1 Korintus 1:26-29 - Pilihan Allah atas Pengikut Kristus: Makna dan Alasan Mengapa Dipilih

1 Korintus 1:26-29 - Pilihan Allah atas Pengikut Kristus: Makna dan Alasan Mengapa Dipilih
 Pendahuluan:

Dalam 1 Korintus 1:26-29, Rasul Paulus memberikan sebuah pesan yang sangat penting bagi orang percaya, yaitu tentang pilihan Allah yang tidak mengikuti logika manusia. Allah tidak memilih orang berdasarkan hikmat dunia, kekuasaan, atau status, tetapi justru memilih yang lemah, hina, dan tidak terpandang di dunia ini untuk mempermalukan yang kuat dan bijak. 

Ayat-ayat ini berbunyi, "Ingatlah, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah."

Nasihat ini meruntuhkan pemikiran umum bahwa kebesaran seseorang di mata Allah tergantung pada kepandaian, kekayaan, atau kedudukan. John Calvin, Timothy Keller, dan N.T. Wright menyelami makna dan alasan di balik pilihan Allah ini. Dalam artikel ini, kita akan mengulas alasan teologis mengapa Allah memilih pengikut yang tidak sesuai dengan standar dunia dan bagaimana ini mengungkapkan karakter serta rencana-Nya. Kata-kata seperti "rendah hati," "kasih karunia," "kebijaksanaan," "pengudusan," dan "kemuliaan Allah" akan membantu kita memahami pesan Paulus ini lebih dalam.

1. Memahami Pilihan Allah: Mengapa Allah Memilih yang Lemah?

Ketika Allah memilih orang-orang yang dianggap tidak berarti oleh dunia, Dia sedang menunjukkan bahwa jalan-jalan-Nya sangat berbeda dari cara berpikir manusia. Dalam perspektif dunia, orang yang lemah atau hina sering kali dianggap tidak penting, namun Allah justru memuliakan mereka yang rendah hati. Pemilihan ini menunjukkan bahwa kebesaran di hadapan Allah bukanlah berdasarkan kemampuan atau kebijaksanaan dunia, tetapi pada kasih karunia-Nya.

Timothy Keller, dalam bukunya "The Reason for God," menjelaskan bahwa Allah memilih yang lemah dan yang hina untuk menunjukkan kasih karunia-Nya yang sempurna. Keller menekankan bahwa kasih karunia Allah tidak bekerja dengan cara yang dapat diprediksi atau diukur berdasarkan standar manusia. Kasih karunia Allah lebih mengutamakan kerendahan hati dan penyerahan total kepada-Nya dibandingkan pencapaian manusia. Menurut Keller, pemilihan Allah adalah sebuah pengingat bahwa kita semua bergantung pada kasih karunia, bukan pada kekuatan atau kebijaksanaan kita.

Dalam Yakobus 2:5, kita melihat prinsip yang serupa: "Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?" Ayat ini menegaskan bahwa Allah melihat melampaui keadaan luar dan mengutamakan mereka yang kaya dalam iman.

2. Karakteristik Pengikut Kristus yang Dipilih Allah

Ketika Paulus berbicara tentang "yang lemah," "yang bodoh," dan "yang tidak terpandang," dia merujuk kepada orang-orang yang rendah hati dan tidak bergantung pada status duniawi mereka. Dalam masyarakat zaman Paulus, orang-orang ini sering kali dianggap tidak penting. Namun, bagi Allah, mereka memiliki potensi yang besar karena mereka siap untuk dibentuk dan dipakai oleh-Nya.

John Calvin, dalam "Institutes of the Christian Religion," menekankan bahwa Allah memilih orang-orang seperti ini karena mereka memiliki hati yang terbuka untuk menerima kasih karunia-Nya. Calvin menguraikan bahwa mereka yang rendah hati lebih mudah untuk menerima kebijaksanaan Allah, karena mereka tidak memiliki kesombongan yang menghalangi mereka dari kebenaran. Allah tidak mencari kesempurnaan duniawi, tetapi hati yang tunduk dan mau diajar.

Di dalam Matius 5:3, Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." Dalam hal ini, kemiskinan rohani atau rendah hati adalah kualitas yang sangat dihargai Allah, karena memungkinkan manusia untuk sepenuhnya bergantung pada-Nya. Allah menghargai hati yang rendah dan berserah, yang menjadikan pemilihan-Nya sangat berbeda dari pilihan manusia.

