Peranan Suami dan Istri dalam Pernikahan (Efesus 5:21-33)

Pendahuluan: 

Dalam Efesus 5:21-33, peranan suami dan istri dalam pernikahan dijelaskan dengan jelas. Perikop ini menguraikan tanggung jawab keduanya dalam menjalani kehidupan berumah tangga secara harmonis. Suami diminta untuk mengasihi istri sebagaimana Kristus mengasihi jemaat, sementara istri diminta untuk tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan. Pendekatan ini memberikan landasan yang kuat untuk membangun hubungan yang sehat dan berkesinambungan di antara pasangan suami-istri. Mari kita telusuri lebih lanjut mengenai hal ini.
Peranan Suami dan Istri dalam Pernikahan (Efesus 5:21-33)
I. Peranan Suami-Istri (Efesus 5:21)

Kehidupan pernikahan berbeda dengan hidup melajang baik baik dilihat dari sisi dunia maupun sisi rohani. Seorang yang tidak menikah dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya kapan dan di mana pun juga. Ia dapat membelanjakan apa yang dimilikinya sesuka hatinya, tanpa perlu bertanya dan mendapatkan persetujuan dari orang lain, tanpa berkonsultasi dengan seseorang mengenai waktu yang tepat, dengan cara bagaimana, atau apa yang menjadi konsekuensinya. Namun tidaklah demikian bagi yang sudah menikah, ia tidak lagi berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu persatuan di mana suami istri saling memperhatikan satu sama lain

Dalam pernikahan suami maupun istri memiliki peranannya masing-masing. Dengan melakukan peranan masing-masing maka sebuah pernikahan akan menggapai apa yang namanya kebahagiaan dan keharmonisan. Hal ini ibarat sebuah orchestra music di mana setiap pemain musik memainkan peranannya masing-masing sehingga menghasilkan musik yang indah dan enak didengar. Demikian jugalah halnya dengan sebuah pernikahan, suami harus memainkan peranannya dan isteri juga harus memainkan peranannya. Oleh karena itulah peranan suami maupun istri sangat penting dalam sebuah pernikahan.

Saling Merendahkan Diri (Efesus 5:21)

Kata ‘merendahkan diri’ digunakan sebanyak 38 kali dalam Alkitab. Pemakaian kata ini memiliki beberapa pengertian yang tersirat. Pertama manusia secara alami memang cenderung untuk meninggikan diri. Kedua naluri meninggikan diri itu tidak baik sehingga Tuhan perlu perintahkan manusia untuk menjauhinya dan beralih kepada sesuatu yang baik yakni, merendahkan diri. Ketiga merendahkan diri itu bersifat aktif yang berarti orang percaya diminta dengan sadar merendahkan diri, dengan sadar mengerahkan daya dan upaya untuk membuat diri kita menjadi rendah.

Dalam hal ini Paulus menggunakan diatesis medial untuk tunduk atau takluk secara sukarela dan ini berarti dalam suatu cara mengasihi, penuh perhatian, memberi diri terhadap satu dengan yang lain. Suatu sikap sukarela tunduk pada kebutuhan yang lain adalah suatu contoh dari kasih yang mengorbankan diri yang mencirikan komunitas Kristen.

Hal merendah diri yang dimaksud dalam hal ini adalah dalam kesadaran diri sendiri yang secara aktif menganggap orang lain juga penting sama seperti diri kita sendiri. Jadi merendahkan diri haruslah ada kemauan dari dalam diri setiap pribadi. Dalam pernikahan suami dan istri harus saling merendahkan diri satu sama lain. Merendahkan diri berarti menganggap orang lain lebih utama dan berharga. Istri sebagai penghormat suami harus belajar memberi penghargaan, pujian dan hormat kepada suaminya demikian juga sebaliknya suami harus memberi penghargaan kepada istrinya.

