Yohanes 4:1-3 - Yesus Pergi ke Galilea: Makna, Tujuan, dan Pelajaran

Yohanes 4:1-3 - Yesus Pergi ke Galilea: Makna, Tujuan, dan Pelajaran
Pendahuluan:

Yohanes 4:1-3 mencatat momen ketika Yesus memutuskan untuk meninggalkan Yudea dan pergi ke Galilea setelah mengetahui bahwa orang-orang Farisi menyadari popularitas pelayanan-Nya yang meningkat. Keputusan ini tidak hanya sebagai langkah strategis, tetapi juga mengandung makna yang lebih dalam tentang tujuan Yesus, taktik pelayanan, dan penyerahan diri-Nya kepada kehendak Bapa. Perjalanan Yesus ke Galilea juga menunjukkan misi-Nya yang mengatasi batasan sosial dan keagamaan pada masa itu.

Ayat-ayat tersebut berbunyi:"Ketika Tuhan mengetahui kalau orang-orang Farisi telah mendengar bahwa Dia menghasilkan dan membaptis lebih banyak murid daripada Yohanes (meskipun Yesus sendiri tidak membaptis, melainkan murid-murid-Nya), Dia meninggalkan Yudea dan kembali lagi ke Galilea." (Yohanes 4:1-3, AYT)_

Artikel ini akan membahas alasan di balik keputusan Yesus, pandangan beberapa pakar teologi mengenai makna ayat ini, serta penerapan praktis bagi orang percaya untuk mengikuti teladan Yesus dalam pelayanan dan pengabdian.

1. Keputusan untuk Pergi ke Galilea dan Signifikansinya

Dalam ayat-ayat ini, Yohanes mencatat bahwa Yesus memutuskan untuk pergi ke Galilea setelah mengetahui bahwa orang-orang Farisi menyadari meningkatnya jumlah murid-Nya dibandingkan dengan Yohanes Pembaptis. Keputusan ini bukanlah upaya untuk menghindari konflik, tetapi menunjukkan hikmat Yesus dalam menjaga waktu dan tujuan pelayanan-Nya. Meskipun Yohanes telah mempersiapkan jalan bagi Yesus, persaingan antara pengikut Yohanes dan Yesus bisa memicu konflik yang dapat mengalihkan perhatian dari tujuan utama misi-Nya.

John Stott, dalam bukunya The Message of John’s Gospel, menyatakan bahwa keputusan Yesus untuk pergi ke Galilea mencerminkan kepatuhan-Nya kepada waktu Allah. Stott menulis, “Yesus tidak tertarik dengan persaingan popularitas, tetapi lebih mementingkan kehendak Bapa-Nya.” Keputusan ini menunjukkan bahwa Yesus memilih untuk memfokuskan pelayanan-Nya di tempat yang sesuai dengan rencana Allah.

R.C. Sproul, dalam The Holiness of God, menegaskan bahwa hikmat Yesus dalam mengambil keputusan untuk pergi ke Galilea adalah bagian dari kesempurnaan-Nya sebagai Anak Allah. Sproul menulis, “Yesus mengetahui bahwa tugas-Nya di dunia bukan untuk memecah-belah, tetapi untuk menyelamatkan. Dia menghindari konflik yang tidak perlu agar dapat tetap fokus pada tujuan-Nya.” Dengan demikian, keputusan Yesus adalah tanda bahwa Dia selalu berfokus pada misi keselamatan yang diberikan Bapa.

2. Yesus dan Orang Farisi: Hubungan yang Kompleks

Yohanes mencatat bahwa orang-orang Farisi telah mendengar tentang popularitas Yesus yang meningkat, yang mungkin menimbulkan rasa curiga di kalangan mereka. Orang Farisi adalah kelompok yang sangat berpengaruh dalam masyarakat Yahudi, yang sering merasa terancam oleh ajaran Yesus yang berbeda dari tradisi mereka. Dalam konteks ini, kepergian Yesus ke Galilea juga menunjukkan strategi pelayanan yang bijaksana untuk menghindari konflik yang bisa menjadi penghalang bagi misi-Nya.

