EFESUS 5:21-33 (HUBUNGAN KRISTUS-GEREJA)

Pdt.Budi Asali, M.Div.


Bacaan Alkitab: Efesus 5:21-33

Efesus 5:21 menunjukkan salah satu ciri orang yang dipenuhi Roh Kudus, yaitu ‘tunduk seorang kepada yang lain’.

Dalam Efesus 5:22-23 Paulus lalu membicarakan hubungan antara suami dan istri.

Dalam Efesus 6:1-4 antara bapa dan anak.
EFESUS 5:21-33 (HUBUNGAN KRISTUS-GEREJA)
otomotif, bisnis
Dalam Efesus 6:5-9 antara tuan dan hamba.

HUBUNGAN SUAMI-ISTRI:

A)Untuk istri: ‘Hai istri, tunduklah kepada suamimu’ (Efesus 5:22).

I)Mengapa istri harus tunduk kepada suami?

1)Alasan penciptaan:

- Adam dicipta lebih dulu, baru Hawa.

- Hawa dicipta sebagai penolong (Kejadian 2:18).

- Hawa dicipta dari Adam (Kejadian 2:21-22 1Korintus 11:8).

2)Hubungan suami-istri digambarkan seperti hubungan Kristus-jemaat (Efesus 5: 23).

3)Supaya ada keteraturan.

Semua manusia memang setingkat di hadapan Allah (Kisah Para Rasul 10:34-35 Galatia 3:28), tetapi supaya teratur, harus ada pemerintahan. Karena itu Allah menetapkan suami sebagai kepala keluarga.

kata bah. Yunani yang diterjemahkan ‘rendahkanlah dirimu’ (seharusnya ‘tunduklah’) dalam Efesus 5: 21 adalah (HYPOTAS­SOMENOI). Bagian tengah kata itu berasal dari kata TAXIS yang berarti ‘order’ / tata tertib. Jadi, jelas bahwa ketundukkan itu harus ada, supaya ada keteraturan.

II)Sifat ketundukkan:

1)Tidak mutlak, hanya selama suami tidak bertentangan dengan Firman Tuhan.

Kata-kata ‘seperti kepada Tuhan’ (Efesus 5: 22), ‘seperti jemaat tun- duk kepada Kristus’ (Efesus 5: 24), ‘dalam segala sesuatu’ (Efesus 5: 24) kelihatannya memutlakkan ketundukkan istri kepada suami. Tetapi penafsiran seperti ini bertentangan dengan bagian-bagian Kitab Suci yang lain, sehingga tidak bisa dibenarkan. Harus bisa diingat bahwa otoritas suami datang dari Tuhan, sehingga kalau suamimu bertentangan dengan Firman Tuhan, istri harus tunduk kepada Tuhan, dan bukan kepada suami (bdk. Kisah Para Rasul 5:29 Efesus 5:21 - ‘dalam takut akan Kristus’).

Kata-kata ‘seperti kepada Tuhan’ (Efesus 5: 22) dan ‘seperti kepada Kristus’ (Efesus 5: 24) berarti bahwa ketundukkan istri kepada suami merupakan bagian dari ketundukkannya kepada Tuhan.

Kata-kata ‘dalam segala sesuatu’ (Efesus 5:24) berarti dalam segala segi / bidang kehidupan. Tapi semua ini diberi syarat ‘selama suami tidak bertentangan dengan Firman Tuhan’.

2)Tunduk dengan hormat (Efesus 5:33).

Istri tidak boleh tunduk dengan terpaksa, dengan hati yang jengkel, dengan bersungut-sungut, dsb, tetapi dengan hormat.

B)Untuk suami: ‘Hai suami, kasihilah istrimu’ (Efesus 5: 25).

Adalah sesuatu yang menarik bahwa sekalipun Tuhan memerintahkan istri untuk tunduk kepada suami, Ia tidak memerintahkan kepada suami untuk memerintah / menjadi boss atas istri, tapi Ia memerin­tahkan suami untuk mengasihi istri.

1)Efesus 5:25-27: kasih suami kepada istri harus seperti kasih Kristus kepada jemaat.

Kasih Kristus kepada jemaat adalah:

- Kasih yang berkurban (Efesus 5:25).

Jadi suami harus mau berkurban demi istri.

- Kasih yang menyucikan (Efesus 5:26-27).

‘Christ gave himself for the church, that he might sanctify it, having purified it by the washing with water....

Jadi, karena Kristus mengasihi jemaat, Ia melakukan 2 hal:

# purification (=pemurnian / pembersihan).

Ini terjadi pada saat pertobatan.

‘air’ dan ‘firman’.

‘Air’ menunjuk kepada baptisan . Supaya tak diartikan bahwa baptisan itu bisa membersihkan dosa, maka ditambahkan ‘dan firman’. Orang yang mendengar Firman Tuhan, percaya dan dibaptiskan akan dibersihkan dari dosa-dosanya.