Saling merendahkan diri satu sama lain ada di dalam lingkup takut akan Kristus. Hal ini hanya bisa terjadi ketika seseorang dipenuhi oleh Roh. Roh akan memimpin orang percaya untuk merendahkan diri satu sama lain. Merendahkan diri dapat berupa menerima ajaran, menerima nasehat dan menerima teguran. Selain itu, merendahkan diri berarti memiliki kerelaan untuk tidak diperhitungkan. Hal ini hanya dapat terjadi jika seseorang dapat mengosongkan dirinya seperti yang dilakukan oleh teladan Yesus Kristus (Filipi 2:5-11).

Dalam kehidupan sehari-hari suami maupun istri harus belajar merendahkan diri satu dengan yang lain. Hal ini dapat berupa membuang gengsi, berani mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada orang lain. Hal merendahkan diri juga pernah di nasihatkan oleh Yesus untuk merendahkan diri di hadapan Allah seperti anak kecil yang mau melayani daripada hanya terkemuka (Matius 18:4; 23:12). Sebab itu, orang yang merendahkan diri akan mau melayani orang lain.

Dengan melihat pengertian di atas, hendaklah suami dan istri saling merendahkan diri satu sama lain, memiliki arti bahwa secara sukarela saling menuruti satu sama lain, saling menghormati satu sama lain dan saling rendah hati satu sama lain, saling peduli serta saling memperhatikan satu sama lain.

II. Peranan Suami (Efesus 5:23)

Dalam teks Efesus 5:22-33 suami diperintahkan supaya suami mengasihi istri. Ada tiga indikator dari kasih yang harus diberikan oleh suami kepada isteri. Pertama suami harus mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat (ayat 25). Kedua, suami harus mengasihi istri sama seperti mengasihi tubuhnya sendiri. Ketiga, suami harus meninggalkan orang tuanya dan bersatu dengan isterinya. Dalam ketiga hal inilah menjadi peranan penting dari suami kepada isteri.

Mengasihi Istri Seperti Kristus Mengasihi Jemaat (Efesus 5:25)

Dalam bagian yang kedua ini rasul Paulus memberikan penegasan kepada peranan suami. Suami diperintahkan untuk mengasihi istri. Kata “Kasihilah” berasal dari Bahasa Yunani dengan kata (agapate) yang berasal dari kata dasar (agapao) yang berarti mengasihi, menunjukkan kasih, dan menyukai.

Dalam teks ini, kata agapate memiliki bentuk kata kerja present imperative active yang berarti bahwa kata ini adalah perintah yang harus dilakukan secara terus-menerus. Jadi kata kasihilah isterimu adalah perintah kepada suami yang harus dilakukan secara terus-menerus tanpa batas. Artinya suami harus mengasihi, menunjukkan kasih, dan menyukai isterinya untuk terus-menerus dan selamanya.

Di dalam Perjanjian Lama kasih berarti “a spontaneous feeling which impels to selfgiving, to grasping that which causes it, or to pleasurable activity.” Dalam hal ini mengasihi dapat berarti memberi diri, memahami orang lain, dan memberikan hal-hal yang menyenangkan. Di dalam Bahasa Yunani kata ini memiliki arti to be satisfied, to receive, to greet, to honor, or more inwardly, to seek after.

Dalam hal ini mengasihi berarti memuaskan, menerima, menyambut dan menghormati orang yang dikasihi. Dengan demikian seorang suami harus memuaskan isterinya, menerima isterinya, menghormati isterinya dan menyambut istrinya. Dengan demikian seorang suami harus memberi dirinya kepada kebutuhan isteri, memahami isterinya, dan memberikan hal-hal yang menyenangkan isterinya.

Dalam bagian ini suami diperintahkan untuk mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat. Kasih Kristus kepada jemaat juga nyata dalam hal kerelaan-Nya memberikan pengampunan. Demikian juga seharusnya dilakukan oleh seorang suami Kristen kepada istrinya, mengampuni dengan kerelaan. C.S Lewis mengatakan bahwa “menjadi Kristen artinya mengampuni hal yang tidak bisa dimaafkan karena Tuhan telah mengampuni hal yang tidak terampuni dalam diri manusia.”

