Misteri Keheningan Allah di Tengah Penderitaan
Pendahuluan
Penderitaan adalah realitas yang tak terelakkan dalam kehidupan manusia. Dari kehilangan orang yang dicintai, penyakit yang melemahkan, hingga ketidakadilan yang menimpa tanpa alasan yang jelas, kita sering kali mendapati diri bertanya, "Di manakah Allah?" dan "Mengapa Dia diam?"
Pertanyaan ini bukanlah hal baru. Alkitab penuh dengan catatan tentang orang-orang kudus yang bergumul dengan keheningan Allah di tengah penderitaan mereka. Ayub, para pemazmur, dan bahkan Yesus sendiri di kayu salib berseru, "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Matius 27:46).
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana beberapa ahli teologi Reformed memahami keheningan Allah di tengah penderitaan yang tak terjelaskan. Dengan menggali Kitab Suci dan pemikiran para teolog seperti John Calvin, Jonathan Edwards, dan Tim Keller, kita akan mencoba menemukan bagaimana kita, sebagai orang percaya, dapat menghadapi dan mengolah penderitaan dalam iman.
1. Keheningan Allah dalam Perspektif Alkitab
1. Ayub: Orang Benar yang Menderita Tanpa Jawaban
Salah satu kisah paling mencolok tentang penderitaan yang tak terjelaskan adalah kisah Ayub. Ayub adalah orang yang saleh, tetapi ia mengalami kehilangan anak-anak, kekayaan, dan kesehatannya dalam waktu singkat. Selama sebagian besar kitab Ayub, Allah tampaknya diam, membiarkan Ayub bertanya tanpa jawaban.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menjelaskan bahwa penderitaan Ayub adalah bukti bahwa jalan Allah tidak selalu dapat dipahami oleh manusia. Calvin menulis:
"Ketika Allah tampaknya diam, itu bukan karena Dia tidak peduli, tetapi karena hikmat-Nya melampaui pemahaman kita."
2. Mazmur Ratapan: Keheningan sebagai Bagian dari Iman
Mazmur berisi banyak seruan yang mencerminkan rasa putus asa umat Allah di tengah penderitaan. Salah satu contoh yang paling kuat adalah Mazmur 22:2:
"Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tidak menjawab."
Jonathan Edwards menekankan bahwa seruan seperti ini bukan tanda ketidakpercayaan, tetapi justru bagian dari perjalanan iman. Ia menulis bahwa ketika umat Allah berseru kepada-Nya dalam keheningan-Nya, mereka sedang mengakui ketergantungan mereka yang mendalam kepada-Nya.
3. Yesus di Kayu Salib: Penderitaan yang Sejati
Ketika Yesus mengutip Mazmur 22 di kayu salib, Dia mengalami penderitaan terdalam yang pernah ada—ditinggalkan oleh Bapa-Nya. Tetapi kita tahu bahwa di balik penderitaan itu, ada rencana penebusan yang agung.
Tim Keller dalam bukunya Walking with God through Pain and Suffering menulis:
"Yesus tidak hanya menderita bagi kita, tetapi juga bersama kita. Ketika kita merasa Allah diam dalam penderitaan kita, kita bisa yakin bahwa Dia sudah terlebih dahulu mengalami keheningan yang paling kelam demi kita."
2. Mengapa Allah Diam? Pendekatan Teologis
Para teolog Reformed telah mengajukan beberapa pemahaman tentang mengapa Allah tampaknya diam dalam penderitaan manusia.
1. Keheningan Allah sebagai Ujian Iman
John Calvin melihat penderitaan sebagai cara Allah menguji dan memperdalam iman kita. Dalam Institutes, ia menulis:
"Iman sejati tidak hanya percaya kepada Allah ketika segala sesuatu berjalan baik, tetapi tetap bertahan bahkan ketika Allah tampaknya jauh."
Hal ini selaras dengan pengalaman Ayub. Keheningan Allah bukanlah tanda bahwa Dia tidak peduli, tetapi kesempatan bagi Ayub untuk bertumbuh dalam iman dan mempercayai Allah tanpa syarat.
