AMSAL 7:6-23 - GODAAN-GODAAN PEREMPUAN SUNDAL
Matthew Henry (1662 – 1714)
BAHASAN : AMSAL 7:6-23 - ORANG MUDA YANG BODOH; GODAAN-GODAAN PEREMPUAN SUNDAL.
BAHASAN : AMSAL 7:6-23 - ORANG MUDA YANG BODOH; GODAAN-GODAAN PEREMPUAN SUNDAL.
Di sini Salomo, untuk meneguhkan peringatan yang sudah diberikannya terhadap dosa persundalan, menyampaikan sebuah cerita tentang seorang anak muda yang benar-benar hancur oleh rayuan-rayuan seorang perempuan sundal. Cerita seperti ini pasti akan dijadikan sandiwara oleh pujangga-pujangga cabul dan seronok pada zaman kita, dan bagi mereka pelacur itulah yang akan menjadi pahlawannya.
Tidak ada hal lain yang lebih menghibur para penonton, atau memberi mereka hiburan yang begitu segar, selain dari cara perempuan sundal ini merayu anak muda itu dan memperdayai sang pemuda terhormat dari negeri itu. Semua keberhasilan perempuan itu dalam menaklukkan laki-laki akan dirayakan sebagai kemenangan asmara yang penuh kecer-dikan, dan cerita lucu itu akan berakhir dengan sangat menyenangkan. Dan setiap pemuda yang menontonnya pasti ingin dihampiri seperti itu.
Demikianlah orang bodoh menjadikan dosa sebagai bahan olok-olok. Tetapi di sini Salomo membahas perkara ini, dan semua orang bijak dan baik membacanya sebagai cerita yang amat menyedihkan. Kekurang-ajaran perempuan sundal itu sudah sangat sewajarnya dipandang, oleh semua orang yang memiliki secercah kebajikan dalam diri mereka, dengan kemarahan yang teramat sangat. Sedangkan betapa mudahnya pemuda itu tergoda harus dipandang dengan rasa kasihan yang sangat.
Cerita tersebut kemudian ditutup dengan renungan-renungan yang sedih, cukup untuk membuat semua orang yang membaca dan mendengarkannya merasa ngeri terhadap jerat hawa nafsu kedagingan, dan berusaha dengan hati-hati untuk menjauhkan diri sejauh mungkin darinya. Cerita ini dianggap sebagai sebuah perumpamaan, atau kejadian yang direka-reka, tetapi bagi saya cerita itu terasa sungguh benar.
Yang lebih buruk lagi, bahwa kendati dengan peringatan yang diberikannya akan akibat-akibat yang mematikan dari jalan-jalan yang fasik seperti itu, cerita ini tetap saja sering terjadi, dan kaki tangan neraka masih memainkan permainan yang sama dengan keberhasilan yang serupa.
Salomo adalah seorang hakim, dan, sebagai hakim, ia memeriksa segala tingkah laku para bawahannya, sering menengok melalui jendelanya, agar ia dapat melihat dengan matanya sendiri dan mencatat perilaku orang-orang yang tidak menyangka bahwa mereka sedang diawasinya. Dengan demikian, ia akan tahu dengan lebih baik bagaimana membuat pedang yang dihunusnya menjadi kengerian bagi para pembuat kejahatan.
Tetapi di sini ia menulis sebagai seorang hamba Tuhan, seorang nabi, yang tugasnya seperti penjaga, untuk memberikan peringatan akan mendekatnya musuh-musuh, dan terutama di mana mereka bersembunyi untuk menyergap, agar kita tidak lengah terhadap rancangan-rancangan Iblis, tetapi tahu di mana kita harus meningkatkan kewaspadaan kita. Hal ini dilakukan Salomo di sini, di mana kita dapat mencermati gambaran yang diberikannya,
[I]. Tentang orang yang digoda, dan bagaimana dia menjadikan dirinya rentan terhadap godaan itu, dan oleh sebab itu harus mempersalahkan dirinya sendiri jika semua ini berakhir dengan kebinasaannya.