# sanctification (=pengudusan).

Ini terjadi setelah purification. Sanctification adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Efesus 5: 27 baru terjadi pada saat orang itu mati atau pada saat Kristus datang kedua kalinya.

Dari dua hal ini jelaslah bahwa kasih Kristus adalah kasih yang menyucikan. Suami harus mengasihi istri dengan kasih yang menyucikan, artinya ia harus selalu berusaha untuk menyucikan hidup istrinya.

2)Efesus 5:28-30.

Apa artinya?

John Stott menganggap bagian ini sebagai sesuatu yang anti klimaks. Tadi dalam Efesus 5: 25-27 dikatakan bahwa suami harus mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaat. Sekarang dikatakan bahwa suami harus mengasihi tubuhnya sendiri (=self love). Stott mengatakan bahwa Paulus adalah seorang yang realist. Ia tahu bahwa kita tidak bisa mengerti kasih Kristus sepenuhnya dan karena itu ia sekarang menggunakan ‘self love’ yang jelas bisa dimengerti oleh setiap orang.

Charles Hodge mengatakan bahwa bagian ini tak berarti bahwa suami harus mengasihi istri seperti tubuhnya sendiri, tetapi suami harus mengasihi istri sebagai tubuhnya sendiri. Jadi, Kristus mengasihi gereja karena gereja adalah tubuhNya, dan suami mengasihi istri karena istri adalah tubuh suami.

3)Efesus 5:31.

- Ini adalah kutipan dari Kejadian 2:24. Jadi, kata-kata ‘Sebab itu’ dalam Efesus 5:31 tak berhubungan dengan Efesus 5:30. Kata-kata itu juga adalah kutipan dari Kejadian 2:24

- Ayat ini tidak boleh diartikan bahwa seorang laki-laki harus keluar rumah / meninggalkan orang tuanya kalau ia menikah, sedangkan seorang perempuan boleh tetap bersama orang tuanya kalau ia menikah.

- Arti Efesus 5: 31: hubungan / kewajiban / kasih suami-istri harus lebih besar / lebih diutamakan dari hubungan / kewajiban / kasih anak-orang tua.

Penerapan: Jangan mengurbankan istri karena orang tua.

- ‘satu daging’. Tak ada hubungan lain yang digambarkan seperti ini. Ini menunjukkan bahwa suami-istri adalah hubungan khusus yang tidak bisa disamai oleh hubungan keluarga yang lain.

Penerapan: kalau mempunyai anak, istri / suami harus tetap le- bih dikasihi daripada anak!

- ‘keduanya menjadi satu daging’. Dikatakan ‘keduanya’ bukan ‘ketiganya’ atau ‘keempatnya’ dst-nya. Jadi, Kitab Suci menga­jarkan monogami, bukan poligami!!

4) Efesus 5:32-33.

Efesus 5: 32 dijadikan dasar oleh gereja Roma Katolik untuk mengajarkan bahwa pernikahan adalah suatu sakramen, karena Latin Vulgate (Alkitab bahasa Latin yang dijadikan standart oleh gereja Roma Katolik) menteerjemahkan kata ‘rahasia’ dengan kata ‘Sacramen­tum’.

Tetapi ini tidak benar! Alasannya:

- Kata Yunani yang diterjemahkan ‘rahasia’ itu adalah........... (MYSTERION) yang berarti ‘mystery’.
- Sakramen adalah sesuatu yang diharuskan (Mis: baptisan dan Perjamuan Kudus). Tetapi pernikahan tidak diharuskan (bdk. 1Korintus 7:1, 7-9, 25, 26, 38).

- Kata ‘mystery’ dalam Efesus 5: 32 menunjuk pada hubungan Kristus- jemaat, bukan pada pernikahan.

Arti Efesus 5:32-33: Hubungan Kristus-Gereja / jemaat adalah suatu mystery, tetapi sekalipun dalam hubungan Kristus-Geraja itu ada hubungan yang tidak bisa dimengerti, tetapi tetap ada analogi antara hubungan Kristus-Gereja dan hubungan suami-istri dan karena itu ‘kasihilah suamimu dan hormatilah istrimu’ (Efesus 5: 33).

Denny Teguh Sutandio

Definisi dan Hakekat Gereja

Apakah gereja itu ? Banyak orang mengatakan bahwa gereja itu bangunannya yang megah, besar, di atasnya ada tanda salib. Itukah gereja ? Tidak. Saya akan membagi 3 macam definisi gereja, yaitu :

Pertama, gereja adalah tubuh Kristus. Gereja disebut gereja karena gereja adalah tubuh Kristus di mana di dalam tubuh Kristus terdapat beragam anggota yang bersatu padu mengerjakan tugas dan panggilan yang Kristus percayakan. 

