Berbahagialah orang yang suci hatinya (Matius 5:8)
Pengantar:
Dalam teologi Reformed, frasa “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Matius 5:8) merupakan salah satu dari delapan ucapan bahagia yang diucapkan oleh Yesus dalam Khotbah di Bukit. Ucapan ini menunjukkan nilai-nilai yang bertentangan dengan kebiasaan dunia dan mengarahkan umat percaya kepada kehidupan yang sesuai dengan Kerajaan Allah. Artikel ini akan membahas makna mendalam dari ucapan ini sesuai pandangan beberapa pakar teologi Reformed, serta bagaimana prinsip ini relevan bagi kehidupan Kristen masa kini.
1. Makna “Suci Hati” Menurut Alkitab
Istilah "suci hati" berasal dari kata Yunani katharos yang berarti "murni," "bersih," atau "tidak tercemar." Dalam konteks Alkitab, kesucian hati bukan hanya merujuk pada kebersihan moral, tetapi juga integritas, ketulusan, dan motivasi yang berpusat pada Allah. Pakar teologi Reformed, seperti John Calvin, menekankan bahwa hati manusia adalah pusat keberadaan, sumber dari semua pikiran, keinginan, dan tindakan. Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menyatakan, "Kesucian hati melibatkan keselarasan pikiran, kehendak, dan tindakan dengan kehendak Allah yang dinyatakan dalam firman-Nya."
Kesucian hati juga memiliki dimensi vertikal (hubungan dengan Allah) dan horizontal (hubungan dengan sesama). Dalam Mazmur 24:3-4, Daud menulis, “Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? ... Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan.” Kesucian hati mengarah pada penyembahan yang benar kepada Allah dan tindakan etis terhadap sesama.
2. Kontras dengan Pandangan Dunia
Menurut Sinclair Ferguson, seorang teolog Reformed Skotlandia, panggilan untuk menjadi suci hati sangat berbeda dengan nilai-nilai dunia modern. Dunia mengagungkan kesuksesan, kekuasaan, dan kepuasan diri, sedangkan Kerajaan Allah menuntut hati yang murni dan tunduk kepada kehendak-Nya. Ferguson menjelaskan bahwa orang-orang yang “suci hatinya” tidak terfokus pada penampilan lahiriah atau perbuatan untuk mencari penghargaan manusia. Sebaliknya, mereka memusatkan perhatian pada Allah, yang melihat hati manusia (1 Samuel 16:7).
Teolog Puritan seperti Thomas Watson juga menyoroti bahwa kesucian hati menuntut pertobatan sejati. Watson dalam bukunya The Beatitudes menulis, "Hati yang murni adalah hati yang telah dibersihkan oleh darah Kristus dan terus dibersihkan oleh Roh Kudus." Jadi, kesucian hati tidak bisa dicapai melalui usaha manusia semata, tetapi merupakan karya anugerah Allah dalam hati orang percaya.
3. Janji Melihat Allah
Janji “mereka akan melihat Allah” memberikan pengharapan besar bagi orang percaya. Dalam tradisi Reformed, melihat Allah tidak hanya merujuk pada pengalaman eskatologis (di surga) tetapi juga realitas di dunia ini. Jonathan Edwards, seorang teolog Reformed Amerika, berbicara tentang keindahan Allah sebagai sumber sukacita tertinggi. Dalam khotbahnya The Excellency of Christ, Edwards menulis bahwa orang percaya yang memiliki hati murni akan mulai melihat kemuliaan Allah dalam penciptaan, penyelamatan, dan Firman-Nya.
Namun, melihat Allah sepenuhnya adalah berkat yang hanya akan dialami secara penuh dalam kekekalan. Dalam 1 Yohanes 3:2 dikatakan, “Kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya.” Ini mencerminkan pandangan Reformed tentang kehidupan kekal, di mana orang percaya akan menikmati persekutuan sempurna dengan Allah.
4. Proses Pemurnian Hati
Kesucian hati tidak terjadi secara instan tetapi merupakan proses pemurnian yang berlangsung seumur hidup. Reformasi mengajarkan bahwa ini adalah bagian dari pengudusan, yaitu pekerjaan Roh Kudus yang mengubah orang percaya menjadi semakin serupa dengan Kristus. R. C. Sproul menjelaskan bahwa pengudusan melibatkan dua aspek: pengudusan definitif (ketika seseorang pertama kali diselamatkan) dan pengudusan progresif (pertumbuhan dalam kekudusan sepanjang hidup).
