5 Mitos tentang Waktu Senggang

Pendahuluan: Meninjau Kembali Waktu Senggang dari Lensa Kekristenan
Waktu senggang sering kali dianggap sebagai sesuatu yang sepele atau bahkan duniawi dalam kehidupan Kristen. Banyak orang Kristen merasa bersalah saat meluangkan waktu untuk bersantai, bermain, atau menikmati hiburan karena mereka khawatir hal itu tidak rohani atau produktif. Namun, pandangan ini perlu ditinjau ulang secara mendalam. Dalam terang teologi Reformed, waktu senggang bukanlah sekadar waktu kosong tanpa nilai. Sebaliknya, waktu senggang bisa menjadi bagian dari panggilan manusia untuk menikmati ciptaan Allah dan menghidupi anugerah-Nya secara utuh.
Dalam artikel ini, kita akan membongkar lima mitos umum tentang waktu senggang dari perspektif teologi Reformed, dengan mengutip pandangan beberapa tokoh Reformed seperti John Calvin, Abraham Kuyper, R.C. Sproul, hingga Kevin DeYoung. Mari kita memahami bagaimana waktu senggang dapat dimaknai secara sehat, teologis, dan bertanggung jawab.
Mitos #1: “Waktu senggang adalah kebalikan dari kekudusan”
Penjelasan Mitos:
Sebagian orang Kristen beranggapan bahwa kekudusan berarti menghindari segala bentuk hiburan atau kesenangan yang bersifat duniawi. Akibatnya, waktu senggang dianggap sebagai wilayah yang tidak rohani, bahkan berbahaya bagi pertumbuhan iman.
Koreksi Reformed:
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu untuk dinikmati dengan rasa syukur. Termasuk dalam hal ini adalah hiburan dan rekreasi, sejauh tidak membawa kepada dosa. Calvin mengakui bahwa manusia butuh kelegaan dari kerja dan tekanan hidup, selama itu tidak menjauhkan dari Tuhan.
Abraham Kuyper, dalam prinsip "tidak ada satu inci pun dari hidup ini yang tidak diklaim Kristus sebagai milik-Nya", menekankan bahwa seluruh aspek kehidupan, termasuk waktu senggang, berada di bawah kedaulatan Allah. Maka, tidak ada dikotomi antara yang “rohani” dan yang “sekuler” jika semua dijalani untuk kemuliaan Allah (1 Korintus 10:31).
Aplikasi:
Waktu senggang bukanlah waktu untuk melarikan diri dari kekudusan, melainkan dapat menjadi sarana penyegaran rohani. Berjalan-jalan di alam, membaca buku yang bermutu, atau mendengarkan musik yang membangun dapat menjadi bentuk kekudusan dalam waktu senggang.
Mitos #2: “Waktu senggang adalah kemalasan terselubung”
Penjelasan Mitos:
Dalam konteks budaya kerja keras (workaholism), waktu senggang sering disamakan dengan kemalasan. Seorang Kristen yang menikmati waktu kosong dianggap tidak giat atau tidak setia kepada panggilannya.
Koreksi Reformed:
Pandangan ini sebenarnya adalah bentuk legalisme terselubung. R.C. Sproul menegaskan bahwa pekerjaan itu baik, tetapi manusia tidak diciptakan untuk bekerja tanpa henti. Allah sendiri beristirahat pada hari ketujuh (Kejadian 2:2–3), dan hal ini menjadi pola bagi umat-Nya untuk menghormati ritme kerja-istirahat. Dalam kerangka Sabat, Allah memerintahkan umat-Nya untuk berhenti dan menikmati Dia serta karya-Nya.
Tim Keller, dalam bukunya Every Good Endeavor, menyatakan bahwa waktu senggang yang sehat adalah bentuk kepercayaan kepada kedaulatan Allah. Ketika kita beristirahat, kita menyerahkan kendali kepada Tuhan, mengakui bahwa dunia tidak bergantung pada usaha kita semata.
Aplikasi:
Mengambil waktu senggang secara rutin bukanlah dosa, melainkan pengakuan iman. Bahkan, orang Kristen seharusnya menunjukkan kepada dunia bahwa istirahat adalah bagian dari ibadah kepada Allah.
Mitos #3: “Waktu senggang tidak memiliki nilai kekal”
Penjelasan Mitos:
Beberapa orang Kristen berpikir bahwa segala sesuatu yang tidak secara langsung berhubungan dengan pelayanan, penginjilan, atau disiplin rohani adalah sia-sia. Maka, waktu senggang dianggap tidak memiliki dampak kekal.
Koreksi Reformed:
Pandangan ini berakar pada pemahaman yang sempit tentang kekekalan. Jonathan Edwards, dalam khotbah dan tulisannya, sering menekankan bahwa segala hal yang dilakukan dalam terang kemuliaan Allah memiliki nilai kekal, termasuk hal-hal yang tampaknya kecil seperti tertawa, bermain dengan anak, atau menikmati makanan.
Kevin DeYoung, dalam Crazy Busy, mengatakan bahwa waktu bersantai yang dilakukan dengan bijak justru menolong kita menjadi lebih efektif dalam pelayanan dan lebih siap untuk memberi diri dalam kehidupan kekal. Tubuh dan jiwa yang terpelihara dengan baik akan mampu melayani dengan kesetiaan.
Aplikasi:
Menikmati waktu bersama keluarga, bermain permainan yang sehat, atau sekadar duduk diam di hadapan Tuhan — semuanya bisa memiliki nilai kekal jika dilakukan dalam iman dan untuk kemuliaan-Nya.