Meskipun masing-masing anggota mendapatkan karunia berbeda-beda dalam mengerjakan panggilan Kristus, mereka harus bersatu di dalam pengajaran para rasul dan para nabi (yaitu Alkitab). Efesus 2:20 memberikan pengajaran kepada kita bahwa dasar gereja sebagai tubuh Kristus yaitu pembangunan doktrin yang diturunkan dari para rasul dan nabi (apostolic faith/iman rasuli). 

Pdt. Dr. Stephen Tong memaparkan prinsip penting yaitu banyak gereja Karismatik/Pentakosta mengerti apostolic faith sebagai 4 tindakan, yaitu menyembuhkan penyakit, mengusir setan, baptisan Roh Kudus dan berbahasa lidah, padahal itu bukan iman rasuli, tetapi tindakan rasuli. 

Beliau membedakan antara apostolic faith (iman rasuli) dengan apostolic phenomenon (fenomena rasuli). Apostolic faith adalah iman yang diajarkan oleh para rasul di sepanjang Alkitab dan apostolic phenomenon bisa terjadi, tetapi itu tidak perlu karena sepanjang Alkitab khususnya setelah kitab Kisah Para Rasul, tanda-tanda supranatural tidak lagi dibicarakan. 

Hal ini telah dijelaskan pada poin Doktrin Roh Kudus di atas. Selain bersatu di dalam pengajaran Alkitab, gereja sebagai tubuh Kristus juga harus bersatu di dalam melayani Tuhan, seperti yang Paulus nyatakan di dalam 1 Korintus 12:20, “Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh.” Kata “tubuh” di dalam bahasa Yunani mewakili tubuh secara keseluruhan. Berarti ada unsur persekutuan di dalamnya. Hal ini akan dijelaskan pada definisi gereja ketiga.

Kedua, gereja adalah bait Roh Kudus. Sebagai bait Roh Kudus, gereja yang menghadirkan karunia-karunia Roh Kudus. Hal ini jangan disalah mengerti. Gereja yang menghadirkan karunia-karunia Roh Kudus tidak berarti gereja itu memutlakkannya seperti yang terjadi pada banyak gereja Karismatik/Pentakosta. 

Gereja yang menghadirkan karunia-karunia Roh Kudus adalah gereja yang masing-masing anggotanya melayani Tuhan sesuai dengan karunia-karunia Roh Kudus yang dipercayakan kepada mereka. Daftar karunia-karunia Roh Kudus dapat dilihat di dalam 1 Korintus 12:8-11 dan telah dijelaskan pada poin Doktrin Roh Kudus.

Ketiga, gereja adalah persekutuan orang-orang percaya. Definisi terakhir, gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju ke terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9). Itulah yang dimaksud gereja yang dalam bahasa Yunani : ekklesia. 

Kata ekklesia dibagi menjadi dua, yaitu kata ek yang artinya keluar dan kaleo berarti dipanggil, sehingga ekklesia berarti dipanggil keluar. Oleh karena dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang-Nya yang ajaib, maka gereja tidak berisi orang-orang suci 100% (hanya kurang 2 sayap). 

Gereja sejati adalah gereja yang berisi persekutuan orang-orang pilihan Allah yang berdosa tetapi sudah mendapatkan panggilan Allah sehingga mereka dapat melihat terang Allah yang ajaib dan memberitakan terang-Nya kepada orang lain. 

Dengan kata lain, di dalam gereja sejati, ada persekutuan (fellowship). Persekutuan ini meliputi ada saling keterikatan hubungan satu sama lain. Misalnya, sesama jemaat dapat menguatkan iman, menegur, menasehati, mengajar atau bahkan menghibur mereka yang bersedih. Gereja yang tidak menjalankan persekutuan adalah gereja yang patut diwaspadai.

Tugas Gereja
Lalu, apa tugas gereja ? Ada tiga tugas gereja yang harus dimengerti, yaitu

Pertama, marturia (=bersaksi). Gereja yang sehat harus bersaksi. Saya membagikan dua macam bersaksi, yaitu, pertama, bersaksi secara internal. Artinya di dalam gereja yang sehat, ada suatu pengajaran yang menyaksikan inti berita Alkitab kepada jemaat dan sesamanya. Ini yang Pdt. Dr. Stephen Tong sebut sebagai “berakar ke bawah”. 

Mengapa harus berakar ke bawah ? Karena gereja yang tidak berakar ke bawah akan hanyut diterpa badai dengan mudahnya, tetapi gereja yang berakar ke bawah akan tetap kokoh dan teguh ketika badai menghantam bahkan gereja tersebut mampu menantang badai tersebut. 

