PENGKHOTBAH 2:1-11 - KESIA-SIAAN KESENANGAN DUNIA

Matthew Henry ( 1662 – 1714).

PENGKHOTBAH 2:1-11 - KESIA-SIAAN KESENANGAN DUNIA.

Di sini, Salomo yang mengejar ‘summum bonum’ kebahagiaan manusia, beranjak dari penelitiannya, keluar dari ruang perpustakaannya, dan dari penyidikannya, dari ruangan permenungannya, di mana di semua tempat itu ia telah mencari kebahagiaan dengan sia-sia. Ia keluar dari sana dan masuk ke taman, tempat hiburan, kebun, dan rumah peristirahatannya. Ia berganti teman bergaul, dari kumpulan para ahli pikir dan para anggota dewan kerajaan yang cerdas dan rupawan dan para cendekiawan, untuk mencoba kalau-kalau ia bisa menemukan kepuasan dan kebahagiaan sejati di antara mereka.
PENGKHOTBAH 2:1-11 KESIA-SIAAN KESENANGAN DUNIA
Di sini Salomo mengambil langkah besar turun ke bawah, dari kesenangan mulia di antara kaum terpelajar ke kesenangan indra yang kasar. Ia sudah memutuskan untuk mengadakan percobaan yang lengkap, jadi memang ia harus masuk ke dalam kesenangan indra ini, sebab di sini sebagian besar umat manusia membayangkan bahwa mereka telah menemukan apa yang selama ini dicari-cari Salomo itu.

[I]. Ia memutuskan untuk mencoba apa yang bisa diperoleh dari kegembiraan dan kesenangan dari hiburan. Ia ingin tahu apakah ia akan bahagia apabila senantiasa menghibur diri dan orang-orang lain dengan kisah-kisah gembira serta senda gurau, kelakar, dan lelucon. Jika ia dapat melengkapi diri dengan semua tindakan yang cemerlang dan perkataan segar, yang bisa membuat orang tertawa, serta semua omong kosong, kesalahan, dan hal-hal konyol yang bisa didengarnya dan pantas diejek serta ditertawakan, maka ia akan senantiasa berada dalam suasana ceria.

(1). Melalui percobaan ini ia mendapati bahwa (Pengkhotbah 2:1):

" Di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan orang-orang yang bersungguh-sungguh akan cenderung mudah sedih. Aku berkata dalam hati," (kepada hatiku), " Mari, aku hendak menguji kegirangan! Akan kucoba apakah hal itu akan memberimu kepuasan."

Baik jalan pikiran maupun keadaan lahiriahnya tidak bisa mencegah dia untuk bergembira. Sebaliknya, keduanya sejalan, seperti halnya semua keuntungan lain, untuk terus membuatnya bergembira. Itulah sebabnya ia memutuskan untuk mengambil kesempatan dan berkata, " Nikmatilah kesenangan, puaskan dirimu dengan kesenangan, buanglah kekawatiranmu, dan bergembira-rialah senantiasa."

Demikianlah seseorang bisa saja seperti ini, namun tidak satu pun dari hal-hal menyenangkan yang didapatkannya bisa menghiburnya. Banyak orang miskin yang bisa sangat bergembira, misalnya pengemis di lumbung. Kegembiraan merupakan kesenangan orang yang suka mengkhayal, dan meskipun tidak memiliki kesukaan penuh yang masuk di akal, namun itu lebih disukai daripada kegembiraan yang hanya bersifat jasmani dan penuh hawa nafsu.

Beberapa orang membedakan manusia dari hewan, bukan sekadar sebagai animal rationale – hewan berakal, melainkan juga sebagai animal risibile – hewan yang tertawa, oleh sebab itu orang berkata kepada jiwanya, Beristirahatlah, makanlah, minumlah, lalu, Dan bersenang-senanglah, sebab untuk hal itulah ia makan dan minum. "Oleh sebab itu berusahalah," kata Salomo, "untuk tertawa dan menjadi gemuk, tertawa dan berbahagia."

