1 Tesalonika 2:14–18 Menderita Bersama Kristus: Panggilan Gereja di Tengah Dunia

1 Tesalonika 2:14–18 Menderita Bersama Kristus: Panggilan Gereja di Tengah Dunia

Pendahuluan

Sejak zaman Perjanjian Lama, umat Allah seringkali mengalami aniaya karena kesetiaan mereka kepada firman Tuhan. Demikian pula di zaman Perjanjian Baru, ketika Injil Kristus diberitakan, selalu ada penolakan, permusuhan, bahkan penganiayaan yang mengikutinya. Rasul Paulus dalam surat 1 Tesalonika 2:14–18 meneguhkan jemaat yang baru bertumbuh ini, yang sedang mengalami penderitaan karena iman mereka, agar tidak goyah, melainkan menyadari bahwa penderitaan adalah bagian dari panggilan mereka di dalam Kristus.

Teks ini bukan hanya sebuah catatan historis, tetapi juga sebuah prinsip teologis yang berlaku bagi gereja sepanjang zaman: penderitaan adalah tanda kesatuan dengan Kristus dan jemaat-Nya, sekaligus sebuah sarana untuk menyatakan kemuliaan Allah di tengah dunia.

John Calvin dalam Commentary on Thessalonians menekankan bahwa penderitaan jemaat Tesalonika menunjukkan bahwa mereka sungguh telah menjadi bagian dari gereja sejati. Menurut Calvin, tidak mungkin seseorang sungguh-sungguh menjadi anggota tubuh Kristus tanpa berbagi salib Kristus. Demikian pula, Charles Hodge menekankan bahwa penderitaan adalah konsekuensi alamiah dari kesetiaan kepada Injil, karena Injil selalu berbenturan dengan hati manusia yang berdosa.

Mari kita menguraikan bagian ini dalam tiga pokok utama:

  1. Penderitaan sebagai tanda kesatuan dengan jemaat Kristus (ayat 14).

  2. Penolakan dunia terhadap Injil dan murka Allah atas dosa (ayat 15–16).

  3. Kerinduan pastoral Paulus yang terhalang oleh pekerjaan Iblis (ayat 17–18).

1. Penderitaan Sebagai Tanda Kesatuan dengan Jemaat Kristus (1 Tesalonika 2:14)

Paulus memulai dengan menghibur jemaat Tesalonika bahwa penderitaan mereka bukanlah sesuatu yang aneh, melainkan bagian dari pengalaman universal umat Allah. Ia berkata: "Sebab kamu, saudara-saudara, telah menjadi penurut jemaat-jemaat Allah di Yudea yang ada dalam Kristus Yesus; karena kamu juga telah menderita karena orang-orang sebangsamu apa yang mereka derita dari orang-orang Yahudi."

a. Identitas dalam Kristus

Ungkapan “menjadi penurut jemaat-jemaat Allah” berarti bahwa jemaat Tesalonika sedang berjalan di jejak yang sama dengan gereja-gereja di Yudea. Mereka tidak sendirian. Mereka adalah bagian dari persekutuan kudus yang diikat oleh satu Roh. Di sini kita melihat teologi tubuh Kristus: penderitaan satu anggota adalah penderitaan semua anggota (1 Korintus 12:26).

Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menulis bahwa penderitaan umat Allah merupakan bukti keterlibatan mereka dalam sejarah keselamatan. Dengan kata lain, penderitaan bukanlah tanda ketiadaan berkat, melainkan tanda bahwa mereka sungguh berada dalam garis karya penebusan Allah.

b. Penderitaan karena kesetiaan

Penderitaan jemaat Tesalonika bukan karena kesalahan mereka, melainkan karena kesetiaan mereka kepada Injil. Sama seperti gereja-gereja di Yudea dianiaya oleh orang-orang Yahudi, demikian juga jemaat Tesalonika ditentang oleh orang-orang sebangsanya sendiri. Penderitaan karena kebenaran inilah yang menjadi ciri gereja sejati.

Yesus sendiri sudah mengingatkan dalam Yohanes 15:18–19: "Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku." Oleh karena itu, penderitaan jemaat bukanlah sesuatu yang di luar kendali Allah, melainkan bagian dari janji Kristus.

c. Aplikasi

Bagi kita, teks ini mengajarkan bahwa penderitaan karena iman bukanlah tanda kegagalan, melainkan tanda kesetiaan. Jika kita ditolak karena Kristus, kita sedang berjalan di jalan yang benar. Gereja yang tidak pernah ditolak dunia seharusnya memeriksa apakah ia sungguh memberitakan Kristus yang sejati.

2. Penolakan Dunia terhadap Injil dan Murka Allah atas Dosa (1 Tesalonika 2:15–16)

Paulus melanjutkan dengan sebuah penjelasan yang keras: "Bahkan orang-orang Yahudi itu telah membunuh Tuhan Yesus dan nabi-nabi, dan telah menganiaya kami; mereka tidak berkenan kepada Allah dan memusuhi semua orang. Mereka melarang kami memberitakan kepada bangsa-bangsa lain supaya mereka diselamatkan; demikianlah mereka senantiasa menambah dosa mereka. Tetapi akhirnya murka Allah telah sampai kepada mereka."

a. Penolakan terhadap Kristus dan nabi-nabi

Paulus mengingatkan bahwa penderitaan jemaat bukanlah sesuatu yang baru. Sejarah panjang Israel memperlihatkan pola yang sama: nabi-nabi dianiaya, Kristus dibunuh, dan para rasul dikejar-kejar. Penolakan terhadap Injil adalah pola historis dosa manusia.

