Roma 7:1–6: Kebebasan dari Hukum Melalui Kristus

Pendahuluan
Surat Paulus kepada jemaat di Roma adalah mahakarya teologis yang menyajikan fondasi keselamatan oleh anugerah melalui iman dalam Kristus. Dalam Roma 7:1-6, Paulus membahas hubungan orang percaya dengan hukum Taurat. Bagian ini menjadi jembatan penting antara pembahasan tentang pembenaran (Roma 7:1-5) dan pengudusan (Roma 7:6-8). Melalui metafora pernikahan, Paulus menyatakan bahwa orang percaya telah "mati terhadap hukum" agar mereka dapat "hidup bagi Allah" melalui Kristus. Artikel ini akan membahas bagian tersebut secara mendalam dengan eksposisi ayat demi ayat, memperhatikan konteks historis, gramatikal, dan teologis sesuai pandangan Reformed.
I. Konteks Roma 7 dalam Surat Paulus
Sebelum membahas Roma 7:1-6, penting untuk memahami bahwa Paulus sedang menjelaskan transisi dari perbudakan dosa menuju hidup baru dalam Roh. Dalam Roma 6, ia menjelaskan bahwa orang percaya telah mati terhadap dosa dan hidup dalam Kristus. Dalam pasal 7, fokusnya bergeser ke hubungan orang percaya dengan hukum.
John Murray dalam The Epistle to the Romans menyatakan bahwa pasal 7 secara khusus membahas perubahan hubungan antara orang percaya dan hukum Taurat. Bagi Murray, hukum itu kudus, namun tidak bisa membenarkan atau menguduskan manusia. Oleh karena itu, pemutusan dari hukum merupakan hal yang mutlak untuk hidup dalam Roh.
II. Eksposisi Roma 7:1-6
Roma 7:1: “Saudara-saudara, bukankah kamu tahu — sebab aku berbicara kepada mereka yang mengetahui hukum — bahwa hukum berkuasa atas seseorang selama orang itu hidup?”
Paulus membuka bagian ini dengan sebuah pertanyaan retoris yang diasumsikan diketahui jawabannya: hukum hanya berlaku selama seseorang hidup. Frasa "mereka yang mengetahui hukum" kemungkinan merujuk kepada orang Yahudi atau orang bukan Yahudi yang telah mengenal hukum Taurat.
R.C. Sproul dalam The Gospel of God menekankan bahwa Paulus sedang menjelaskan prinsip umum: kematian mengakhiri yurisdiksi hukum. Ini bukan sekadar hukum sipil, tetapi hukum Taurat. Dalam sistem hukum manapun, setelah seseorang mati, ia tidak lagi terikat pada hukum. Konsep ini menjadi dasar untuk argumen spiritual berikutnya.
Roma 7:2-3: “Sebab itu perempuan yang bersuami terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup, tetapi jika suaminya mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya. Jadi selama suaminya hidup, ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukan berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain.”
Paulus menggunakan ilustrasi hukum pernikahan untuk menggambarkan bagaimana kematian mengakhiri ikatan hukum. Di bawah hukum, seorang istri hanya boleh bersatu dengan satu pria selama ia hidup. Namun bila suaminya mati, ia bebas untuk menikah lagi tanpa melanggar hukum.
Douglas Moo dalam The Epistle to the Romans menunjukkan bahwa analogi ini tidak dimaksudkan untuk dicocokkan secara sempurna dengan realitas spiritual (bukan alegori), tetapi untuk menekankan bahwa kematian membawa pembebasan dari kewajiban hukum. Paulus sedang menekankan bahwa hanya kematian yang dapat memutus ikatan hukum — dan ini akan menjadi penting untuk pemahaman orang percaya yang telah mati dalam Kristus.
Roma 7:4: “Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati terhadap hukum oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, supaya kita berbuah bagi Allah.”
Ayat ini merupakan klimaks dari ilustrasi sebelumnya. Paulus menyatakan bahwa orang percaya telah mati terhadap hukum melalui tubuh Kristus — maksudnya kematian Yesus yang diwakilkan bagi kita. Karena kita "mati bersama Dia", kita bebas dari hukum yang dahulu mengikat kita.
John Calvin menyatakan bahwa "melalui kematian Kristus, kita tidak lagi berada di bawah kutuk hukum, karena Kristus telah memikulnya di salib." Pembebasan ini bukan untuk kebebasan liar, tetapi agar kita menjadi milik Kristus — artinya, berada dalam ikatan perjanjian baru dengan-Nya.
Luther dalam komentarnya atas Roma juga menekankan bahwa kematian terhadap hukum bukan berarti hukum itu jahat, tetapi bahwa fungsinya sebagai dasar pembenaran telah selesai bagi orang percaya.
Tujuan dari kemerdekaan ini adalah menghasilkan buah bagi Allah. Di sini Paulus mengacu kepada kehidupan yang suci dan menghasilkan buah Roh (Gal. 5:22-23). Hukum tidak dapat menghasilkan buah karena manusia berdosa. Namun di dalam Kristus, kita mampu.