Mitos #4: “Hiburan dan kesenangan tidak cocok dengan kekristenan yang serius”
Penjelasan Mitos:
Beberapa orang Kristen merasa bahwa kekristenan adalah panggilan yang penuh penderitaan dan keseriusan, sehingga mereka alergi terhadap kegembiraan dan kesenangan dalam hidup. Tertawa dianggap tidak rohani, dan bersenang-senang dianggap tidak pantas bagi orang percaya.
Koreksi Reformed:
Pandangan ini gagal memahami bahwa Allah adalah Allah yang penuh sukacita. Alkitab dipenuhi dengan gambaran pesta, perayaan, dan sukacita di hadapan Tuhan. Yesus sendiri menghadiri pesta pernikahan (Yohanes 2), makan bersama pemungut cukai, dan menggunakan ilustrasi kehidupan sehari-hari yang penuh sukacita dalam pengajarannya.
Cornelius Plantinga Jr., dalam bukunya Not the Way It’s Supposed to Be, menekankan bahwa Allah tidak hanya menebus dosa tetapi juga memulihkan sukacita manusia. Kehidupan yang dijalani dalam relasi yang benar dengan Allah mencakup elemen kegembiraan, relaksasi, dan keindahan.
Aplikasi:
Menikmati hobi, menonton film yang membangun, berolahraga, atau merayakan momen bersama keluarga adalah cara kita menghormati Allah sebagai sumber segala sukacita. Asal tidak menjadi berhala, kesenangan adalah anugerah Allah.
Mitos #5: “Waktu senggang adalah urusan pribadi, tidak perlu dipikirkan secara teologis”
Penjelasan Mitos:
Sebagian besar orang Kristen tidak pernah merenungkan waktu senggang secara teologis. Mereka melihatnya sebagai ranah pribadi, bukan sesuatu yang perlu dikaji dalam terang Alkitab. Maka, waktu senggang dijalani secara sembarangan atau bahkan kompulsif.
Koreksi Reformed:
Teologi Reformed mengajarkan bahwa seluruh hidup adalah ibadah (coram Deo). Ini berarti bahwa tidak ada aspek hidup yang netral atau “bebas nilai”. Waktu senggang pun harus ditakar secara bijaksana, dengan prinsip kasih kepada Allah dan sesama.
Richard Baxter, dalam bukunya The Christian Directory, memberikan panduan praktis tentang bagaimana orang Kristen harus menggunakan waktu senggangnya. Ia menekankan bahwa waktu senggang harus membawa kebaikan bagi tubuh, jiwa, dan relasi dengan sesama — bukan menjadi pelarian dari tanggung jawab atau pelampiasan nafsu.
R.C. Sproul juga menyatakan bahwa waktu senggang bisa menjadi arena pengudusan, jika dijalani dengan sikap hati yang benar.
Aplikasi:
Orang Kristen perlu menilai kebiasaan waktu senggang mereka: Apakah itu mendekatkan saya kepada Tuhan? Apakah itu memperkaya jiwa dan komunitas saya? Apakah itu menumbuhkan kasih dan sukacita yang murni?
Prinsip-Prinsip Waktu Senggang dalam Teologi Reformed
Setelah menyingkap lima mitos utama, berikut adalah prinsip-prinsip sehat menurut teologi Reformed dalam memahami dan menjalani waktu senggang:
-
Soli Deo Gloria – Segala waktu, termasuk waktu senggang, adalah untuk kemuliaan Allah.
-
Moderasi dan hikmat – Waktu senggang perlu dibatasi dan disaring; tidak semua hiburan layak dinikmati.
-
Pola kerja-istirahat yang sehat – Mengikuti pola Allah sendiri (Kejadian 2:2) dan prinsip Sabat.
-
Keseimbangan panggilan hidup – Waktu senggang mendukung panggilan kita sebagai manusia utuh: jasmani, rohani, sosial.
-
Komunitas – Waktu senggang tidak harus dijalani sendirian; bisa menjadi sarana mempererat hubungan antaranggota tubuh Kristus.
Contoh Praktik Waktu Senggang yang Berteologi
Berikut adalah beberapa contoh bagaimana waktu senggang dapat dijalani dengan kesadaran teologis:
-
Membaca fiksi atau puisi yang memperkaya imajinasi dan menyadarkan akan keindahan ciptaan.
-
Berkebun atau mendaki gunung, sambil merenungkan karya Allah dalam alam semesta.
-
Menonton film yang memunculkan nilai kebenaran, keadilan, dan kasih, lalu berdiskusi secara kritis dalam komunitas.
-
Berolahraga, menyadari bahwa tubuh adalah bait Roh Kudus dan harus dijaga.
-
Makan bersama keluarga, sebagai wujud perayaan dan syukur atas berkat Tuhan setiap hari.
Penutup: Merdeka dalam Kristus, Bertanggung Jawab dalam Waktu Senggang
Waktu senggang bukan musuh kekudusan. Ia bukan juga pelarian dari panggilan. Sebaliknya, waktu senggang yang dijalani dengan iman dapat menjadi sarana pertumbuhan, penyegaran, dan ibadah kepada Allah. Kita perlu melepaskan diri dari mitos-mitos legalistik atau hedonistik, dan mulai mengisi waktu senggang dengan cara yang memuliakan Kristus.
Teologi Reformed memberikan kerangka yang kaya dan mendalam untuk memandang waktu senggang sebagai bagian dari hidup yang tertebus. Di tengah dunia yang sibuk dan penuh tekanan, waktu senggang menjadi momen anugerah di mana kita belajar beristirahat dalam karya sempurna Kristus.
“Di dalam Kristus, bahkan saat kita berhenti dari kerja, kita sedang disempurnakan oleh Dia yang tidak pernah tidur.” — R.C. Sproul