(2). Penilaiannya terhadap percobaan ini:

Tetapi lihat, juga itu pun sia-sia. Tentang tertawa aku berkata: Itu bodoh! (Pengkhotbah 2:2), atau, Engkau bodoh. Oleh sebab itu aku tidak mau berurusan denganmu. Demikian juga mengenai kegirangan (termasuk semua kesenangan dan hiburan, serta apa pun yang dianggap mengasyikkan), 
Apa gunanya? Atau, Apa gunanya dirimu? Kegirangan itu tidak ada salahnya, bila digunakan dengan bijaksana, pada tempatnya, dan secukupnya, merupakan hal yang baik, cocok untuk kegiatan, dan membantu meringankan kerja keras dan kesesakan dalam kehidupan manusia. Namun, apabila digunakan dengan berlebihan dan melampaui batas, kegirangan itu sungguh bodoh dan tidak bermanfaat.

(a) Hal itu tidak berguna: Apa gunanya? “Cui bono” – Apa manfaat-nya? Hal itu tidak akan berguna untuk meredam hati nurani yang bersalah, atau menenangkan roh yang berduka. Tidak ada sikap yang lebih tidak pantas daripada menyanyikan nyanyian untuk hati yang sedih. Hal ini tidak akan memuaskan jiwa, atau menghasilkan makna sejati. Kegirangan hanyalah jalan keluar yang meredakan kesusahan saat ini. Tertawa terbahak-bahak biasanya berakhir dengan keluh kesah.

(b) Kegirangan justru menimbulkan kepedihan mendalam: Itu bodoh, artinya, hal itu membuat orang menjadi bodoh, karena membawa orang kepada berbagai ketidaksenonohan yang merupakan celaan terhadap akal sehat dan agama mereka. Orang-orang yang memperturutkan hati di dalamnya sungguh bodoh, sebab hal ini menjauhkan mereka dari Allah dan hal-hal ilahi dan tanpa sadar merusak kekuatan agama.

Orang-orang yang gemar bergembira ria lupa bersikap sungguh-sungguh, dan sementara mereka mengambil rebana dan kecapi, kata mereka kepada Allah: Pergilah dari kami (Ayub 21:12, 14). Seperti halnya Salomo, kita pun dapat menguji diri dengan kegirangan, dan menilai keadaan jiwa kita dengan hal berikut: Bagaimana pengaruhnya terhadap kita? Bisakah kita bergembira ria sekaligus berhikmat? Dapatkah kita menggunakannya sekadar sebagai bumbu dan bukan sebagai makanan?

Namun, kita tidak perlu mencobanya sendiri seperti yang dilakukan Salomo, dan mencari tahu apakah hal itu akan membawa kebahagiaan bagi kita, sebab kita boleh memercayai apa yang dikatakan Salomo saja. Itu bodoh, dan Apa gunanya? Gelak tawa dan kesenangan (kata Sir William Temple) berasal dari jalan pikiran yang sangat berbeda. Sebab sama seperti manusia tidak cenderung menertawakan hal-hal yang paling mereka sukai, demikian pula mereka tidak menyukai banyak hal yang mereka tertawakan.

[II]. Ketika mendapati diri tidak bahagia dengan hal yang dipakainya untuk memuaskan khayalannya, Salomo kemudian memutuskan untuk mencoba hal yang dapat memuaskan indra pengecap (Pengkhotbah 2:3).

Karena pengetahuan tidak akan mampu memuaskan, ia ingin melihat apa yang akan terjadi apabila ia menggunakan makanan dan minuman dengan bebas: Aku menyelidiki diriku dengan menyegarkan tubuhku dengan anggur, yakni, makanan dan minuman bermutu. Banyak orang yang menyerahkan diri kepada hal ini tanpa mempertimbangkan kata hati sama sekali. Mereka tidak berpikir jauh dan hanya mementingkan pemuasan hawa nafsu belaka. Tetapi, Salomo makan dan minum dengan menggunakan akal sehat sebagai manusia, dengan penuh pertimbangan, dan hanya sekadar untuk membuat percobaan.
Amatilah,

(1). Ia tidak mau menikmati kesenangan indra dengan bebas, sampai ia sendiri jenuh melakukan penelitian mendalam. Karena hal itu memperbanyak kesedihan, ia tidak pernah berpikir untuk memberi diri kepada anggur. Sesudah berkorban untuk berbuat baik, kita boleh menyegarkan diri dengan karunia-karunia kelimpahan Allah. Kesenangan indra baru digunakan dengan benar apabila digunakan sekadarnya untuk mengecap saja, hanya saat membutuhkannya saja.