Untuk hal ini, Pdt. Dr. Stephen Tong mengutip perkataan seorang hamba Tuhan lain bahwa ikan yang terus ikut arus adalah ikan yang mati. Demikian juga, gereja yang tidak berakar ke bawah adalah gereja yang mati yang selalu ikut arus filsafat dunia. Bersaksi macam kedua adalah bersaksi eksternal. Gereja yang sehat bukan hanya menekankan doktrin, tetapi juga harurs menekankan aspek penginjilan yaitu menyaksikan Injil Kristus kepada orang-orang lain khususnya yang belum menerima Kristus (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya sebagai “berbuah ke atas”). 

Penginjilan yang sehat harus bersumber dan berdasar pada doktrin yang sehat. Jangan menginjili tanpa memiliki akar dan kerangka doktrin Kristen yang solid, seperti kalau kita ingin berperang melawan musuh, kita harus mempersiapkan rancangan dan peralatannya.

Kedua, koinonia (=bersekutu). Gereja jika hanya menekankan kesaksian internal dan eksternal belum memenuhi kriteria gereja sehat. Gereja sehat juga adalah gereja yang bersekutu. Gereja yang bersekutu adalah gereja yang saling mengenal masing-masing jemaat dan sesamanya. Ketika ada salah seorang anggota gereja yang sakit, jemaat gereja lain harus mengetahui, menjenguk dan menguatkannya. Tetapi sebaliknya, gereja yang hanya gemar bersekutu, tetapi tidak menekankan doktrin, juga belum termasuk gereja yang sehat. Kedua-duanya harus seimbang.

Ketiga, diakonia (=melayani). Gereja harus melayani dan mengajarkan konsep menjadi hamba. Ketika orang dunia sedang menekankan konsep superioritas manusia dan konsep “bos”, maka sudah seharusnya gereja harus menekankan konsep menjadi hamba/budak Allah. Bos-bos yang sehari-harinya memimpin perusahaan ketika datang ke gereja, harus tetap diperlakukan sebagai jemaat gereja biasa dan kalau perlu mereka harus diajarkan bahwa mereka tetap sebagai hamba/budak di hadapan Tuhan. 

Gereja yang terlalu memanjakan orang-orang kaya (seperti yang dilakukan pada mayoritas gereja Karismatik/Pentakosta) harus segera bertobat, karena gereja bukan didirikan oleh orang-orang kaya, tetapi didirikan oleh Kristus, Kepala Gereja. Menjadi hamba di dalam gereja berarti harus melayani dengan rendah hati, bukan minta dilayani atau bahkan memerintah orang lain.


Pemerintahan dan Jabatan Gerejawi
Setelah kita mengerti tri tugas gereja, marilah kita mengerti tentang jabatan (dan pemerintahan gereja). Prof. Dr. Louis Berkhof di dalam buku Teologi Sistematika : Doktrin Gereja membagi 7 macam pemerintahan gereja, yaitu (6 yang salah, dan terakhir yang benar) :

Pertama, pandangan kelompok Quaker dan Darbyte yang menolak semua pemerintahan gereja. Bagi mereka (ada miripnya dengan banyak kelompok Karismatik/Pentakosta), pemerintahan gereja dapat mengakibatkan kemerosotan, “mengurangi/membatasi karya ‘roh kudus’”. Meninggikan elemen manusiawi, bahkan pemerintahan gereja dianggap berdosa. Yang lebih parah lagi, Berkhof mengungkapkan, “... menurut mereka, jabatan-jabatan dalam Gereja tidak perlu, dan dalam ibadah umum mereka hanya mengikuti dorongan Roh Kudus begitu saja.” (Berkhof, 1997, p. 53) 

Dr. Berkhof dalam bukunya kembali menyoroti kelompok ini memiliki kecenderungan mistisisme di dalam ajarannya karena terlalu menekankan aspek “Roh Kudus”. Ternyata, Berkhof mengungkapkan fakta bahwa kelompok ini merupakan reaksi dari kelompok Established Church di Inggris yang terlalu menekankan hirarkis dan formalisme.

Kedua, sistem Erastian yang diberi nama sesuai dengan Erastus (1524-1583) yang menganggap Gereja sebagai masyarakat yang memiliki eksistensi dan bentuknya berdasarkan peraturan negara. Bagi mereka, para pejabat Gereja hanya bertugas memberitakan Firman Tuhan, sedangkan yang mengurusi masalah disiplin gereja, pengaturan, dll adalah tugas negara. Sistem ini dipakai di Inggris, Skotlandia dan Jerman (Gereja Lutheran). 

