PENGKHOTBAH 1:4-8 KESIA-SIAAN DALAM DUNIA

Matthew Henry ( 1662 – 1714).

PENGKHOTBAH 1:4-8 KESIA-SIAAN DALAM DUNIA.

Untuk membuktikan kesia-siaan dari segala sesuatu di bawah matahari, dan ketidakcukupannya untuk membuat kita bahagia, Salomo di sini menunjukkan,
PENGKHOTBAH 1:4-8 KESIA-SIAAN DALAM DUNIA
1). Bahwa waktu kita untuk menikmati hal-hal ini sangat singkat, dan hanya seperti orang upahan dapat menikmati harinya. Kita terus ada di dunia hanya untuk satu angkatan, yang terus-menerus berlalu untuk memberikan tempat bagi angkatan yang lain, dan kita pun berlalu bersamanya.

Harta duniawi yang baru saja kita per oleh dari orang lain, dan dalam waktu yang sangat singkat harus kita tinggalkan kepada orang lain, dan oleh sebab itu bagi kita harta duniawi adalah kesia-siaan. Harta duniawi itu tidak mungkin lebih nyata dan sejati daripada hidup yang mendasarinya, dan hidup itu hanyalah seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.

Sementara sungai manusia terus-menerus mengalir, betapa sedikitnya kenikmatan yang dirasakan oleh setetes air dari sungai itu, ketika ia meluncur melewati tepi-tepi sungai yang menyenang-kan! Kita dapat memuliakan Allah atas pergantian angkatan yang terus-menerus, yang di dalamnya dunia hingga saat ini tetap ada, dan akan tetap ada sampai akhir zaman, sambil mengakui kesabaran-Nya dalam melestarikan jenis makhluk yang berdosa itu, dan kuasa-Nya dalam melestarikan jenis makhluk yang akan mati itu. Kita juga dapat tergugah untuk melakukan pekerjaan angkatan kita dengan tekun, dan melayaninya dengan setia, karena angkatan itu akan segera berakhir.

Dan, dalam kepedulian terhadap umat manusia pada umumnya, kita harus mengusahakan kesejahteraan angkatan-angkatan penerus. Tetapi berkenaan dengan kebahagiaan kita sendiri, janganlah kita mengharapkan kebahagiaan itu dalam batas-batas waktu yang sedemikian sempit saja, tetapi dalam istirahat yang kekal dan terus-menerus.

2. Bahwa ketika kita meninggalkan dunia ini, kita meninggalkan bumi di belakang kita, yang tetap ada di tempatnya, dan karena itu hal-hal di bumi tidak dapat memberikan manfaat apa-apa kepada kita dalam kehidupan di masa depan. Sungguh baik bagi umat manusia pada umumnya bahwa bumi tetap ada sampai akhir zaman, ketika bumi dan semua pekerjaan di dalamnya akan dibakar habis. Tetapi apa gunanya itu bagi orang perorangan, ketika mereka berpindah ke dunia roh?

3. Bahwa keadaan manusia, dalam hal ini, bahkan lebih buruk daripada keadaan makhluk-makhluk yang lebih rendah: Bumi tetap ada, tetapi manusia menetap di bumi hanya sebentar saja. Matahari memang terbenam setiap malam, namun ia terbit lagi pada pagi hari, tetap terang dan segar selalu. Angin, meskipun bertukar tempat, namun ia tetap ada di satu atau lain tempat. Air-air yang mengalir ke laut di atas tanah datang dari laut lagi di bawah tanah. Tetapi manusia berbaring dan tidak bangkit lagi (Ayub 14:7, 12).

4. Bahwa segala sesuatu di dunia ini bergerak dan berubah-ubah, dan tunduk pada kerja keras dan guncangan yang terus-menerus, tidak ada yang tetap kecuali ketidaktetapan itu sendiri, senantiasa bergerak, tidak pernah beristirahat. Hanya satu kali matahari berhenti. Ketika ia terbit, ia bergegas terbenam, dan, ketika ia terbenam, ia bergegas untuk terbit kembali (Pengkhotbah 1:5). Angin senantiasa bertiup (Pengkhotbah 1:6), dan air terus-menerus mengalir (Pengkhotbah 1:7), dan akan berakibat buruk bagi mereka untuk tetap diam seperti halnya darah dalam tubuh. Dan bisakah kita harapkan istirahat di dunia, di mana segala sesuatu penuh dengan jerih payah seperti itu (Pengkhotbah 1:8, di laut yang selalu pasang surut, dan ombak-ombaknya yang terus-menerus berkejaran dan bergulung?