Seperti Timotius minum anggur demi kesehatannya (1Timotius 5:23). Aku menyelidiki diriku dengan menyegarkan tubuhku dengan anggur (demikianlah tafsiran luasnya) atau untuk sekadar merasakan anggur. Orang-orang yang kecanduan minum-minum, awalnya memaksa diri. Mereka menyeret diri kepadanya, dan hanyut bersama-nya. Tetapi mereka harus ingat kesengsaraan seperti apa yang menanti mereka bila melakukan hal itu.

(2). Salomo lalu memandang kenikmatan indra itu sebagai kebodohan. Ia sebenarnya enggan memberi diri kepadanya. Seperti Rasul Paulus yang memuji diri dengan menyebutnya sebagai kelemahan, dan ingin orang bersabar dengan kebodohannya (2 Korintus 11:1). Ia berusaha memperoleh kebebalan, supaya dapat melihat sepenuhnya apakah kebodohan itu mampu membuat manusia bahagia. Namun, sepertinya ia mengolok-olok (bisa kita katakan begitu) terlampau jauh. Ia memutus-kan agar kebodohan jangan sampai menguasai dan menaklukkannya. Sebaliknya, dialah yang hendak menguasai dan menjauhkan hal itu. Ternyata ini terlampau berat baginya.

(3). Pada saat bersamaan, ia berusaha agar akal budinya tetap memimpin dengan hikmat. Dengan demikian ia dapat membawa diri dengan bijak saat memanfaatkan kesenangan, supaya tidak merugikan atau membuatnya tidak layak menilai kesenangan itu. Pada waktu ia menyegarkan tubuhnya dengan anggur, ia memimpin hatinya dengan hikmat (demikianlah arti ayat ini).

Sambil melakukan ini, ia terus menimba ilmu, tidak menjadi pemabuk, atau diperbudak oleh kesenangan. Sebaliknya, penyelidikan dan pesta perjamuannya seakan saling mengalahkan. Ia mencoba apakah ketika keduanya disatukan, ia akan memperoleh kepuasan yang tidak akan ditemukannya dalam masing-masing secara terpisah. Setelah melakukan hal ini, ia menemukan bahwa hal itu hanya kesia-siaan.

Sebab, orang-orang yang memberi diri kepada anggur, namun berusaha supaya hati mereka memahami hikmat, boleh jadi hanya akan menipu diri seperti halnya orang-orang yang menyangka dapat melayani Allah dan Mamon. Anggur adalah pencemooh dan penipu ulung. Sungguh mustahil bagi manusia untuk berkata bahwa ia akan memberi diri kepada anggur hanya sampai sejauh ini dan tidak lebih dari itu.

(4). Hal yang ditujunya bukanlah pemuasan hawa nafsunya, melainkan dalam upaya untuk menemukan kebahagiaan manusia. Minum anggur yang disangka dapat memberikan kebahagiaan, haruslah dicoba dan dibandingkan dengan hal-hal lain. Amatilah gambaran yang diberikannya perihal kebahagiaan manusia, yaitu mengetahui apa yang baik bagi anak-anak manusia untuk dilakukan di bawah langit selama hidup mereka.

(a) Apa yang kita selidiki bukanlah kebaikan yang harus kita miliki (kita dapat menyerahkannya kepada Allah), melainkan kebaikan yang harus kita kerjakan. Itulah yang harus kita perhatikan. Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat? Kebahagiaan kita tidak terdiri atas sikap bermalas-malasan, tetapi berbuat yang benar, bekerja dengan baik. Jika kita melakukan perbuatan baik, kita pasti akan menerima rasa tenteram dan juga beroleh pujian.

(b) Hal ini baik dilakukan di bawah langit, sementara kita masih hidup di dunia ini, sementara hari masih siang dan kesempatan itu masih ada. Seperti inilah keadaan pekerjaan dan pelayanan kita. Di dunia lainlah kita baru dapat mengharapkan balas jasa. Ke sanalah pekerjaan kita akan mengikuti kita.