Bagi Berkhof, prinsip ini sangat bertentangan dengan prinsip Alkitab bahwa pertama, Kristus adalah Kepala Gereja dan kedua, gereja dan negara adalah dua hal yang berbeda dalam : asal usulnya, tujuan utama, kekuasaan yang mereka laksanakan dan pengaturan kekuasaannya. (Berkhof, 1997, p. 54)

Ketiga, sistem Episkopal yang berpendapat bahwa Kristus sebagai Kepala Gereja telah mempercayakan pemerintahan Gereja secara langsung dan eksklusif kepada suatu ordo pejabat gereja atau uskup (sebagai penerus para rasul) dan Kristus, menurut mereka, telah memberikan kepada para pejabat gereja tersebut suatu urutan/ordo yang terpisah bebas dan dapat menentukan diri sendiri. Dengan kata lain, di dalam sistem ini, bagi Berkhof, komunitas orang-orang percaya tidak memiliki bagian sama sekali dalam pemerintahan Gereja. 

Sistem ini pada abad-abad permulaan dipakai oleh gereja Roma Katolik dan di Inggris sistem ini digabungkan dengan sistem Erastian. Dr. Berkhof menyatakan bahwa Alkitab tidak pernah mengajarkan adanya satu kelas orang-orang tertentu sebagai pejabat gereja yang superior. Sebaliknya, Gereja sejati memiliki tiga jabatan yang masih berlaku, yaitu penginjil, gembala dan pengajar (Efesus 4:11), sedangkan rasul dan nabi sudah tidak ada lagi secara jabatan, karena Alkitab sudah selesai ditulis !

Keempat, sistem Roma Katolik atau identik dengan sistem Episkopal yang percaya bahwa mereka adalah penerus para rasul (khususnya Petrus yang mereka anggap lebih utama dari para rasul lainnya), sehingga tidak heran, mereka mempercayai sistem monarki absolut di bawah pemerintahan Paus karena Paus yang tidak bersalah (infallibility of the Pope) adalah wakil Kristus. Di bawah Paus, ada ordo-ordo/kelas-kelas yang lebih rendah untuk memerintah Gereja secara ketat (seperti Kardinal, Pastur, dll). 

Di dalam sistem ini, jemaat sama sekali tidak memiliki suara dalam pemerintahan Gereja dan lebih celaka lagi, apa yang Paus katakan adalah apa yang “Allah” katakan jadi harus ditaati oleh semua jemaat. Dr. Berkhof mengajarkan bahwa sistem ini bertentangan dengan Alkitab, karena Alkitab sama sekali tidak menyebut Petrus sebagai rasul paling utama di antara rasul-rasul lainnya.

Kelima, sistem Kongregasional atau sistem independen yang mengajarkan bahwa gereja atau jemaat adalah gereja yang lengkap, berdiri sendiri atau tidak bergantung pada gereja lain. Sehingga tidak heran, kuasa pimpinan sepenuhnya diserahkan pada anggota gereja yang diperkenankan mengatur segala urusan mereka sendiri. Di dalam sistem ini, para pejabat gereja hanya sekedar pejabat fungsional dari gereja lokal yang dipilih untuk mengajar dan melaksanakan segala urusan gerejani. 

Bagi Dr. Berkhof, sistem ini sangat kacau karena Alkitab tidak mengajarkan bahwa gereja tidak perlu bergantung pada gereja lain dan juga sistem ini tidak menghasilkan keputusan apa pun. Sebagai tambahan, saya juga menyoroti bahwa kelemahan sistem ini adalah jemaat yang tidak tentu semuanya berpendidikan akan mengakibatkan gereja dengan sistem pemerintahan ini (yaitu banyak gereja Karismatik/Pentakosta) menjadi kacau apalagi kacau di dalam hal doktrin.

Keenam, sistem Gereja Nasional (National-Church) yang disebut juga sistem Kolegial (menggantikan sistem Teritorial yang mengajarkan bahwa hak negara adalah untuk memperbaharui ibadah umum, menyelesaikan sengketa mengenai doktrin dan tingkah laku, dan menentukan sinode) yang dikembangkan di Jerman terutama oleh C. M. Pfaff (1686-1780) dan kemudian diperkenalkan di Belanda yang mengajarkan bahwa Gereja adalah perkumpulan suka rela yang setara dengan negara. 

Di dalam sistem ini, jemaat-jemaat hanya sub-divisi dari satu gereja nasional dan kekuatan yang sesungguhnya berada pada suatu organisasi nasional yang memiliki kekuatan hukum atas gereja lokal. Bagi Dr. Berkhof, sistem ini mirip dengan sistem Erastian, persis seperti apa yang sekarang ini disebut sebagai negara totaliter.