Roma 7:5: “Sebab waktu kita masih hidup dalam daging, hawa nafsu dosa yang dirangsang oleh hukum bekerja dalam anggota-anggota tubuh kita, sehingga kita berbuah bagi maut.”
Paulus menjelaskan keadaan sebelum dilahirkan kembali. “Hidup dalam daging” berarti hidup dalam kodrat manusia yang belum diperbarui. Dalam keadaan ini, hukum Taurat justru menstimulasi dosa — bukan karena hukum itu berdosa, tetapi karena dosa dalam diri manusia membuat hukum menjadi pemicu.
Sinclair Ferguson dalam The Holy Spirit mengatakan bahwa hukum, ketika dihadapkan dengan hati yang tidak lahir baru, justru membangkitkan pemberontakan. Ini menunjukkan bahwa tanpa Roh Kudus, hukum hanya memperlihatkan dosa dan tidak bisa memberdayakan ketaatan.
Buah yang dihasilkan dari kehidupan lama ini adalah maut — artinya keterpisahan kekal dari Allah. Ini adalah buah dari kehidupan menurut daging dan di bawah dominasi hukum.
Roma 7:6: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, karena kita telah mati terhadap apa yang dahulu mengikat kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan lagi dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.”
Ayat ini merangkum seluruh maksud Paulus: melalui kematian bersama Kristus, kita telah dibebaskan dari hukum sebagai sistem perjanjian. Kita tidak lagi melayani menurut "huruf hukum", tetapi dalam kuasa Roh Kudus.
Teolog Reformed seperti Herman Ridderbos menekankan bahwa ini bukan berarti antinomianisme. Orang percaya tetap menghormati hukum, tetapi mereka tidak lagi di bawah hukum sebagai sistem perjanjian lama yang menuntut ketaatan sebagai syarat keselamatan. Melainkan, mereka hidup dalam ketaatan sebagai buah dari pembenaran.
“Huruf” di sini kontras dengan “Roh”. Ini bukan hanya tentang gaya pelayanan, tetapi dua tatanan atau ekonomi yang berbeda: hukum dan anugerah.
III. Hukum Taurat: Kudus tetapi Tak Menyelamatkan
Pandangan Reformed memegang bahwa hukum Taurat tetap kudus dan baik (Roma 7:12), tetapi tidak bisa menyelamatkan manusia yang berdosa. Hukum mengungkapkan kehendak Allah dan menunjukkan dosa (Roma 3:20), tetapi hanya Injil yang memberikan kuasa untuk hidup kudus.
Louis Berkhof dalam Systematic Theology menyebutkan tiga kegunaan hukum:
-
Kegunaan politis/sipil – menahan kejahatan.
-
Kegunaan pedagogis – menunjukkan dosa dan kebutuhan akan Kristus.
-
Kegunaan normatif – sebagai pedoman hidup orang percaya.
Roma 7:1-6 terutama berbicara tentang kegunaan pedagogis: bagaimana hukum menyingkapkan dosa tetapi tidak mampu menyelamatkan. Kita dibebaskan darinya untuk hidup menurut norma Kristus dalam kuasa Roh Kudus.
IV. Aplikasi Teologis dan Pastoral
-
Identitas Baru dalam Kristus
Kita telah mati terhadap sistem hukum yang menuntut kesempurnaan mutlak. Sekarang kita hidup dalam kasih karunia dan menjadi milik Kristus. Ini memberikan dasar yang kuat untuk identitas kita sebagai orang percaya.
-
Motivasi Hidup Kudus
Kita tidak berbuat baik agar diterima, tetapi karena kita telah diterima. Kehidupan Kristen bukanlah beban hukum, tetapi sukacita dalam hubungan dengan Kristus. Buah-buah Roh mengalir dari kehidupan yang ditransformasi oleh kasih karunia.
-
Kebebasan dari Kutuk
Ketika iblis menuduh, kita bisa menjawab: “Kristus telah mati untukku, dan aku tidak lagi di bawah hukum.” Ini memberi kekuatan untuk melawan rasa bersalah yang tidak sehat dan berjalan dalam anugerah.
-
Perlunya Injil dan Roh Kudus
Hukum tidak cukup. Pelayanan yang hanya menekankan hukum tanpa Injil akan melahirkan frustrasi atau kemunafikan. Injil memberi kuasa. Roh Kudus memampukan. Itulah kekuatan pelayanan Perjanjian Baru.
Kesimpulan
Roma 7:1-6 menekankan bahwa dalam Kristus, orang percaya telah mati terhadap hukum agar dapat hidup dalam kebaruan hidup melalui Roh Kudus. Hukum, meskipun kudus, tidak bisa menyelamatkan atau menguduskan. Melalui tubuh Kristus yang dikorbankan, orang percaya dibebaskan dari ikatan hukum dan menjadi milik Kristus untuk menghasilkan buah bagi Allah.
Pandangan Reformed menempatkan bagian ini sebagai jantung pemahaman Perjanjian Baru mengenai pembenaran dan pengudusan. Paulus tidak membuang hukum, tetapi menempatkannya di tempat yang benar: sebagai pelayan anugerah, bukan tuannya.