Kisah Para Rasul 4:13-18: Keberanian dalam Kristus dan Ancaman Dunia
Pendahuluan
Kisah Para Rasul 4:13-18 mencatat respons otoritas Yahudi terhadap pemberitaan Injil oleh Petrus dan Yohanes setelah kesembuhan seorang lumpuh di pintu Gerbang Indah (Kis. 3). Perikop ini memperlihatkan ketegangan antara kuasa Injil yang membebaskan dan struktur keagamaan yang menindas. Dalam konteks inilah kita melihat bagaimana Petrus dan Yohanes menunjukkan keberanian yang luar biasa — bukan karena kekuatan manusiawi, tetapi karena karya Roh Kudus. Artikel ini akan mengeksposisi ayat-ayat tersebut berdasarkan pemikiran para teolog Reformed, menggali makna keberanian, kuasa Firman, dan bagaimana menghadapi perlawanan dunia terhadap kebenaran Injil.
I. Latar Belakang Konteks Historis dan Naratif
Konteks Kisah Para Rasul 4 adalah kelanjutan dari pelayanan Petrus dan Yohanes setelah peristiwa Pentakosta. Mukjizat kesembuhan yang terjadi di pintu gerbang Bait Allah telah menarik perhatian banyak orang (Kis. 3:1-10), dan Petrus mengambil kesempatan untuk memberitakan Injil secara terbuka (Kis. 3:11-26). Hal ini membuat mereka ditangkap oleh para pemimpin agama, termasuk para imam, Saduki, dan anggota Sanhedrin (Kis. 4:1-7). Mereka diinterogasi karena memberitakan kebangkitan dalam nama Yesus — sesuatu yang sangat ditolak oleh kaum Saduki.
Menurut teolog Reformed seperti John Calvin, konteks ini menunjukkan kontras antara kuasa manusia dan kuasa Roh Kudus. Dunia berusaha membungkam suara Injil, tetapi Allah memakai hamba-hamba-Nya yang sederhana untuk menyatakan kuasa-Nya.
II. Eksposisi Ayat per Ayat
Kisah Para Rasul 4:13 – "Melihat keberanian Petrus dan Yohanes..."
1. Karakteristik yang Menonjol: Keberanian dan Ketidakterpelajaran
Petrus dan Yohanes disebut sebagai "orang biasa yang tidak terpelajar" (Greek: agrammatoi kai idiōtai). Menurut R.C. Sproul, ini bukan merendahkan, melainkan menunjukkan bahwa kuasa pelayanan mereka tidak berasal dari pelatihan rabinik formal, melainkan dari kuasa Roh Kudus.
John MacArthur menekankan bahwa "keberanian" mereka (parrēsia) adalah hasil dari kepenuhan Roh Kudus (lih. Kis. 4:8). Ini menunjukkan bahwa Injil tidak bergantung pada kecakapan manusia, tetapi pada otoritas ilahi.
2. Mereka Mengenali Mereka sebagai Pengikut Yesus
Pengenalan ini menjadi saksi bahwa hidup para rasul mencerminkan karakter Kristus. Teolog D.A. Carson berkomentar bahwa "kedekatan dengan Yesus akan membawa transformasi identitas dan keberanian di tengah penganiayaan."
Kisah Para Rasul 4:14 – "Mereka tidak dapat mengatakan apa-apa untuk membantahnya"
1. Fakta Kesembuhan Tidak Dapat Disangkal
Seorang pria lumpuh yang dikenal umum telah berdiri dan berjalan. Tidak ada argumen teologis atau politik yang bisa membantahnya. Dalam tradisi Reformed, Thomas Watson menegaskan bahwa karya anugerah Tuhan nyata dan tak terbantahkan — bahkan oleh mereka yang menolak-Nya.
2. Bukti Kehadiran Allah Mengalahkan Argumentasi Manusia
Menurut Herman Bavinck, tindakan Allah yang terlihat (miracle) selalu dimaksudkan untuk meneguhkan Firman. Dalam hal ini, Allah menyatakan bahwa Injil yang diberitakan benar melalui mukjizat nyata.
Kisah Para Rasul 4:15-16 – "Mereka berunding..."
1. Ketakutan dan Kepanikan Para Pemimpin Agama
Para anggota Sanhedrin tidak mempermasalahkan fakta mukjizat, tapi lebih khawatir pada pengaruh Injil. Menurut Abraham Kuyper, ini menunjukkan "konflik antara kerajaan Allah dan kerajaan manusia" — di mana yang pertama mengancam status quo yang dibangun oleh kuasa duniawi.
2. Pengakuan Tak Terhindarkan atas Kuasa Injil
Mereka menyadari bahwa "kita tidak dapat menyangkalnya" (ay. 16). Ini adalah pengakuan yang jujur namun ironis. Charles Spurgeon menyatakan bahwa "bahkan musuh kebenaran harus mengakui kuasa Allah ketika mereka tidak bisa menyanggah-Nya."
