Pengkhotbah 3:11-15 - Betapa abadi dan tak terselami pertimbangan ilahi

Matthew Henry ( 1662 – 1714).

BAHASAN : Pengkhotbah 3:11-15 - Betapa abadi dan tak terselami pertimbangan ilahi untuk perkara-perkara itu

Kita telah melihat perubahan-perubahan yang ada di dalam dunia, dan seharusnya tidak berharap dunia ini lebih memberi kepastian bagi kita daripada bagi yang lain. Nah, di sini Salomo memperlihatkan keter-libatan Allah dalam semua perubahan ini. Allah-lah yang membuat setiap ciptaan sebagaimana adanya bagi kita. Oleh karena itu, kita harus selalu mengarahkan mata kita kepada-Nya.
Pengkhotbah 3:11-15 - Betapa abadi dan tak terselami pertimbangan ilahi
[I]. Kita harus melakukan yang terbaik dalam keadaan yang sekarang ada, dan harus percaya bahwa keadaan itu yang terbaik untuk saat ini, serta menyesuaikan diri kita dengan keadaan itu: Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya (Pengkhotbah 3:11). Oleh karena itu, selama waktunya belum berlalu, kita harus berdamai dengan keadaan yang ada. Bahkan, kita harus membuat diri kita bersukacita dengan keindahannya.

Perhatikanlah,

1. Segala sesuatu ada sebagaimana Allah menciptakannya. Semua sungguh ada sebagaimana Allah menetapkannya, bukan sebagaimana tampaknya bagi kita.

2. Hal-hal yang tampak paling tidak menyenangkan bagi kita, pada waktunya, akan menjadi sangat menyenangkan. Dingin di musim dingin sama indahnya dengan panas di musim panas. Malam, pada waktunya, adalah keindahan gelap, seperti siang, pada waktunya, keindahan terang.

3. Ada keharmonisan yang luar biasa dalam penyelenggaraan ilahi dan semua pemberiannya, sehingga peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya, jika direnungkan keterkaitannya, alasan terjadinya, dan juga waktu terjadinya, akan tampak sangat indah, bagi kemuliaan Allah dan penghiburan orang-orang yang percaya kepada-Nya.

Sekalipun kita belum melihat sepenuhnya keindahan penyelenggaraan ilahi, namun kita akan melihatnya, dan penglihatan itu akan menjadi penglihatan yang mulia, ketika rahasia Allah disingkapkan. Maka akan tampak bahwa segala sesuatu terjadi di waktu yang paling tepat, dan inilah keajaiban kekekalan (Ulangan 32:4; Yehezkiel 1:18).

[II]. Kita harus sabar menantikan pernyataan penuh hal-hal yang bagi kita tampaknya rumit dan membingungkan, dengan menyadari bahwa kita tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. Oleh karena itu, kita tidak boleh menghakimi apa pun sebelum waktunya. 

Kita harus percaya bahwa Allah telah membuat segala sesuatu indah. Segala sesuatu dikerjakan dengan sempurna, baik penciptaan, maupun penyelenggaraan, dan kita akan menyadarinya saat kita ada di kesudahannya.

Akan tetapi, sampai saat itu datang, kita tidak dapat menilainya. Saat lukisan sedang digambar, dan rumah sedang dibangun, kita tidak melihat keindahan dalam keduanya. Namun, setelah sang artis menyelesaikan tahap akhir pekerjaannya, dan memberikan sentuhan terakhirnya, maka semua tampak sangat bagus.

Sekarang kita hanya melihat bagian tengah pekerjaan Allah, tidak sejak awal (maka kita pasti melihat betapa menakjubkan rencana yang ditetapkan dalam pertimbangan ilahi), dan tidak juga bagian akhirnya, yang menyempurnakan tindakan-Nya (maka kita pasti melihat bahwa hasil akhirnya mulia). 

Karena itu kita harus menunggu sampai tirai dirobek, dan tidak mengecam penyelenggaraan Allah atau berlagak menghakiminya. Hal-hal yang tersembunyi bukanlah bagi kita. Kata-kata ini, Ia meletakkan dunia dalam hati mereka (TB LAI: Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka – pen.), ditafsirkan berbeda-beda.

1. Beberapa penafsir mengartikannya sebagai alasan kita dapat memahami pekerjaan Allah lebih daripada yang kita pahami sekarang. Demikian menurut Tn. Pemble: "Allah tidak membiarkan diri-Nya tanpa kesaksian mengenai kebenaran, keadilan, dan keindahan-Nya dalam mengatur segala sesuatu, tetapi Dia menyatakannya, untuk dibaca di buku dunia, dan buku ini diletakkannya dalam hati manusia. 

Buku ini memberi manusia hasrat yang tinggi, dan kuasa, dalam takaran yang besar, untuk menelusuri dan memahami sejarah alam, dalam kaitannya dengan perkara-perkara manusia.
Dengan demikian, jika saja manusia memberi diri sepenuhnya untuk mengamati dengan seksama bagaimana segala sesuatu berlangsung, dalam sebagian besar pengamatan itu, mereka akan mampu melihat penataan dan perencanaan yang mengagumkan."

