Kebodohan dan Hikmat Allah dalam Salib (1 Korintus 1:18-25)
Kata penghubung "sebab" yang muncul di awal 1 Korintus 1: 18 mengindikasikan bahwa hubungan yang sangat erat terdapat antara 1 Korintus 1:18-25 dengan bagian sebelumnya. Bagian ini memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hal yang sudah dijabarkan dalam 1 Korintus 1: 10-17. Secara khusus, bagian ini menjelaskan pernyataan dalam 1 Korintus 1: 17b, "bukan dengan hikmat perkataan supaya salib Kristus tidak kehilangan kekuatannya." Hal ini tampak dari penggunaan kata "perkataan" (logos) dalam 1 Korintus 1:17b ("hikmat perkataan") dan 1 Korintus 1: 18a ("perkataan salib"; LAI:TB "pemberitaan salib").
Keterkaitan antara dua bagian di atas terletak pada tema "hikmat" (sophia). Hampir semua ahli tafsir sependapat bahwa perpecahan di kalangan jemaat Korintus dalam pasal 1-3 berkaitan dengan hikmat. Ini ditunjukkan oleh penggunaan kata "hikmat" sebanyak 14 kali dalam pasal 1:18-2:16. Pandangan ini juga diperkuat oleh penutup diskusi Paulus di pasal 1-3, seperti yang terlihat pada ayat 3:19 ("karena hikmat dunia ini adalah kebodohan di hadapan Allah").
Sebagian dari jemaat Korintus terpengaruh oleh berbagai filosofi dunia pada saat itu. Mereka mulai menganggap diri mereka bijaksana. Ketika mereka menilai kebenaran Injil melalui sudut pandang filsafat dunia ini, mereka meremehkan pesan Injil yang sebelumnya mereka terima. Mereka bahkan mulai mengagungkan pemimpin rohaniah yang mereka anggap sesuai dengan pandangan mereka.
Bagaimana Paulus merespons sikap orang yang merasa bijaksana dan menganggap pesan Injil sebagai kebodohan? Paulus memberikan berbagai respons dalam pasal 1:18-2:16. Kali ini, kita akan menelusuri 1 Korintus 1:18-25 saja. Beberapa penjelasan diberikan untuk mengatasi kesombongan intelektual ini.
Injil Memang Kebodohan Bagi Mereka yang Akan Binasa (1 Korintus 1: 18)
Sebagian dari jemaat Korintus terpengaruh oleh berbagai filosofi dunia pada saat itu. Mereka mulai menganggap diri mereka bijaksana. Ketika mereka menilai kebenaran Injil melalui sudut pandang filsafat dunia ini, mereka meremehkan pesan Injil yang sebelumnya mereka terima. Mereka bahkan mulai mengagungkan pemimpin rohaniah yang mereka anggap sesuai dengan pandangan mereka.
Bagaimana Paulus merespons sikap orang yang merasa bijaksana dan menganggap pesan Injil sebagai kebodohan? Paulus memberikan berbagai respons dalam pasal 1:18-2:16. Kali ini, kita akan menelusuri 1 Korintus 1:18-25 saja. Beberapa penjelasan diberikan untuk mengatasi kesombongan intelektual ini.
Injil Memang Kebodohan Bagi Mereka yang Akan Binasa (1 Korintus 1: 18)
Dalam ayat ini, Paulus menjelaskan bahwa pemberitaan tentang salib merupakan kebodohan bagi mereka yang menuju kebinasaan (tois appolumenois). LAI:TB menerjemahkan frasa Yunani ini sebagai "mereka yang akan binasa", seolah-olah mengisyaratkan bahwa kebinasaan tersebut masih akan datang di masa depan. Namun, terjemahan ini tidak sejalan dengan penggunaan tense sekarang yang digunakan dalam teks. Beberapa versi dalam bahasa Inggris, seperti NIV/NASB/RSV, lebih tepat menerjemahkannya sebagai "those who are perishing" (orang-orang yang sedang binasa). Orang-orang ini sedang mengalami kebinasaan saat ini. 2 Korintus 4:3 juga mengungkapkan ide serupa, "Jika Injil yang kami beritakan masih terselubung, maka terselubunglah bagi mereka yang sedang binasa."
