Pengkhotbah 4:1-3 - Merajalelanya Penindasan

Matthew Henry ( 1662 – 1714).

BAHASAN : Pengkhotbah 4:1-3 - Merajalelanya Penindasan

Salomo memiliki jiwa yang lapang (1 Raja-raja 4:29), dan itu tampak, antara lain, dengan ini, bahwa ia sangat peduli dengan sebagian umat manusia yang sengsara dan memerhatikan penderitaan-penderitaan orang yang menderita. Ia sudah mengecam para penindas (Pengkhotbah 3:16-17) dan mengingatkan mereka akan penghakiman yang akan datang, sebagai pengekang bagi kekurangajaran mereka. 
Pengkhotbah 4:1-3 - Merajalelanya Penindasan
Sekarang di sini ia mengamati orang-orang yang ditindas. Hal ini dilakukannya, tidak diragukan lagi, sebagai seorang raja, untuk memberikan keadilan kepada mereka dan membela hak mereka terhadap lawan mereka, sebab ia takut akan Allah dan menghormati manusia. Tetapi di sini ia melakukannya sebagai seorang pengkhotbah, dan menunjukkan:

[I]. Susahnya keadaan mereka (Pengkhotbah 4:1).

Tentang hal ini ia berbicara dengan penuh perasaan dan belas kasihan. Hatinya terenyuh,

1. Melihat kekuatan menang melawan kebenaran, melihat begitu banyak penindasan yang terjadi di bawah matahari, melihat hamba-hamba, para buruh, dan para pekerja yang miskin ditindas oleh tuan-tuan mereka, yang mengambil keuntungan dari kebutuhan para pekerja untuk memaksakan syarat-syarat apa saja yang mereka kehendaki terhadap para pekerja itu. 

Orang-orang yang berutang ditindas oleh para pemberi piutang yang kejam, dan para pemberi piutang juga ditindas oleh orang-orang berutang yang curang. Para penyewa ditindas oleh tuan-tuan tanah yang keras, dan anak-anak yatim piatu oleh para wali yang berkhianat.

Dan, yang terburuk dari semuanya, rakyat ditindas oleh para raja yang sewenang-wenang dan para hakim yang tidak adil. Penindasan-penindasan seperti itu terjadi di bawah matahari. Di atas matahari, kebenaran memerintah untuk selama-lamanya. Orang-orang bijak akan melihat segala penindasan ini, dan berusaha melakukan sesuatu untuk melegakan orang-orang yang tertindas. Berbahagialah orang yang memerhatikan orang lemah.

2. Melihat bagaimana orang-orang yang dijahati menyimpan di dalam hati kejahatan-kejahatan yang diperbuat terhadap mereka. Ia melihat air mata orang-orang yang ditindas, dan mungkin tidak bisa menahan diri untuk menangis bersama mereka. 

Dunia menjadi tempat orang-orang menangis. Ke mana saja kita melihat, kita dihadapkan dengan pemandangan yang memilukan, air mata orang-orang yang ditindas oleh satu atau lain kesusahan. Mereka mendapati bahwa tidak ada gunanya mengeluh, dan karena itu mereka berduka di dalam batin saja (seperti Ayub: Ayub 16:20, 30:28) Tetapi berbahagialah orang yang berdukacita.

3. Melihat bagaimana tidak mampunya mereka untuk menolong diri mereka sendiri: Di pihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan, ketika mereka berbuat salah, untuk menyokongnya dan membenarkan apa yang telah mereka lakukan, sehingga orang-orang miskin ditindih oleh tangan yang kuat dan tidak mempunyai jalan untuk mendapat ganti rugi. 

Sungguh sedih melihat kekuasaan disalahgunakan, dan melihat apa yang diberikan kepada manusia untuk memampukan mereka berbuat baik diselewengkan untuk menyokong mereka dalam berbuat jahat.

4. Melihat bagaimana mereka dan malapetaka-malapetaka yang menimpa mereka diremehkan oleh semua orang di sekeliling mereka. Mereka menangis dan membutuhkan penghiburan, tetapi tidak ada orang yang mau melakukan pekerjaan yang baik hati itu: Tak ada yang menghibur mereka. Para penindas mereka berkuasa dan mengancam, dan karena itu tak ada yang menghibur mereka. 