1. Ia seorang teruna (Amsal 7:7).
1. Ia seorang teruna (Amsal 7:7).
Hawa nafsu kedagingan disebut sebagai nafsu orang muda (2 Timotius 2:22), bukan untuk memper-lunaknya sebagai kenakalan anak muda, dan oleh sebab itu dapat dimaafkan, melainkan terlebih untuk memperberatnya, sebagai sesuatu yang dirampas dari Allah waktu kita yang pertama dan terbaik.
Dengan merusak pikiran ketika masih lembut, hawa nafsu meletakkan landasan untuk hidup yang buruk sesudahnya. Juga, dengan menamakannya nafsu orang muda, hal ini untuk menunjukkan bahwa anak muda haruslah secara khusus memperkuat tekad-tekad mereka melawan dosa ini.
2. Ia seorang teruna yang tidak berakal budi, yang pergi ke dalam dunia tanpa dibekali dengan hikmat dan takut akan Allah seperti yang seharusnya, dan dengan demikian berpetualang ke tengah laut tanpa barang pemberat, tanpa nakhoda, tanpa tali, atau kompas penunjuk arah. Ia tidak tahu bagaimana menjauhi kejahatan, yang merupakan akal budi terbaik (Ayub. 28:28). Orang-orang yang menjadi mangsa empuk bagi si Iblis adalah mereka yang ketika sudah dewasa masih mempunyai pengertian seperti anak-anak.
3. Ia terus bergaul di dalam pergaulan yang buruk. Ia seorang teruna di antara anak-anak muda, seorang teruna bodoh di antara yang tak berpengalaman. Seandainya, karena sadar akan kelemahannya sendiri, ia bergaul dengan orang-orang yang lebih tua dan lebih bijaksana daripada dirinya sendiri, maka akan ada harapan baginya.
Kristus, pada umur dua belas tahun, bercakap-cakap dengan alim ulama, untuk menjadi teladan bagi orang-orang muda dalam hal ini. Tetapi, jika orang-orang yang tidak berpengalaman memilih orang-orang yang seperti mereka sendiri sebagai sahabat-sahabat mereka, maka mereka akan tetap seperti itu, dan mengeras dalam keadaan mereka itu.
4. Dia berjalan luntang-lantung dan tidak mempunyai apa-apa untuk dikerjakan, sehingga menyeberang dekat sudut jalan seperti orang yang tidak tahu bagaimana mengatur diri sendiri. Salah satu dosa Sodom yang kotor adalah kemalasan yang berlimpah-limpah (Yehezkiel 16:49 KJV). Ia pergi dengan berpakaian necis dan mentereng, begitu (seperti yang disebutkan) arti dari kata itu. Dia tampil sebagai pesolek yang rapi dan menawan, berpakaian bagus dan berjalan dengan sok. Benar-benar mangsa yang cocok bagi si burung pemangsa itu.
5. Dia orang yang suka keluar malam, yang membenci dan mencemooh pekerjaan yang harus dilakukan saat hari terang, yang setelah itu akan datang senja memanggil orang untuk pulang dan beristirahat. Begitulah, karena bersekutu dengan pekerjaan-pekerjaan kegelapan yang sia-sia, ia mulai bergerak pada waktu senja, pada petang hari (Amsal 7:9). Dia memilih malam yang gelap dan pekat sebagai waktu yang paling cocok untuk tujuannya, bukan juga malam yang diterangi sinar bulan, karena takut dilihat orang.
6. Dia membelokkan arahnya ke rumah seseorang yang disangkanya akan menghiburnya, dan yang dengannya ia bisa bersenang-senang. Ia menyeberang dekat sudut jalan, menuju rumah perempuan semacam itu (ayat , bertentangan dengan nasihat Salomo (5:8), janganlah menghampiri pintu rumahnya. Mungkin dia tidak tahu bahwa itu adalah jalan menuju sebuah rumah yang keji, tetapi, sekalipun demikian, ia tidak mempunyai urusan apa-apa untuk ke jalan itu.