Ketujuh (terakhir), sistem Reformed/Presbyterian yang dipegang oleh gereja-gereja yang bertheologia Reformed. Berikut penuturan Prof. Dr. Louis Berkhof tentang prinsip-prinsip sistem pemerintahan Presbyterial ini di dalam bukunya tersebut,

Gereja Reformed tidak mengklaim bahwa sistem mereka mengenai pemerintahan Gereja ditentukan oleh setiap detilnya oleh Firman Tuhan, tetapi gereja Reformed menekankan bahwa prinsip dasarnya diperoleh secara langsung dari Alkitab. Mereka tidak mengklaim adanya jus divinum secara rinci, tetapi hanya untuk prinsip dasar yang umum saja dari sistem ini, dan mereka siap untuk mengakui bahwa banyak hal-hal khusus ditentukan oleh pertimbangan kebijaksanaan manusia...

Berikut ini kita lihat prinsip-prinsipnya yang paling mendasar :

1. Kristus adalah Kepala Gereja dan Sumber dari Segala Otoritas
...Reformed mempertahankan pendapat bahwa Kristus satu-satunya Kepala Gereja...
Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa Kristus adalah Kepala atas segala sesuatu. Ia adalah Tuhan dari alam semesta, bukan sekedar sebagai Pribadi kedua dalam Tritunggal, tetapi juga dalam keadaan-Nya sebagai Pengantara, Matius 28:18 ; Efesus 1:20-22 ; Filipi 2:10,11 ; Wahyu 17:14 ; 19:16. 

Dalam pengertian yang sangat khusus, Ia adalah Kepala Gereja di mana Gereja adalah tubuh-Nya...Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Kristus adalah Kepala Gereja, bukan saja dalam hubungannya yang vital dengan Gereja, tetapi juga sebagai Legislator dan Raja. 

Dalam pengertian organik dan vital, Ia adalah Kepala yang utama, walaupun tidak secara eksklusif, dari Gereja yang tidak tampak yang membentuk tubuh-Nya secara spiritual. Ia juga kepala bagi Gereja yang tampak bukan hanya dalam pengertian organik saja, tetapi juga dalam pengertian bahwa Ia adalah pemegang otoritas dan memerintah atasnya, Matius 16:18,19 ; 23:8,10 ; Yohanes 13:13 ; 1 Korintus 12:5 ; Efesus 1:20-23 ; 4:4,5,11,12 ; 5:23,24...

2. Kristus Melaksanakan Otoritas-Nya dengan Memakai Firman Kerajaan-Nya.
Pemerintahan Kristus tidaklah persis sama dengan pemerintahan raja-raja dunia. Ia tidak memerintah Gereja dengan paksaan, tetapi secara subjektif melalui Roh-Nya yang bekerja dalam Gereja dan secara objektif melalui Firman Tuhan sebagai standar otoritas... Karena Kristus adalah satu-satunya Penguasa Gereja yang berdaulat, maka firman-Nya adalah satu-satunya hukum dalam arti yang paling mutlak. Karena itu semua kekuasaan tiranis tidak boleh ada dalam Gereja...

3. Kristus sebagai Raja Melimpahkan Kekuasaan kepada Gereja.
...sebagai tambahan para pejabat Gereja menerima suatu kuasa yang diperlukan oleh mereka untuk melaksanakan tugas mereka dalam Gereja milik Kristus. Mereka memiliki kuasa yang umum yang dilimpahkan kepada Gereja, dan juga menerima otoritas dan kuasa sebagai pejabat langsung dari Kristus. Mereka adalah wakil, bukan sekedar sebagai pelaksana atau delegasi dari jemaat...

4. Kristus Memperlengkapi para Pelaksana yang Ditunjuk untuk Melaksanakan Hal-hal Khusus.
Kendatipun Kristus memberikan kuasa kepada Gereja secara keseluruhan, Ia juga menghendaki agar pelaksanannya dilakukan oleh orang-orang tertentu secra khusus. Mereka harus memelihara doktrin, ibadah dan disiplin. 

Para pejabat Gereja adalah wakil bagi umat yang dipilih berdasarkan pemungutan suara. Tetapi, bukan berarti bahwa mereka menerima otoritas dari umat. Sebab panggilan ini adalah panggilan batiniah yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Dari Tuhan juga para pejabat itu menerima otoritas, dan kepada-Nya mereka harus bertanggungjawab...

5. Kekuatan Gereja Terutama Terletak pada Pemerintahan dalam Gereja Lokal.
... (Berkhof, 1997, pp. 57-63)

Mengenai jabatan gereja, John Calvin menetapkan empat jabatan gerejani, yaitu :
· Doctors held an office of theological scholarship and teaching for the edification of the people and the training of other ministers. (Doktor mengurusi masalah beasiswa theologis dan pengajaran untuk pendidikan bagi orang-orang dan pelatihan bagi para hamba Tuhan.)

· Ministers of the Word were to preach, to administer the sacraments, and to exercise pastoral discipline, teaching and admonishing the people. (Pelayan Firman adalah untuk berkhotbah, menjalankan sakramen, dan untuk melatih disiplin pastoral/gerejawi, mengajar dan menegur/menasihati orang.)