Setelah menjelaskan hal ini, Paulus menyatakan keyakinannya tentang keselamatan jemaat Korintus. Ini terlihat dari penggunaan kata ganti "kita" dalam 1 Korintus 1: 18b. Paulus tidak mengatakan "bagi mereka yang diselamatkan" (seperti yang terlihat di ayat 18a), melainkan "bagi kita yang telah diselamatkan". Penggunaan bentuk tense sekarang dalam ayat ini menunjukkan bahwa keselamatan orang percaya telah terjadi. Orang percaya telah diselamatkan melalui Kristus Yesus. Dalam ayat-ayat berikutnya, Paulus menjelaskan bagaimana keselamatan ini terjadi, yakni melalui anugerah (1 Korintus 1: 21) dan panggilan Allah (1 Korintus 1: 24).
Bagi mereka yang telah diselamatkan, Injil adalah kekuatan Allah. Karena Injil sudah memiliki kekuatan ilahi, maka Paulus tidak mengemukakan Injil dengan retorika yang mengandalkan kebijaksanaan kata-kata manusia (1:17b; 2:1-5). Kebijaksanaan manusia tidak akan menambahkan daya pada kekuatan Injil. Ungkapan "Injil adalah kekuatan Allah" perlu dilihat dalam konteks penyelamatan (Roma 1:16 "Injil adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan setiap orang yang percaya"). Paulus mungkin juga mengacu pada kekuatan Allah dalam merendahkan hikmat dunia (1 Korintus 1:19-21).
Allah Telah Menghinakan Hikmat Dunia Ini (1 Korintus 1:19)
Setelah menjelaskan hal ini, Paulus menyatakan keyakinannya tentang keselamatan jemaat Korintus. Ini terlihat dari penggunaan kata ganti "kita" dalam 1 Korintus 1: 18b. Paulus tidak mengatakan "bagi mereka yang diselamatkan" (seperti yang terlihat di ayat 18a), melainkan "bagi kita yang telah diselamatkan". Penggunaan bentuk tense sekarang dalam ayat ini menunjukkan bahwa keselamatan orang percaya telah terjadi. Orang percaya telah diselamatkan melalui Kristus Yesus. Dalam ayat-ayat berikutnya, Paulus menjelaskan bagaimana keselamatan ini terjadi, yakni melalui anugerah (1 Korintus 1: 21) dan panggilan Allah (1 Korintus 1: 24).
Bagi mereka yang telah diselamatkan, Injil adalah kekuatan Allah. Karena Injil sudah memiliki kekuatan ilahi, maka Paulus tidak mengemukakan Injil dengan retorika yang mengandalkan kebijaksanaan kata-kata manusia (1:17b; 2:1-5). Kebijaksanaan manusia tidak akan menambahkan daya pada kekuatan Injil. Ungkapan "Injil adalah kekuatan Allah" perlu dilihat dalam konteks penyelamatan (Roma 1:16 "Injil adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan setiap orang yang percaya"). Paulus mungkin juga mengacu pada kekuatan Allah dalam merendahkan hikmat dunia (1 Korintus 1:19-21).
Allah Telah Menghinakan Hikmat Dunia Ini (1 Korintus 1:19)
Keyakinan Paulus dalam 1 Korintus 1: 18 bersandar pada Firman Tuhan (ditunjukkan oleh kata penghubung "karena" di awal ayat 19). Seperti biasa, Paulus mengutip Firman Tuhan dengan mengawalinya dengan kata "tertulis" (gegraptai). Ungkapan "tertulis" muncul sebanyak 63 kali dalam seluruh tulisan Paulus. Melalui pengutipan ini, Paulus menegaskan bahwa Firman Tuhan sudah menjadi alasan yang cukup kuat. Dia tidak perlu melakukan perdebatan atau memberikan bukti-bukti lain di luar Kitab Suci. Firman Tuhan sudah diucapkan, dan semuanya sudah terputuskan.