Bila kita tidak mempunyai apa-apa untuk dikerjakan, maka Iblis dengan cepat akan mendapatkan sesuatu untuk kita kerjakan. Kita harus berjaga-jaga, bukan hanya terhadap hari-hari yang santai, melainkan juga terhadap malam-malam yang dijalani tanpa kegiatan, supaya jangan itu menjadi jalan masuk ke dalam pencobaan.
[II]. Tentang orang yang menggoda, bukan seorang pelacur biasa, sebab dia istri orang (ayat 19). Dari semua yang tampak, ia mempunyai nama baik di antara para tetangganya, tidak dicurigai melakukan kejahatan apa pun yang seperti itu. Namun, pada waktu senja, pada petang hari, ketika suaminya pergi jauh, ia berbuat lancang dengan begitu menjijikkan. Di sini dia digambarkan,
1. Melalui pakaiannya. Dia berpakaian sundal (Amsal 7:10), mencolok dan menyilaukan, untuk memamerkan kecantikannya. Barangkali ia berhias seperti Izebel, dan keluar dengan leher dan dada telanjang, berpakaian longgar dan tembus pandang. Kemurnian hati akan menunjukkan diri dalam kesederhanaan pakaian, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah .
2. Melalui tipu muslihat dan kelihaiannya. Dia berhati licik, menguasai segala cara untuk merayu, dan tahu bagaimana mencapai maksud-maksudnya yang hina dengan semua bujuk rayunya itu.
3. Melalui sikap dan pembawaannya. Cerewet dan liat perempuan ini, bawel dan degil, berisik dan menyusahkan, keras hati dan keras kepala, banyak bicara, dan ingin menuruti semua kehendaknya, entah benar atau salah. Ia tidak sabar dengan teguran dan pengawasan, dan tidak tahan dinasihati, apalagi ditegur, oleh suami atau orang tua, oleh hamba Tuhan atau teman. Dia adalah seorang perempuan dursila, yang tidak tahan menanggung kuk.
4. Melalui tempatnya, bukan rumahnya sendiri. Ia benci dengan batasan dan pekerjaan rumah. Kakinya tak dapat tenang di sana lebih lama daripada yang seharusnya. Maunya cuma pergi ke luar, berpindah-pindah tempat dan berganti-ganti teman. Sebentar ia di lapangan, dengan berdalih ingin menghirup udara segar, sebentar ia di jalan, dengan berdalih ingin melihat kegiatan di pasar.
Sebentar ia ada di sini, sebentar ada di sana, dan di tempat-tempat lain selain di mana seharusnya ia berada. Dekat setiap tikungan ia menghadang, untuk menghampiri orang yang dapat dimangsanya. Kebajikan terasa seperti hukuman penebus dosa bagi mereka yang kalau berada di rumah merasa seperti berada di penjara.
[III]. Tentang godaan itu sendiri dan bagaimana perempuan itu mengaturnya. Dia bertemu dengan anak muda yang membara. Mungkin dia mengenalnya. Namun bagaimanapun juga, ia tahu dari pakaiannya bahwa anak muda itu persis seperti orang yang diidam-idamkannya. Maka, dipegangnyalah leher teruna itu dan diciumnya, bertentangan dengan segala aturan sopan-santun (Amsal 7:13). Ia tidak menunggu datangnya pujian dan rayuan dari teruna itu, tetapi dengan muka tanpa malu mengundangnya bukan hanya ke rumahnya, melainkan juga ke tempat tidurnya.
[1]. Dia membujuknya untuk makan dan minum bersamanya (Amsal 7:14-15): aku harus mempersembahkan korban keselamatan. Dengan ini ia ingin menunjukkan kepada teruna itu,
(a) Kekayaannya yang berlimpah, bahwa ia dikelilingi dengan begitu banyak berkat sehingga mempunyai kesempatan untuk memper-sembahkan korban keselamatan, sebagai pertanda sukacita dan rasa syukur. Ia mempunyai banyak harta benda, sehingga teruna itu tidak usah takut ia akan mencopetnya.