Orang-orang yang seharusnya menghibur mereka tidak berani melakukannya, karena takut akan membuat marah para penindas dan dijadikan teman sependeritaan dengan orang-orang yang tertindas. Sungguh sedih melihat begitu sedikitnya rasa perikemanusiaan di antara umat manusia.

[II]. Godaan-godaan dari keadaan mereka. Karena diperlakukan dengan keras seperti itu, mereka tergoda untuk membenci dan memandang rendah kehidupan, dan iri hati terhadap orang-orang yang sudah mati dan berada dalam kubur. Mereka juga berharap sekiranya tidak pernah dilahirkan (Pengkhotbah 4:2-3).

Dan Salomo pastilah setuju dengan mereka, karena pikiran demikian dapat membuktikan bahwa “segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin”, sebab kehidupan itu sendiri sering kali demikian. Dan jika kita tidak mengindahkan kehidupan, dibandingkan dengan perkenanan Allah dan kebersamaan dengan-Nya (seperti Rasul Paulus : Kisah Para Rasul 20:24; Filipi 1:23), maka itu menjadi pujian bagi kita. Tetapi, jika (seperti di sini) itu hanya karena kesengsaraan-kesengsaraan yang menyertainya, maka itu adalah kelemahan kita, dan dalam hal ini kita menghakimi menurut daging, seperti yang dilakukan Ayub dan Elia.

1). Di sini Salomo menganggap berbahagia orang-orang yang sudah mengakhiri kehidupan yang sengsara ini, yang sudah melakukan bagian mereka dan meninggalkan panggung. " Aku menganggap lebih bahagia orang-orang mati, yang sudah lama meninggal, yang langsung terbunuh, atau yang melewati dunia ini dengan cepat, menempuh jalan pintas menyeberangi lautan hidup, yang sudah mati, sebelum mereka benar-benar mulai hidup. Aku senang dengan bagian mereka, dan, jika itu pilihan mereka sendiri, aku harus memuji hikmat mereka untuk hanya memandang ke dunia saja, dan kemudian mengundurkan diri, karena tidak menyukainya. Aku menyimpulkan bahwa lebih baik mereka daripada orang-orang hidup, yang sekarang masih hidup, yang melulu hanya menyeret rantai kehidupan yang panjang dan berat, dan berlelah-lelah melewati detik-detiknya yang membosankan."

Ini dapat dibandingkan, bukan dengan Ayub 3:20-21, melainkan dengan Wahyu 14:13, di mana, di masa-masa penganiayaan (seperti yang digambarkan Salomo di sini), bukan amarah manusia, melainkan Roh Allah, yang berkata, berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini.


Perhatikanlah, keadaan orang-orang kudus yang sudah mati, dan pergi untuk beristirahat dengan Allah, untuk banyak alasan lebih baik dan lebih diinginkan daripada keadaan orang-orang kudus yang masih hidup, yang masih meneruskan pekerjaan dan perjuangan mereka.

2). Salomo menganggap berbahagia orang-orang yang tidak pernah memulai kehidupan yang menyengsarakan ini. Bahkan, mereka adalah yang paling berbahagia dari semuanya: Tetapi yang lebih bahagia dari pada kedua-duanya itu kuanggap orang yang belum ada. Lebih baik tidak pernah dilahirkan daripada dilahirkan untuk melihat perbuatan jahat yang terjadi di bawah matahari, untuk melihat begitu banyak kefasikan diperbuat, begitu banyak kejahatan dilakukan, dan bukan saja tidak mampu untuk memperbaiki masalah itu, tetapi juga mengalami penderitaan karena berbuat baik.

Orang yang baik, betapa pun celakanya keadaannya di dunia ini, tidak bisa menginginkan supaya ia jangan pernah dilahirkan, sebab ia memuliakan Tuhan bahkan di dalam api, dan akan berbahagia pada akhirnya, selama-lamanya berbahagia. Dan janganlah ada seorang pun yang berharap demikian selama ia masih hidup, sebab selama ada hidup, ada harapan. Orang belum binasa sampai ia ada di neraka.
Next Post Previous Post