· Deacons oversaw institutional charity, including hospitals and anti-poverty programs. (Diaken mengurusi masalah sumbangan institusi termasuk untuk rumah-rumah sakit dan program-program anti kemiskinan.)

· Elders were 12 laymen whose task was to serve as a kind of moral police force, mostly issuing warnings, but referring offenders to the Consistory when necessary. (Tua-tua adalah kelompok 12 orang awam yang tugasnya untuk melayani semacam kuasa polisi moral, yang paling banyak mengeluarkan peringatan-peringatan, tetapi menunjuk orang-orang yang melanggar hukum menuju ke Konsistori/Pengadilan kalau perlu.)
(sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/John_Calvin)

Panggilan Gereja yang Sejati

Terakhir, kita akan mengerti lebih dalam lagi tentang panggilan gereja yang sejati. Di dalam perspektif theologia Reformed, gereja memiliki dua macam panggilan, yaitu :

Pertama, panggilan ke dalam (inner atau internal calling). Artinya, gereja sejati harus menjalankan panggilan Allah untuk melakukan dua hal : 

pertama, mengajar doktrin. Rasul Paulus mengajarkan prinsip ini, “…sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” (Efesus 4:13-15) Gereja yang mengabaikan pengajaran doktrin secara ketat adalah gereja yang amat sangat perlu diwaspadai, karena ingatlah : gereja bukan hanya sekedar kumpul-kumpul.


Seorang gembala sidang GBI Rehobot, Jakarta, Pdt. Erastus Sabdono, M.Th. menyatakan, “Gereja adalah Sekolah Alkitab.” Hal ini benar, karena di dalam gereja, kita harus belajar Alkitab untuk lebih mengenal Allah dan Firman-Nya. 

Hal kedua, menjalankan sakramen. Berarti, gereja yang sehat harus menjalankan sakramen yang telah ditetapkan oleh Kristus sendiri. 

Dalam hal ini, gereja Roma Katolik menjalankan 7 macam sakramen, sedangkan gereja Protestan menjalankan dua macam sakramen, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus. Mana yang benar ? Kristus sendiri mengajarkan dua macam sakramen, yaitu baptisan (Matius 28:19) dan Perjamuan Kudus (Matius 26:26-29 ; Lukas 22:16-20). Mengenai baptisan, di dalam tradisi gereja dari gereja mula-mula, baptisan dijalankan dengan cara menyiramkan air dari atas kepala orang yang dibaptis (baptisan siram). 

Tetapi entah mengapa tradisi ini digeser oleh kaum Anabaptis (Radical Reformation/Reformasi Radikal) dengan cara baptisan selam. Lalu, tradisi baptisan selam dipakai dan bahkan dimutlakkan di banyak gereja Karismatik/Pentakosta dengan mengklaim bahwa kalau tidak dibaptis selam, berarti tidak selamat, karena baptisan selam itu diajarkan oleh Tuhan Yesus. Di seluruh Alkitab, baptisan tidak pernah diselam. 

Yohanes Pembaptis ketika membaptis Tuhan Yesus tentu tidak menyelamkannya. Mengapa ? Karena Yohanes Pembaptis adalah anak seorang imam (Zakharia) di mana imam pada zaman Perjanjian Lama terbiasa dengan kebiasaan mengurapi orang (raja/nabi) dengan menuangkan minyak ke atas kepalanya. Meskipun hanya sekedar ungkapan puisi, Raja Daud mengajarkan konsep ini secara tidak langsung, “Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya.” (Mazmur 133:2) 

Oleh karena itu, gereja-gereja Reformed yang setia mengikuti tradisi gereja Katolik yaitu membaptis orang dengan baptisan siram sebagai lambang Roh Kudus yang dicurahkan dari atas ke bawah, bukan manusia yang menginjak Roh Kudus ! Selain itu, gereja-gereja Reformed menjalankan baptisan anak (infant baptism). Meskipun istilah “baptisan anak” tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi secara implisit istilah ini nampak jelas dari keseluruhan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. 

Kisah Para Rasul 16:33 mengatakan, “Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis.” Konteks ayat ini jelas, bahwa setelah kepala penjara itu menjumpai para tahanan yang masih ada di dalam penjara padahal penjara pada waktu itu sudah rusak, maka ia bertanya kepada Paulus dan Silas tentang apa yang harus ia perbuat supaya ia selamat. Kemudian, Paulus dan Silas memberitakan tentang Injil Kristus, yang disusul dengan pembaptisan kepala penjara ini. Di dalam ayat ini, dikatakan bahwa kepala penjara ini beserta keluarganya memberi diri dibaptis. 