(b). Pengakuannya akan kesalehannya. Dia baru saja dari bait Allah pada hari itu, dan dihormati di sana seperti layaknya orang lain yang menyembah di pelataran Tuhan. Dia sudah membayar nazarnya, dan, seperti yang disangkanya, sudah melunasi semua utangnya kepada Allah Yang Mahakuasa, dan oleh sebab itu dapat melakukan dosa-dosa baru lagi.
Perhatikanlah, jika pelaksanaan-pelaksanaan lahiriah dari ibadah agama tidak mengeraskan manusia melawan dosa, maka itu akan mengeraskan mereka di dalamnya. Hal ini juga akan membuat hati yang penuh dengan kedagingan berani mencoba-cobanya, dengan berharap bahwa ketika mereka datang menghadap Allah untuk memperhitungkan segala sesuatunya,
Ia akan didapati berutang kepada mereka atas persembahan-persembahan korban keselamatan dan nazar-nazar mereka, sebanyak mereka berutang kepada-Nya atas dosa-dosa mereka. Tetapi sungguh menyedihkan bahwa pamer kesalehan harus menjadi tempat bernaung bagi kejahatan (yang sebenarnya melipatgandakan aibnya, dan semakin menjadikannya berdosa), dan bahwa manusia harus membungkam hati nurani mereka dengan hal-hal yang seharusnya justru membuat mereka terguncang.
Orang-orang Farisi mengucapkan doa yang panjang-panjang, agar mereka dapat terus menjalankan ketetapan-ketetapan mereka yang penuh dengan ketamakan dan amat menyusahkan. Menurut hukum Taurat, bagian terbesar dari daging persembahan korban keselamatan harus dikembalikan kepada yang memberikan persembahan, untuk berpesta bersama teman-teman mereka, dan (seandainya itu daging korban syukur) harus dimakan semua pada hari dipersembahkannya daging itu dan sedikit pun dari padanya tidak boleh ditinggalkan sampai pagi (Imamat 7:15).
Hukum kasih dan kemurahan hati ini disalahgunakan untuk menutup-nutupi kerakusan dan ke berlebihan: “Mari,” katanya, “pulanglah denganku, karena aku mempunyai cukup banyak makanan dan minuman, dan hanya ingin mencari teman yang baik untuk membantuku menghabiskannya.” Sayang sekali bahwa korban-korban keselamatan itu harus menjadi, dalam pengertian yang buruk, korban-korban dosa, dan bahwa apa yang dirancang demi kehormatan Allah harus menjadi makanan dan bahan bakar bagi hawa nafsu yang rendah. Tetapi ini belum seberapa.
(c). Untuk memperkuat godaan itu,
1). Ia berpura-pura amat sangat menyayanginya melebihi pria mana pun: “Itulah sebabnya, karena ada makanan di mejaku, aku keluar menyongsong engkau, sebab tidak ada teman lain di dunia ini yang begitu pantas mendapatkannya selain engkau (Amsal 7:15). Engkaulah orangnya yang sengaja kucari, sungguh-sungguh kucari-cari, dan aku datang sendiri, tidak mau menyuruh seorang hamba.”
Tentu saja teruna itu tidak bisa menolak menemaninya, sebab ia begitu menghargai kehadirannya, dan mau bersusah payah seperti ini untuk mendapatkan kebaikan hatinya. Orang-orang berdosa bersusah payah untuk melakukan kejahatan, dan menjadi seperti singa yang mengaum-ngaum itu. Mereka berjalan keliling mencari orang yang dapat ditelannya, namun berpura-pura hanya ingin meminta tolong.
2). Dia ingin agar orang menganggap bahwa Allah Sang Pemelihara sendiri menyetujui perbuatannya dalam memilih teruna itu untuk menemaninya. Sebab, begitu cepatnya dia menemukan orang yang dicari-carinya!
[2]. Dia merayunya untuk tidur dengannya. Mereka akan duduk untuk makan dan minum, dan kemudian bangun untuk bermain, bermain permainan nakal, dan sudah ada tempat tidur yang siap untuk mereka, di mana segala sesuatunya ditata untuk menyenangkan si teruna itu.