Oleh karena itu seorang suami dituntut untuk terus- menerus mengampuni istrinya sebagai bukti kasihnya. Pengampunan suami tidak boleh berhenti kepada istri, sama seperti pengampunan Kristus tidak pernah berhenti kepada jemaat hingga akhir masa. Kasih adalah sebuah komitmen yang menuntut suami untuk mengatasi hawa nafsu, keserakahan, kebanggaan, kekuatan, keinginan untuk mengendalikan, kemarahan dan kesabaran dan semua wilayah pencobaan yang dibicarakan oleh Alkitab. Semua itu menuntut kualitas komitmen yang ditunjukkan oleh Yesus dalam hubungan-Nya dengan jemaat.

Dengan demikian jelaslah bahwa teladan dan dasar kasih suami terhadap istrinya adalah kasih Kristus untuk jemaat, dimana karakter kasih itu dijelaskan dengan menyerahkan diri-Nya baginya. Melalui penjelasan ini dapat terlihat jelas bahwa Kristus telah mengambil inisiatif dalam menyerahkan diriNya sendiri terhadap kematian. Hal inilah juga yang harus dilakukan oleh suami kepada istri untuk mengorbankan kepentingan mereka sendiri demi kesejahteraan istri, bahkan harus rela melakukan pengorbanan tertinggi yaitu mengorbankan diri mereka sendiri.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka yang dimaksud dengan mengasihi istri sama seperti Kristus mengasihi jemaat adalah mengorbankan kepentingan pribadi untuk kesejahteraan istri, mengorbankan diri sendiri bagi kebutuhan isteri, menerima istri apa adanya, dan menghormati isteri.

Mengasihi Isteri Sama Seperti Tubuhnya Sendiri (Efesus 5:28)

Bagian kedua dari mengasihi istri adalah dengan mengasihi sama seperti tubuhnya sendiri. Artinya bagaimana suami mengasihi tubuhnya haruslah demikian juga dia mengasihi istrinya. Kasih ini harus muncul dari karakter suami sendiri, sama seperti Allah di mana kasihnya muncul dari karakter Allah sendiri dan tidak tergantung pada keindahan dan kebaikan orang-orang yang dikasihinya. Hal ini sesuai dengan karakter dasar Allah yang adalah kasih (1 Yohanes 4). Oleh karena itu suami juga dituntut untuk memiliki kasih yang keluar langsung dari karakternya secara pribadi.

Dalam bagian kedua ini yang menjadi prinsip dan dasar dari kasih suami adalah sebagaimana ia mengasihi tubuhnya sendiri, sebab siapa mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Dasar kedua dari kasih suami adalah kasih terhadap dirinya. Bagaimana cara seseorang mengasihi tubuhnya yaitu dengan memberi makan dan merawatnya (Efesus 5:29). Memberi makan tubuh untuk menjamin proses kehidupan dan pertumbuhan, sementara merawat untuk menjaga kesehatan tubuh itu sendiri. Ungkapan mengasihi istri sama seperti tubuhnya sendiri kemungkinan disebabkan oleh pengaruh Kejadian 2:24 yang dijelaskan Paulus juga dalam Efesus 5:31. 

Hal ini merujuk kepada pernyataan bahwa dalam pernikahan, suami-isteri adalah “satu”. Maka dalam Efesus 5:28, suami dan isteri dianggap sebagai satu pribadi atau satu entitas tunggal. Dengan demikian, kewajiban suami mengasihi istrinya seperti tubuhnya sendiri adalah masalah mengasihi dirinya sendiri. Suami mengasihi istrinya sendiri mencerminkan teladan Kristus, dimana kasihNya kepada jemaat dapat dilihat sebagai kasih terhadap tubuhNya sendiri.

