Roma 13:1-7: Taat kepada Pemerintah dalam Terang Injil

Pendahuluan
Pasal 13 dalam Surat Roma, terutama ayat 1-7, merupakan bagian Alkitab yang sangat signifikan dalam diskusi antara iman Kristen dan otoritas negara. Dalam Roma 13:1-7, Rasul Paulus menulis:
“Setiap orang harus takluk kepada pemerintah yang berkuasa, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.” (Roma 13:1, TB)
Ayat ini sering dikutip dalam berbagai konteks, dari panggilan untuk taat pada hukum hingga debat tentang ketidakadilan pemerintah. Namun bagaimana seharusnya orang Kristen, khususnya dalam terang teologi Reformed, memahami perikop ini?
Artikel ini menyajikan eksposisi mendalam berdasarkan pendapat para pakar teologi Reformed, seperti John Calvin, R.C. Sproul, John MacArthur, dan Abraham Kuyper, untuk membekali gereja memahami kehendak Allah dalam kehidupan bernegara.
I. Konteks Historis dan Literer Surat Roma 13:1-7
A. Latar Belakang Penulisan
Surat Roma ditulis oleh Paulus sekitar tahun 57 M kepada jemaat di Roma, ibu kota Kekaisaran Romawi. Pemerintah saat itu dipimpin oleh Kaisar Nero. Walau belum dalam fase penganiayaan hebat, kekuasaan kaisar sudah otoriter.
Meskipun begitu, Paulus tidak menyerukan pemberontakan atau penolakan terhadap sistem pemerintahan yang ada. Sebaliknya, ia menyerukan ketaatan sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah.
B. Posisi Roma 13 dalam Struktur Surat
Pasal 13 mengikuti pasal 12 yang menguraikan kehidupan Kristen berdasarkan belas kasih Allah. Roma 12:1 menyatakan: “Persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup...” Maka, pasal 13 adalah aplikasi praktis dari hidup sebagai orang Kristen, termasuk sikap terhadap otoritas sipil.
II. Eksposisi Ayat per Ayat (Roma 13:1–7)
A. Roma 13:1 - Semua Kekuasaan Berasal dari Allah
"Setiap orang harus takluk kepada pemerintah yang berkuasa, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah..."
John Calvin menyebut ayat ini sebagai pengakuan bahwa Allah adalah sumber tertinggi dari segala otoritas. Dalam bukunya Institutes of the Christian Religion, Calvin menulis bahwa:
“Pemerintah sipil adalah perpanjangan dari pemerintahan Allah atas dunia, dan karenanya patut dihormati.”
R.C. Sproul menambahkan bahwa struktur sosial dan politik tidak muncul secara kebetulan atau dari kehendak manusia belaka, melainkan sebagai pengaturan Allah demi ketertiban umum.
B. Roma 13:2 - Menentang Pemerintah = Menentang Allah
"Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah..."
Sproul mengingatkan bahwa ayat ini bukan pembenaran untuk tunduk buta, tetapi seruan untuk mengenali peran Allah bahkan dalam pemerintah yang tidak sempurna. Pelanggaran terhadap otoritas yang sah merupakan bentuk pemberontakan terhadap tatanan Allah.
C. Roma 13:3-4 - Pemerintah sebagai Pelayan Allah
"...ia adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah, karena ia tidak memegang pedang dengan sia-sia." (ayat 4)
Konsep “hamba Allah” (Yunani: diakonos tou theou) menegaskan bahwa otoritas negara berfungsi sebagai alat Allah untuk:
-
Mendorong kebaikan umum
-
Menghukum pelaku kejahatan
-
Menegakkan keadilan sipil
John MacArthur menyatakan:
“Pemerintah sipil adalah instrumen umum anugerah Allah untuk menjaga ketertiban, bukan instrumen keselamatan.”
Calvin juga menekankan bahwa penguasa adalah pelindung hukum Allah dalam ruang sipil, dan karena itu umat Kristen harus melihat mereka sebagai alat Allah untuk menjamin keamanan masyarakat.
D. Roma 13:5 - Taat karena Nurani
"Sebab itu perlu kita takluk, bukan saja oleh karena murka Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita."
Ketaatan Kristen bukan semata-mata karena takut dihukum, tetapi karena suara hati yang telah diperbarui oleh Roh Kudus. Dalam pandangan Reformed, kesadaran akan otoritas Allah melahirkan kesadaran untuk tunduk pada hukum sebagai bentuk ibadah sehari-hari.
E. Roma 13:6-7 - Pajak dan Kewajiban Sosial
"...bayarlah pajakmu kepada mereka yang berhak menerimanya..."
Ketaatan Kristen termasuk aspek ekonomi. Abraham Kuyper, tokoh Reformed Belanda, menekankan bahwa struktur masyarakat Kristen yang sehat membutuhkan kontribusi finansial dari rakyat kepada pemerintah yang berfungsi menegakkan keadilan dan melindungi hak warga negara.