Untuk menyenangkan matanya, telah dibentangkannya permadani di atas tempat tidurnya, yang amat halus dan indah. Tidak pernah dilihatnya yang seperti itu. Untuk menyenangkan sentuhannya, kain untuk tempat tidur itu bukanlah buatan lokal. Kain ini didatangkan dari jauh dan dibeli dengan harga mahal. Kain itu kain lenan beraneka warna dari Mesir (Amsal 7:16).
Untuk memuaskan penciumannya, pembaringan itu ditaburi dengan berbagai wewangian yang harum semerbak (Amsal 7:17). Oleh sebab itu, datanglah dan marilah kita memuaskan berahi (Amsal 7:18; KJV: memuas-kan cinta). Memuaskan cinta katanya? Memuaskan nafsu mungkin, nafsu kebinatangan. Tetapi sungguh sayang bahwa nama cinta sampai disalahgunakan sedemikian rupa. Cinta sejati berasal dari surga. Yang ini berasal dari neraka. Bagaimana mungkin mereka berpura-pura menikmati diri sendiri dan berbagi asmara satu sama lain, jika sebenarnya mereka menghancurkan diri sendiri dan satu sama lain?
[3]. Dia sudah menyiapkan jawaban untuk menanggapi keberatan yang mungkin diajukan teruna itu mengenai bahaya dari perbuatan itu. Bukankah dia istri orang, dan bagaimana jika suaminya menangkap basah mereka berzina? Ia akan membuat mereka membayar sangat mahal untuk permainan mereka, dan lalu di manakah letak penghiburan pada cinta mereka? “Jangan takut,” kata perempuan itu, “orang baik itu tidak di rumah” (Amsal 7: 19, KJV).
Ia tidak menyebutnya suaminya, sebab ia meninggalkan teman hidup masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya. Tetapi menyebutnya “orang baik di rumah itu, yang dengannya aku sudah bosan.” Demikian pulalah istri Potifar, ketika berbicara tentang suaminya, tidak mau menyebutnya suaminya, tetapi cuma menyebutnya dia (Kejadian 39:14). Oleh sebab itu, kita perlu memberi perhatian pada pujian Sara, bahwa ia berbicara dengan hormat tentang suaminya, dengan memanggilnya tuan.
Perempuan sundal itu senang bahwa suaminya tidak ada di rumah, dan oleh sebab itu ia sedih jika tidak ada yang menemani. Karena itu dia akan berbuat bebas dengan siapa saja yang bisa menemaninya, sebab ia tidak sedang diawasi suaminya, dan suaminya pun tidak akan pernah tahu. Tetapi, akankah suaminya kembali dengan cepat? Tidak: “Ia sedang dalam perjalanan jauh, dan pasti tidak akan kembali dengan tiba-tiba. Ia sudah menetapkan kapan akan kembali, dan tidak pernah pulang lebih awal dari yang sudah ditetapkannya. Sekantong uang dibawanya, entah,”
(a). “Untuk ditukarkan, untuk membeli barang-barang, dan ia tidak akan kembali sampai ia membelanjakan semuanya. Sayang sekali bahwa orang yang rajin dan jujur sampai dimanfaatkan sedemikian rupa, dan kepergiannya untuk mencari nafkah, demi kebaikan keluarganya, disalahgunakan untuk mengambil untung.” Atau,
(b). “Untuk dihabiskan dan dipakai bersenang-senang.” Entah adil atau tidak, perempuan itu menyindir secara tidak langsung bahwa dia adalah seorang suami yang buruk. Begitulah dia ingin menggambarkan suaminya, karena dia sudah memutuskan untuk menjadi istri yang buruk, dan harus memakainya sebagai dalih. Alasan ini sering kali diajukan tanpa dasar, dan tidak pernah memadai. “Suamiku suka mencari kesenangan, dan memboroskan harta bendanya di luar” (katanya), “lantas mengapa aku tidak boleh melakukan hal yang sama di rumah?”
[IV]. Tentang keberhasilan godaan ini. Dengan menjanjikan teruna itu segala sesuatu yang menyenangkan, dan untuk menikmatinya tanpa khawatir akan mendapat hukuman, dia berhasil mencapai tujuannya (Amsal 7:21).