Dalam Bahasa aslinya frasa “seperti tubuhnya sendiri” berasal dari kata ὡς τὰ ἑαυτῶν σώματα (hos ta heauton somata). Dalam frasa ini kata σώματα memiliki bentuk kata benda neuter akusatif jamak yang berarti tubuh-tubuh berasal dari kata dasar σώμα. Kata σώμα sendiri memiliki arti tubuh yang selalu sama artinya dengan keseluruhan pribadi. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suami diperintahkan untuk mengasihi istri sama seperti ia mengasihi seluruh kepribadiannya. Seseorang tidak dapat memberikan apa yang tidak dimilikinya. Demikian pula seorang suami tidak bisa memberikan apa yang ia tidak miliki kepada istrinya. Suami tidak dapat memperlakukan istrinya dengan benar jika ia tidak harus dimulai dari mengasihi diri sendiri dengan benar, termasuk mengasihi tubuhnya sendiri.

Kasih bukanlah sekedar emosi tetapi kasih adalah tindakan. Kasih adalah tindakan untuk menerima, menjaga dan merawat orang yang dikasihi seperti mengasihi diri sendiri. Oleh karena kasih merupakan tindakan maka kasih dapat dipelajari. Demikianlah juga suami harus belajar mengasihi istri di dalam semua tindakannya. 

Seorang suami akan menuai dari istrinya apa yang ia tabur, karena istri akan menghasilkan panen dari apa yang ditabur oleh suaminya. Oleh karena itu ketika suami menghormati istrinya, maka ia akan mendapatkan penghormatan dari istri, ketika suami memelihara istri, maka sebaliknya juga istri akan memelihara suaminya juga.

Dengan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa arti dari mengasihi istri sama seperti mengasihi tubuh sendiri adalah mengasihi dengan memberi makan, mengasihi dengan merawat dan tidak membenci istri. Jadi suami harus mengasihi istri dalam hal ini mencukupkan kebutuhannya baik sandang, papan dan pangan, merawat istrinya di saat sakit dan lemah dan menyayangi isteri seperti dirinya sendiri.

Meninggalkan Orang tua Untuk Bersatu dengan Istrinya (Efesus 5:31)

Indikator ketiga dari peranan suami mengasihi istri adalah suami meninggalkan orang tuanya dan bersatu dengan isterinya. Hal ini menjadi bagian yang penting dalam mengasihi istri. Teks dalam Efesus 5:31 adalah merupakan kutipan dari teks Kejadian 2:24 di mana pertama sekali pernikahan yang pertama dilakukan oleh Allah sendiri yaitu antara Adam dan Hawa. Dalam hal ini Paulus mengingatkan kembali apa yang telah menjadi ketetapan Allah dalam sebuah pernikahan dari semula.

Kata “meninggalkan” berasal dari kata καταλείψει (kataleipsei) yang berarti to leave, leave behind. Kata ini ada dalam bentuk future indicative active yang berarti di masa yang akan datang. Oleh karena itu kata καταλείψει dapat diterjemahkan akan meninggalkan terus-menerus di belakang yang sekaligus juga sebagai perintah. 

Hasan Sutanto juga memberikan pengertian yang sama akan arti dari kata ini yakni, meninggalkan, melalaikan, membiarkan. Dengan demikian kata καταλείψει dapat diartikan bahwa suami akan meninggalkan ayah dan ibunya secara terus-menerus. Ini menjadi perintah kepada suami untuk meninggalkan ayah dan ibunya.

Paulus memerintahkan suami untuk meninggalkan ayah dan ibunya dengan tujuan bersatu dengan istrinya. Hal ini merujuk kepada apa yang tertulis dalam Kejadian 2:24. Hal ini memberikan indikasi bahwa ikatan suami dan Istri lebih besar daripada ikatan orang tua dan anak. Oleh karena itulah apa yang awalnya dua menjadi satu daging, hal ini tidak terjadi dalam hubungan orang tua dan anak. 

Namun yang terbesar dari hal ini adalah penyatuan Kristus dengan jemaat yang adalah ‘satu tubuh’ di mana Kristus adalah kepala dan jemaat sebagai tubuh Kristus. Dengan demikian kesatuan antara suami dan istri yang adalah bagian dari kesatuan antara Kristus dengan jemaat adalah bagian dari tujuan Allah untuk mempersatukan segala sesuatu.

