Roma 7:7: Hukum Taurat dan Kesadaran Akan Dosa

Roma 7:7: Hukum Taurat dan Kesadaran Akan Dosa

Pendahuluan

Roma 7:7 merupakan salah satu ayat penting dalam Surat Paulus kepada jemaat di Roma yang membuka diskusi teologis mendalam tentang peran Hukum Taurat dalam kaitannya dengan dosa. Ayat ini berbunyi:

“Jadi, apa yang harus kita katakan? Apakah Hukum Taurat adalah dosa? Sekali-kali tidak! Akan tetapi, jika bukan karena Hukum Taurat, aku tidak akan mengenal dosa. Aku tidak akan tahu apa itu keserakahan jika Hukum Taurat tidak mengatakan, ‘Jangan mengingini.’” (Roma 7:7, AYT)

Ayat ini menjadi titik awal pembahasan yang luas mengenai hubungan antara hukum, dosa, dan natur manusia. Paulus menegaskan bahwa Hukum Taurat bukanlah penyebab dosa, tetapi justru alat yang menyatakan dosa. Melalui artikel ini, kita akan menyelami pengertian ayat ini berdasarkan eksposisi para teolog Reformed seperti John Calvin, R.C. Sproul, dan Martyn Lloyd-Jones, serta menyoroti relevansinya bagi kehidupan orang percaya masa kini.

I. Konteks Surat Roma dan Pasal 7

A. Latar Belakang Surat Roma

Surat Paulus kepada jemaat di Roma merupakan tulisan teologis yang paling sistematis dalam Perjanjian Baru. Tujuan utama Paulus adalah untuk menjelaskan Injil kepada orang-orang percaya—baik Yahudi maupun non-Yahudi—dan menekankan pembenaran oleh iman, bukan oleh perbuatan hukum.

Pasal 7 berbicara mengenai kebebasan dari hukum dan hubungan orang percaya dengan hukum setelah mereka dibenarkan. Di sinilah muncul pernyataan yang kerap disalahpahami: bahwa hukum “membangkitkan” dosa. Namun, melalui Roma 7:7, Paulus meluruskan kesimpulan yang keliru tersebut.

B. Hubungan Roma 7:7 dengan Ayat Sebelumnya

Sebelum ayat 7, Paulus mengatakan bahwa orang percaya telah “mati terhadap hukum” supaya dapat “hidup bagi Allah dalam Roh” (Roma 7:4-6). Ini memunculkan pertanyaan: Apakah hukum itu jahat? Paulus menjawab dengan keras: “Sekali-kali tidak!” (Yunani: me genoito), sebuah ungkapan penolakan keras dalam bahasa Yunani.

II. Eksposisi Ayat Roma 7:7

Mari kita bahas frase demi frase dari ayat ini berdasarkan tafsiran teolog Reformed:

A. “Apakah Hukum Taurat adalah dosa?”

Menurut John Calvin, ini adalah pertanyaan retoris yang muncul akibat kesalahpahaman terhadap ajaran Paulus. Calvin menekankan bahwa Hukum Taurat itu kudus, tetapi digunakan untuk mengungkapkan kedalaman dosa manusia. Dosa menggunakan hukum sebagai kesempatan untuk menunjukkan dirinya.

R.C. Sproul dalam The Gospel of God menyatakan bahwa Paulus tidak sedang menyerang hukum, melainkan menunjukkan bagaimana dosa memperalat hukum untuk tujuannya sendiri. Taurat bukanlah sumber dosa, melainkan seperti cermin yang menunjukkan kotoran di wajah manusia.

B. “Sekali-kali tidak!”

Ungkapan Yunani “μὴ γένοιτο” (mē genoito) merupakan penolakan paling keras dalam Perjanjian Baru. Paulus menggunakan frasa ini berulang kali dalam surat Roma (Rm 3:4, 6, 31; 6:2, dll).

Martyn Lloyd-Jones menyatakan bahwa ini adalah pernyataan mutlak Paulus untuk mempertahankan kekudusan hukum Allah. Menyalahkan hukum atas dosa sama dengan menyalahkan sinar matahari karena mengungkapkan kotoran.

C. “Aku tidak akan mengenal dosa jika bukan karena hukum Taurat”

Paulus menyampaikan pengalaman pribadi yang juga mencerminkan pengalaman umat manusia secara umum. Ia tahu apa itu dosa bukan karena natur dirinya sendiri, tetapi karena hukum menyatakannya.