3. Pilihan Allah Menggambarkan Karakter-Nya yang Sempurna

Melalui pemilihan orang-orang yang dianggap tidak berarti, Allah menunjukkan karakter kasih karunia-Nya yang melampaui pengertian manusia. Dalam pandangan manusia, memilih yang lemah adalah hal yang tidak lazim, namun dalam rencana Allah, hal tersebut adalah gambaran kasih yang melampaui keadilan dunia. Allah tidak memilih berdasarkan kualifikasi manusia, tetapi berdasarkan kasih karunia-Nya.

N.T. Wright, dalam bukunya "Paul: In Fresh Perspective," menulis bahwa tindakan Allah memilih yang lemah adalah untuk menunjukkan bahwa kuasa dan hikmat Allah jauh melampaui segala hikmat dunia. Wright menjelaskan bahwa hikmat Allah adalah kebalikan dari hikmat duniawi yang cenderung memuji kekuatan, kekuasaan, dan kepintaran. Dengan memilih yang lemah, Allah menunjukkan bahwa kekuatan dan hikmat-Nya tidak memerlukan bantuan dari kebesaran dunia, tetapi berdiri tegak sendiri dalam kemuliaan-Nya.

Dalam Yesaya 55:8-9, Allah berfirman, "Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku… Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu." Ayat ini menunjukkan bahwa hikmat Allah jauh melampaui pengertian manusia, dan pilihan Allah adalah bagian dari hikmat yang lebih tinggi.

4. Supaya Tidak Ada yang Bermegah: Menyerahkan Semua Kemuliaan kepada Allah

Salah satu alasan utama Allah memilih yang hina adalah agar tidak ada manusia yang dapat memegahkan diri di hadapan-Nya. Dalam 1 Korintus 1:29, Paulus menulis, "supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah." Dengan memilih yang lemah, Allah menunjukkan bahwa segala kemuliaan dan pujian haruslah diarahkan kepada-Nya, bukan kepada kekuatan atau kebijaksanaan manusia.

John Stott, dalam bukunya "The Cross of Christ," menekankan bahwa kemuliaan Allah adalah tujuan dari segala sesuatu, termasuk pemilihan Allah atas orang percaya. Stott menulis bahwa ketika Allah memilih orang-orang yang rendah hati, Dia mengajarkan bahwa kita tidak boleh mengandalkan diri sendiri tetapi harus bergantung pada kekuatan Allah. Pemilihan Allah atas mereka yang hina memperlihatkan bahwa semua pencapaian kita hanyalah karena kasih karunia Allah.

Dalam Efesus 2:8-9, Paulus menegaskan prinsip yang sama: "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." Keselamatan kita adalah bukti kasih karunia Allah, bukan hasil usaha kita, sehingga semua kemuliaan hanya bagi Allah.

5. Kebijaksanaan yang Berasal dari Allah, Bukan Dunia

Ketika Allah memilih yang lemah, Dia menyatakan bahwa kebijaksanaan sejati datang dari-Nya, bukan dari hikmat dunia. Dalam 1 Korintus 1:27, Paulus menulis bahwa Allah memilih "yang bodoh bagi dunia untuk memalukan orang-orang yang berhikmat." Dalam rencana Allah, kebijaksanaan sejati datang melalui hubungan dengan-Nya dan tidak tergantung pada pendidikan atau status sosial.

J.I. Packer, dalam bukunya "Knowing God," menjelaskan bahwa kebijaksanaan Allah bukanlah sesuatu yang bisa dipahami dengan hikmat manusia. Menurut Packer, kebijaksanaan Allah adalah sesuatu yang supranatural, yang datang dari pengenalan yang mendalam akan Firman Tuhan dan hubungan pribadi dengan Kristus. Hikmat ini memungkinkan kita untuk hidup dengan tujuan ilahi, yang berbeda dari standar hikmat dunia yang hanya berfokus pada keuntungan pribadi.

Dalam Amsal 3:5-6, dikatakan, "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri." Ayat ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan sejati adalah ketergantungan penuh pada Allah dan bukan pada pemahaman kita sendiri. Ketika kita bergantung pada Allah, kita akan memahami kebijaksanaan yang berasal dari-Nya dan hidup sesuai dengan rencana-Nya.