(c) Hal itu harus dilakukan selama hidup kita. Kebaikan yang harus kita kerjakan itu, haruslah dengan tekun sampai akhir, sementara masih ada kesempatan untuk itu, yakni sepanjang jumlah hari dalam hidup kita (begitulah tafsiran luasnya). Jumlah hari dalam hidup kita telah ditentukan oleh Allah, dan di dalam tangan-Nyalah Ia memegang hidup kita, untuk dihabiskan sesuai pimpinan-Nya. 

Oleh karena itu, jika ada manusia yang memberi diri kepada anggur dengan harapan bisa menemukan cara hidup terbaik di dunia ini, maka hal itu dianggap sesuatu yang tidak masuk akal oleh Salomo, yang mencela dirinya sendiri karena itu. Mungkinkah hal ini merupakan kebaikan yang harus dilakukan manusia? Tidak. Hal ini jelas sangat buruk.

[III]. Karena segera menyadari bahwa sungguh bodoh untuk memberi diri kepada anggur, Salomo lalu mencoba pertunjukan dan hiburan mahal-mahal yang disukai para raja dan orang-orang besar. Penghasilannya sangat besar, pendapatan dari pajak melimpah, dan ia mengeluarkannya semua untuk memenuhi keinginannya dan membuatnya terlihat hebat.

1). Ia sangat memperhatikan pembangunan, baik di kota maupun pedesaan. Setelah mengeluarkan biaya sangat besar di awal pemerintahannya dalam membangun rumah Allah, ia merasa lebih dapat dimaafkan bila sesudah itu dia memuaskan khayalannya dengan membangun istana bagi dirinya sendiri.

Salomo mulai mengerjakan pekerjaan bagi dirinya sepenuhnya (Matius 6:33), tidak seperti umat-Nya (Hagai 1:4) yang mendiami rumah-rumah yang dipapani dengan baik, sementara Rumah TUHAN tetap menjadi reruntuhan. Karena itulah pekerjaannya berhasil. Ketika mengerjakan pembangunan, ia suka mempekerjakan orang miskin dan berbuat baik bagi anak cucu.

Kita membaca perihal bangunan-bangunan yang didirikan Salomo (1 Raja-raja 9:15-19) yang seluruhnya merupakan pekerjaan-pekerjaan yang besar, betapa banyak uangnya, dan betapa besar semangat dan agung martabatnya. Tetapi lihatlah kesalahan yang diperbuatnya. Ia bertanya-tanya tentang pekerjaan baik yang harus dia kerjakan (Pengkhotbah 2:3), dalam mencari jawabannya, ia sepenuhnya menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan besar. Pekerjaan-pekerjaannya itu benar-benar baik, namun banyak karya besar jauh dari baik adanya, karya ajaib namun tidak mulia (Matius 7:22).

2. Salomo sangat menyukai taman, yang sama memukaunya dengan mendirikan bangunan. Ia menanami bagi dirinya kebun-kebun anggur, yang sangat cocok dengan tanah dan iklim tanah Kanaan. Ia mengusahakan bagi dirinya kebun-kebun dan taman-taman, dan menanaminya dengan rupa-rupa pohon buah-buahan (Pengkhotbah 2:5).

Boleh jadi seni pertamanannya tidak kalah dengan yang ada sekarang. Salomo tidak saja memiliki hutan-hutan pohon kayu, tetapi juga rupa-rupa pohon buah-buahan, yang ditanamnya sendiri. Dan jika ada kegiatan duniawi yang mampu memberi manusia kebahagiaan, maka hal itu pastilah apa yang dikerjakan Adam semasa ketika ia belum jatuh dalam dosa.

3. Salomo mengeluarkan biaya besar untuk membuat sejumlah pengairan, kolam, dan terusan, bukan untuk hiburan dan kesenangan semata, melainkan untuk dimanfaatkan. Untuk mengairi dari situ tanaman pohon-pohon muda (Pengkhotbah 2:6). Ia tidak saja menanam, tetapi juga mengairi, dan kemudian membiarkan Allah memberi pertumbuhan. Mata air merupakan hadiah besar (Yosua 15:19). Namun, bila alam telah menyediakannya, maka diperlukan keahlian untuk membuatnya bermanfaat (Amsal 21:1).

