5 Mitos tentang Komplementarianisme

Pendahuluan
Dalam diskursus teologi modern, salah satu topik yang terus menjadi perdebatan hangat adalah mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga, gereja, dan masyarakat. Pandangan komplementarianisme, yang mengakui kesetaraan nilai antara pria dan wanita tetapi juga mengakui adanya perbedaan peran yang ditetapkan Allah, sering kali disalahpahami. Banyak tuduhan dan asumsi negatif diarahkan terhadap posisi ini, termasuk tuduhan bahwa ia bersifat misoginis, tidak alkitabiah, atau hanya relevan dalam konteks budaya patriarkal kuno.
Artikel ini akan membongkar lima mitos umum mengenai komplementarianisme dengan mengacu pada eksposisi ayat-ayat Alkitab dan pendapat dari para teolog Reformed ternama seperti John Piper, Wayne Grudem, R.C. Sproul, dan lainnya.
Mitos 1: Komplementarianisme Menganggap Wanita Lebih Rendah dari Pria
Eksposisi:
Kejadian 1:27 menyatakan bahwa manusia, pria dan wanita, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Artinya, baik pria maupun wanita memiliki nilai dan martabat yang setara di hadapan Allah. Dalam Galatia 3:28, Rasul Paulus menegaskan bahwa dalam Kristus tidak ada pria atau wanita yang lebih unggul, sebab semua adalah satu dalam Kristus Yesus.
Pandangan Reformed:
Wayne Grudem dan John Piper dalam "Recovering Biblical Manhood and Womanhood" menegaskan bahwa komplementarianisme tidak pernah menyatakan bahwa wanita kurang berharga dari pria. Perbedaan peran bukanlah indikasi inferioritas, melainkan pengaturan fungsi sesuai rancangan Allah. Sebagaimana Yesus tunduk pada Bapa namun tetap satu dengan Bapa dalam hakikat, demikian pula wanita yang tunduk dalam struktur tertentu tetap setara dalam nilai dan kemuliaan.
Mitos 2: Komplementarianisme Mendukung Dominasi Pria atas Wanita
Eksposisi:
Efesus 5:25 menyuruh para suami untuk mengasihi istri mereka sebagaimana Kristus mengasihi jemaat dan menyerahkan diri-Nya baginya. Ini adalah bentuk kasih yang penuh pengorbanan, bukan dominasi. Kepemimpinan pria dalam keluarga bukanlah tentang otoritas mutlak, melainkan tanggung jawab untuk melayani, melindungi, dan membimbing.
Pandangan Reformed:
R.C. Sproul menjelaskan bahwa otoritas pria yang alkitabiah adalah kepemimpinan yang rela berkorban. Otoritas yang digunakan untuk menindas atau mengeksploitasi bertentangan dengan teladan Kristus. Komplementarianisme bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang pelayanan dalam kerangka tanggung jawab ilahi.
Mitos 3: Komplementarianisme Hanya Relevan untuk Budaya Patriarkal Kuno
Eksposisi:
1 Timotius 2:12-13 mengaitkan ajaran tentang peran perempuan dalam pengajaran publik di gereja dengan urutan penciptaan, bukan budaya. Paulus berkata bahwa Adam diciptakan lebih dahulu daripada Hawa, menjadikan dasar dari ajaran ini sebagai universal dan melampaui budaya tertentu.
Pandangan Reformed:
John Piper menegaskan bahwa ajaran komplementarianisme bersifat transkultural karena didasarkan pada penciptaan, bukan pada budaya. Teologi Reformed memandang bahwa prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Kitab Suci berlaku lintas zaman. Oleh karena itu, struktur kepemimpinan dalam keluarga dan gereja bukanlah produk sosial, melainkan institusi ilahi.
Mitos 4: Komplementarianisme Menghambat Pelayanan Wanita
Eksposisi:
Titus 2:3-5 menunjukkan bahwa wanita memiliki peran penting dalam mendidik dan menasihati wanita lain dalam konteks gereja. Dalam Kisah Para Rasul 18:26, Priskila bersama suaminya Akwila mengajar Apolos dengan penuh hikmat. Ini menunjukkan bahwa perempuan tidak dibungkam dalam pelayanan, tetapi diarahkan untuk melayani dalam peran yang sesuai dengan rancangan Allah.
Pandangan Reformed:
Wayne Grudem menunjukkan bahwa komplementarianisme tidak menolak pelayanan wanita, tetapi menempatkan mereka dalam peran yang mendidik, menguatkan, dan membangun tubuh Kristus. Pelayanan doa, penginjilan, pendidikan anak dan wanita lain, serta kontribusi akademik dan sosial adalah bagian vital dari pelayanan wanita.
Mitos 5: Komplementarianisme Bertentangan dengan Kesetaraan Gender
Eksposisi:
Filipi 2:6-8 menunjukkan bahwa Yesus, yang setara dengan Allah, memilih untuk merendahkan diri dan taat. Ini menunjukkan bahwa peran yang tunduk tidak berarti inferioritas. Dalam pernikahan dan gereja, struktur komplementarian mencerminkan hubungan antara Kristus dan jemaat (Efesus 5:22-33), yaitu relasi kasih dan penghormatan.
Pandangan Reformed:
Raymond C. Ortlund Jr. menjelaskan bahwa komplementarianisme justru memperkaya kesetaraan dengan menunjukkan bagaimana perbedaan peran saling mendukung. Seperti halnya tubuh memiliki anggota yang berbeda namun satu kesatuan (1 Korintus 12), demikian pula pria dan wanita dalam rancangan Allah.
Kesimpulan
Komplementarianisme bukanlah ide yang menindas atau membatasi, melainkan panggilan untuk hidup dalam struktur yang Allah tetapkan sejak penciptaan. Ia menegaskan kesetaraan nilai antara pria dan wanita, sekaligus mengakui bahwa Allah memberikan peran berbeda yang saling melengkapi.
Dalam terang Kitab Suci dan suara para teolog Reformed, kita melihat bahwa banyak mitos yang muncul terhadap komplementarianisme lahir dari ketidaktahuan atau pembacaan yang keliru terhadap Alkitab. Dengan kembali kepada teks dan prinsip alkitabiah, kita dapat memahami bahwa komplementarianisme bukan penghalang kebebasan, tetapi jalan menuju harmoni dan kemuliaan Allah dalam relasi antara pria dan wanita.