adalah sekedar wahana Allah (yang tentu saja berbeda dengan manusia) untuk mengkomunikasikan kebenaran mengenai natur diri-Nya kepada manusia, yang adalah makhluk jasmaniah. Karena manusia adalah makhluk jasmaniah, manusia terbatas dalam perngertiannya akan hal-hal yang melampaui dunia fisik, dan di dalam Alkitab antropomorfisme digunakan untuk menolong manusia memahami siapakah Allah itu.

Pribadi Allah tidak dapat dikenal oleh manusia karena Dia sama sekali berbeda dengan manusia. Tetapi Allah berkenan untuk menciptakan manu-sia menurut gambar dan rupa-Nya. Gambar dan rupa yang diciptakan-Nya inilah yang dipakai Allah untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia.

Yang dimaksudkan manusia diciptakan dalam gambar Allah, yaitu mereka lebih agung dari semua ciptaan lainnya karena, hampir sama seperti Allah (Mazmur 8:6), mereka memiliki pikiran, kehendak, intelek, perasaan dan kemampuan moral. Binatang tidak memiliki kemampuan moral, dan tidak memiliki komponen bukan-materi sebagaimana dimiliki oleh manusia.

Kejadian memnberitahukan kita bahwa ketika manusia diciptakan Allah, Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambarNya sendiri. Gambar Allah adalah komponen rohani yang hanya dimiliki oleh manusia. Allah menciptakan manusia untuk memiliki hubungan dengan Dia; manusia adalah satu-satunya ciptaan yang didesain untuk tujuan tsb.

Kitab Suci mengandung semua wahyu yang diberikan Allah kepada manusia mengenai diriNya sendiri, dan merupakan satu-satunya sumber informasi yang obyektif mengenai Allah. Memperhatikan apa yang diberitahukan oleh Alkitab ada beberapa pengamatan mengenai bagaimana Allah menyatakan diri kepada umat manusia.

Alkitab adalah kitab tertulis yang mencatat pernyataan Allah secara “anthropomorf” (dengan bentuk manusiawi). Dalam Alkitab Allah dikatakan mempunyai mata, telinga, mulut, tangan, bahkan Alkitab-pun menulis "wajah" Allah. Alkitab menulis pula sikap emosional Allah secara anthropomorf, misalnya Allah bersorak-sorak, dan bergirang, jemu, menyesal, dan seterusnya. Dengan demikian manusia dapat menangkap pernyataan Allah. Dengan sendirinya pula harus diingat bahwa ini semua dalam bentuk manusia dan "tidak tepat dengan keadaan Allah yang sebenarnya".

Manusia (yang percaya Tuhan) biar bagaimanapun akan memahami keberadaan Allah dengan kapasitas tempurung otaknya. Maka manusia hanya akan mengerti Allah sebagai penciptanya dengan memandang Allah dalam bentuk personifikasi (secara 'anthropomorf').

Allah memang bisa menyesal, tetapi penyesalanNya bukanlah karena Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Ia tahu apa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan apa akan terjadi, karena segala sesuatu terjadi sesuai dengan rancangan-Nya. Rasa sesal dan penyesalan-Nya adalah sebuah kemampuan yang dipunyai-Nya karena Ia adalah Allah yang mempunyai hati yang penuh kasih sayang kepada semua ciptaan-Nya.

Baca Juga: Arti Allah menyesal

Karena itu setiap kali timbul rasa “sesal” atau “penyesalan” Allah dalam Alkitab, kita selalu bisa melihat bahwa Allah ternyata sudah mempunyai tindakan untuk mengatasi apa yang terjadi. Allah tidak bisa melakukan kekeliruan karena Ia adalah Allah yang Maha-tahu dan Maha-kuasa.

Apa pun yang terjadi dalam hidup manusia, dari semula Ia sudah mempunyai solusi sebelum itu terjadi. Karena itu, apa guna kita memikirkan nasi yang sudah menjadi bubur dan susu yang sudah tertumpah? Semua itu hanyalah ungkapan hati manusia yang tidak mengenal Tuhan dan kebesaran-Nya. Bagi kita umat Tuhan, harapan kita selalu ada dan ditujukan kepada Dia yang Maha-bijaksana. Amin.
Next Post Previous Post