Kekuatan Kebaikan: Meresapi Hikmah Lukas 6:35

Pendahuluan

Dalam kain kehidupan, kebaikan memiliki benang yang unik, dan hari ini, kita fokus pada aspek yang mendalam, dipandu oleh kebijaksanaan yang terdapat dalam Lukas 6:35:TB: Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Maha tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
Kekuatan Kebaikan: Meresapi Hikmah Lukas 6:35
Penerima Kebaikan: Siapa yang Dituju?

Kebaikan adalah sebuah kebajikan yang kompleks, dan tindakan mungkin terlihat baik tetapi kebaikan sejati belum tentu ada. Obyek kebaikan adalah faktor penting, membedakan kebaikan yang sejati dari kebaikan bersyarat. Mencintai mereka yang mencintai kita tidak memiliki keunikan; bahkan orang berdosa pun melakukannya (Lukas 6:32-34). Kebaikan sejati, seperti yang diajarkan oleh Yesus, memerlukan untuk mengarahkannya kepada yang dianggap tidak layak, bahkan kepada musuh.

Penggunaan istilah "musuh" di sini lebih merujuk pada pandangan atau sikap orang lain terhadap kita daripada sikap kita yang membuat mereka musuh. Orang Kristen seharusnya tidak menyimpan musuh, meskipun orang lain menganggap kita demikian. Musuh tidak perlu dicari secara aktif; beberapa dengan sukarela dan tanpa alasan menempatkan diri mereka sebagai lawan.

Musuh, dalam konteks ini, didefinisikan oleh tindakan mereka—mereka yang membenci (Lukas 6:27), mengutuk (Lukas 6:28a), mencaci-maki (Lukas 6:28b), dan berbuat jahat kepada kita (Lukas 6:29-30, 35). Mereka juga adalah mereka yang tidak tahu berterima kasih (Lukas 6:35).

Bertemu individu dengan karakteristik seperti ini di sekitar kita bukanlah hal yang langka. Mereka tidak hanya menunjukkan perilaku tersebut tetapi secara terus-menerus mengarahkannya kepada kita. Beberapa tidak dapat menghargai kebaikan yang kita tunjukkan.

Namun, hal ini tidak boleh menghalangi kita untuk menampilkan kebaikan secara konsisten. Kata kerja imperatif sekarang yang digunakan oleh Yesus—"mencintai" (agapate), "berbuat baik" (agathopoieite), dan "meminjamkan" (danizete)—menekankan perintah yang berkelanjutan. Terlepas dari respons orang lain, orang Kristen dipanggil untuk menunjukkan kebaikan. Bentuk kebaikan mungkin beragam, disesuaikan dengan apa yang terbaik untuk individu tersebut, tetapi semangat untuk berbuat baik tidak boleh luntur karena respons negatif.

Ketidakbaikan orang lain menjadi ukuran kebaikan yang sejati. Semakin buruk penerima kebaikan, semakin tinggi kualitas kebaikan tersebut. Obyek kebaikan menentukan kualitasnya.

Bentuk Konkret Kebaikan

Tiga kata kerja imperatif di Lukas 6:35 berkembang dalam konkret: mencintai berarti berbuat baik, berbuat baik berarti meminjam tanpa mengharapkan pembayaran.

Semua ini menekankan prinsip penting tentang cinta—ini bukan hanya perasaan; ini terwujud dalam tindakan. Cinta tanpa kebaikan adalah perasaan yang kosong dan menipu.

Bentuk konkret kebaikan di Lukas 6:35 terkait kembali pada penjelasan sebelumnya di  Lukas 6:32-34. Ide-ide yang diajukan sebelumnya diulang: mencintai musuh di ayat 32, berbuat baik kepada mereka di Lukas 6:33, dan meminjamkan di Lukas 6: 34. Lukas 6:35 berfungsi sebagai penjelasan dan rangkuman dari Lukas 6:32-34.

Lebih lanjut, bentuk kebaikan di ayat 35 juga merujuk kembali pada Lukas 6:27-30. Paralelisme dengan ayat 27-30 membantu untuk menginterpretasikan bentuk kebaikan di  Lukas 6:35.

Orang Kristen diharapkan untuk mengantisipasi kebaikan bagi musuh-musuh mereka (ayat 28). Istilah "memberkati" (eulogeō) secara harfiah berarti "mengucapkan sesuatu yang baik." Bersama dengan "doa" pada bagian selanjutnya, eulogeō dengan tepat dimaknai sebagai "memberkati." Dalam doa, kita berharap agar mereka menerima berkat Tuhan, dalam bentuk apa pun. Berkat terbesar tentu saja adalah pertobatan mereka, tetapi kita tidak boleh membatasi berkat ilahi. Semua terserah kepada Allah. Apa yang baik di mata Allah untuk musuh-musuh kita, itulah yang kita harapkan dan doakan.

Orang Kristen diharapkan memberikan lebih dari yang diharapkan kepada musuh-musuh mereka (Lukas 6: 29-30). Menawarkan pipi lain ketika satu dipukul (ayat 29a) bukan hanya mengajarkan tindakan pasif yang tidak mau melawan. Menawarkan pipi lain dengan jelas menyiratkan sesuatu yang aktif. Nasihat ini, tentu saja, tidak bermakna harfiah. Poin yang ingin disampaikan adalah kesiapan untuk memberikan lebih dari yang diharapkan. Ini diperkuat dengan pemberian jubah kepada orang yang mengambil jubah kita (Lukas 6:29b). Kita tidak hanya melepaskan sesuatu sebagai pemberian, tetapi kita juga tidak berharap itu akan kembali kepada kita (Lukas 6:30).