Kutipan dari Yesaya 29:14 yang diambil ini sangat relevan dengan situasi jemaat Korintus. Pada zaman Yesaya, ketika bangsa Yehuda menghadapi ancaman dari Babel, mereka enggan bergantung pada Tuhan, walaupun Tuhan telah mengatakan bahwa dalam ketenangan dan kepercayaan terletak kekuatan mereka (Yesaya 30:15). Alih-alih, mereka memilih mengikuti pemikiran mereka sendiri, mengikuti dewa-dewa asing, dan mencari bantuan dari Mesir. Allah menegur tindakan tersebut, menyatakan bahwa hikmat-Nya tidak terbatas dan jauh melampaui semua orang (Yesaya 40:12-14, 25). Allah menggambarkan para pemimpin Zoan dan penasihat Mesir sebagai orang-orang bodoh. Pernyataan Allah ini akhirnya menjadi kenyataan. Bangsa Yehuda akhirnya mengalami kekalahan dan pembuangan selama 70 tahun.
Dengan mengutip ini, Paulus ingin menyampaikan bahwa Allah selalu merendahkan orang-orang yang menganggap diri mereka bijaksana (lihat juga 1 Korintus 1:29). Sebaliknya, sering kali Allah memilih menggunakan orang-orang yang dianggap lemah atau bodoh oleh dunia (1 Korintus 1:27-28). Jemaat Korintus seharusnya tidak sombong, karena juga akan direndahkan oleh Allah.
Allah Menjadikan Hikmat Dunia Menjadi Kebodohan (1 Korintus 1:20-21)
Kutipan dari Yesaya 29:14 yang diambil ini sangat relevan dengan situasi jemaat Korintus. Pada zaman Yesaya, ketika bangsa Yehuda menghadapi ancaman dari Babel, mereka enggan bergantung pada Tuhan, walaupun Tuhan telah mengatakan bahwa dalam ketenangan dan kepercayaan terletak kekuatan mereka (Yesaya 30:15). Alih-alih, mereka memilih mengikuti pemikiran mereka sendiri, mengikuti dewa-dewa asing, dan mencari bantuan dari Mesir. Allah menegur tindakan tersebut, menyatakan bahwa hikmat-Nya tidak terbatas dan jauh melampaui semua orang (Yesaya 40:12-14, 25). Allah menggambarkan para pemimpin Zoan dan penasihat Mesir sebagai orang-orang bodoh. Pernyataan Allah ini akhirnya menjadi kenyataan. Bangsa Yehuda akhirnya mengalami kekalahan dan pembuangan selama 70 tahun.
Dengan mengutip ini, Paulus ingin menyampaikan bahwa Allah selalu merendahkan orang-orang yang menganggap diri mereka bijaksana (lihat juga 1 Korintus 1:29). Sebaliknya, sering kali Allah memilih menggunakan orang-orang yang dianggap lemah atau bodoh oleh dunia (1 Korintus 1:27-28). Jemaat Korintus seharusnya tidak sombong, karena juga akan direndahkan oleh Allah.
Allah Menjadikan Hikmat Dunia Menjadi Kebodohan (1 Korintus 1:20-21)
Jika di 1 Korintus 1:19 Paulus lebih menekankan akibat bagi mereka yang menganggap diri mereka bijaksana, di ayat 20-21 dia menyoroti hikmat itu sendiri. Ini terlihat dari pertanyaan retoris terakhir di 1 Korintus 1: 20b dan penjelasan lebih lanjut mengenai pertanyaan ini di 1 Korintus 1:20. Meskipun Paulus masih mengacu pada orang-orang yang "bijaksana" dalam 1 Korintus 1: 20a, namun fokus utamanya adalah pada hikmat itu sendiri.