4. Salomo menambah jumlah anggota keluarganya. Ketika hendak melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, Salomo harus mempekerjakan banyak orang. Itulah sebabnya ia mendapatkan budak-budak laki-laki dan perempuan dengan membeli mereka dengan uangnya, juga budak-budak yang lahir di rumahnya (Pengkhotbah 2:7). Demikianlah jumlah pelayannya bertambah besar sehingga istananya tampak semakin megah (Ezra 2:58).

5. Salomo tidak mengabaikan urusan negaranya, tetapi menyukakan dan juga memperkaya diri dengannya. Perhatiannya tidak dialihkan dari urusan negeri oleh karena penyelidikan ataupun kesenangannya. Ia mempunyai juga banyak sapi dan kambing domba, lembu dan ternak seperti yang dimiliki ayahnya sebelum itu (1 Tawarikh 27:29-31).

Ia tidak lupa bahwa awalnya sang ayah adalah penggembala domba. Biarlah orang-orang yang mengurus ternak tidak memandang rendah pekerjaannya atau merasa jemu dengannya, dengan mengingat bahwa Salomo menyebutkan kepemilikannya atas banyak sapi dan kambing domba bersama-sama dengan pekerjaan-pekerjaan besar dan berbagai kegemarannya.

6. Salomo menjadi kaya raya, dan sama sekali tidak menjadi miskin karena kegemarannya membangun dan membuat taman. Banyak orang yang karena alasan itu semata telah menyesali dan menyebutnya kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Salomo menghambur-hamburkan namun semakin bertambah. Ia mengisi perbendaharaannya dengan perak dan emas, yang tidak tetap tersimpan begitu saja, tetapi diedarkan demi kerajaannya.

Demikianlah ia membuat perak di Yerusalem sama seperti batu (1 Raja-raja 10:27). Ia bahkan memiliki ‘segullah’, yakni harta benda raja-raja dan daerah-daerah, yang dipandang dari sudut kekayaan dan kelangkaan, lebih berharga daripada perak dan emas. Para raja negeri tetangga dan daerah-daerah yang letaknya berjauhan dengan kerajaannya, mengirimkan hadiah-hadiah termewah yang mereka miliki, demi mendapatkan perkenannya dan berbagai petunjuk lewat hikmatnya.

7. Salomo memiliki segala sesuatu yang memukau dan memikat hati. Segala macam nyanyian dan musik, baik yang dinyanyikan maupun dimainkan dengan alat musik, juga biduan-biduan dan biduanita-biduanita bersuara paling merdu yang bisa diperolehnya, serta semua alat musik tiup dan orkes yang pada masa itu sering digunakan.

Ayahnya sangat berbakat di bidang musik, namun tampaknya ia lebih banyak menggunakannya dalam penyembahan dibanding Salomo, putranya, yang lebih memanfaatkannya untuk hiburan. Hal ini disebut sebagai menyenangkan anak-anak manusia. Pemuasan indra merupakan hal yang oleh kebanyakan orang sangat disukai untuk memuaskan diri. Kesenangan anak-anak Allah sangatlah berbeda sifatnya, yaitu murni, rohani, dan sorgawi, dan menjadi kesukaan para malaikat.

8. Lebih dari siapa pun, Salomo sangat menikmati gabungan kesenangan yang menuntut pemikiran maupun yang penuh perasaan. Dalam hal ini ia sungguh besar, bahkan lebih besar daripada siapa pun yang pernah hidup sebelum dia. Di tengah seribu kesenangan duniawi, ia tetap berhikmat. Sungguh aneh dan belum pernah terjadi,

(a). Bahwa kesenangan-kesenangannya ini tidak merusak pertimbangan dan hati nuraninya. Di tengah semua hiburan ini, hikmatnya tinggal tetap padanya (Pengkhotbah 2:9). Di tengah semua kesenangan kekanak-kanakan ini ia tetap memelihara rohnya dengan gagah berani, tetap menguasai jiwanya, dan memelihara akal sehat melebihi selera indra.