N.T. Wright, dalam Simply Jesus, menjelaskan bahwa hubungan Yesus dengan orang Farisi adalah kompleks. Wright menulis, “Yesus tidak menentang tradisi Yahudi, tetapi Ia menegur kesombongan dan kemunafikan yang sering muncul dalam pengajaran orang Farisi.” Dengan meninggalkan Yudea, Yesus menunjukkan bahwa misi-Nya bukanlah untuk menantang otoritas mereka secara terbuka, tetapi untuk menyatakan kebenaran yang sejati.

John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion, menyatakan bahwa hubungan antara Yesus dan orang Farisi adalah gambaran dari bagaimana kebenaran dan kesalahan sering kali berbenturan. Calvin menulis, “Yesus tidak takut menentang ketidakbenaran, tetapi Dia juga bijaksana dalam menghadapi oposisi agar dapat melaksanakan misi keselamatan yang telah ditetapkan oleh Bapa.” Dengan demikian, kepergian Yesus ke Galilea menunjukkan bahwa Dia memprioritaskan keselamatan umat manusia di atas perlawanan terhadap institusi keagamaan.

3. Makna Perjalanan ke Galilea dalam Rencana Keselamatan

Galilea adalah wilayah yang sering dianggap sebagai tempat orang yang dianggap rendah oleh masyarakat Yudea pada umumnya. Yesus, sebagai seorang Galilea, memilih untuk memulai pelayanan-Nya di tempat yang dianggap kurang dihargai dalam budaya Yahudi pada masa itu. Keputusan ini menunjukkan bahwa misi Yesus adalah untuk semua orang, bukan hanya untuk golongan elit atau mereka yang dianggap "lebih" religius.

J.I. Packer, dalam Knowing God, menegaskan bahwa keputusan Yesus untuk pergi ke Galilea menunjukkan misi inklusif dari Injil. Packer menulis, “Yesus datang untuk menyelamatkan semua orang tanpa memandang status atau latar belakang. Galilea adalah tanda bahwa Injil adalah untuk semua, bukan hanya untuk kaum terpilih.” Yesus datang bukan hanya untuk masyarakat yang dianggap terhormat, tetapi juga untuk mereka yang terpinggirkan dan membutuhkan kasih Allah.

N.T. Wright juga menambahkan bahwa pilihan Yesus untuk melayani di Galilea adalah bentuk perlawanan terhadap standar sosial yang membatasi akses kepada Allah. “Yesus melayani di Galilea untuk menunjukkan bahwa kasih Allah melampaui batas-batas sosial dan geografis,” tulis Wright. Dengan demikian, perjalanan Yesus ke Galilea adalah simbol dari pesan Injil yang terbuka bagi semua orang.

4. Strategi Pelayanan yang Bijaksana

Dalam pelayanan-Nya, Yesus menunjukkan strategi yang bijaksana dengan memilih waktu dan tempat yang sesuai dengan rencana Allah. Meskipun Yesus menyadari risiko popularitas-Nya yang meningkat di Yudea, Dia memilih untuk pergi ke Galilea untuk menghindari konflik yang tidak perlu dengan para pemimpin agama. Sikap ini menunjukkan bahwa dalam pelayanan, penting untuk mempertimbangkan situasi dan memprioritaskan rencana Allah di atas segala kepentingan lainnya.

R.C. Sproul menekankan bahwa strategi pelayanan Yesus adalah bukti dari hikmat-Nya yang ilahi. “Yesus menunjukkan bahwa dalam pelayanan, kita harus selalu mendahulukan kehendak Allah dan bukan popularitas atau pengakuan manusia,” tulis Sproul. Dengan demikian, pelayanan yang berkenan di hadapan Allah adalah pelayanan yang mengutamakan kesetiaan kepada kehendak-Nya.

