Kemuliaan dalam Penderitaan: 2 Korintus 11:23–27

Pendahuluan
Di dunia modern yang menyanjung kenyamanan dan kesuksesan lahiriah, konsep penderitaan sering dianggap sebagai kegagalan atau kutukan. Namun, dalam terang Alkitab, khususnya dalam tulisan rasul Paulus di 2 Korintus 11:23–27, penderitaan bukan hanya bagian dari hidup Kristen—melainkan bukti kemurnian pelayanan sejati. Ayat-ayat ini mencatat penderitaan Paulus bukan untuk mengeluh, tetapi untuk menunjukkan otoritas kerasulannya yang sah dan kasihnya yang tulus kepada jemaat.
Bagi para teolog Reformed, bagian ini memiliki kedalaman doktrinal yang besar. Penderitaan dalam hidup Kristen bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari kehendak Allah yang menguduskan umat-Nya. Tulisan ini akan mengekspos ayat 2 Korintus 11:23–27 secara mendalam dengan merujuk pada tafsiran para teolog Reformed seperti John Calvin, Charles Hodge, Herman Bavinck, dan Martyn Lloyd-Jones.
Teks: 2 Korintus 11:23–27 (TB)
“Apakah mereka pelayan Kristus? (aku berkata seperti orang gila) Aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih payah; lebih sering di dalam penjara; sangat sering didera; hidupku acap kali terancam. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut; dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang sebangsaku dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi, bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di laut dan bahaya dari saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih payah dan bekerja berat, kerap kali aku tidak tidur, aku lapar dan dahaga, kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian.”
1. Konteks Surat 2 Korintus
Surat 2 Korintus ditulis dalam suasana yang sangat personal dan apologetik. Paulus mempertahankan kerasulannya dari serangan “rasul-rasul palsu” yang mengaku lebih hebat, lebih spiritual, dan lebih berhasil secara lahiriah. Dalam bab 10–13, Paulus menggunakan “kebodohan” (dengan nada ironi) untuk menanggapi kesombongan lawan-lawannya.
John Calvin: Ironi Kudus
Calvin mencatat bahwa Paulus menggunakan cara “bermegah” bukan sebagai bentuk kesombongan, tetapi sebagai sindiran tajam terhadap rasul-rasul palsu. Menurut Calvin, ini adalah “ironi kudus”—Paulus menertawakan logika dunia yang memuliakan kekuatan lahiriah, dan malah menunjukkan bahwa penderitaan adalah tanda kesetiaan kepada Kristus.
2. Penderitaan sebagai Tanda Pelayanan Sejati
"Aku lebih banyak berjerih payah..."
Frasa ini menandai daftar panjang penderitaan Paulus. Ia tidak menyebut prestasi, mujizat, atau jumlah pengikutnya. Sebaliknya, ia menonjolkan penderitaan. Inilah yang, menurut teologi Reformed, membedakan pelayan sejati dengan yang palsu.
Charles Hodge: Penderitaan sebagai Kredensial Apostolik
Dalam tafsirannya, Hodge menyatakan bahwa penderitaan adalah kredensial kerasulan Paulus. Dunia menghargai kekuasaan dan pengaruh, tetapi Allah menunjukkan kuasa-Nya dalam kelemahan. Pelayanan sejati tidak bisa lepas dari salib.
3. Daftar Penderitaan Paulus: Analisis Teologis
a. Penjara dan Deraan
“lebih sering di dalam penjara; sangat sering didera...”
Paulus menderita secara fisik karena Injil. Baginya, penderitaan bukanlah rintangan, tetapi bagian dari pelayanan. Dalam kerangka Reformed, ini terkait dengan partisipasi dalam penderitaan Kristus (Fliipi 3:10).
b. Lima Kali Disesah Orang Yahudi
Hukum Taurat mengizinkan hukuman maksimal “empat puluh pukulan” (Ulangan 25:3). Supaya tidak melanggar, orang Yahudi hanya memberikan 39 pukulan. Ini adalah bentuk penghinaan dan hukuman yang dirancang untuk menyiksa, bukan hanya menghukum.
John Owen menyebut bahwa hal ini menunjukkan bahwa “pelayan Kristus sejati akan lebih sering dianiaya oleh umat agama yang palsu dibanding oleh dunia kafir.”
c. Dilempari Batu dan Karam Kapal
Pelemparan batu (Kisah Para Rasul 14:19) dan karam kapal (Kis. 27) memperlihatkan bahwa kehidupan rasul bukanlah “jalan yang aman.” Justru karena Injil, ia mengalami risiko besar.
Menurut Herman Bavinck, penderitaan fisik semacam ini adalah “stempel keilahian Injil.” Tidak ada orang waras yang mau menjalani hidup seperti itu—kecuali jika kebenaran Injil benar-benar menguasai hatinya.