5. Bahwa walaupun segala sesuatu tetap bergerak, namun mereka masih berada di tempat mereka sebelumnya. Matahari pergi (demikian dalam tafsiran yang agak luas), tetapi ke tempat yang sama. Angin berputar sampai ia tiba di tempat yang sama, dan begitu pula air kembali ke tempat ia datang. Dengan demikian manusia, setelah semua jerih payah yang dilakukannya untuk mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan dalam ciptaan, tetap berada di mana ia sebelumnya, masih terus mencari sejauh seperti sebelumnya.

Pikiran manusia terus bergerak tanpa henti dalam pencarian-pencariannya sama seperti matahari, angin, dan sungai, tetapi tidak pernah puas, tidak pernah merasa cukup. Semakin ia memiliki sesuatu dari dunia, semakin ia ingin memiliki lebih lagi. Dan ia tidak akan pernah penuh dengan sungai-sungai kemakmuran lahiriah, sungai-sungai yang mengalirkan madu dan dadih (Ayub 20:17), sama seperti laut tidak akan pernah penuh dengan semua sungai yang mengalir ke sana. Ia masih tetap seperti yang dulu, laut yang berombak-ombak sebab tidak dapat tetap tenang.

6. Bahwa segala sesuatu tetap seperti semula, pada waktu dunia diciptakan (2 Petrus 3:4). Bumi tetap ada di tempatnya dulu. Matahari, angin, dan sungai tetap berjalan di jalan yang sama seperti sebelumnya. Oleh sebab itu, jika semua itu tidak pernah cukup untuk memberikan kebahagiaan kepada manusia, itu mungkin tidak akan pernah cukup, sebab semua itu hanya dapat memberikan penghiburan yang sama seperti yang telah mereka berikan selama ini. Oleh sebab itu, kita harus mencari kepuasan, dan mencari dunia baru, di atas matahari.

7. Bahwa dunia ini, sebaik-baiknya, adalah tanah yang melelahkan: Segala sesuatu sia-sia, sebab segala sesuatu menjemukan (KJV: segala sesuatu penuh kerja keras). Seluruh ciptaan dibuat tunduk pada kesia-siaan ini sejak manusia dijatuhi hukuman untuk mencari makanan dengan berpeluh. Jika kita mengamati seluruh ciptaan, kita akan melihat bahwa semuanya sibuk.


Semuanya mempunyai cukup banyak hal untuk dilakukan, untuk mengurusi urusan mereka sendiri. Tak satu pun yang akan menjadi bagian atau kebahagiaan untuk manusia. Semua kerja keras dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi tak satu pun terbukti sebagai penolong yang sepadan baginya. Manusia tidak bisa mengungkapkan betapa penuh kerja kerasnya segala sesuatu itu, tidak bisa menghitung orang-orang yang bekerja keras atau mengukur kerja keras itu.

8. Bahwa indra-indra kita tidak terpuaskan, dan apa yang diinginkannya tidak memuaskan. Salomo menyebutkan secara khusus indra-indra yang melakukan tugas mereka dengan sedikit pekerjaan, dan yang paling dapat disenangkan: Mata tidak kenyang melihat, tetapi jemu karena selalu melihat pemandangan yang sama, dan mendambakan sesuatu yang baru dan beragam. 

Telinga senang, pada awalnya, mendengarkan lagu atau nada yang indah, tetapi segera muak dengannya, dan harus mendengarkan yang lain. Baik mata maupun telinga merasa jemu, tetapi tidak pernah dipuaskan, dan apa yang paling menyenangkan menjadi tidak menyenangkan. Rasa penasaran masih saja ingin tahu, karena masih belum dipuaskan, dan semakin ia dituruti, semakin ia cerewet dan mengomel, sambil berteriak, “lagi, lagi....!”
Next Post Previous Post