Kata “bersatu” berasal dari kata προσκολληθήσεται (proskolletesetai) yang memiliki bentuk future indicative pasif.  Hal ini berarti yang membuat suami dan istri menjadi satu bukanlah kedua pasangan itu, melainkan Allah yang menyatukan mereka. Hal menjadi satu dapat terjadi jika suami meninggalkan ayah dan ibunya dan memutuskan bersatu dengan istrinya. 

Kata προσκολληθήσεται berasal dari kata dasar προσκολλἄω yang berarti hubungan yang lebih intim, menjadi setia dan menjadi satu. Oleh karena itu ketika suami diperintahkan meninggalkan ayah dan ibunya dengan tujuan untuk menjadi lebih intim bahwa “seseorang yang sudah menikah sepenuhnya ‘bercerai’ dari kehidupannya yang lama dan bersatu dengan pasangannya.

Allah merancang pernikahan untuk kesatuan dan ikatan yang erat. Oleh karena itulah Allah memerintahkan supaya seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya. Artinya Allah mau kesatuan antara suami dan istri tidak diganggu oleh pihak ketiga baik itu oleh orang tua. Itulah sebabnya suami tidak lagi menjadikan orang tua sebagai tempat berbagi, bercerita tetapi istri menjadi tempat yang lebih utama bagi suami. Kesatuan ini digambarkan seperti Kristus sebagai kepala dan jemaat adalah tubuh-Nya. 

Demikianlah halnya dengan suami yang menjadi kepala dan istri adalah tubuhnya (Efesus 5:23). Oleh karena itu, antara tubuh dan kepala tidak dapat dipisahkan. Itulah sebabnya suami sebagai kepala harus menyatu dengan istrinya sebagai tubuh. Tidak ada yang lain yang dapat memisahkan suami dan istri termasuk orangtua. Suami harus menjadi intim dengan istrinya dan bersatu dengan istrinya. Dalam arti lain, istri menjadi fokus suami dalam membina hubungannya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa makna dari meninggalkan orang tua dan bersatu dengan istrinya adalah menjadi lebih intim dengan istri, menjadi setia kepada istri, memiliki satu tujuan bersama istri, dan memiliki kesehatian di dalam kehidupan pernikahan.

III. Peranan Istri (Efesus 5:22)

Tunduk Kepada Suami Seperti kepada Tuhan (Efesus 5:22) 

Kata “tunduklah” dalam Bahasa Yunani berasal dari kata Ὑποτασσ (Hypotassesthe) yang memiliki bentuk present middle imperative orang kedua plural. Dalam bentuk ini memiliki arti bahwa istri sedang diperintahkan untuk tunduk kepada suami. Bentuk imperative mempertegas hal itu. Kata Hypotassesthe berasal dari kata dasar Ὑποτασσw yang istri harus tunduk kepada suami.

Dalam Perjanjian Baru pada umumnya arti dari upotasso adalah to be subject, subordinate, dan submit. Kata upotasso ini hanya digunakan 2 kali di dalam Perjanjian Baru dalam hubungannya isteri tunduk kepada suami yang mana secara umum digunakan di dalam Hellenistik Yudaisme adalah upakouw yang berarti taat, menurut, patuh, tunduk dan menerima. 

Namun ada perbedaan antara upotasso dengan upakouw dimana upotasso selalu berbicara mengenai tingkatan otoritas, seperti tuan dengan hamba. Namun kata upotasso dalam teks ini tidaklah sedang berbicara mengenai kualitas dari inferioritas tersebut, melainkan ketundukan yang memiliki hubungan timbal balik.

Dalam teks-teks Yunani pada umumnya kata “tunduk” ini tidak diletakkan di ayat ke 22, melainkan berada di ayat 21, tetapi di dalam teks Alkitab Textus Receptus kata Ὑποτασ digunakan di ayat 22, berbeda bentuk dengan apa yang ada di Efesus 5:21, namun memiliki kata dasar yang sama. Kata Ὑποτασσ berarti submit, yang bermakna istri harus tunduk kepada suaminya di dalam cara yang sama mereka tunduk kepada Kristus. 

