Mengasihi dengan Tindakan: Matius 5:44
Pendahuluan:
Matius 5:44 adalah bagian dari Khotbah di Bukit, di mana Yesus memberikan pengajaran yang revolusioner mengenai kasih, musuh, dan karakter sejati dari anak-anak Allah. Ayat ini berbunyi:
"Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:44, TB)
Ayat ini mengajarkan tentang kasih yang radikal, yang melampaui standar moral manusia. Dalam perspektif teologi Reformed, Matius 5:44 memiliki makna mendalam yang berkaitan dengan natur kasih Allah, doktrin anugerah umum dan khusus, serta bagaimana orang percaya dipanggil untuk hidup dalam terang Injil.
Artikel ini akan menguraikan makna teologis dari ayat ini berdasarkan pemikiran beberapa pakar teologi Reformed seperti John Calvin, Herman Bavinck, Louis Berkhof, dan R.C. Sproul.
1. Konteks Matius 5:44
A. Khotbah di Bukit sebagai Pedoman Hidup Kerajaan Allah
Khotbah di Bukit (Matius 5-7) adalah bagian dari ajaran Yesus yang menegaskan standar hidup dalam Kerajaan Allah. Yesus tidak hanya mengajarkan moralitas yang lebih tinggi, tetapi juga menunjukkan bagaimana hukum Taurat seharusnya dipahami dalam terang kasih dan kebenaran Allah.
John Calvin dalam Commentary on Matthew menekankan bahwa Yesus dalam khotbah ini tidak menghapus hukum Taurat, tetapi memberikan interpretasi yang lebih dalam tentang maksud sejati dari hukum tersebut. Kasih kepada musuh adalah ekspresi dari kebenaran yang lebih tinggi yang Yesus tuntut dari pengikut-Nya.
B. Kontras dengan Hukum Taurat dan Tradisi Yahudi
Dalam Matius 5:43, Yesus berkata:
"Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu."
Kalimat ini tidak secara eksplisit ditemukan dalam Perjanjian Lama, tetapi merupakan interpretasi yang berkembang di kalangan orang Yahudi saat itu. Yesus mengoreksi pemahaman tersebut dengan menekankan kasih yang tidak terbatas hanya pada sesama, tetapi juga kepada musuh.
Herman Bavinck dalam Reformed Ethics menjelaskan bahwa ajaran ini mencerminkan sifat kasih Allah yang tidak bersyarat dan menantang konsep kasih yang bersifat transaksional dalam budaya manusia.
2. Kasih Allah sebagai Dasar Perintah Yesus
A. Allah Mengasihi Orang Benar dan Orang Berdosa
Yesus mendasarkan perintah untuk mengasihi musuh pada karakter Allah sendiri. Dalam Matius 5:45, Ia berkata:
"Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang jahat dan orang baik dan menurunkan hujan bagi orang benar dan orang tidak benar."
Louis Berkhof dalam Systematic Theology menekankan bahwa kasih Allah memiliki dua aspek utama:
- Anugerah Umum (Common Grace): Allah menunjukkan kebaikan-Nya kepada semua orang, baik orang percaya maupun tidak percaya.
- Anugerah Khusus (Special Grace): Kasih Allah secara khusus diberikan kepada umat pilihan-Nya dalam keselamatan.
Yesus menuntut pengikut-Nya untuk meniru kasih Allah yang bersifat umum, yaitu dengan berbuat baik bahkan kepada musuh mereka.
B. Kasih sebagai Sifat Ilahi yang Sejati
R.C. Sproul dalam The Holiness of God menjelaskan bahwa kasih yang sejati bukan sekadar emosi atau perasaan, tetapi merupakan komitmen untuk mencari kebaikan bagi orang lain, termasuk mereka yang memusuhi kita.
Paulus dalam Roma 5:8 menunjukkan bagaimana kasih ini diwujudkan dalam Kristus:"Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa."
Ini berarti bahwa kasih kepada musuh bukanlah sekadar tindakan moral, tetapi mencerminkan sifat Allah yang mengasihi manusia bahkan ketika mereka masih dalam keadaan berdosa.