John Stott dalam The Message of Thessalonians menulis bahwa penolakan terhadap Injil menunjukkan kebencian mendalam manusia terhadap Allah yang berdaulat. Ketika Allah menyatakan kebenaran-Nya, hati yang berdosa justru semakin keras.

b. Dosa yang menumpuk

Paulus menyebut bahwa orang-orang Yahudi “menambah dosa mereka.” Ungkapan ini menunjukkan akumulasi dosa yang akhirnya membawa murka Allah. Dosa bukan hanya sebuah pelanggaran sekali waktu, tetapi sebuah tumpukan yang semakin berat hingga mencapai titik klimaks.

Dalam teologi Reformed, ini sejalan dengan konsep “penyimpanan murka” (Roma 2:5), yaitu bahwa penolakan terus-menerus terhadap Injil menimbulkan akumulasi murka Allah yang pada akhirnya akan dinyatakan dalam penghakiman.

c. Murka Allah

Pernyataan Paulus: "murka Allah telah sampai kepada mereka" mengingatkan kita bahwa murka Allah adalah realitas yang serius. Banyak gereja modern enggan berbicara tentang murka Allah, tetapi Alkitab justru menekankannya. Murka Allah bukan sekadar emosi, melainkan respons kudus Allah terhadap dosa.

Jonathan Edwards dalam khotbah terkenalnya Sinners in the Hands of an Angry God menekankan bahwa manusia berdosa berada di bawah ancaman murka Allah setiap saat, dan hanya anugerah Allah yang menahan murka itu. Peringatan Paulus seharusnya membangunkan gereja untuk menyadari betapa seriusnya penolakan terhadap Injil.

d. Aplikasi

Teks ini mengingatkan kita bahwa Injil tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Penolakan adalah bagian dari respons dunia yang berdosa. Namun, kita juga diajar untuk tidak gentar, sebab pada akhirnya Allah akan menyatakan keadilan-Nya. Penderitaan orang percaya tidak akan sia-sia, dan kejahatan dunia tidak akan dibiarkan tanpa hukuman.

3. Kerinduan Pastoral Paulus yang Terhalang oleh Pekerjaan Iblis (1 Tesalonika 2:17–18)

Ayat 17–18 memperlihatkan sisi emosional Paulus: "Tetapi kami, saudara-saudara, yang seketika terpisah dari kamu—secara lahiriah, bukan dalam hati—kami telah berusaha dengan sangat rindu untuk bertemu muka dengan muka dengan kamu. Karena kami ingin datang kepadamu—aku, Paulus—lebih dari sekali, tetapi Iblis telah mencegah kami."

a. Kasih pastoral Paulus

Paulus menyebut perpisahan itu “secara lahiriah, bukan dalam hati.” Ia ingin menegaskan bahwa ikatan kasih rohani antara dirinya dan jemaat Tesalonika tetap kuat. Kerinduannya untuk bertemu mereka adalah bukti nyata kasih seorang gembala terhadap domba-dombanya.

Richard Baxter dalam The Reformed Pastor menekankan bahwa seorang gembala sejati bukan hanya mengajar dari jauh, tetapi merindukan persekutuan langsung dengan jemaatnya. Kasih pastoral adalah cermin kasih Kristus sendiri.

b. Realitas peperangan rohani

Paulus berkata, “Iblis telah mencegah kami.” Ini menunjukkan bahwa di balik penderitaan dan hambatan pelayanan terdapat kuasa jahat yang bekerja. Namun, penting dicatat bahwa Iblis tidak berdaulat. Hambatan itu hanya bisa terjadi sejauh Allah mengizinkan. Dalam teologi Reformed, ini disebut sebagai “providensia Allah” yang bahkan menggunakan perlawanan Iblis untuk menggenapi rencana-Nya.

John Owen menulis bahwa Iblis memang dapat menghalangi pekerjaan hamba Tuhan, tetapi ia tidak pernah dapat menghentikan rencana keselamatan Allah. Hambatan itu justru seringkali menjadi sarana Allah untuk memperluas Injil melalui cara-cara yang tak terduga.

c. Aplikasi

Kita belajar bahwa pelayanan Injil tidak pernah lepas dari hambatan, baik secara manusiawi maupun secara rohani. Namun, kasih pastoral menuntut kita untuk terus berjuang, sekalipun ada halangan. Kita juga diingatkan untuk berdoa, sebab peperangan sejati bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan kuasa-kuasa kegelapan (Efesus 6:12).

Penutup: Panggilan Gereja di Tengah Dunia

Dari teks ini kita melihat tiga kebenaran besar:

  1. Penderitaan karena Kristus adalah tanda kesatuan dengan jemaat Allah.

  2. Penolakan dunia terhadap Injil menunjukkan keseriusan dosa dan realitas murka Allah.

  3. Kasih pastoral dan peperangan rohani adalah bagian dari kehidupan gereja yang harus dihadapi dengan iman.

Gereja dipanggil bukan untuk mencari kenyamanan, melainkan untuk setia kepada Injil, sekalipun itu berarti penderitaan. Namun, penderitaan itu bukan tanpa pengharapan. Kristus sendiri telah lebih dahulu menderita dan bangkit, dan di dalam Dia kita memiliki kemenangan.

Seperti yang ditulis Calvin: “Salib Kristus tidak hanya menebus kita, tetapi juga menjadi pola hidup kita. Barangsiapa ingin mengikut Dia, harus memikul salibnya.”

Kiranya jemaat Tuhan hari ini diteguhkan untuk setia, menderita bersama Kristus, dan berharap pada kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Amin.

Next Post Previous Post