Tetapi ketundukan ini tidak berarti inferioritas melainkan bahwa istri dapat mengenali bahwa suami adalah kepala dari rumah dan memberi respon kepada suami yang sesuai tanpa merebut otoritas suami. Dengan demikian tunduk dalam hal ini berarti kesadaran istri bahwa suami adalah kepala dari rumah tangga, dan menghormati suami sebagai kepala yang memiliki otoritas dalam pernikahan, seperti Kristus adalah kepala.

Bagian kedua yang penting adalah prinsip dan dasar dari ketundukan isteri kepada suami. Paulus dengan jelas mengatakan bahwa istri harus tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan. Jadi prinsip ketundukan isteri di sini adalah tunduk seperti kepada Tuhan.

Ketundukan istri kepada suami sebagai seorang bawahan adalah sebagai jalan ia melayani Tuhan. Dengan demikian ketika istri sedang tunduk kepada suami, maka ia sedang tunduk kepada Kristus.

Ketundukan dalam hal ini tidak sedang berbicara mengenai dominasi suatu jenis kelamin, tetapi tunduk berarti menyerahkan proses pengambilan keputusan, pemecahan masalah, aspek-aspek pengarahan dalam suatu masalah. Sikap tunduk berarti keselarasan, sikap kooperatip dan pengaruh yang lebih kuat. Ketundukan berasal dari kata Yunani, hupatasso yang berarti “bersedia menempatkan diri di bawah otoritas orang lain.” 

Hal inilah yang ditunjukkan oleh Kristus di kayu salib, dengan bersedia menempatkan diri-Nya di bawah otoritas Bapa, sekalipun Ia sejajar. Ketundukan inilah yang menjadi perintah kepada istri, yaitu istri harus dengan sukarela bersedia menempatkan diri di bawah otoritas suami dan juga di bawah otoritas Allah. 


Ketika istri sungguh-sungguh belajar bagaimana tunduk dan melakukannya secara alkitabiah seperti kepada Tuhan, maka hal itu akan membuka pintu bagi Allah untuk bekerja demi kepentingannya dalam kehidupan suaminya. Ketundukan istri kepada Tuhan dapat memenangkan suami yang tidak taat kepada Firman tanpa perkataan tetapi melalui kelakuan istri yang dilihat oleh suami.

Ketika istri bersedia menyerahkan dirinya terlebih dahulu untuk tunduk kepada Tuhan, maka ia akan mampu tunduk dengan benar kepada suaminya. Dengan begitu Allah memberi istri dan suami karunia untuk hidup dalam keselarasan menurut rancangan mula-mula Allah. Ketika semuanya berjalan sesuai dengan rancangan Allah, maka kebahagiaan dan damai dalam pernikahan akan menjadi bagian yang dimiliki oleh suami-istri.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna dari tunduk kepada suami seperti tunduk kepada Kristus adalah istri menyadari bahwa suami adalah kepala, memiliki kesamaan seperti tunduk kepada Kristus.

Tunduk Kepada Suami dalam Segala Hal (Efesus 5:24)

Indikator kedua dari peranan istri adalah tunduk kepada suami dalam segala hal. Ketundukan dalam hal ini harus dilakukan dalam kebahagiaan, kesetiaan dan kerendahan hati bukan karena terpaksa.49 Oleh karena itu istri harus tunduk kepada suami dalam segala hal dengan kebahagiaan, kesetiaan dan kerendahan hati. Artinya ketundukan ini harus membawa istri kepada kebahagian, kesetiaan dan kerendahan hati.

Dalam teks Efesus 5:24 dinyatakan dasar dan prinsip istri tunduk kepada suami, yaitu seperti jemaat/gereja tunduk kepada Kristus. Jadi ketundukan istri kepada suami adalah seperti ketundukan gereja kepada Kristus. Namun kalimat dalam teks 5:24 tidak terlepas dari teks sebelumnya yaitu Efesus  5:23. Hal ini terlihat jelas dari pemakaian kata penghubung adversative “karena itu” yang menyediakan suatu kontras dengan ayat sebelumnya. Dengan demikian ketundukan istri kepada suami tidak dapat lepas dari gambaran suami adalah kepala.