Poin terakhir, yaitu tentang tidak mengharapkan pengembalian pinjaman (Lukas 6:30, 35), perlu penjelasan untuk menghindari kesalahpahaman. Teks ini tidak mengajarkan bahwa menagih hutang adalah dosa atau tidak baik. Seorang musuh yang sampai rela meminta tolong atau meminjam berarti musuh tersebut benar-benar dalam keadaan sulit. Mereka mungkin tidak memiliki jalan keluar lain, sehingga mereka terpaksa meminta bantuan kepada seseorang yang dianggap musuh. Dalam kasus seperti itu, kita tidak seharusnya menuntut pembayaran atau mengharapkan mereka melunasi hutang.

Orang Kristen diharapkan untuk mencintai musuh-musuh mereka seperti diri mereka sendiri (Lukas 6:31). Apa yang kita inginkan orang lain lakukan kepada kita, lakukan kepada orang lain. Dengan kata lain, kita mengukur orang lain berdasarkan diri kita sendiri. Apakah kita ingin dicintai oleh orang lain? Apakah kita ingin menerima berkat? Apakah kita ingin didoakan oleh orang lain? Apakah kita bahagia ketika orang lain memberikan lebih dari yang kita harapkan? Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah "ya," maka kita harus mulai melakukan hal itu terlebih dahulu kepada orang lain.

Motivasi di Balik Kebaikan

Mencintai musuh jelas bukan tugas yang mudah. Banyak yang gagal melakukannya. Diperlukan alasan yang sangat kuat untuk melakukannya, dan alasan itu disebut sebagai motivasi kebaikan. Apa yang menjadi motivasi sejati di balik suatu kebaikan? Alasan terbaik adalah status kita sebagai anak-anak Allah, baik status kita sekarang maupun nanti di akhir zaman.

Penggunaan kata "tetapi kamu" di awal Lukas 6:35 menunjukkan sebuah kontras. Kontras antara orang berdosa (Lukas 6: 32-34) dan kita sebagai anak-anak Allah (ayat 35). Kita dituntut untuk menunjukkan kebaikan yang berbeda dari mereka.

Status sebagai anak-anak Allah juga disebutkan dalam hubungannya dengan upah yang besar di ayat 35. Kita akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi. Pernyataan ini tidak boleh dipahami seolah-olah status sebagai anak-anak Allah adalah hasil perbuatan baik manusia. Poin yang ditekankan adalah pengakuan dan pemuliaan atas anak-anak Allah.

Sebagai anak-anak Allah, kita wajib mencerminkan sifat Bapa kita (lihat ayat 36, "Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu adalah murah hati"). Hidup harus sesuai dengan status. Jika, dalam dunia ini, tindakan kita mencerminkan sifat Bapa kita (ayat 35, "sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat"), maka di akhir zaman nanti Bapa akan mengakui dan memuliakan kita. Kita bukan hanya anak-anak biasa. Kita adalah anak-anak Allah Yang Maha Tinggi (Lukas 6:35).

Apakah selama ini kita merasa tidak memiliki alasan untuk mencintai musuh-musuh kita? Apakah kita melihat orang lain sebagai terlalu rendah dan tidak pantas menerima kebaikan kita? Apakah kita pernah mengalami individu yang tetap tidak berubah meskipun perlakuan baik dari kita? Atau malah menjadi semakin jahat kepada kita? Berhentilah melihat siapa mereka. Mulailah mengenali siapa kita. Kita adalah anak-anak Allah. Sudah sewajarnya jika kita hidup seperti Bapa kita.

Kesimpulan: Menyatu Dalam Kebaikan Yang Istimewa

Mengakhiri perjalanan kita ke dalam Lukas 6:35, kita dapat merenungkan kekuatan dan kedalaman kebaikan yang diajarkan oleh Yesus. Mencintai musuh, berbuat baik tanpa pamrih, dan memberikan pinjaman tanpa mengharapkan pengembalian bukanlah tugas yang mudah, tetapi menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi membawa keistimewaan tertentu.

Sebagai anak-anak Allah, kita dipanggil untuk mengasihi tanpa pandang bulu, menggambarkan karakter Bapa kita yang murah hati. Tidak hanya mencintai mereka yang mencintai kita, tetapi menyinari kehidupan mereka yang mungkin tidak pantas mendapatkan kebaikan.

Ketika kita mencerminkan kebaikan-Nya, kita bukan hanya mendapatkan upah besar, tetapi kita juga menjadi saksi hidup akan kebaikan yang melebihi batas. Keajaiban kebaikan yang terwujud dalam tindakan kita membentuk sebuah kisah yang menarik dan mempengaruhi orang di sekitar kita.

Jadi, mari kita hidup dalam cahaya kebaikan, menjadi saksi kasih dan kemurahan hati. Sebagai anak-anak Allah Yang Maha Tinggi, kita memiliki kekuatan untuk mengubah dunia satu tindakan baik pada satu waktu.
Next Post Previous Post