Calvin menjelaskan bahwa hukum berfungsi sebagai guru yang menyadarkan manusia bahwa mereka adalah pelanggar. Ini tidak berarti manusia tidak berdosa tanpa hukum, tetapi mereka tidak menyadari sepenuhnya sifat dosanya.

Teolog Reformed modern seperti Michael Horton menambahkan bahwa hukum bukan hanya menyatakan dosa, tetapi memperbesar kesadaran akan betapa berdosanya dosa itu.

D. “Aku tidak akan tahu apa itu keserakahan jika hukum Taurat tidak mengatakan: Jangan mengingini”

Menarik bahwa Paulus menggunakan perintah ke-10 dari Dasa Titah sebagai contoh. “Jangan mengingini” (You shall not covet) merupakan perintah yang menyentuh hati, bukan hanya tindakan lahiriah.

John Stott dalam bukunya Romans: God's Good News for the World menjelaskan bahwa ini menunjukkan bahwa dosa bukan hanya soal tindakan, tapi juga motivasi batin. Keserakahan (Yunani: epithumia) adalah keinginan yang berlebihan terhadap sesuatu yang bukan miliknya.

III. Pandangan Teologi Reformed Mengenai Hukum dan Dosa

A. Tiga Fungsi Hukum (Three Uses of the Law)

Dalam tradisi Reformed, hukum Allah memiliki tiga fungsi:

  1. Menahan kejahatan (fungsi sipil).

  2. Menyatakan dosa (fungsi pedagogis).

  3. Menjadi panduan hidup bagi orang percaya (fungsi normatif).

Dalam konteks Roma 7:7, fungsi kedua sangat menonjol. Paulus menyoroti bagaimana hukum membuat dosa menjadi jelas.

Calvin berkata, “Hukum itu seperti cermin yang menampakkan borok dan luka kita, tapi tidak menyembuhkan.”

B. Hukum dan Injil: Kontras dan Harmoni

R.C. Sproul menekankan perbedaan mendasar antara hukum dan Injil. Hukum menyatakan apa yang Allah tuntut, sedangkan Injil menyatakan apa yang Allah berikan. Hukum menunjukkan kebutuhan akan Juruselamat, Injil memberitakan Juruselamat itu.

Paulus dalam Roma 7:7 bukan meniadakan hukum, tetapi menempatkan hukum dalam peran yang benar: sebagai pendakwa yang membawa kita kepada Kristus (Galatia 3:24).

IV. Aplikasi Pribadi dan Pastoral

A. Kesadaran Dosa: Jalan Menuju Pertobatan

Roma 7:7 menunjukkan bahwa tanpa hukum, manusia tidak menyadari keberdosaannya. Ini penting dalam pelayanan pastoral: sebelum seseorang dapat menerima kasih karunia, ia harus sadar bahwa ia membutuhkan kasih karunia.

Jonathan Edwards, salah satu tokoh Reformed dari Amerika, mengatakan: “Pekerjaan pertama dari Roh Kudus adalah menyadarkan manusia akan dosanya.”

B. Hukum sebagai Sarana Penginjilan

Dalam penginjilan, hukum tetap relevan. Menyampaikan kasih Allah tanpa menyampaikan keadilan dan hukumnya akan menghasilkan injil yang dangkal. Penginjilan yang efektif meneladani pola Paulus: menyatakan dosa, lalu menyatakan keselamatan dalam Kristus.

C. Menyadari Dosa Batiniah

Penggunaan kata “keserakahan” dalam Roma 7:7 menunjukkan bahwa Allah tidak hanya peduli pada tindakan, tapi juga motivasi hati. Ini memperluas definisi dosa jauh melebihi yang kita bayangkan.

Augustinus juga menyatakan dalam pengakuannya: “Aku melakukan pencurian bukan karena aku kekurangan, tetapi karena aku mencintai dosa itu sendiri.”

Kesimpulan

Roma 7:7 adalah kunci untuk memahami bagaimana hukum Allah berfungsi dalam kehidupan orang percaya. Hukum bukanlah dosa, melainkan sarana Allah untuk menyatakan dosa, membawa manusia pada pertobatan, dan menunjukkan kebutuhan mereka akan Kristus.

Melalui tafsiran para teolog Reformed, kita memahami bahwa hukum memiliki peran pedagogis yang vital. Bukan untuk menyelamatkan, tetapi untuk menunjukkan kebutuhan akan keselamatan. Roma 7:7 mengajarkan kepada kita pentingnya kesadaran akan dosa batiniah dan nilai hukum dalam menyatakan kebenaran Allah.

Next Post Previous Post