Salomo memiliki hikmat begitu besar hingga ia tidak menyia-nyiakan atau merusaknya, seperti yang dilakukan orang lain dalam kehidupan ini. Walaupun begitu, jangan sampai ada yang coba-coba mengikat diri dengan berbagai hasrat jasmani karena beranggapan bahwa mereka mampu melakukannya dan tetap memelihara hikmat mereka. Mereka tidak memiliki kekuatan hikmat seperti halnya Salomo.

Bahkan, Salomo pun sudah tertipu, sebab bagaimana mungkin hikmatnya tinggal tetap padanya padahal ia kehilangan ibadah agamanya sehingga membangun mezbah bagi dewa-dewa asing, demi menyenangkan hati istri-istri asingnya? Memang sejauh ini hikmatnya tinggal tetap padanya karena ia menjadi tuan atas semua kesenangannya itu, dan tidak menjadi budak mereka. Dan ia juga tetap mampu membuat penilaian yang baik mengenai semua kesenangan itu. Ia mendatangi negeri musuh, bukan sebagai pembelot, melainkan sebagai pengintai, untuk melihat-lihat di mana negeri ini tidak dijaga.

(b). Akan tetapi, pertimbangan dan hati nuraninya ternyata tidak mampu mengendalikan kesenangannya, atau mencegahnya memeras inti kesenangan indra (Pengkhotbah 2:10). Ini mungkin bertentangan dengan pertimbangannya bahwa jika hikmatnya tinggal tetap padanya, ia tidak dapat memiliki kebebasan yang diperlukan untuk melakukan percobaan sepenuhnya.

"Sesungguhnya," katanya, "aku menggunakan kebebasan seperti siapa pun, sebab aku tidak merintangi mataku dari apa pun yang dikehendaki, jika itu memang dapat dilakukan tanpa melanggar hukum, tidak peduli sesulit atau semahal apa pun. Karena aku tidak menahan sukacita apa pun dari hatiku, aku tidak menahan hatiku dari sukacita apa pun.

Sebaliknya, dengan non-obstante – penggunaan penuh hikmatku, aku sangat menyukai kesenanganku, menikmatinya seperti yang dilakukan penggemar kesenangan indra mana pun." Tidak ada sesuatu apa pun di dalam keadaan ataupun suasana hatinya yang dapat merusak atau mengurangi kegembiraannya.

Singkat kata,

1. Ia menikmati kesenangan dalam kegiatannya sebanyak siapa pun: Hatiku bersukacita karena segala jerih payahku, karena itu kerja keras dan keletihannya tidak mengurangi sukacitanya.

2. Keuntungannya tidak berkurang karena jerih payahnya. Ia juga tidak merasa kecewa dan terganggu: Itulah buah segala jerih payahku, ia menambahkan hal ini kepada semua kesenangan lainnya. Di dalam semua itu ia tidak saja melihat, tetapi juga makan dari hasil jerih payah tangannya. Hanya inilah yang dimilikinya, sebab memang hanya itulah yang bisa diharapkannya dari jerih payahnya. Menikmati keberhasilan membuat jerih payahnya lebih menarik dan sukacitanya lebih besar, karena semua itu merupakan hasil jerih payah yang dikerjakannya. Secara keseluruhan, ia jelas merasa bahagia di dunia ini.

9. Pada akhirnya, kita melihat penilaian yang dengan sengaja diberikannya tentang semua hal ini (Pengkhotbah 2:11). Ketika Sang Pencipta telah menyelesaikan karya-karya-Nya yang agung, Ia meninjau dan menilai semuanya, dan segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Segala sesuatu menyenangkan hati-Nya. 

Sebaliknya, ketika Salomo meninjau ulang segala pekerjaan yang telah dilakukan tangannya dengan biaya sangat besar serta dengan segenap perhatian, dan segala usaha yang telah dilakukan untuk itu dengan jerih payah supaya dapat membuatnya nyaman dan bahagia, ternyata tidak satu pun memenuhi harapannya. Lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Ia tidak menemukan kepuasan di dalamnya dan keuntungan melalui semua itu. Tak ada keuntungan di bawah matahari, baik melalui pekerjaan dan jerih payah maupun melalui kenikmatan dunia ini.
Next Post Previous Post