Yohanes 2:23-25: Mukjizat di Yerusalem dan Karunia Pengetahuan Ilahi Yesus
Pendahuluan:
Dalam Yohanes 2:23-25, Alkitab mencatat bagaimana Yesus, selama berada di Yerusalem untuk merayakan Paskah, melakukan banyak mukjizat yang mengesankan. Mukjizat-mukjizat ini membuat banyak orang menjadi percaya kepada-Nya. Namun, menariknya, Yesus tidak menyerahkan diri-Nya kepada mereka karena Dia mengetahui isi hati manusia. Melalui perikop ini, kita diajak untuk melihat lebih dalam bagaimana mukjizat-mukjizat Yesus memengaruhi iman para pengikut-Nya dan menyingkapkan karunia pengetahuan ilahi yang dimiliki Yesus.Artikel ini akan membahas konteks, makna, dan implikasi teologis dari mukjizat-mukjizat Yesus di Yerusalem, serta karunia pengetahuan-Nya yang ilahi.
1. Konteks Yohanes 2:23-25: Mukjizat-Mukjizat di Yerusalem
Pada awal Injil Yohanes, Yesus memulai pelayanan-Nya dengan mukjizat air menjadi anggur di Kana (Yohanes 2:1-11). Ini adalah mukjizat pertama-Nya yang memperlihatkan kemuliaan-Nya dan membuat murid-murid-Nya percaya kepada-Nya. Setelah mukjizat ini, Yesus melanjutkan perjalanan ke Yerusalem untuk merayakan Paskah Yahudi, suatu perayaan besar yang dihadiri oleh banyak orang Yahudi dari berbagai penjuru.
Selama di Yerusalem, Yesus melakukan banyak mukjizat yang membangkitkan perhatian orang banyak. Yohanes 2:23 mencatat, “Dan sementara Ia berada di Yerusalem selama hari raya Paskah, banyak orang percaya dalam nama-Nya karena mereka telah melihat tanda-tanda yang diadakan-Nya.” Mukjizat-mukjizat ini memperlihatkan otoritas dan kuasa Yesus atas dunia fisik, serta meneguhkan kedatangan Mesias seperti yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama.
Namun, Yohanes 2:24-25 menyatakan bahwa Yesus tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, “karena Ia mengenal mereka semua, dan karena tidak perlu seorang pun memberi kesaksian kepada-Nya tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia.” Di sinilah kita melihat bahwa, meskipun banyak orang tertarik kepada-Nya karena mukjizat, Yesus melihat melampaui reaksi eksternal dan mengenali motivasi serta isi hati manusia.
2. Makna Teologis Mukjizat di Yerusalem
a. Mukjizat sebagai Tanda Keilahian Yesus
Mukjizat-mukjizat Yesus di Yerusalem merupakan bagian dari serangkaian tanda yang menyatakan otoritas ilahi-Nya. Dalam Injil Yohanes, mukjizat-mukjizat Yesus sering disebut sebagai “tanda-tanda” (dalam bahasa Yunani: σημεῖον, semeion), yang bukan hanya keajaiban, tetapi juga tanda yang memiliki makna rohani yang mendalam.
Menurut teolog terkenal, Leon Morris dalam bukunya The Gospel According to John (1971), mukjizat-mukjizat Yesus bukan sekadar peristiwa luar biasa, tetapi merupakan “penyataan kemuliaan Allah yang bertujuan untuk meneguhkan identitas Yesus sebagai Mesias.” Oleh karena itu, mukjizat-mukjizat Yesus di Yerusalem tidak hanya memanifestasikan kuasa ilahi, tetapi juga meneguhkan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang memiliki otoritas penuh untuk menyatakan karya keselamatan Allah.
b. Mukjizat sebagai Pendorong Iman
Mukjizat-mukjizat Yesus di Yerusalem membuat banyak orang percaya kepada-Nya, seperti yang tercatat dalam Yohanes 2:23. Namun, iman yang muncul dari keajaiban seringkali bersifat dangkal. Beberapa teolog, seperti Craig S. Keener dalam bukunya The Gospel of John: A Commentary (2010), menekankan bahwa “kepercayaan yang bergantung pada tanda-tanda sering kali tidak berakar kuat.” Artinya, ketika iman hanya didasarkan pada keajaiban yang terlihat, iman itu mudah goyah ketika tidak ada tanda yang muncul.
Hal ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa iman yang sejati tidak hanya bergantung pada tanda-tanda fisik, tetapi pada pengenalan dan hubungan pribadi dengan Yesus. Mukjizat adalah alat untuk meneguhkan iman, namun iman yang sejati memerlukan dasar yang lebih dalam, yaitu pengenalan akan Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat yang sejati.
c. Peran Mukjizat dalam Mengungkapkan Keinginan Manusia
Mukjizat Yesus di Yerusalem juga mengungkapkan banyaknya orang yang tertarik kepada-Nya karena alasan yang dangkal atau egois. Bagi sebagian orang, keajaiban adalah jalan untuk mendapatkan berkat materi atau kesembuhan fisik, tanpa memahami tujuan rohani dari tanda-tanda tersebut. Namun, Yesus tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka yang hanya tergerak oleh mukjizat. Dia mengetahui siapa yang sungguh-sungguh mencari Allah dan siapa yang hanya mengejar keuntungan duniawi.