John Stott juga menekankan pentingnya hikmat dalam pelayanan. Stott menulis, “Yesus mengajarkan kita untuk melayani dengan bijaksana, mempertimbangkan setiap situasi, dan mengutamakan tujuan akhir dari misi-Nya, yaitu keselamatan umat manusia.” Melalui teladan Yesus, kita belajar bahwa pelayanan yang sejati adalah pelayanan yang mengikuti kehendak Allah, bukan ambisi pribadi.

5. Penerapan Praktis: Meneladani Yesus dalam Pelayanan

Yohanes 4:1-3 memberikan banyak pelajaran praktis bagi kehidupan orang percaya untuk mengikuti teladan Yesus dalam pelayanan:

  1. Menjaga Fokus pada Misi yang Diberikan Allah
    Yesus selalu berfokus pada misi yang diberikan Bapa, mengabaikan popularitas atau keinginan untuk dikenal. Orang percaya dipanggil untuk mengikuti teladan ini dengan menempatkan kehendak Allah sebagai prioritas utama dalam pelayanan mereka.

  2. Bijaksana dalam Menghadapi Konflik
    Yesus menunjukkan sikap bijaksana dengan memilih untuk menghindari konflik yang bisa menghalangi misi-Nya. Dalam pelayanan, orang percaya dipanggil untuk bersikap bijaksana dalam menghadapi konflik, menghindari pertikaian yang tidak perlu, dan fokus pada tujuan akhir.

  3. Melayani Semua Orang Tanpa Diskriminasi
    Yesus memilih untuk pergi ke Galilea, tempat yang dianggap rendah oleh masyarakat Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan harus mencakup semua orang tanpa memandang latar belakang. Orang percaya dipanggil untuk melayani semua orang dengan kasih Allah yang tanpa batas.

  4. Menyerahkan Kendali pada Waktu Allah
    Yesus menunjukkan ketundukan-Nya pada waktu Allah dengan meninggalkan Yudea saat yang tepat. Orang percaya dipanggil untuk berserah pada waktu Tuhan, menantikan kehendak-Nya dengan kesabaran, dan menghindari ketergesa-gesaan.

  5. Mengutamakan Kerendahan Hati
    Yesus menunjukkan kerendahan hati dengan meninggalkan popularitas-Nya di Yudea dan memilih tempat yang dianggap lebih rendah. Orang percaya dipanggil untuk melayani dengan kerendahan hati, mengutamakan tujuan yang lebih besar dari sekadar pengakuan manusia.

Kesimpulan

Yohanes 4:1-3 mencatat momen penting ketika Yesus memilih untuk meninggalkan Yudea dan pergi ke Galilea setelah mengetahui bahwa orang-orang Farisi menyadari popularitas pelayanan-Nya. Keputusan ini bukanlah tanda kelemahan, tetapi merupakan bukti dari hikmat dan ketaatan Yesus kepada kehendak Bapa. Pilihan untuk melayani di Galilea menunjukkan misi Yesus yang terbuka bagi semua orang, melampaui batas sosial dan budaya pada masa itu.

Baca Juga: Yohanes 3:30-36: Kesaksian Yohanes tentang Yesus Kristus 

Pandangan dari para teolog seperti John Stott, R.C. Sproul, J.I. Packer, dan N.T. Wright memperkaya pemahaman kita tentang makna perjalanan Yesus ke Galilea. Mereka menegaskan bahwa keputusan Yesus menunjukkan kepatuhan-Nya pada waktu dan rencana Allah, dan mengajarkan kita untuk melayani dengan hikmat dan kerendahan hati.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk mengikuti teladan Yesus dengan menempatkan kehendak Allah di atas segalanya, bersikap bijaksana dalam pelayanan, dan melayani semua orang tanpa diskriminasi. Dengan menjadikan Yesus sebagai teladan, kita dapat melaksanakan pelayanan yang berkenan di hadapan Allah dan menjadi saksi bagi kasih karunia-Nya di dunia ini.

Next Post Previous Post