1 Tesalonika 2:5 Ketulusan Paulus dalam Pelayanan Injil

Pendahuluan
Surat 1 Tesalonika ditulis Paulus untuk menguatkan jemaat muda yang sedang menghadapi tekanan, sekaligus untuk membela kemurnian pelayanan apostoliknya. Di dalam pasal 2, Paulus membahas bagaimana ia dan rekan-rekannya (Silwanus dan Timotius) melayani jemaat Tesalonika bukan dengan motivasi tersembunyi, melainkan dengan ketulusan hati yang berakar pada panggilan Allah.
Ayat 5 berbunyi:
“Karena kami tidak pernah bermulut manis untuk mencari muka (seperti yang kamu tahu) dan tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi (Allah adalah saksi).” (TB)
Dalam ayat ini, Paulus menyatakan dua hal penting:
-
Ia tidak menggunakan kata-kata manis atau retorika manipulatif untuk memperoleh keuntungan.
-
Ia tidak digerakkan oleh keserakahan yang tersembunyi.
Eksposisi ayat ini memperlihatkan ketegasan Paulus dalam membedakan pelayan Injil sejati dengan guru-guru palsu yang menggunakan Injil demi keuntungan pribadi. Para ahli teologi Reformed melihat ayat ini sebagai model pelayanan yang tulus, Kristosentris, dan tanpa pamrih.
Analisis Leksikal
1. “Bermulut manis” (ἐν λόγῳ κολακείας)
Frasa Yunani ini berarti “kata-kata pujian yang menyanjung” atau “flattery.” Menurut John Calvin, kata ini menunjuk pada seni retorika yang dipakai bukan untuk menyampaikan kebenaran, tetapi untuk menyenangkan hati pendengar demi keuntungan pribadi. Paulus menegaskan bahwa ia tidak memakai Injil sebagai alat manipulasi, melainkan sebagai kebenaran yang harus diberitakan meski menyinggung hati.
2. “Maksud loba” (προφάσει πλεονεξίας)
Kata πλεονεξία berarti keserakahan, keinginan tak terbatas untuk memperoleh keuntungan. Paulus menegaskan bahwa ia tidak pernah menyembunyikan motivasi serakah di balik pelayanannya. Di sini ia menekankan integritas, sebagaimana ditegaskan dengan kalimat, “Allah adalah saksi.”
Konteks Historis dan Teologis
1. Latar Belakang Budaya Retorika Yunani
Pada abad pertama, dunia Yunani-Romawi dipenuhi dengan kaum sofis yang mencari pengaruh melalui retorika manis. Mereka seringkali memanfaatkan kefasihan berbicara untuk memperoleh uang, kehormatan, atau status sosial. Paulus, yang memberitakan Injil, dituduh tidak lebih dari seorang pengajar keliling yang mencari keuntungan.
R.C. Sproul menekankan bahwa Paulus ingin menegaskan perbedaan mendasar: pemberita Injil tidak boleh menyamakan dirinya dengan kaum sofis. Injil bukan barang dagangan, melainkan kabar keselamatan.
2. Tuduhan terhadap Paulus
Kemungkinan besar, musuh-musuh Paulus menuduhnya mencari keuntungan materi atau popularitas. Karena itu, ia menekankan bahwa kehidupannya terbuka dan Allah sendiri menjadi saksi integritasnya. Seperti ditulis dalam 2 Korintus 2:17:
“Kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah.”
3. Prinsip Reformed: Soli Deo Gloria
Teologi Reformed menekankan bahwa segala pelayanan harus dilakukan demi kemuliaan Allah saja (Soli Deo Gloria). Pelayanan yang digerakkan oleh motivasi tersembunyi atau keuntungan pribadi adalah bentuk penyalahgunaan Injil. Paulus, dengan menolak tuduhan ini, memperlihatkan teladan seorang pelayan sejati yang bekerja di hadapan Allah.
Eksposisi Ayat Menurut Teologi Reformed
A. John Calvin
Calvin dalam Commentaries on the Epistles of Paul menegaskan bahwa Paulus menyebut dua bentuk penipuan yang umum dipakai pengajar palsu: pertama, kata-kata manis yang menyenangkan telinga; kedua, keserakahan yang menyembunyikan motivasi sejati. Paulus menolak keduanya untuk membuktikan kemurnian pelayanannya.
Bagi Calvin, pentingnya pernyataan “Allah adalah saksi” menunjukkan bahwa pelayanan sejati selalu dilakukan dalam kesadaran akan kehadiran Allah. Manusia bisa menipu sesamanya, tetapi tidak mungkin menipu Allah.