4. Penderitaan dari Luar dan Dalam
a. Bahaya dari Luar: Alam dan Musuh
“...bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya di kota, padang gurun, laut...”
Penderitaan Paulus tidak hanya dari penganiayaan manusia, tetapi juga kondisi alam dan kesulitan perjalanan. Ini menunjukkan bahwa pelayan Tuhan tidak dibebaskan dari risiko alam.
b. Bahaya dari Dalam: Saudara Palsu
“...bahaya dari saudara-saudara palsu.”
Ini adalah luka terdalam. Orang yang mengaku percaya ternyata mengkhianati Injil. Dalam konteks teologi Reformed, ini menjadi pengingat bahwa Gereja yang kelihatan tidak selalu mencerminkan Gereja yang sejati (invisible church).
John Calvin mencatat: “Bahaya dari luar mudah dikenali, tetapi bahaya dari dalam sangat menyesatkan karena menyamar sebagai terang.”
5. Teologi Penderitaan Paulus
a. Penderitaan dan Pemuliaan
Roma 8:17 berkata, “...jika kita menderita bersama dengan Dia, kita juga akan dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” Dalam kerangka teologi Reformed, penderitaan bukan akhir, melainkan jalan menuju kemuliaan.
b. Paulus sebagai Tipe Kristus
Teologi Reformed sering melihat Paulus sebagai tipe Kristus dalam hal penderitaan. Seperti Kristus, Paulus dianiaya oleh bangsanya sendiri, disalahpahami, dan ditolak. Tapi melalui penderitaan, ia menjadi alat keselamatan bagi banyak orang.
Martyn Lloyd-Jones mengatakan bahwa penderitaan Paulus memperlihatkan bahwa Injil tidak bisa dipisahkan dari salib, dan pelayan Kristus tidak boleh berharap hidup tanpa penderitaan.
6. Aplikasi Pastoral dan Praktis
a. Ukuran Keberhasilan dalam Pelayanan
Banyak gereja modern menilai keberhasilan dari jumlah jemaat, gedung, atau program. Namun, Paulus menunjukkan bahwa tanda pelayanan sejati adalah kesetiaan dalam penderitaan.
Ini relevan bagi hamba Tuhan, penginjil, guru sekolah minggu, bahkan orang tua Kristen. Penderitaan karena setia kepada Kristus adalah bagian dari panggilan kita.
b. Penghiburan dalam Penderitaan
Ayat ini memberi penghiburan bagi mereka yang mengalami aniaya, fitnah, atau kesulitan karena iman. Kita tidak sendirian. Paulus sudah menjalaninya, dan Kristus telah menang atasnya.
7. Kontras dengan “Rasul Palsu”
Rasul-rasul palsu di Korintus membanggakan penampakan rohani, keajaiban, dan kata-kata bijak. Paulus justru “membanggakan” kelemahannya.
Ironi Salib
Teologi Reformed menekankan bahwa salib adalah “kebodohan” bagi dunia (1 Kor. 1:18), tapi bagi yang diselamatkan, itu adalah kekuatan Allah. Rasul palsu mencari kemuliaan manusia; Paulus mencari kemuliaan Allah.
8. Penderitaan Sebagai Bentuk Pemurnian
Dalam kerangka sanctification, penderitaan menjadi alat untuk menguduskan umat Tuhan.
“Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (Filipi 1:29).
John Calvin menyebut penderitaan sebagai “penempaan surgawi,” di mana Allah membentuk umat-Nya menjadi serupa dengan Kristus.
Kesimpulan: Meneladani Paulus, Mengikut Kristus
2 Korintus 11:23–27 bukanlah daftar keluhan, melainkan pengakuan iman seorang rasul yang rela menderita demi Kristus dan jemaat-Nya. Dalam terang teologi Reformed, penderitaan:
-
Menjadi bukti kemurnian pelayanan
-
Menunjukkan kuasa Allah dalam kelemahan
-
Mengarahkan umat kepada kemuliaan yang akan datang
-
Menyucikan hati yang masih melekat pada dunia
Dalam dunia yang membanggakan kekuatan dan popularitas, Injil Kristus—seperti yang diberitakan dan dijalani oleh Paulus—mengajak kita untuk melihat penderitaan sebagai saluran anugerah.
Sebagaimana Kristus dimuliakan melalui salib, begitu pula kita dipanggil untuk memikul salib kita setiap hari (Lukas 9:23), bukan dengan mengeluh, tetapi dengan bersukacita, karena penderitaan kita menghasilkan kemuliaan yang kekal (2 Korintus 4:17).
Soli Deo Gloria.