Kisah Para Rasul 4:17 – "Kita mengancam mereka..."
1. Upaya Membungkam Injil
Ancaman adalah cara dunia untuk menekan kebenaran ketika argumen gagal. Ini adalah strategi klasik Iblis — jika kebenaran tidak bisa dibantah, maka dia akan mencoba membungkamnya.
John Stott menulis bahwa ini adalah "reaksi dari hati yang membatu, bukan karena kekurangan bukti, melainkan karena kebencian terhadap kebenaran."
2. Nama Yesus Menjadi Pusat Konfrontasi
Larangan untuk berbicara "dalam nama itu" (nama Yesus) menunjukkan bahwa konfrontasi sebenarnya bukan terhadap Petrus dan Yohanes secara pribadi, tapi terhadap otoritas Yesus Kristus.
Kisah Para Rasul 4:18 – "Mereka diperintahkan supaya sama sekali jangan berbicara..."
1. Pembungkaman atas Pengajaran Kristus
Instruksi ini merupakan pelanggaran langsung terhadap Amanat Agung (Mat. 28:19-20). Namun, seperti yang kita lihat dalam ayat-ayat selanjutnya (Kis. 4:19-20), para rasul memilih untuk taat kepada Allah, bukan kepada manusia.
2. Otoritas Dunia Tidak Dapat Mengalahkan Amanat Injil
Para teolog seperti Martyn Lloyd-Jones menegaskan bahwa "gereja yang setia tidak boleh tunduk pada suara dunia yang berusaha membungkam suara Allah."
III. Aplikasi Teologis dan Reformed
1. Injil Adalah Kuasa Allah
Reformed theology menekankan bahwa Injil bukan hanya cerita, melainkan dunamis (kuasa) Allah yang menyelamatkan (Roma 1:16). Mukjizat dalam teks ini mempertegas otoritas pemberitaan.
2. Allah Memakai Orang Biasa
Kisah ini menunjukkan prinsip utama dalam pemikiran Reformed — sola gratia (hanya oleh anugerah). Petrus dan Yohanes bukan siapa-siapa menurut standar dunia, tetapi mereka dipakai secara luar biasa karena Allah berkenan atas mereka.
3. Keberanian dalam Kristus Tidak Bergantung pada Keadaan
Reformator seperti Martin Luther mencontohkan keberanian seperti ini saat berdiri melawan otoritas Gereja Katolik dalam Konsili Worms. Seperti Petrus dan Yohanes, Luther berkata, "Di sinilah aku berdiri; aku tidak dapat berbuat lain."
4. Dunia Akan Selalu Menolak Injil
Theologi Reformed sangat menyadari doktrin total depravity (kerusakan total manusia). Karena itu, tidak mengejutkan bahwa dunia akan berusaha membungkam kebenaran — bukan karena kekurangan bukti, melainkan karena hati yang rusak.
IV. Implikasi untuk Gereja Masa Kini
-
Kita dipanggil untuk bersaksi meski ada ancaman
Banyak negara dan budaya modern menekan kebebasan berbicara tentang Yesus. Tetapi seperti Petrus dan Yohanes, gereja dipanggil untuk tetap bersaksi. -
Kita harus mengandalkan kuasa Roh Kudus, bukan kecakapan manusia
Gereja tidak perlu takut akan kekurangan pendidikan formal atau latar belakang sosial. Roh Kudus yang sama masih bekerja hari ini. -
Kita harus siap menghadapi penolakan dan tetap taat
Ketika dunia menolak, gereja harus memilih ketaatan pada Allah daripada kompromi demi kenyamanan.
Kesimpulan
Eksposisi Kisah Para Rasul 4:13-18 memperlihatkan bahwa keberanian sejati dalam pelayanan Injil bukanlah hasil dari status sosial, pelatihan akademis, atau keahlian retorika, melainkan hasil dari persekutuan yang hidup dengan Kristus dan kepenuhan Roh Kudus. Para teolog Reformed secara konsisten mengajarkan bahwa dalam sejarah gereja, Allah selalu memakai "orang biasa" untuk melakukan pekerjaan luar biasa-Nya — bukan karena kelebihan mereka, tetapi karena anugerah-Nya.
Panggilan bagi gereja saat ini adalah untuk meneladani keberanian Petrus dan Yohanes: tidak menyerah di bawah ancaman, tidak bungkam oleh intimidasi, dan tidak berkompromi terhadap kebenaran Injil. Ketika dunia berusaha membungkam nama Yesus, orang-orang percaya harus dengan kasih dan keberanian berkata, "Kami tidak dapat tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan dengar" (Kis. 4:20).