The Holy Exercise of Fasting: Reformed Theology
Pendahuluan:
Puasa, dalam tradisi Kristen, adalah salah satu disiplin rohani yang telah dipraktikkan selama berabad-abad. Dalam teologi Reformed, puasa dipandang bukan sebagai sekadar tindakan asketis, tetapi sebagai cara yang kudus untuk memperdalam hubungan dengan Allah, merendahkan diri di hadapan-Nya, dan memusatkan hati pada kehendak-Nya.
Karya klasik seperti The Holy Exercise of Fasting oleh para teolog Puritan memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya puasa dalam kehidupan Kristen. Artikel ini akan mengupas makna, tujuan, dan praktik puasa berdasarkan pandangan beberapa pakar teologi Reformed serta relevansinya bagi umat percaya saat ini.
1. Definisi dan Dasar Alkitabiah tentang Puasa
Dalam teologi Reformed, puasa didefinisikan sebagai tindakan sukarela untuk menahan diri dari makanan (atau aktivitas lainnya) selama waktu tertentu, dengan tujuan memusatkan hati dan pikiran pada Allah.
a. Dasar Alkitabiah
Puasa disebutkan dalam banyak bagian Alkitab, baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Musa, Elia, Daniel, dan Yesus adalah beberapa tokoh Alkitab yang berpuasa dalam berbagai konteks. Dalam Matius 6:16-18, Yesus mengajarkan tentang puasa dengan asumsi bahwa umat percaya akan melakukannya: “Apabila kamu berpuasa...”
John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion, menyebut puasa sebagai bagian dari ibadah Kristen yang diarahkan untuk menundukkan daging, memurnikan jiwa, dan mempersiapkan hati untuk doa. Bagi Calvin, puasa adalah tindakan yang benar apabila dilakukan dengan motivasi yang tulus untuk mencari Allah.
b. Tujuan Rohani Puasa
Menurut Thomas Watson, seorang teolog Puritan, tujuan utama puasa adalah memuliakan Allah dengan cara merendahkan diri di hadapan-Nya. Watson menyebut bahwa puasa sejati melibatkan hati yang patah dan roh yang hancur (Mazmur 51:17), bukan sekadar penahanan diri secara fisik.
2. Dimensi-Dimensi Puasa yang Kudus
Dalam teologi Reformed, puasa memiliki beberapa dimensi yang saling melengkapi, yaitu dimensi spiritual, moral, dan komunal.
a. Dimensi Spiritual
Puasa adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Richard Foster, dalam bukunya Celebration of Discipline, menyatakan bahwa puasa membuka ruang dalam hati kita untuk mendengar suara Allah dengan lebih jelas. Dengan menahan diri dari makanan, umat percaya menunjukkan bahwa kebutuhan mereka yang terdalam adalah Allah, bukan hal-hal duniawi.
Jonathan Edwards, seorang tokoh besar dalam tradisi Reformed, menggunakan puasa sebagai sarana untuk memperdalam persekutuan dengan Allah, terutama dalam masa-masa kebangunan rohani. Bagi Edwards, puasa adalah cara untuk memurnikan motivasi hati dan mencari kehendak Allah secara penuh.
b. Dimensi Moral
Puasa juga bertujuan untuk memerangi dosa. John Owen, dalam bukunya The Mortification of Sin, menyebut bahwa puasa adalah salah satu alat yang efektif untuk mematikan dosa dalam hidup orang percaya. Dengan menahan diri dari makanan, umat percaya belajar menundukkan keinginan daging dan melatih penguasaan diri (Galatia 5:16-17).
c. Dimensi Komunal
Puasa sering kali dilakukan dalam konteks komunitas iman. Dalam Perjanjian Lama, Israel berpuasa bersama dalam masa-masa krisis atau pertobatan nasional (Yunus 3:5-8; Yoel 2:12-17). Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics, mencatat bahwa puasa komunal adalah ekspresi kerendahan hati bersama di hadapan Allah, sebagai tubuh Kristus yang memohon belas kasih-Nya.
3. Praktik Puasa yang Benar
Teologi Reformed menekankan bahwa puasa yang sejati harus dilakukan dengan sikap hati yang benar. Ada beberapa prinsip penting untuk memastikan bahwa puasa dilakukan dengan cara yang berkenan kepada Allah.
a. Motivasi yang Tulus
Yesus mengingatkan dalam Matius 6:16-18 agar puasa tidak dilakukan untuk mencari pujian manusia. John Calvin menegaskan bahwa puasa yang sejati adalah yang diarahkan untuk mencari Allah, bukan untuk menunjukkan kesalehan di depan orang lain.
b. Disertai dengan Doa dan Pertobatan
Puasa tidak berdiri sendiri, tetapi selalu dikaitkan dengan doa dan pertobatan. Thomas Boston, seorang teolog Reformed Skotlandia, menyatakan bahwa puasa tanpa doa adalah tindakan yang kosong, dan puasa tanpa pertobatan adalah penghinaan terhadap Allah.
c. Fokus pada Kehendak Allah
Puasa yang benar melibatkan pengalihan fokus dari kebutuhan jasmani kepada kehendak Allah. R.C. Sproul, dalam bukunya The Holiness of God, menyebut bahwa puasa adalah cara untuk mengarahkan hati kepada Allah yang kudus dan menyelaraskan hidup dengan kehendak-Nya.