3. Mengasihi Musuh dalam Perspektif Teologi Reformed
A. Kasih kepada Musuh sebagai Buah Roh
Dalam Galatia 5:22-23, Paulus menyebutkan bahwa kasih adalah bagian dari buah Roh. Mengasihi musuh bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan oleh natur manusia yang telah jatuh dalam dosa, tetapi merupakan hasil dari pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan orang percaya.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menegaskan bahwa hanya mereka yang telah dilahirkan kembali oleh Roh Kudus yang mampu mengasihi dengan cara yang benar. Manusia secara alami cenderung membenci musuhnya, tetapi kasih ilahi mengubah hati dan memungkinkan orang percaya untuk mengasihi bahkan mereka yang menyakiti mereka.
B. Kasih sebagai Tanda Identitas Orang Percaya
Yesus berkata bahwa dengan mengasihi musuh, orang percaya menunjukkan bahwa mereka adalah anak-anak Allah. Ini berarti bahwa kasih kepada musuh adalah tanda regenerasi sejati.
Jonathan Edwards dalam Charity and Its Fruits menjelaskan bahwa kasih sejati adalah tanda dari iman yang sejati. Jika seseorang hanya mengasihi mereka yang mengasihinya, maka kasih itu tidak lebih dari kasih duniawi yang bersifat egoistis. Namun, kasih sejati mencerminkan kasih Allah yang tidak terbatas.
4. Berdoa bagi Musuh sebagai Wujud Kasih Injili
A. Doa sebagai Sarana Mengubah Hati
Yesus tidak hanya memerintahkan untuk mengasihi musuh tetapi juga untuk berdoa bagi mereka yang menganiaya kita.
Louis Berkhof menjelaskan bahwa doa bagi musuh bukan hanya tentang memohon agar mereka berubah, tetapi juga tentang mengubah hati kita sendiri. Doa menolong orang percaya untuk melihat musuh mereka sebagaimana Allah melihat mereka—dengan belas kasihan dan harapan akan pertobatan mereka.
B. Teladan Kristus dalam Berdoa bagi Musuh
Yesus sendiri memberikan contoh ketika Ia berdoa di kayu salib:"Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34)
Stefanus, martir pertama, juga mengikuti teladan ini ketika ia berdoa bagi mereka yang merajamnya (Kisah Para Rasul 7:60).
Herman Bavinck menegaskan bahwa doa bagi musuh adalah bagian dari kehidupan etis orang percaya yang mencerminkan kasih karunia Allah.
5. Implikasi bagi Kehidupan Orang Percaya
A. Mengasihi dengan Tindakan, Bukan Hanya Kata-Kata
1 Yohanes 3:18 berkata:"Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran."
Kasih kepada musuh harus diwujudkan dalam tindakan nyata, seperti:
- Mendoakan mereka
- Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (Roma 12:17)
- Menunjukkan belas kasihan dalam sikap dan perkataan
B. Mengampuni sebagai Bagian dari Kasih kepada Musuh
Efesus 4:32 berkata:"Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu."
John Calvin menekankan bahwa pengampunan adalah bukti dari kasih sejati. Orang percaya yang telah menerima kasih dan pengampunan Allah dipanggil untuk mengampuni orang lain dengan cara yang sama.
C. Mengandalkan Roh Kudus untuk Mengasihi dengan Benar
Karena kasih kepada musuh adalah sesuatu yang sulit bagi manusia berdosa, hanya melalui Roh Kudus orang percaya dapat melakukannya dengan tulus.
R.C. Sproul menekankan bahwa orang percaya harus terus berdoa agar Roh Kudus menolong mereka untuk mengasihi, karena tanpa pertolongan-Nya, mustahil bagi manusia untuk hidup sesuai dengan standar kasih Allah.
Kesimpulan
Matius 5:44 adalah perintah yang sangat menantang tetapi juga mencerminkan natur kasih Allah yang sejati. Dalam perspektif teologi Reformed, ayat ini mengajarkan bahwa:
- Kasih kepada musuh mencerminkan kasih Allah yang tidak bersyarat.
- Mengasihi musuh hanya mungkin melalui pekerjaan Roh Kudus dalam hidup orang percaya.
- Berdoa bagi musuh adalah cara untuk menumbuhkan kasih yang tulus dan mengubah hati.
- Kasih sejati harus diwujudkan dalam tindakan dan pengampunan.
Yesus mengajarkan bahwa mengasihi musuh bukanlah pilihan, tetapi panggilan bagi semua orang percaya sebagai bukti nyata dari kasih Injili. Soli Deo Gloria!