Pertanyaan retoris di 1 Korintus 1:20a bukanlah tantangan dari Paulus kepada jemaat Korintus. Dia menyadari bahwa sebagian besar jemaat adalah orang-orang lemah dan tidak berpengalaman menurut standar dunia (1 Korintus 1: 26). Paulus hanya ingin mengingatkan jemaat bahwa semua orang yang dianggap bijaksana oleh dunia ternyata tidak dapat bertahan.
Ahli tafsir memiliki pandangan yang beragam mengenai tiga kelompok yang disebutkan di 1 Korintus 1: 20a: "orang-orang yang bijaksana" (sophos), "ahli Taurat" (grammateus), dan "pembantah" (suzetetes). "Ahli Taurat" (grammateus) secara jelas merujuk kepada pakar hukum Taurat (NIV mengartikannya sebagai "scholar"), karena hampir semua penggunaan kata ini dalam Perjanjian Baru mengacu pada pemimpin agama Yahudi, meskipun kata ini juga bisa merujuk pada pejabat pemerintahan (lihat Kisah Para Rasul 19:35).
Pertanyaan retoris di 1 Korintus 1:20a bukanlah tantangan dari Paulus kepada jemaat Korintus. Dia menyadari bahwa sebagian besar jemaat adalah orang-orang lemah dan tidak berpengalaman menurut standar dunia (1 Korintus 1: 26). Paulus hanya ingin mengingatkan jemaat bahwa semua orang yang dianggap bijaksana oleh dunia ternyata tidak dapat bertahan.
Ahli tafsir memiliki pandangan yang beragam mengenai tiga kelompok yang disebutkan di 1 Korintus 1: 20a: "orang-orang yang bijaksana" (sophos), "ahli Taurat" (grammateus), dan "pembantah" (suzetetes). "Ahli Taurat" (grammateus) secara jelas merujuk kepada pakar hukum Taurat (NIV mengartikannya sebagai "scholar"), karena hampir semua penggunaan kata ini dalam Perjanjian Baru mengacu pada pemimpin agama Yahudi, meskipun kata ini juga bisa merujuk pada pejabat pemerintahan (lihat Kisah Para Rasul 19:35).
Perdebatan di kalangan ahli tafsir biasanya berkaitan dengan dua kelompok lainnya. Mayoritas ahli tafsir menganggap "orang-orang yang bijaksana" (sophos) merujuk kepada filsuf Yunani, sementara "pembantah" (suzetetes) merujuk secara umum kepada orang-orang yang suka berdebat. NIV menerjemahkan "pembantah" sebagai filsuf, mungkin karena debat sering terjadi di kalangan filsuf.
Paulus melanjutkan dengan mengakhiri serangkaian pertanyaan retoris di 1 Korintus 1: 20 dan menyajikan pertanyaan inti: "Tidakkah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?" Penggunaan frasa "hikmat dunia" (sophia kosmou) dalam ayat ini tidak hanya mengacu pada hikmat duniawi, melainkan juga mengindikasikan kelemahan dan keterbatasan hikmat tersebut. Hal ini terlihat dari ungkapan "para pembantah dunia ini" dalam 1 Korintus 1: 20a. Kata "dunia" di sini menggunakan kata "aion," yang secara harfiah berarti "zaman." Dengan demikian, Paulus ingin menegaskan bahwa hikmat zaman ini bersifat sementara (bandingkan dengan 1 Korintus 7:31). Nyatanya, Allah telah menjadikan hikmat semacam ini menjadi kebodohan.
Di 1 Korintus 1:21, Paulus memberikan alasan mengapa hikmat dunia telah diubah menjadi kebodohan. Hikmat duniawi ini tidak bisa membantu manusia mengenal Allah (1 Korintus 1: 21a). Terlepas seberapa pandai seseorang, itu tidak menjamin bahwa dia akan mengenal Allah, karena pengenalan terhadap Allah hanya dimungkinkan melalui karya Roh Kudus (2:6-16). Paulus memberikan contoh dalam bagian lain dari tulisannya. Meskipun manusia dapat mengenal Allah melalui ciptaan-Nya (Roma 1:19-20), namun mereka cenderung menekan kebenaran ini (Roma 1:18). Mereka terjebak dalam kesesatan, seperti penyembahan berhala dan dosa-dosa (Roma 1:21-31).
