Anak-Anak Allah: Mengerti, Menerima, dan Mengikuti (Yohanes 1:12-13)

“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.” (Yohanes 1:12-13)

𝐀𝐍𝐀𝐊-𝐀𝐍𝐀𝐊 𝐀𝐋𝐋𝐀𝐇.

Ketika Yesus datang, tidak setiap orang menolak-Nya. Ada beberapa orang yang menerima dan benar-benar menyambut-Nya. Kepada mereka Yesus memberikan hak untuk menjadi anak Allah.
Anak-Anak Allah: Mengerti, Menerima, dan Mengikuti (Yohanes 1:12-13)
Di sini tersirat makna bahwa seseorang tidak secara otomatis atau alamiah adalah anak Allah. Makna yang tersirat ialah bahwa ia harus menjadi anak Allah. Kita perlu mengerti hal tersebut melalui bahasa manusia, sebab bahasa yang demikian itulah yang bisa kita mengerti.

Ada dua macam anak.

1. Macam yang pertama ialah anak yang tak pernah berbuat apa-apa kecuali menikmati apa yang ada di rumah. 

Sepanjang masa mudanya ia menikmati rumah dan isinya, tanpa berbuat sesuatu untuk seisi rumah dan keluarga. Ia menganggap sebagai kewajiban orang tuanya untuk mengusahakan segala sesuatu, bahkan berkorban baginya. Ia hanya memakai dan menikmati semua yang diusahakan oleh orang tuanya, tanpa ada usaha sedikit pun untuk membuatnya layak melakukan hal itu, apalagi membalasnya. Ketika ia dewasa dan menempati rumahnya sendiri, ia tidak merasa perlu untuk berhubungan dengan rumah orang tuanya lagi. 

Baginya orang tua telah menunaikan tugas baginya, dan selesailah semuanya. Tak perlu ada hubungan lagi. Ia merasa tidak ada hubungan apa pun yang masih harus dipelihara, ataupun hutang yang masih harus dibayar. Anak semacam itu adalah tetap anak orang tuanya. Ia ada sebagaimana ia hidup adalah juga karena orang tuanya. Tetapi di antara dia dan orang tuanya tidak ada hubungan kasih dan keakraban. Orang tuanya telah memberinya segala sesuatu dalam kasih tetapi si anak tidak membalas sama sekali.

2. Macam yang kedua alah anak yang tetap ingat dan tahu apa yang telah dan sedang dilakukan oleh orang tuanya baginya. 

Ia memakai setiap kesempatan untuk menyatakan terima kasihnya dengan jalan berusaha menjadi seorang anak seperti yang di idam-idam kan oleh orang tuanya. Makin ia bertumbuh dewasa makin ia dekat dengan orang tuanya. Hubungannya dengan orang tua menjadi hubungan persekutuan dan persahabatan. Bahkan ketika ia dewasa dan tinggal di rumahnya sendiri, hubungan itu masih berlangsung terus. Ia sadar bahwa ada hutang yang tak akan pernah bisa ia bayar kembali kepada orang tuanya.

Dalam macam yang pertama hubungan antara anak dan orang tua makin merenggang, sedang dalam macam yang kedua hubungan itu justru makin akrab. Meskipun keduanya adalah sama-sama anak, tetapi mereka berbeda satu dari yang lain. Anak yang kedua benar-benar menjadi anak, sedangkan anak yang pertama tidak pernah.

Hubungan yang kita maksudkan di atas dapat juga dilukiskan dengan cara yang berikut. Ada seorang mahasiswa yang mengaku sebagai murid dari seorang guru besar yang terkenal. Ketika ada orang lain yang bertanya kepada guru besar itu tentang mahasiswa tersebut, sang guru besar menjawab: “Mungkin mahasiswa tersebut pernah mengikuti kuliah-kuliah saya, tetapi ia bukan murid saya.” Ada perbedaan yang sangat besar antara mengikuti kuliah-kuliah seorang dosen dan menjadi murid dari dosan tersebut.

Di situ mungkin saja ada kontak atau pertemuan, tetapi bukan persekutuan. Di situ mungkin saja terjadi hubungan, tetapi bukan persahabatan. Semua orang adalah anak-anak Allah dalam arti bahwa mereka ada dan hidup karena Allah. Tetapi hanya beberapa orang saja yang benar-benar menjadi anak Allah, dalam arti mempunyai hubungan yang benar, akrab, intim dan mendalam dengan Allah. Yohanes menyatakan dengan tegas, bahwa manusia bisa memasuki hubungan semacam itu hanya lewat Yesus Kristus. Hanya lewat Yesus Kristus manusia benar-benar bisa menjadi anak Allah.