4. Manfaat Rohani dari Puasa
Puasa membawa banyak manfaat rohani bagi umat percaya, baik secara individu maupun komunal.
a. Mendekatkan Diri kepada Allah
Dengan menahan diri dari makanan, umat percaya menunjukkan ketergantungan penuh kepada Allah. James Montgomery Boice, dalam bukunya Foundations of the Christian Faith, menyebut bahwa puasa menciptakan ruang untuk refleksi rohani yang mendalam dan persekutuan dengan Allah.
b. Membawa Pemurnian Hati
Puasa membantu umat percaya untuk mengenali dosa-dosa mereka dan membawa hati mereka kepada pertobatan sejati. Dalam Mazmur 139:23-24, pemazmur meminta Allah untuk menyelidiki hatinya. Puasa adalah sarana untuk membuka diri terhadap pekerjaan Allah dalam hati manusia.
c. Meningkatkan Kepekaan Rohani
Puasa membantu umat percaya untuk lebih peka terhadap kehendak Allah. Dallas Willard, dalam The Spirit of the Disciplines, menyebut bahwa puasa adalah cara untuk menenangkan jiwa dari gangguan duniawi sehingga dapat mendengar suara Allah dengan lebih jelas.
d. Sarana untuk Mencari Hikmat Allah
Dalam Kisah Para Rasul 13:2-3, para pemimpin gereja berpuasa untuk mencari hikmat Allah sebelum mengutus Paulus dan Barnabas. Puasa adalah sarana untuk meminta bimbingan Allah dalam keputusan-keputusan penting.
5. Relevansi Puasa bagi Kehidupan Kristen Modern
Meskipun puasa sering kali dianggap sebagai praktik kuno, teologi Reformed menegaskan bahwa puasa tetap relevan bagi umat percaya masa kini.
a. Menghadapi Tantangan Zaman
Dalam dunia yang penuh dengan gangguan digital dan materialisme, puasa adalah cara untuk menenangkan hati dan memusatkan perhatian pada Allah. Timothy Keller, dalam bukunya Prayer: Experiencing Awe and Intimacy with God, menyebut bahwa puasa membantu umat percaya untuk melawan kecenderungan duniawi yang menjauhkan mereka dari Allah.
b. Memperkuat Komunitas Gereja
Puasa komunal adalah cara untuk memperkuat solidaritas dalam tubuh Kristus. Dalam masa-masa krisis atau kebangunan rohani, puasa bersama dapat menjadi sarana untuk memohon belas kasih Allah dan memperdalam persatuan gereja.
c. Mengembangkan Disiplin Rohani
Puasa adalah bagian dari disiplin rohani yang membantu umat percaya untuk bertumbuh dalam iman. Dalam dunia yang serba instan, puasa mengajarkan kesabaran, penguasaan diri, dan ketergantungan kepada Allah.
6. Puasa dalam Perspektif Kekekalan
Teologi Reformed mengajarkan bahwa puasa bukan hanya untuk kehidupan di dunia ini, tetapi juga memiliki perspektif kekekalan. Jonathan Edwards, dalam tulisannya, menyebut bahwa puasa adalah persiapan untuk kehidupan kekal di mana umat percaya akan menikmati persekutuan penuh dengan Allah tanpa gangguan dosa atau kebutuhan jasmani.
Dalam Wahyu 7:16-17, dinyatakan bahwa di surga tidak ada lagi rasa lapar atau haus, karena Allah sendiri yang akan memuaskan umat-Nya. Puasa, dengan demikian, adalah bayangan dari pengharapan akan kepuasan sejati di dalam Allah yang akan datang.
Kesimpulan
Puasa adalah latihan rohani yang kudus, yang membawa umat percaya lebih dekat kepada Allah, memurnikan hati, dan mengarahkan hidup pada kehendak-Nya. Dalam tradisi Reformed, puasa bukan sekadar ritual, tetapi tindakan iman yang mendalam untuk mencari Allah dengan segenap hati, jiwa, dan pikiran.
Baca Juga: On the Mode of Conversion: Reformed Theology
Melalui puasa, umat percaya diajak untuk merendahkan diri, melatih penguasaan diri, dan mempersiapkan diri untuk persekutuan kekal dengan Allah. Pesan ini tetap relevan bagi gereja di setiap zaman, mendorong umat percaya untuk menjalani hidup yang memuliakan Allah dalam segala hal.