Alasan lain mengapa hikmat dunia telah dijadikan kebodohan adalah karena pengajaran tentang keselamatan bagi mereka yang percaya pada kebodohan Injil (1 Korintus 1: 21b). Identitas mereka yang diselamatkan ini tidak dijelaskan di ayat ini, namun ayat-ayat selanjutnya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap lemah dan bodoh oleh dunia (1 Korintus 1: 25-27). Bagaimana mungkin yang bijaksana tidak mengenal Allah, sementara yang sederhana justru percaya? Jawabannya terletak pada kata "Allah berkenan menyelamatkan." Di ayat 24 dijelaskan lebih lanjut bahwa perkenanan Allah ini terhubung dengan panggilan-Nya kepada orang-orang yang dipilih (bandingkan dengan Roma 8:29-30; Efesus 1:4; 2 Timotius 2:9).
Konsep iman dalam ayat 21b bukan hanya sekadar persetujuan intelektual. Jika hanya merupakan keputusan rasional, tidak akan ada yang mau mempercayai kebodohan Injil. Iman di sini berarti penyerahan hidup. Jemaat Korintus yang terjerat dalam hikmat duniawi dan mulai menilai Injil dengan kritik intelektual sebenarnya melupakan hal yang penting: mereka awalnya diselamatkan melalui iman, bukan melalui argumentasi rasional atau pemenuhan intelektual.
Allah Tidak Tunduk pada Tuntutan Manusia (1 Korintus 1: 22-25)
Paulus menyadari bahwa konsep keselamatan melalui salib adalah sesuatu yang sulit diterima oleh orang-orang pada masanya, baik orang Yahudi maupun orang Yunani. Bagi orang Yahudi yang selalu menuntut tanda-tanda ajaib (Matius 12:38-39; Markus 8:11; Lukas 11:16; Yohanes 6:30), konsep tentang Mesias yang disalibkan merupakan sesuatu yang mengejutkan (bahkan "skandal"). Mereka mengharapkan seorang Mesias yang kuat dan mampu memerdekakan mereka dari penindasan Romawi (lihat Kisah Para Rasul 1:6). Menurut pandangan mereka, kematian Yesus di atas salib menunjukkan bahwa Dia tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri, apalagi menyelamatkan bangsa Yahudi. Lebih lanjut lagi, kematian di kayu salib adalah tanda kutukan di hadapan Allah dan manusia (Ulangan 21:23; Galatia 3:13).
Di sisi lain, bagi orang Yunani yang cenderung pada hikmat (seperti yang tampak dalam Kisah Para Rasul 17:21), berita tentang salib adalah kebodohan. Sebagian dari mereka mungkin bisa menerima konsep dewa yang menjelma menjadi manusia (meskipun sebagian lainnya, terutama kalangan filsuf, menganggap hal ini sebagai mitos), tetapi konsep ini tidak cocok dengan inkarnasi Yesus. Dewa yang menjadi manusia dianggap tidak mungkin mengalami kematian. Selain itu, kematian di atas kayu salib adalah hukuman khusus untuk para penjahat keji. Bagaimana mungkin Allah bisa menjadi manusia, mati di atas salib? Semua ini terlalu sulit diterima bagi orang Yunani.
Meskipun pada zamannya manusia banyak yang menuntut tanda-tanda dan hikmat, Allah tidak ingin mengorbankan prinsip-Nya. Jalur keselamatan tetap melewati salib. Ini adalah pesan yang disampaikan oleh Paulus. Apakah ini berarti bahwa pemberitaan Injil adalah kosong dan hanya merupakan konsep irasional? Tentu tidak! Di 1 Korintus 1: 24, Paulus menegaskan bahwa Injil adalah kekuatan dan hikmat Allah. Bagaimana ini bisa terjadi? Injil adalah kekuatan dan hikmat Allah bagi mereka yang dipanggil oleh-Nya, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi. Terlepas dari pandangan dunia tentang kelompok manusia ini, jika Allah memanggil seseorang, maka orang itu akan percaya pada Injil. Dengan kata lain, bagi mereka yang telah dipanggil, Injil adalah kekuatan dan hikmat Allah.