Ini memberi kita perspektif bahwa mukjizat bukanlah tujuan akhir dalam iman, melainkan alat untuk mengenal lebih dalam siapa Yesus sebenarnya. Tanda-tanda ini memanggil kita untuk datang kepada-Nya bukan hanya karena apa yang dapat kita peroleh secara materi, tetapi untuk mengenal dan berelasi dengan-Nya secara rohani.
3. Karunia Pengetahuan Ilahi Yesus
Yohanes 2:24-25 mengungkapkan bahwa Yesus memiliki pengetahuan ilahi yang mendalam tentang hati manusia. Ayat ini menyatakan bahwa Yesus tidak memerlukan kesaksian dari siapa pun tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati setiap orang. Ini adalah salah satu manifestasi dari karunia pengetahuan ilahi Yesus, di mana Dia dapat memahami dan menilai isi hati manusia dengan sempurna.
a. Pengetahuan Ilahi: Membedakan Iman yang Sejati dari Iman yang Dangkal
Karunia pengetahuan Yesus memungkinkan-Nya untuk membedakan antara mereka yang sungguh-sungguh percaya kepada-Nya dan mereka yang hanya tergerak oleh sensasi mukjizat. Beberapa orang mungkin mengaku percaya setelah melihat tanda-tanda ajaib, tetapi hati mereka sebenarnya jauh dari Allah. Menurut teolog J. Ramsey Michaels dalam bukunya The Gospel of John (1984), “Yesus tidak mencari pengakuan yang dangkal, tetapi menuntut kesetiaan yang benar.” Artinya, Yesus menginginkan iman yang lahir dari hati yang tulus, bukan hanya dari kekaguman pada kuasa supranatural.
Karunia pengetahuan ilahi ini memungkinkan Yesus untuk tidak tertipu oleh respons eksternal manusia. Sebagai Tuhan, Dia mengetahui siapa yang datang kepada-Nya dengan hati yang tulus dan siapa yang hanya sekadar tertarik pada sensasi mukjizat. Ini menunjukkan kualitas iman yang dikehendaki Yesus—yaitu iman yang tulus, yang didasarkan pada pengenalan akan diri-Nya dan bukan pada keinginan pribadi.
b. Yesus Sebagai Tuhan yang Maha Mengetahui
Karunia pengetahuan Yesus juga menegaskan atribut-Nya sebagai Tuhan yang mahatahu. Sebagai Anak Allah, Yesus memiliki akses langsung kepada pengetahuan Allah, termasuk mengenai hati manusia. Dalam teologi Kristen, pengetahuan ini disebut sebagai karunia pengetahuan ilahi, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengetahui segala sesuatu, termasuk hal-hal yang tersembunyi di dalam hati manusia.
Menurut R.C. Sproul dalam bukunya Knowing Scripture (1977), “Pengetahuan Yesus tentang hati manusia meneguhkan kemahatahuan-Nya sebagai Allah.” Dengan mengetahui hati manusia, Yesus dapat menilai motif, keinginan, dan karakter seseorang tanpa perlu kesaksian dari orang lain. Kemahatahuan ini menunjukkan bahwa Yesus tidak hanya memiliki pengetahuan yang terbatas pada pengalaman duniawi, tetapi juga pengetahuan yang sempurna sebagai Tuhan yang mahatahu.
c. Panggilan untuk Mengoreksi Motif Iman
Pengetahuan Yesus tentang hati manusia mengingatkan kita untuk memeriksa motif di balik iman kita. Ketika kita datang kepada Yesus, apakah kita datang dengan hati yang tulus, ataukah kita hanya menginginkan berkat dan mukjizat tanpa komitmen yang nyata kepada-Nya? Melalui pengetahuan-Nya yang sempurna, Yesus memanggil kita untuk memiliki iman yang murni dan berfokus pada diri-Nya, bukan hanya pada apa yang dapat kita peroleh dari-Nya.
Ini juga mengajarkan kita bahwa iman yang sejati harus berakar pada hubungan pribadi dengan Yesus dan keinginan untuk mengenal-Nya lebih dalam. Iman yang didasarkan pada keinginan untuk mendapat keuntungan duniawi adalah iman yang rapuh, yang mudah goyah ketika ujian datang.