Kata “keluarga” tentu juga mencakup anak-anak. Tidaklah mungkin, anak-anak tidak dibaptis, jikalau anak-anak tidak turut dibaptis, maka Alkitab akan mengecualikannya, tetapi faktanya tidak demikian. Mengapa gereja-gereja Reformed melaksanakan baptisan anak ? Karena baptisan bukan tanda orang masuk Surga atau diselamatkan, tetapi baptisan adalah konfirmasi seseorang percaya kepada (di dalam) Tuhan Yesus. 

Seorang yang sudah percaya di dalam Kristus meskipun tidak sempat dibaptis (mungkin alasan kesehatan yang sangat buruk atau kasus penjahat di sebelah salib Tuhan Yesus), nyawanya tetap bersama-Nya di Surga. 

Tetapi hal ini tidak berarti kita boleh bebas untuk tidak perlu dibaptis. Baptisan pasti berkaitan erat dengan keselamatan (soteriologi). Kalau baptisan adalah konfirmasi, maka pasti sebelum baptisan, ada karya Allah yang membuat orang yang dibaptis ini akhirnya dapat mempercayai Kristus. Itulah karya Roh Kudus. Anak-anak pun (yang termasuk umat pilihan Allah) juga diselamatkan bukan melalui “iman” pribadi, tetapi melalui anugerah Allah yang telah memberikan iman kepada mereka. 

Sehingga theologia Reformed dengan tegas menyatakan bahwa anugerah Allah mendahului respon manusia, sehingga manusia murni diselamatkan melalui anugerah Allah, dan oleh karena itulah, anak-anak perlu dibaptis tanpa perlu menunggu pengakuan iman yang keluar dari mulut mereka. 

Sedangkan kelompok Anabaptis yang berkembang dan mempengaruhi gereja-gereja kontemporer yang pop dewasa ini dengan menolak baptisan anak karena menurut mereka, anak-anak tidak dapat mengakui imannya secara sadar adalah pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara prinsip Alkitab tentang perjanjian (covenant).

Mengenai Perjamuan Kudus, gereja-gereja Reformed mengikuti tradisi dari John Calvin menganggap bahwa Perjamuan Kudus hanya sebagai simbol kematian Kristus tetapi juga memiliki makna karena ada berkat Kristus di dalamnya. 

Ini berbeda dengan konsep Luther yang mengajarkan bahwa Kristus menyertai/menaungi Perjamuan Kudus (disebut dengan paham consubstansiasi ; hampir mirip dengan pandangan Katolik Roma : transubstansiasi yang mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus langsung berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang membedakan antara form dan matter) dan konsep Zwingli yang mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus hanya lambang dan tidak memiliki makna. (Tong, 1991, pp 65-67) 

Paham Katolik Roma akan Perjamuan Kudus (transubstansiasi) diangkat kembali ke permukaan oleh seorang “pendeta” bernama Yesaya Pariadji lalu mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus bukan sekedar lambang, lalu Pariadji mengutip perkataan Tuhan Yesus sendiri, “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:26-28) lalu mengajarkan bahwa roti itu benar-benar tubuh Kristus dan anggur adalah darah Kristus, oleh karena itu Perjamuan Kudus berkhasiat dan “berkuasa” karena ada tubuh dan darah Kristus yang tercurah di kayu salib. Ini tafsiran Alkitab yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, panggilan ke luar (external atau spreading calling). Di dalam panggilan ini, gereja harus memberitakan Injil kepada semua orang (Matius 28:19-20). Gereja yang sehat adalah gereja yang menyeimbangkan antara mengajar doktrin, menjalankan sakramen dan memberitakan Injil. Kalau di antara ketiga panggilan gereja ini ada yang tak terpenuhi atau kurang terpenuhi, gereja harus bertobat ! Khususnya banyak gereja Protestan mainline (arus utama) harus bertobat dan belajar untuk memberitakan Injil. 

Sedangkan, banyak gereja-gereja Karismatik/Pentakosta yang sudah gemar memberitakan Injil (meskipun ada yang memberitakan Injil sejati dan ada yang memberitakan “Injil” sukses) harus meningkatkan kualitas pengajaran doktrinnya sehingga mereka yang menginjili memiliki konsep Injil yang benar dan menyeluruh. Oleh karena itu, theologia Reformed yang kokoh dan konsisten harus disertai dengan semangat Injili yang memberitakan Injil. 

Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa gereja yang tidak menginjili adalah gereja yang mati, statis, dan suam-suam kuku. Dan beliau juga mengatakan bahwa itulah kondisi gereja-gereja Reformed di Barat. Oleh karena itu, Tuhan memberikan visi kepada beliau untuk menegakkan Gerakan Reformed Injili (Reformed yang menginjili).

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-o0o-
Next Post Previous Post