B. Matthew Henry
Matthew Henry menyoroti bahwa Paulus menyebut jemaat Tesalonika sebagai saksi (tentang ketulusan perkataan) dan Allah sebagai saksi (tentang motivasi hati). Dengan demikian, ia menegaskan integritas luar dan dalam.
Henry menekankan bahwa seorang pelayan Tuhan harus menghindari dua dosa utama dalam pelayanan: pencarian popularitas (melalui sanjungan) dan keserakahan materi. Kedua hal ini merusak kesaksian Injil.
C. John Stott
John Stott, dalam The Message of Thessalonians, menekankan bahwa ayat ini memperlihatkan gaya hidup pelayanan yang anti-manipulatif. Paulus tidak menggunakan Injil untuk “menjual diri” kepada jemaat. Sebaliknya, ia menyampaikan kebenaran meskipun berisiko ditolak.
Stott menegaskan bahwa pelayanan yang sejati harus berpusat pada Kristus, bukan pada diri pelayan. Hal ini sangat relevan bagi gereja masa kini yang sering tergoda untuk memakai strategi pemasaran duniawi demi menarik massa.
D. R.C. Sproul
Sproul melihat integritas Paulus sebagai buah dari pemahaman yang benar tentang panggilan Allah. Pelayanan bukanlah panggung mencari keuntungan, melainkan panggilan kudus untuk memberitakan Kristus.
Sproul juga menekankan aspek apologetik: dengan menyangkal tuduhan sanjungan dan keserakahan, Paulus membedakan Injil dari filsafat dunia. Injil adalah kabar keselamatan, bukan sarana manipulasi.
E. Herman Bavinck
Bavinck, dalam Reformed Dogmatics, meskipun tidak menafsir langsung ayat ini, menekankan prinsip bahwa pelayanan gereja harus murni dari segala bentuk keserakahan. Gereja dipanggil untuk mencerminkan kemurnian Injil dalam kehidupan para pelayannya. Dengan demikian, ayat ini menjadi dasar etika pelayanan Reformed.
Aplikasi Teologis dan Pastoral
1. Menolak Manipulasi Retorika
Bagi pelayan Tuhan, panggilan Paulus adalah untuk menyampaikan kebenaran Injil dengan setia, bukan dengan kata-kata yang dimanipulasi untuk menyenangkan telinga pendengar. Dalam konteks gereja modern, ini berarti khotbah tidak boleh berubah menjadi motivasi sekuler atau hiburan rohani yang kosong dari kebenaran salib.
2. Menjaga Kemurnian Motivasi
Paulus menegaskan bahwa Allah adalah saksi hati manusia. Oleh karena itu, setiap pelayan Injil harus memeriksa motivasinya: apakah ia melayani demi Kristus atau demi keuntungan pribadi? Teologi Reformed mengajarkan bahwa hanya motivasi yang berakar pada kemuliaan Allah yang benar di hadapan-Nya.
3. Gereja dan Godaan Kekayaan
Gereja sepanjang sejarah sering tergoda untuk memakai Injil sebagai alat mencari kekayaan. Ayat ini menjadi teguran keras terhadap segala bentuk komersialisasi pelayanan.
4. Teladan bagi Jemaat
Jemaat dipanggil untuk menilai seorang pelayan bukan dari kefasihan atau popularitas, melainkan dari ketulusan dan integritas hidupnya. Paulus memperlihatkan bahwa pelayanan sejati akan tampak dalam kesetiaan kepada Allah, bukan dalam pencarian keuntungan.
Kesimpulan
1 Tesalonika 2:5 memperlihatkan integritas Paulus sebagai hamba Kristus. Ia menolak tuduhan manipulasi retorika maupun keserakahan, dan menegaskan bahwa Allah adalah saksi dari motivasi hatinya.
Para ahli teologi Reformed melihat ayat ini sebagai teladan pelayanan Injil yang tulus, bebas dari kepentingan diri, dan hanya berfokus pada kemuliaan Allah. Calvin menyoroti integritas hati di hadapan Allah, Henry menekankan saksi jemaat dan Allah, Stott melihat pelayanan anti-manipulatif, Sproul menegaskan perbedaan Injil dengan filsafat dunia, dan Bavinck menekankan kemurnian gereja dari keserakahan.
Bagi gereja masa kini, pesan ayat ini tetap relevan: pelayanan Injil harus ditandai oleh ketulusan, bukan manipulasi; oleh kasih kepada Kristus, bukan keserakahan; oleh kemuliaan Allah, bukan keuntungan pribadi.