Menurut Sproul, firman Allah adalah alat utama dalam proses ini. Dalam Yohanes 17:17 Yesus berdoa, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.” Orang percaya dipanggil untuk merenungkan Firman Tuhan, berdoa, dan hidup dalam komunitas iman agar hati mereka terus diperbarui.
5. Tantangan Kesucian Hati di Zaman Modern
Dalam konteks dunia modern yang penuh dengan godaan, menjaga hati yang murni menjadi tantangan besar. Pakar teologi Reformed mengingatkan bahwa dunia ini adalah medan peperangan rohani. Dunia, daging, dan iblis berusaha mengalihkan perhatian manusia dari Allah. John Owen, seorang teolog Puritan, menyebut dosa sebagai "musuh yang licik" yang terus-menerus menyerang hati manusia. Dalam bukunya The Mortification of Sin, Owen menasihati orang percaya untuk "mematikan dosa setiap hari" melalui kekuatan Roh Kudus.
Charles H. Spurgeon, meskipun sering dikaitkan dengan Baptis, juga memiliki pandangan yang sejalan dengan teologi Reformed tentang kesucian hati. Dalam salah satu khotbahnya, Spurgeon menyatakan bahwa orang percaya harus waspada terhadap “pencemaran kecil” yang dapat merusak hati. Menurutnya, dosa-dosa kecil yang dibiarkan dapat membangun tembok antara manusia dan Allah, mengaburkan visi rohani mereka.
6. Kesucian Hati dan Kesaksian Kristen
Kesucian hati memiliki dampak besar pada kesaksian orang percaya di dunia. Dalam Matius 5:14-16, Yesus berkata bahwa murid-murid-Nya adalah terang dunia. Orang yang suci hatinya memancarkan terang Kristus melalui kehidupan mereka yang murni, penuh kasih, dan tulus. Francis Schaeffer, seorang apologet Reformed, menekankan pentingnya integritas dalam kesaksian Kristen. Dalam bukunya True Spirituality, Schaeffer menjelaskan bahwa dunia akan mengenali keaslian iman Kristen bukan melalui argumen, tetapi melalui kehidupan yang mencerminkan kasih Allah.
Di tengah masyarakat yang sering kali terpecah oleh kebencian dan ketidakadilan, orang-orang Kristen yang suci hatinya dapat menjadi agen rekonsiliasi. Kesucian hati memungkinkan mereka untuk mengasihi musuh, memaafkan pelanggaran, dan membawa damai, sebagaimana diajarkan dalam Matius 5:9.
7. Kesucian Hati dalam Kehidupan Gereja
Kesucian hati juga penting untuk membangun kehidupan gereja yang sehat. Dalam 1 Timotius 1:5, Paulus menulis bahwa tujuan pengajaran adalah kasih yang timbul dari hati yang suci. Teologi Reformed menekankan bahwa gereja adalah komunitas yang dipanggil untuk hidup kudus. Kesucian hati di antara para anggotanya akan menghasilkan persekutuan yang murni, pelayanan yang tulus, dan kesaksian yang efektif.
Baca Juga: 10 Implikasi dari Doa "Datanglah Kerajaan-Mu"(Matius 6:10)
Pakar Reformed seperti Herman Bavinck menekankan bahwa gereja harus menjadi “komunitas yang mencerminkan kemuliaan Allah.” Ini hanya mungkin terjadi jika anggota gereja menyerahkan hati mereka sepenuhnya kepada Kristus dan hidup dalam pertobatan sehari-hari.
Kesimpulan: Berkat dan Tanggung Jawab
Ucapan Yesus dalam Matius 5:8 mengingatkan kita bahwa berkat terbesar yang dapat diterima manusia adalah persekutuan dengan Allah. Namun, berkat ini membawa tanggung jawab untuk hidup dalam kesucian hati. Teologi Reformed mengajarkan bahwa hanya oleh anugerah Allah melalui Kristus, hati manusia dapat dimurnikan.
Panggilan untuk memiliki hati yang suci relevan di segala zaman dan konteks. Ini adalah undangan untuk menjalani kehidupan yang berbeda dari dunia, berakar dalam kasih karunia Allah, dan diarahkan kepada kemuliaan-Nya. Sebagaimana dikatakan oleh John Piper, "Allah paling dimuliakan ketika kita paling bersukacita di dalam-Nya." Orang yang suci hatinya adalah mereka yang menemukan sukacita sejati dalam Allah, hidup untuk kehendak-Nya, dan menantikan saat mereka akan melihat-Nya muka dengan muka.