2. Keheningan Allah sebagai Bagian dari Rencana yang Lebih Besar
Jonathan Edwards sering kali menekankan bahwa Allah memiliki rencana yang jauh lebih besar dari yang bisa kita pahami. Ia percaya bahwa penderitaan adalah bagian dari kehendak Allah yang lebih luas untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
Sebagai contoh, dalam kisah Yusuf, saudara-saudaranya menjualnya ke Mesir, tetapi akhirnya Allah menggunakannya untuk menyelamatkan banyak orang (Kejadian 50:20). Dalam hal ini, keheningan Allah tidak berarti Dia tidak bertindak, tetapi bahwa Dia bekerja dengan cara yang tidak langsung terlihat oleh manusia.
3. Keheningan Allah sebagai Undangan untuk Berharap
Tim Keller menekankan bahwa keheningan Allah bukanlah penolakan, tetapi undangan untuk berharap. Dalam The Reason for God, ia menulis:
"Jika kita tidak bisa memahami alasan mengapa Allah mengizinkan penderitaan, itu tidak berarti bahwa alasan itu tidak ada. Kita dipanggil untuk mempercayai-Nya meskipun kita tidak selalu mengerti jalan-Nya."
Ini mengingatkan kita pada Habakuk, yang mempertanyakan Allah tetapi akhirnya berkata:
"Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan... namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan." (Habakuk 3:17-18).
3. Bagaimana Merespons Keheningan Allah?
1. Tetap Datang kepada Allah dalam Doa
Salah satu pelajaran terbesar dari Mazmur adalah bahwa kita boleh membawa keluhan kita kepada Allah. Orang percaya tidak dipanggil untuk menekan rasa sakit mereka, tetapi untuk mengekspresikannya kepada Allah dalam iman.
2. Percaya Bahwa Allah Ada dan Peduli
Dalam Roma 8:28, Paulus menulis:
"Kita tahu bahwa dalam segala sesuatu Allah bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia."
Penderitaan yang tampaknya tak terjelaskan tidak berarti Allah telah meninggalkan kita. Kita dipanggil untuk mempercayai bahwa Dia bekerja meskipun kita tidak melihatnya.
3. Melihat ke Salib sebagai Bukti Kasih Allah
Ketika kita bergumul dengan penderitaan, kita bisa melihat ke salib Kristus sebagai bukti bahwa Allah tidak pernah diam dalam penderitaan kita. Jika Allah mengizinkan Anak-Nya sendiri menderita demi kita, kita bisa yakin bahwa penderitaan kita tidak sia-sia.
Tim Keller menulis:
"Salib menunjukkan bahwa Allah bukan hanya Allah yang berdaulat atas penderitaan, tetapi juga Allah yang rela masuk ke dalam penderitaan kita."
4. Hidup dalam Pengharapan Akan Janji Kekal
Pada akhirnya, Alkitab menjanjikan bahwa keheningan Allah tidak akan berlangsung selamanya. Wahyu 21:4 berkata:
"Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi."
Kita menantikan hari di mana semua penderitaan akan berakhir, dan kita akan menikmati persekutuan penuh dengan Allah selamanya.
Kesimpulan
Keheningan Allah dalam penderitaan bukanlah tanda bahwa Dia tidak peduli, tetapi merupakan bagian dari rencana-Nya yang lebih besar. Dalam sejarah umat-Nya, Allah sering kali tampak diam sebelum akhirnya bertindak dengan cara yang luar biasa.
Seperti Ayub, kita mungkin tidak selalu mendapat jawaban atas pertanyaan kita. Tetapi seperti Yesus, kita bisa mempercayai Bapa meskipun kita tidak selalu mengerti jalan-Nya.
John Calvin, Jonathan Edwards, dan Tim Keller semuanya mengajarkan bahwa keheningan Allah adalah kesempatan bagi kita untuk bertumbuh dalam iman, berharap dalam janji-Nya, dan berpegang teguh pada kasih-Nya yang telah dinyatakan dalam Kristus.
Meskipun penderitaan terasa tak terjelaskan sekarang, kita bisa yakin bahwa suatu hari, di hadapan takhta-Nya, kita akan melihat dan memahami segala sesuatu dengan jelas (1 Korintus 13:12). Sampai saat itu tiba, kita dipanggil untuk tetap percaya, berharap, dan berjalan bersama-Nya, bahkan dalam keheningan.