Kata dalam segala sesuatu berasal dari kata ἐν παντί (en panti) yang berarti semua, seluruh, setiap, apa saja, siapa saja, segala dan sangat. Dalam terjemahan BIS juga dikatakan dalam segala hal istri harus tunduk kepada suami. Dalam terjemahan alkitab Bahasa Batak juga menerjemahkan segala hal dengan arti yang sama yaitu saluhutna. Namun, dalam Barnest Notes kata dalam segala hal dimaksudkan untuk semua hal yang tidak bertentangan dengan kehendak Allah. Jadi ketundukan istri kepada suami dalam segala hal yang dimaksud adalah ketundukan dalam segala hal yang masih sejalan dengan kehendak Allah. 

O’ Brien berpendapat bahwa ketundukan istri dalam segala hal harus dilakukan dalam sukacita dan kerelaan dari dalam diri istri tanpa menuntut suami terlebih dahulu melakukan peranannya. Hal ini berarti sikap tunduk istri terhadap suaminya tidak bergantung pada kasih suami kepadanya, tetapi lebih mendasar adalah sikap tunduk istri kepada Kristus. Oleh karena itu ketika istri tunduk kepada Kristus secara sukarela dan sukacita, maka seharusnya istri juga akan tunduk kepada suami secara sukarela dan sukacita.

Alkitab menempatkan seorang istri di bawah payung perlindungan suaminya, dan juga di bawah kepemimpinan dan kuasa suaminya karena kepala sang istri adalah suami. Tetapi Alkitab juga menuliskan bahwa kepala sang suami adalah Kristus dan kepala Kristus adalah Allah (1 Korintus 11:3). Oleh karena itu sebagai penurut suami, istri harus dengan rela belajar menundukkan diri kepada suaminya seperti kepada Tuhan (Efesus 5:24). Perintah ini jelas diberikan kepada istri untuk tunduk kepada suami dalam segala sesuatu. Oleh karena itu istri harus menerima peranannya untuk ada di bawah otoritas suaminya.

Tunduk dalam segala sesuatu berbicara bahwa istri dengan sukacita bersedia menaklukkan diri di bawah kepemimpinan suaminya. Ketundukkan ini dapat berupa ketaatan sebagai kewajiban istri kepada suami. Ketaatan ini berarti istri menghargai dan mengakui kepemimpinan suami dalam rumah tangga. Ketika isteri berlaku taat maka ia sangat mendukung suaminya, baik dalam pekerjaan maupun dalam fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Tetapi sebaliknya, jika istri tidak menaati suami, maka gancanglah harga diri suaminya.

BACA JUGA: EFESUS 5:21-33 (HUBUNGAN KRISTUS-GEREJA)

Berdasarkan pemaparan di atas maka pengertian dari tunduk kepada suami dalam segala hal adalah taat istri kepada suami sebagai kesadaran akan kehendak Allah yang diwujudkan dalam sikap tulus, sukarela, dan sukacita. Ketundukan ini tercermin dari melayani suami yang membawa kepada kebahagiaan, kesetiaan dan kerendahan hati. Jadi istri tunduk dalam segala hal kepada suami dengan sukacita di dalam segala hal yang tidak bertentangan dengan kehendak Allah.

Kesimpulannya, 

Efesus 5:21-33 memberikan pandangan yang jelas mengenai peranan suami dan istri dalam pernikahan. Suami dipanggil untuk mengasihi istri dengan pengorbanan dan kesetiaan, sementara istri dipanggil untuk tunduk dengan penuh penghargaan dan kerendahan hati. Melalui pendekatan ini, pernikahan dapat menjadi wadah bagi kebahagiaan dan pertumbuhan rohani bagi kedua belah pihak, mencerminkan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Dengan kesadaran akan peran masing-masing dan tekad untuk saling menghormati, suami dan istri dapat membangun fondasi yang kokoh untuk hubungan yang langgeng dan bermakna.
Next Post Previous Post