III. Prinsip-Prinsip Reformed dalam Menafsirkan Roma 13:1-7
1. Kedaulatan Allah (Sovereignty of God)
Pandangan Reformed dimulai dari pengakuan bahwa Allah berdaulat atas segala sesuatu, termasuk struktur dan keberadaan pemerintahan duniawi. Bahkan penguasa jahat pun bisa dipakai Allah untuk tujuan-Nya (bdk. Yesaya 45:1 – Koresh).
2. Struktur Dua Kerajaan
Dalam doktrin dua kerajaan (Calvin dan Kuyper), kerajaan Allah dan kerajaan dunia berada di bawah otoritas Allah, tetapi memiliki fungsi berbeda. Gereja tidak mencampuri urusan politik secara langsung, tetapi tetap bersaksi dalam terang firman.
3. Tanggung Jawab Moral untuk Taat dan Koreksi
Taat bukan berarti membenarkan dosa. Bila pemerintah melawan hukum Allah secara terang-terangan, umat Kristen harus lebih taat kepada Allah daripada manusia (Kis. 5:29). Namun, ini dilakukan dengan roh yang hormat dan penuh kasih, bukan anarki.
IV. Ketegangan dalam Praktik: Apakah Harus Taat kepada Pemerintah yang Jahat?
A. Contoh Alkitabiah
-
Daniel dan Raja Darius: Daniel tetap berdoa kepada Allah walau dilarang oleh raja (Dan. 6).
-
Petrus dan Yohanes: Mereka menolak perintah Sanhedrin untuk tidak memberitakan Injil (Kis. 4:18-20).
B. Prinsip Diskresi Moral
Teologi Reformed menyadari bahwa ketaatan kepada otoritas sipil bukanlah absolut. Pemerintah tidak boleh:
-
Memaksa rakyat berdosa
-
Melarang ibadah yang sah kepada Allah
-
Bertindak bertentangan dengan keadilan
Abraham Kuyper mengatakan:
"Di hadapan Allah, tidak ada otoritas yang absolut. Ketika penguasa melampaui mandat ilahi, mereka kehilangan keabsahan moralnya."
V. Aplikasi Praktis bagi Gereja dan Warga Negara Kristen
A. Taat sebagai Kesaksian Iman
Ketaatan kepada hukum (bayar pajak, tertib lalu lintas, dll) adalah bentuk kesaksian bahwa kita tunduk kepada Allah. Dalam masyarakat yang penuh pemberontakan, ketertiban Kristen bersinar terang.
B. Mengadvokasi Keadilan dalam Kerangka Hormat
Ketika gereja melihat ketidakadilan, kita tidak tinggal diam, tetapi menyuarakannya dalam ketaatan dan kasih, bukan melalui kekerasan.
C. Menghargai Panggilan di Dunia Politik
Dalam pandangan Reformed, tidak ada dikotomi antara rohani dan sekuler. Orang Kristen dipanggil untuk masuk ke dunia politik, menjadi terang, dan membentuk kebijakan yang adil sesuai prinsip kerajaan Allah.
VI. Pandangan Beberapa Teolog Reformed
1. John Calvin
Calvin melihat pemerintah sebagai penatalayan Allah. Ia menekankan bahwa Allah menetapkan penguasa, dan rakyat harus menghormati mereka selama mereka bekerja dalam batas mandat moral dari Tuhan.
2. R.C. Sproul
Sproul menekankan pentingnya ketaatan kepada hukum negara sebagai cara menunjukkan kesalehan Kristen, tetapi dengan kebijaksanaan dan kepekaan akan batas moral.
3. John MacArthur
MacArthur memandang bahwa orang Kristen harus menjadi warga negara terbaik, taat hukum, menghormati pemimpin, dan mempengaruhi masyarakat melalui kesaksian pribadi dan komunitas gereja.
4. Abraham Kuyper
Kuyper memperkenalkan konsep “souvereiniteit in eigen kring” (kedaulatan dalam lingkup masing-masing). Negara, gereja, keluarga—semuanya memiliki wilayah otoritas, dan harus saling menghormati batasnya.
VII. Kesimpulan
Roma 13:1-7 menantang kita untuk menilai kembali posisi kita sebagai warga Kerajaan Allah sekaligus warga negara di dunia. Melalui perikop ini, kita belajar bahwa:
-
Pemerintah ditetapkan Allah untuk menjaga ketertiban.
-
Orang Kristen dipanggil untuk taat bukan hanya karena hukum manusia, tapi karena iman kepada Allah.
-
Ketika terjadi konflik, orang Kristen harus bersikap hormat, bijaksana, dan tetap berpegang kepada hukum Allah.
Sebagai penutup, perkataan John Stott menolong kita merenungkan perikop ini:
“Ketaatan kepada pemerintah bukanlah kepasrahan buta, tetapi ketaatan yang didasarkan pada kesadaran akan otoritas Allah yang tertinggi.”