Baca Juga: Teguran Paulus: Pesan Injil dan Fokus Kristus (1 Korintus 1:13-17)
Paulus melanjutkan dengan mengakhiri serangkaian pertanyaan retoris di 1 Korintus 1: 20 dan menyajikan pertanyaan inti: "Tidakkah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?" Penggunaan frasa "hikmat dunia" (sophia kosmou) dalam ayat ini tidak hanya mengacu pada hikmat duniawi, melainkan juga mengindikasikan kelemahan dan keterbatasan hikmat tersebut. Hal ini terlihat dari ungkapan "para pembantah dunia ini" dalam 1 Korintus 1: 20a. Kata "dunia" di sini menggunakan kata "aion," yang secara harfiah berarti "zaman." Dengan demikian, Paulus ingin menegaskan bahwa hikmat zaman ini bersifat sementara (bandingkan dengan 1 Korintus 7:31). Nyatanya, Allah telah menjadikan hikmat semacam ini menjadi kebodohan.
Di 1 Korintus 1:21, Paulus memberikan alasan mengapa hikmat dunia telah diubah menjadi kebodohan. Hikmat duniawi ini tidak bisa membantu manusia mengenal Allah (1 Korintus 1: 21a). Terlepas seberapa pandai seseorang, itu tidak menjamin bahwa dia akan mengenal Allah, karena pengenalan terhadap Allah hanya dimungkinkan melalui karya Roh Kudus (2:6-16). Paulus memberikan contoh dalam bagian lain dari tulisannya. Meskipun manusia dapat mengenal Allah melalui ciptaan-Nya (Roma 1:19-20), namun mereka cenderung menekan kebenaran ini (Roma 1:18). Mereka terjebak dalam kesesatan, seperti penyembahan berhala dan dosa-dosa (Roma 1:21-31).
Alasan lain mengapa hikmat dunia telah dijadikan kebodohan adalah karena pengajaran tentang keselamatan bagi mereka yang percaya pada kebodohan Injil (1 Korintus 1: 21b). Identitas mereka yang diselamatkan ini tidak dijelaskan di ayat ini, namun ayat-ayat selanjutnya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap lemah dan bodoh oleh dunia (1 Korintus 1: 25-27). Bagaimana mungkin yang bijaksana tidak mengenal Allah, sementara yang sederhana justru percaya? Jawabannya terletak pada kata "Allah berkenan menyelamatkan." Di ayat 24 dijelaskan lebih lanjut bahwa perkenanan Allah ini terhubung dengan panggilan-Nya kepada orang-orang yang dipilih (bandingkan dengan Roma 8:29-30; Efesus 1:4; 2 Timotius 2:9).
Konsep iman dalam ayat 21b bukan hanya sekadar persetujuan intelektual. Jika hanya merupakan keputusan rasional, tidak akan ada yang mau mempercayai kebodohan Injil. Iman di sini berarti penyerahan hidup. Jemaat Korintus yang terjerat dalam hikmat duniawi dan mulai menilai Injil dengan kritik intelektual sebenarnya melupakan hal yang penting: mereka awalnya diselamatkan melalui iman, bukan melalui argumentasi rasional atau pemenuhan intelektual.
Allah Tidak Tunduk pada Tuntutan Manusia (1 Korintus 1: 22-25)
Paulus menyadari bahwa konsep keselamatan melalui salib adalah sesuatu yang sulit diterima oleh orang-orang pada masanya, baik orang Yahudi maupun orang Yunani. Bagi orang Yahudi yang selalu menuntut tanda-tanda ajaib (Matius 12:38-39; Markus 8:11; Lukas 11:16; Yohanes 6:30), konsep tentang Mesias yang disalibkan merupakan sesuatu yang mengejutkan (bahkan "skandal"). Mereka mengharapkan seorang Mesias yang kuat dan mampu memerdekakan mereka dari penindasan Romawi (lihat Kisah Para Rasul 1:6). Menurut pandangan mereka, kematian Yesus di atas salib menunjukkan bahwa Dia tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri, apalagi menyelamatkan bangsa Yahudi. Lebih lanjut lagi, kematian di kayu salib adalah tanda kutukan di hadapan Allah dan manusia (Ulangan 21:23; Galatia 3:13).