2. Beberapa penafsir lain mengartikannya sebagai alasan kita tidak memahami pekerjaan Allah sebanyak yang seharusnya. Demikian menurut Uskup Reynolds: "Kita menempatkan dunia begitu besar dalam hati kita, begitu dikuasai oleh pikiran dan kekhawatiran akan perkara-perkara duniawi, dan begitu tersita dalam jerih lelah kita di dalamnya, sampai-sampai kita tidak mempunyai waktu maupun semangat untuk melihat keterlibatan Allah di dalamnya." Dunia bukan saja sudah menguasai hati, tetapi juga membentuk prasangka dalam hati terhadap keindahan karya Allah.

[III]. Kita semestinya puas dengan bagian kita di dunia ini dan menerima dengan gembira kehendak Allah mengenai diri kita, serta menyesuaikan diri kita dengan bagian kita itu. Tak ada hal yang pasti dan selalu baik dalam perkara-perkara ini. Kebaikan yang ada dalam perkara-perkara ini diberitahukan kepada kita di sini 

Pengkhotbah 3:12-13 : Kita harus melakukan yang terbaik dalam perkara-perkara ini,

1. Untuk manfaat orang lain. Satu-satunya yang baik dalam perkara-perkara ini adalah melakukan kebaikan (KJV) pada keluarga kita, pada sesama kita, pada orang miskin, pada orang banyak, untuk kepentingan masyarakat dan agama. Untuk apakah kita memiliki keberadaan kita, kemampuan dan harta kita, jika bukan supaya berguna bagi generasi kita? 

Salahlah kita jika berpikir kita lahir untuk diri kita sendiri. Tidak. Kepentingan kitalah untuk melakukan kebaikan. Dalam berbuat baiklah kita menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, dan kebaikan yang dikerjakan dengan sepenuh hati adalah yang paling bermanfaat di masa depan dan akhirnya akan menghasilkan sesuatu yang baik.

Amatilah, untuk melakukan kebaikanlah hidup yang singkat dan tidak pasti ini. Kita hanya memiliki waktu yang singkat untuk melakukan kebaikan, dan karena itu kita perlu mempergunakan waktu yang ada. Dalam hidup inilah kita harus melakukannya, saat kita berada dalam masa pengujian dan percobaan untuk kehidupan berikutnya. Hidup setiap orang adalah kesempatan baginya untuk melakukan perkara yang menghasilkan upah baginya dalam kekekalan.

2. Untuk kesenangan kita sendiri. Marilah kita menyenangkan diri, bersuka-suka, menikmati kesenangan dalam segala jerih lelah kita, karena itu juga adalah pemberian Allah. Oleh karena itu, nikmatilah Allah di dalamnya, kecaplah cinta-Nya, bersyukurlah kepada-Nya, dan jadikanlah Dia pusat sukacita kita, makan minum untuk kemuliaan-Nya, menjadi hamba-Nya dengan sukacita, dalam kelimpahan akan segala-galanya.

Jika segala sesuatu di dalam dunia ini begitu tidak pasti, bodohlah manusia yang dengan egois menyimpan di masa sekarang agar mereka dapat menumpuk semua untuk masa depan. Lebih baik bagi kita untuk hidup dengan gembira ria dan berguna dengan apa yang kita miliki, dan biarlah hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Anugerah dan hikmat untuk melakukan hal ini adalah pemberian Allah, suatu pemberian yang baik, yang menjadi puncak segala pemberian yang berasal dari kelimpahan karunia-Nya.

[IV]. Kita harus benar-benar puas dengan semua pemberian yang berasal dari penyelenggaraan ilahi, baik yang berkaitan dengan diri kita sendiri maupun orang banyak, dan mengingatkan diri kita dengan semua itu. Sebab Allah, dalam segala sesuatu, melakukan perkara yang ditetapkan bagi kita berdasarkan keputusan kehendak-Nya. Kita di sini diberi tahu,

1). Bahwa pertimbangan ilahi tidak dapat diubah. Oleh sebab itu, berhikmatlah kita jika kita mengambil kebajikan darinya dengan menerima pertimbangan itu. Semua harus terjadi sesuai dengan kehendak Allah: Aku tahu (dan setiap orang yang mengetahui tentang Allah juga tahu) bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya (Pengkhotbah 3:14).

Tetapi Ia tidak pernah berubah, dan siapa dapat menghalangi Dia? Tindakan-tindakan-Nya tidak pernah dibatalkan, juga tidak pernah Dia membuat keputusan baru. Apa yang diputuskan-Nya pasti dikerjakan, seluruh dunia tidak dapat menghapuskan ataupun membatalkannya. Oleh sebab itu, kita harus berkata, "Biarlah terjadi menurut kehendak Allah," karena, betapa bertentangan pun dengan rancangan dan kepentingan kita, kehendak Allah adalah hikmat-Nya.