Tampaknya, pemuda itu, meskipun sangat polos, tidak mempunyai rancangan jahat apa pun, sebab kalau tidak, hanya dengan sebuah kata, sebuah isyarat, dan sebuah kedipan ia pasti akan tergoda, dan semua kata yang bertele-tele ini tidak akan perlu. Tetapi meskipun pemuda itu tidak berniat melakukan hal seperti itu, bahkan, di dalam hati nuraninya ingin menentangnya, namun dengan berbagai-bagai bujukan ia merayu orang muda itu. Kebejatan-kebejatannya pada akhirnya menang atas keyakinan-keyakinannya, dan tekad-tekadnya tidak cukup kuat untuk bertahan melawan serangan-serangan yang licik seperti ini.
Dengan kelicinan bibir ia menggodanya. Pemuda itu tidak dapat menutup telinganya untuk tidak mendengarkan perayu seperti itu, tetapi menyerahkan diri untuk menjadi tawanannya. Pelayan-pelayan hikmat, yang menyerukan kepentingannya, dan yang didukung oleh akal budi, dan yang mengundang manusia untuk menikmati kesenangan-kesenangan yang sejati dan ilahi, mendapati telinga manusia tertutup rapat dan tidak mau mendengarkan mereka.
Dan dengan semua bujukannya, mereka tidak bisa memaksa manusia untuk datang. Tetapi seperti itulah kekuasaan dosa di dalam hati manusia, bahwa godaan-godaannya segera menang melalui kebohongan dan sanjungan. Dengan rasa kasihan yang seperti apa Salomo di sini memandang anak muda yang bodoh ini, ketika dia melihatnya mengikuti perempuan sundal itu!
(1) Dia menganggapnya sudah habis. Ah, kasihan! Dia binasa. Dia pergi ke tempat jagal (sebab rumah kenajisan adalah rumah jagal bagi jiwa-jiwa yang berharga). Sebuah anak panah akan segera menembus hatinya. Karena pergi keluar tanpa tutup pelindung dada, ia akan menerima luka yang akan mendatangkan kematian baginya (Amsal 7:23). Itu adalah hidupnya, hidupnya yang berharga, kini dibuang tanpa bisa diperoleh kembali. Ia benar-benar lenyap tanpa bekas. Hati nuraninya rusak. Sebuah pintu terbuka bagi semua kekejian lainnya, dan ini pasti akan berakhir dengan penghukuman kekal baginya.
BACA JUGA: AMSAL 7:1-5 - FIRMAN ALLAH DISARANKAN
(2) Apa yang membuat kasusnya lebih menyedihkan lagi adalah bahwa dia sendiri tidak sadar akan kesengsaraan dan bahaya yang mengancamnya. Ia pergi dengan mata tertutup, bahkan, ia melangkah menuju kehancurannya sambil tertawa-tawa. Seekor lembu menyangka ia dituntun ke padang rumput ketika sedang dibawa ke tempat penjagalan.
Orang bodoh (maksudnya, si pemabuk, sebab, dari semua orang berdosa, para pemabuklah yang paling bodoh) dibawa kepada belenggu untuk dihukum, dan tidak merasakan aibnya, namun pergi ke sana seolah-olah ingin menonton sandiwara. Burung yang dengan cepat menuju perangkap hanya melihat umpan, dan menjanjikan dirinya akan mengecap sedikit makanan enak darinya, dan tidak sadar bahwa hidupnya terancam.
Demikian pulalah dengan anak muda yang tidak sadar dan tidak waspada ini, ia tidak memimpikan apa pun selain kesenangan-kesenangan yang akan dirasakannya dalam pelukan si pelacur, padahal sebenarnya ia sedang berlari langsung menuju kepada kehancurannya. Walaupun di sini Salomo tidak memberi tahu kita bahwa ia menjatuhkan hukuman kepada pelacur murahan ini, namun tidak ada alasan bagi kita untuk berpikir bahwa ia tidak menjatuhkannya, sebab ia sendiri begitu terusik dengan kejahatan yang dilakukannya, dan amat geram terhadapnya.