4. Implikasi Teologis dari Mukjizat dan Karunia Pengetahuan Yesus
a. Pentingnya Iman yang Didasarkan pada Hubungan dengan Kristus
Mukjizat adalah tanda, tetapi iman yang hanya didasarkan pada mukjizat adalah iman yang tidak stabil. Iman yang sejati didasarkan pada pengenalan akan siapa Yesus itu dan hubungan pribadi dengan-Nya. Yohanes 20:29 mengatakan, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” Dengan demikian, Yesus memanggil kita untuk memiliki iman yang tidak hanya mencari bukti fisik, tetapi berakar pada kasih dan komitmen kepada-Nya.
b. Allah Menginginkan Hati yang Tulus dan Murni
Karunia pengetahuan Yesus mengajarkan kita bahwa Allah sangat memperhatikan motivasi dan ketulusan hati kita. Dalam 1 Samuel 16:7, dikatakan, “Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” Bagi Yesus, bukan seberapa banyak keajaiban yang kita saksikan atau seberapa spektakuler respons kita yang penting, melainkan ketulusan hati kita dalam mencari-Nya.
Yesus mengajarkan kita untuk memiliki hati yang murni dan tidak mementingkan keuntungan pribadi dalam beriman. Iman kita harus merupakan respons yang penuh kasih terhadap Allah yang telah mengasihi kita terlebih dahulu, dan bukan sekadar respons terhadap mukjizat yang kita lihat.
c. Panggilan untuk Membangun Iman yang Teguh di Tengah Dunia yang Materialistis
Di zaman sekarang, di mana banyak orang menganggap iman sebagai sarana untuk memperoleh kesuksesan materi atau kesehatan, kita diingatkan melalui pengetahuan Yesus bahwa iman sejati tidak bergantung pada hal-hal tersebut. Iman yang benar adalah iman yang berakar pada pengenalan akan siapa Yesus itu dan mengakui bahwa Dia adalah Tuhan dan Juru Selamat.
Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk memiliki iman yang tahan uji dan tidak tergoyahkan oleh perubahan situasi atau ketiadaan mukjizat. Iman seperti ini memampukan kita untuk berdiri teguh dalam ujian dan kesulitan, karena kita yakin bahwa keselamatan kita adalah anugerah yang tak tergantikan dari Allah.
5. Relevansi Perikop Yohanes 2:23-25 bagi Kehidupan Kristen Modern
Perikop Yohanes 2:23-25 memberikan banyak pelajaran berharga bagi orang percaya dalam menjalani hidup Kristen yang penuh integritas dan ketulusan. Di tengah masyarakat yang terkadang mengejar mukjizat atau tanda sebagai bukti iman, Yesus mengingatkan kita untuk memiliki motivasi yang benar.
a. Menghindari Keimanan yang Hanya Mengejar Berkat
Yesus memanggil kita untuk menghindari iman yang hanya mencari keuntungan pribadi. Kita dipanggil untuk mencintai Yesus bukan karena apa yang dapat Dia berikan, tetapi karena siapa Dia. Melalui perikop ini, kita diingatkan bahwa kasih kita kepada Allah harus tulus dan tidak terikat pada keuntungan duniawi.
b. Menilai Ketulusan Iman Kita Sendiri
Iman Kristen menuntut ketulusan hati. Mengingat bahwa Yesus mengetahui isi hati manusia, kita didorong untuk menguji diri kita sendiri dan bertanya apakah motivasi kita murni ataukah kita hanya mencari keuntungan. Apakah kita beribadah karena cinta kepada-Nya ataukah karena ingin mendapatkan sesuatu dari-Nya? Pertanyaan ini penting untuk mengevaluasi dan memurnikan iman kita.
c. Memiliki Komitmen yang Kokoh kepada Kristus
Mukjizat adalah bagian dari pelayanan Yesus, tetapi hubungan dengan-Nya jauh lebih berharga daripada tanda-tanda lahiriah. Yesus ingin membangun hubungan yang kokoh dengan para pengikut-Nya, hubungan yang tidak goyah oleh keadaan atau ketidakhadiran mukjizat. Orang Kristen dipanggil untuk memiliki komitmen yang tak tergoyahkan kepada Kristus, menjadikan-Nya pusat hidup kita dalam suka dan duka.
Kesimpulan
Yohanes 2:23-25 menunjukkan bagaimana mukjizat-mukjizat yang Yesus lakukan di Yerusalem memengaruhi banyak orang untuk percaya kepada-Nya, namun juga mengungkapkan bagaimana Yesus mengetahui isi hati manusia. Mukjizat ini mengarahkan kita untuk memahami karunia pengetahuan ilahi yang dimiliki Yesus, yang memungkinkan-Nya melihat ketulusan iman kita. Sebagai orang percaya, kita diundang untuk memiliki iman yang murni dan kokoh, yang tidak hanya terfokus pada mukjizat, tetapi pada kasih dan pengenalan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
Perikop ini juga menekankan pentingnya memurnikan motivasi kita dalam beriman. Yesus memanggil kita untuk datang kepada-Nya bukan hanya karena apa yang dapat Dia berikan, tetapi karena siapa Dia. Kiranya kita semakin dimampukan untuk membangun hubungan yang intim dengan Kristus dan memiliki iman yang tahan uji serta berakar pada pengenalan akan diri-Nya.