6. Menjadi Alat Kasih Karunia dan Kuasa Allah

Orang percaya yang dipilih Allah dipanggil untuk menjadi alat kasih karunia dan kuasa Allah di dunia. Dengan memilih mereka yang lemah dan hina, Allah menunjukkan bahwa kuasa-Nya dapat bekerja dalam segala keterbatasan kita. Dalam 2 Korintus 12:9, Allah berkata kepada Paulus, "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna."

Charles Spurgeon, seorang pengkhotbah ternama, sering kali menyatakan bahwa kelemahan kita adalah kesempatan bagi Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya yang besar. Spurgeon menekankan bahwa ketika kita menyadari kelemahan kita, kita lebih bergantung kepada Allah, dan inilah yang memungkinkan Allah bekerja dengan lebih besar dalam hidup kita. Dengan kata lain, Allah memilih yang lemah agar kuasa-Nya dapat lebih nyata dan kemuliaan-Nya semakin terpancar.

7. Aplikasi Praktis dalam Kehidupan Orang Percaya

Pengajaran Paulus dalam 1 Korintus 1:26-29 memiliki banyak aplikasi praktis bagi kehidupan kita saat ini. Berikut adalah beberapa di antaranya:

A. Menjaga Sikap Rendah Hati

Pemilihan Allah yang tidak mengikuti standar dunia mengingatkan kita untuk tetap rendah hati. Allah memilih kita bukan karena kehebatan kita, tetapi karena kasih karunia-Nya. Oleh karena itu, kita harus menjaga sikap rendah hati dan menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Yakobus 4:6 berkata, "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati."

B. Bergantung pada Kuasa Allah, Bukan Diri Sendiri

Allah memilih yang lemah untuk menunjukkan bahwa kuasa sejati berasal dari-Nya. Dalam hidup kita, kita sering kali tergoda untuk mengandalkan diri sendiri. Namun, pemilihan Allah mengingatkan kita bahwa kita harus bergantung kepada kuasa Allah. Dalam 2 Korintus 4:7, Paulus menulis, "Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami."

C. Menjauhi Kesombongan dan Kebanggaan Diri

Pemilihan Allah menunjukkan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk bermegah. Semua yang kita miliki adalah anugerah Allah, bukan hasil usaha kita sendiri. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk hidup dengan kerendahan hati, menjauhi kesombongan, dan memuliakan Allah dalam segala hal.

D. Memandang Diri dan Orang Lain dengan Kasih Karunia

Karena Allah memilih yang lemah, kita juga dipanggil untuk memandang diri sendiri dan orang lain dengan kasih karunia. Kita tidak boleh meremehkan atau memandang rendah orang lain karena kekurangan mereka, tetapi justru mengasihi dan menerima mereka dengan kasih Kristus, mengingat bahwa Allah juga telah mengasihi kita dalam kelemahan kita.

Kesimpulan

Pilihan Allah atas orang-orang yang tidak terpandang di dunia menunjukkan kasih karunia dan kebijaksanaan Allah yang jauh melampaui pemahaman manusia. Dalam 1 Korintus 1:26-29, Paulus menekankan bahwa Allah tidak memilih pengikut-Nya berdasarkan kebijaksanaan, kekuatan, atau status mereka di dunia, tetapi berdasarkan kasih karunia-Nya. John Calvin, Timothy Keller, N.T. Wright, dan John Stott menunjukkan bahwa pilihan ini adalah pengingat bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, dan tidak ada tempat untuk kebanggaan diri.

Baca Juga:  1 Korintus 1:18-25 - Kebijaksanaan Manusia dan Pemberitaan Salib: Hikmat Allah vs. Kebijaksanaan Duniawi

Sebagai orang percaya, kita diundang untuk merespons pilihan Allah dengan kerendahan hati, ketergantungan penuh pada kasih karunia-Nya, serta menjauhi kesombongan. Pemilihan Allah yang penuh kasih karunia ini mengajarkan kita untuk hidup dalam iman dan menyadari bahwa kekuatan dan hikmat sejati hanya ditemukan dalam hubungan dengan Kristus.

Melalui kelemahan kita, kuasa Allah menjadi nyata, dan melalui hidup yang dipenuhi kasih karunia, kita dapat menjadi saksi yang hidup akan kemuliaan Allah kepada dunia.

Next Post Previous Post