2. Bahwa pertimbangan ilahi tidak perlu diubah, karena tidak ada yang salah di dalamnya, tidak ada yang harus diperbaiki. Jika kita dapat melihatnya sekaligus, kita akan melihat bahwa pertimbangan itu tak dapat ditambah, karena tidak ada yang kurang di dalamnya, dan tak dapat dikurangi, karena tidak ada yang tidak penting di dalamnya, atau dapat disisihkan. 

Seperti firman Allah, pekerjaan Allah juga sempurna dalam setiap jenisnya, dan lancanglah kita jika kita menambahi atau menguranginya (Ulangan 4:2). Oleh sebab itu, tugas dan kepentingan kitalah untuk menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak Allah.

[V]. Kita harus belajar menggenapi tujuan akhir Allah dalam segala penetapan-Nya, yang secara umum untuk membuat kita menjadi saleh. Allah berbuat semuanya supaya manusia takut akan Dia, untuk meyakinkan mereka bahwa ada Allah di atas mereka yang memiliki kuasa dan kedaulatan atas mereka. Mereka dan segala jalan mereka ada dalam pengaturan-Nya. Waktu mereka dan semua peristiwa yang berkaitan dengan mereka ada dalam tangan-Nya.

Oleh sebab itu, mereka harus mengarahkan mata mereka kepada-Nya, untuk menyembah dan mengagumi-Nya, mengakui Dia dalam segala jalan mereka, bertindak hati-hati dalam segala hal untuk menyenangkan-Nya, dan takut untuk menyakiti-Nya dalam perkara apa pun. Allah memang mengubah pemberian-pemberian-Nya, tetapi Dia tidak terubahkan dalam keputusan-keputusan-Nya, bukan untuk membingungkan kita, apalagi membuat kita putus asa, tetapi untuk mengajar kita akan kewajiban kita kepada-Nya dan untuk membawa kita melakukannya. Rancangan Allah dalam pemerintahan dunia adalah untuk mendukung dan memajukan agama di antara manusia.

[VI]. Perubahan apa pun yang kita lihat atau rasakan di dalam dunia ini, kita harus mengakui ketetapan pengaturan Allah yang tidak dapat dilanggar. Matahari terbit dan terbenam, bulan membesar dan mengecil, padahal keduanya tetap seperti apa mereka sedari semulanya, dan perputarannya terjadi dengan cara yang sama sejak semula menurut hukum-hukum bagi langit. Demikian pula dengan penyelenggaraan Allah (Pengkhotbah 3:15):

Yang sekarang ada dulu sudah ada. Allah bukan baru saja menggunakan cara ini. Tidak, segala sesuatu selalu berubah-ubah dan tidak pasti seperti halnya sekarang, dan akan tetap demikian nanti: Yang akan ada sudah lama ada.

Oleh sebab itu, kita berbicara tanpa pertimbangan bila kita berkata, "Sesungguhnya dunia ini tidak pernah seburuk sekarang," atau "Tidak ada orang yang pernah begitu dikecewakan seperti kita ini," atau "Waktu tidak akan pernah mengobati." Waktu dapat mengobati kita, setelah suatu waktu untuk berkabung, mungkin akan datang waktu untuk bersuka, tetapi hal itu tetap tergantung pada sifat yang berlaku untuk semua orang, pada nasib yang menimpa semua orang. 

Dunia ini, seperti yang sudah-sudah, memang dan akan terus berubah-ubah. Allah mencari yang sudah lalu, artinya Dia mengulangi yang pernah dilakukan-Nya dan menghadapi kita tidak ubahnya Dia biasa berurusan dengan orang benar. Demi kepentingan kitakah bumi harus menjadi sunyi, dan gunung batu bergeser dari tempatnya?


Tidak ada perubahan yang mengenai kita, ataupun pencobaan yang menimpa kita yang melebih kekuatan manusia. Janganlah kita menjadi sombong dan merasa aman dalam kemakmuran, sebab Allah dapat memanggil kesusahan masa lalu, dan memerintahkannya untuk membekuk kita dan memusnahkan kegirangan kita (Mazmur 30:8).

Janganlah juga kita putus asa dalam kesengsaraan, sebab Allah dapat mengembalikan penghiburan masa lalu, seperti yang dilakukan-Nya pada Ayub. Kita dapat menerapkan prinsip ini pada tindakan-tindakan kita di masa lalu, dan pada perilaku kita saat perubahan-perubahan itu terjadi, yaitu perilaku yang memengaruhi kita. 

Allah akan meminta pertanggungjawaban kita untuk hal-hal yang sudah lalu. Oleh sebab itu, ketika kita memasuki keadaan yang baru, kita harus menghakimi diri kita sendiri akan dosa-dosa kita di keadaan sebelumnya, berhasil atau gagal.
Next Post Previous Post