Di sisi lain, bagi orang Yunani yang cenderung pada hikmat (seperti yang tampak dalam Kisah Para Rasul 17:21), berita tentang salib adalah kebodohan. Sebagian dari mereka mungkin bisa menerima konsep dewa yang menjelma menjadi manusia (meskipun sebagian lainnya, terutama kalangan filsuf, menganggap hal ini sebagai mitos), tetapi konsep ini tidak cocok dengan inkarnasi Yesus. Dewa yang menjadi manusia dianggap tidak mungkin mengalami kematian. Selain itu, kematian di atas kayu salib adalah hukuman khusus untuk para penjahat keji. Bagaimana mungkin Allah bisa menjadi manusia, mati di atas salib? Semua ini terlalu sulit diterima bagi orang Yunani.
Meskipun pada zamannya manusia banyak yang menuntut tanda-tanda dan hikmat, Allah tidak ingin mengorbankan prinsip-Nya. Jalur keselamatan tetap melewati salib. Ini adalah pesan yang disampaikan oleh Paulus. Apakah ini berarti bahwa pemberitaan Injil adalah kosong dan hanya merupakan konsep irasional? Tentu tidak! Di 1 Korintus 1: 24, Paulus menegaskan bahwa Injil adalah kekuatan dan hikmat Allah. Bagaimana ini bisa terjadi? Injil adalah kekuatan dan hikmat Allah bagi mereka yang dipanggil oleh-Nya, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi. Terlepas dari pandangan dunia tentang kelompok manusia ini, jika Allah memanggil seseorang, maka orang itu akan percaya pada Injil. Dengan kata lain, bagi mereka yang telah dipanggil, Injil adalah kekuatan dan hikmat Allah.
Baca Juga: Teguran Paulus: Pesan Injil dan Fokus Kristus (1 Korintus 1:13-17)
Di 1 Korintus 1: 25, Paulus mengakhiri penjelasannya dengan menegaskan kebenaran teologis yang penting: Allah jauh lebih bijaksana dan kuat daripada manusia. Terjemahan harfiah dari ayat ini adalah "Karena kebodohan Allah lebih bijaksana daripada manusia, dan kelemahan Allah lebih kuat daripada manusia." Tidak hanya membandingkan hikmat Allah dan hikmat manusia, tetapi juga menyatakan bahwa kebodohan Allah lebih unggul daripada segala kebijaksanaan manusia. Tidak hanya membandingkan kekuatan Allah dengan manusia, tetapi juga mengungkapkan bahwa kelemahan Allah sudah melebihi semua kekuatan manusia. Salib menjadi bukti nyata bagaimana kekuatan dan hikmat manusia telah dihinakan oleh Allah. Keselamatan melalui salib hanya bisa terjadi melalui kekuatan dan hikmat Allah.
Dalam rangkaian argumen ini, Paulus dengan tegas menggarisbawahi bahwa pesan salib mungkin tidak masuk akal dalam pandangan dunia, tetapi itu adalah rancangan Allah yang lebih tinggi. Ia menekankan bahwa iman dan penyelamatan bukanlah hasil dari pemikiran manusia yang bijak, tetapi tindakan anugerah dan kuasa Allah.
Dalam rangkaian argumen ini, Paulus dengan tegas menggarisbawahi bahwa pesan salib mungkin tidak masuk akal dalam pandangan dunia, tetapi itu adalah rancangan Allah yang lebih tinggi. Ia menekankan bahwa iman dan penyelamatan bukanlah hasil dari pemikiran manusia yang bijak, tetapi tindakan anugerah dan kuasa Allah.