Kalau Yohanes mengatakan, bahwa hubungan yang akrab dan mendalam sebagai anak Allah itu tidak terjadi dari darah, maka ia bermaksud melukiskan dan menerangkan hubungan itu dengan memakai alam pikiran Yahudi. Orang Yahudi percaya bahwa secara jasmaniah seorang lahir oleh karena adanya persatuan antara benih bapanya dan darah ibunya. Tetapi anak yang dimaksud oleh Yohanes tidak lahir oleh karena naluri, keinginan atau kehendak manusia. Anak yang dimaksud oleh Yohanes lahir hanya dari Allah sendiri.

Kita tidak dapat membuat diri kita menjadi anak Allah. Kalau kita ingin menjadi anak Allah, maka kita harus memasuki hubungan persahabatan dengan Allah melalui kehendak dan kekuatan-Nya sendiri. Ada jurang besar yang tak terjembatani antara yang manusiawi dan yang ilahi. Manusia bisa menjalin hubungan itu kalau Allah sendiri yang membuka jalannya. Hubungan itu bisa terjadi kalau Allah sendiri yang mulai menjembatani jurang tersebut.

Kita ambil contoh yang lebih sederhana. Seorang kebanyakan tidak akan dapat mendekati raja dengan maksud akan menjalin persahabatan. Kalau ada persahabatan antara keduanya, tentu raja itulah yang harus mulai dan bukan sebaliknya. Ada tidaknya hubungan itu sama sekali tergantung kepada si raja, dan bukan kepada si kebanyakan. Begitu juga dengan hubungan antara kita dan Allah. Dengan upaya apapun kita tidak akan dapat masuk ke dalam persekutuan dengan Allah, karena kita adalah manusia dan Dia Allah. Kita hanya akan dapat masuk ke dalam persekutuan itu kalau Allah melalui anugerah-Nya yang besar, turun kepada manusia dan membuka jalan yang mengarah kepada-Nya.

Meskipun begitu perlu dicatat bahwa di sini pun ada segi manusiawinya juga. Apa yang Allah tawarkan, harus diterima secara pantas oleh manusia. Orang tua mungkin telah berusaha memberikan kasih, nasihat dan persahabatannya kepada anaknya, tetapi si anak mungkin menolak semuanya dan lebih senang memilih jalannya sendiri. Demikian juga dengan Allah. Allah menawarkan hak kepada kita untuk menjadi anak-anak-Nya tetapi kita tidak harus menerimanya.

Kalau kita dengan sungguh-sungguh menerima tawaran tersebut, maka penerimaan kita itu terjadi melalui percaya di dalam nama Yesus Kristus. Apa artinya ini? Di dalam alam pikiran dan bahasa Ibrani, nama mempunyai arti yang tersendiri. Mungkin bagi kita hal ini agak aneh. Bagi pikiran Yahudi, nama bukan hanya berarti sebutan atau panggilan bagi seseorang. Tetapi lebih dari itu. 

Contoh umpamanya, Mazmur 9:11, “Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu.” Secara jelas yang dimaksudkan di sini bukanlah bahwa orang yang mengenal nama Allah, yaitu YHWH, percaya kepada-Nya. Yang dimaksudkan adalah bahwa yang mengenal karakter, hakikat dan rupa Allah, akan dengan sukacita percaya kepada-Nya di dalam segala hal. Mazmur 20:8, “Orang ini memegahkan kereta dan orang itu memegahkan kuda, tetapi kita bermegah dalam nama Tuhan, Allah kita.” Jelaslah bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah kita bermegah oleh karena nama Allah adalah YHWH, melainkan karena kita mengenal Allah itu siapa.

Baca Juga: Terang dan Kehidupan: Yohanes 1:4-5

Oleh karena itu, percaya di dalam nama Yesus berarti percaya kepada Yesus sebagaimana Ia ada. Yesus adalah perwujudan dari kebaikan, kasih, kelemah-lembutan dan pelayanan. Ajaran yang pokok dan besar dari Yohanes adalah bahwa di dalam Yesus kita melihat pikiran dan sikap Allah kepada manusia. Kalau kita percaya hal itu, maka kita pun percaya bahwa Allah itu sama dengan Yesus. Sama seperti Yesus yang baik hati dan mengasihi, demikian juga Allah.

Percaya di dalam nama Yesus adalah percaya bahwa Allah sama dengan Yesus. Dan hanya dengan percaya seperti itu kita dapat menyerahkan diri kita kepada Allah dan menjadi anak-anak-Nya. Kalau di dalam Yesus kita telah melihat Allah itu siapa, barulah kita berani menganggap diri kita mampu untuk menjadi anak-anak Allah. Kalau tidak, ya tidak. Hanya Yesuslah yang membuka kemungkinan bagi kita untuk menjadi anak-anak Allah. Amin.
Next Post Previous Post