Anak Manusia juga adalah Tuhan atas Hari Sabat (Markus 2:28)

Anak Manusia juga adalah Tuhan atas Hari Sabat (Markus 2:28)

Pendahuluan

Hari Sabat adalah salah satu aspek utama dalam hukum Taurat yang dijunjung tinggi oleh orang Yahudi. Namun, dalam Markus 2:28, Yesus membuat pernyataan yang sangat radikal:

“Jadi, Anak Manusia adalah Tuhan juga atas hari Sabat.” (Markus 2:28, AYT)

Pernyataan ini menunjukkan otoritas Yesus sebagai Tuhan atas hari Sabat dan menegaskan bahwa Sabat harus dipahami dalam terang kehadiran-Nya. Ayat ini sering menjadi bahan diskusi dalam teologi Reformed, khususnya dalam hal Kristologi (doktrin tentang Kristus) dan aplikasi hukum Taurat dalam Perjanjian Baru.

Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi makna Markus 2:28 dari perspektif beberapa teolog Reformed, seperti John Calvin, Herman Bavinck, Charles Hodge, dan R.C. Sproul.

1. Konteks Markus 2:28

Perkataan Yesus dalam Markus 2:28 terjadi dalam perdebatan antara-Nya dan orang Farisi tentang hari Sabat. Dalam Markus 2:23-27, murid-murid Yesus memetik bulir gandum pada hari Sabat, yang dianggap melanggar hukum Sabat oleh orang Farisi.

Yesus menanggapi dengan mengingatkan mereka tentang Daud yang makan roti sajian (1 Samuel 21:1-6), yang secara hukum tidak diperbolehkan tetapi diizinkan karena kebutuhan mendesak. Yesus kemudian menyatakan prinsip utama tentang Sabat:

“Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.” (Markus 2:27, AYT)

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Sabat bukan dimaksudkan sebagai beban hukum, tetapi sebagai anugerah bagi manusia.

Lalu, Yesus membuat pernyataan yang lebih besar lagi dalam Markus 2:28:

“Jadi, Anak Manusia adalah Tuhan juga atas hari Sabat.”

Di sini, Yesus menegaskan otoritas-Nya sebagai Tuhan yang berhak menentukan bagaimana Sabat harus dipahami dan diterapkan.

2. Yesus sebagai Anak Manusia dan Tuhan atas Sabat

Pandangan John Calvin

John Calvin dalam Commentary on the Synoptic Gospels menjelaskan bahwa Yesus sebagai Anak Manusia memiliki otoritas untuk menafsirkan hukum Sabat karena Ia adalah Tuhan yang memberikan hukum itu sendiri. Calvin menulis:

“Kristus tidak membatalkan Sabat, tetapi mengembalikannya kepada tujuan sejatinya, yaitu sebagai berkat bagi manusia.”

Calvin juga menekankan bahwa orang Farisi telah membebani Sabat dengan hukum-hukum tambahan, yang bukan berasal dari Tuhan. Bagi Calvin, Yesus tidak melanggar Sabat, tetapi menyingkapkan pemahaman yang benar tentangnya.

Pandangan Herman Bavinck

Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menyatakan bahwa Yesus adalah pemenuhan hukum Taurat, termasuk hukum Sabat. Ia menulis:

“Yesus bukan hanya penafsir hukum yang sejati, tetapi juga Tuhan yang berotoritas atas hukum itu sendiri.”

Bavinck menegaskan bahwa Yesus sebagai Anak Manusia adalah Allah yang berinkarnasi, sehingga Ia berhak menentukan makna sejati Sabat.

Aplikasi dari pemahaman ini adalah bahwa Sabat dalam Perjanjian Baru harus dipahami dalam terang Kristus, bukan sebagai sekadar aturan hukum, tetapi sebagai waktu untuk perhentian dan persekutuan dengan Tuhan.

Pandangan Charles Hodge

Charles Hodge dalam Systematic Theology menjelaskan bahwa Yesus sebagai Tuhan atas Sabat menegaskan otoritas-Nya sebagai Mesias. Hodge menulis:

“Pernyataan Yesus dalam Markus 2:28 bukan hanya tentang Sabat, tetapi tentang klaim-Nya sebagai Tuhan yang berdaulat atas semua hukum Taurat.”

Hodge melihat bahwa otoritas Yesus atas Sabat juga mengindikasikan bahwa Dialah penggenapan dari Sabat itu sendiri. Ini berkaitan dengan konsep Sabat eskatologis, di mana orang percaya akan menemukan perhentian sejati dalam Kristus (Ibrani 4:9-10).

Pandangan R.C. Sproul

R.C. Sproul dalam Knowing Christ menekankan bahwa Yesus bukan hanya sekadar guru hukum, tetapi Ia adalah Tuhan yang berdaulat atas waktu dan ibadah. Ia berkata:

“Ketika Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan atas Sabat, Ia menegaskan keilahian-Nya. Tidak ada nabi atau imam yang pernah mengklaim hal ini.”

Sproul menyoroti bahwa Yesus tidak membuang Sabat, tetapi menggenapinya dalam diri-Nya sendiri. Karena itu, ibadah Kristen tidak lagi terikat pada hari tertentu, tetapi berpusat pada Kristus sebagai perhentian sejati kita.

3. Implikasi Markus 2:28 dalam Kehidupan Kristen

Dari eksposisi di atas, kita dapat menarik beberapa implikasi penting:

1. Sabat adalah anugerah, bukan beban hukum

Yesus mengajarkan bahwa Sabat diberikan untuk kebaikan manusia, bukan sebagai aturan yang membebani. Ini berarti bahwa kita harus melihat prinsip istirahat dan ibadah dalam Sabat sebagai bagian dari anugerah Tuhan.

2. Kristus adalah pemenuhan Sabat

Sebagai Tuhan atas Sabat, Yesus menggenapi tujuan Sabat, yaitu memberikan perhentian sejati bagi jiwa manusia. Perhentian sejati bukan hanya tentang berhenti bekerja secara fisik, tetapi tentang bersandar kepada Kristus untuk keselamatan dan kedamaian rohani.

3. Otoritas Kristus atas hukum Taurat

Dengan menyatakan diri sebagai Tuhan atas Sabat, Yesus juga menunjukkan bahwa Ia adalah penggenapan seluruh hukum Taurat. Ini menegaskan otoritas-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat yang menentukan bagaimana kita harus hidup dalam kasih karunia.

4. Ibadah Kristen berpusat pada Kristus, bukan aturan eksternal

Dalam Perjanjian Lama, ibadah sangat terkait dengan hari-hari tertentu, tetapi dalam Perjanjian Baru, ibadah sejati adalah hidup yang berpusat pada Kristus setiap hari. Paulus berkata dalam Kolose 2:16-17 bahwa hari Sabat hanyalah bayangan dari Kristus.

Kesimpulan

Pernyataan Yesus dalam Markus 2:28 menegaskan bahwa:

  1. Yesus adalah Tuhan yang berkuasa atas Sabat, sehingga hanya dalam Dia kita menemukan perhentian sejati.

  2. Sabat adalah anugerah, bukan sekadar hukum, sehingga kita harus memahami Sabat dalam terang kasih karunia.

  3. Otoritas Yesus atas Sabat juga menunjukkan keilahian-Nya, yang menggenapi seluruh hukum Taurat.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk beristirahat dalam Kristus setiap hari dan menjadikan Dia pusat dari hidup dan ibadah kita.

Soli Deo Gloria!

Next Post Previous Post