Allah yang Transenden, Kudus, dan Dekat kepada Umat-Nya

Allah yang Transenden, Kudus, dan Dekat kepada Umat-Nya

Teks Dasar: Yesaya 57:15 –
"Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi, yang bersemayam untuk selama-lamanya dan yang mahakudus nama-Nya: Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus, tetapi Aku juga ada bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk."

I. PENDAHULUAN

Di dalam sejarah gereja, selalu ada momen ketika umat Tuhan membutuhkan visi yang diperbarui tentang Allah. A.W. Tozer, seorang pengkhotbah dan penulis rohani abad ke-20, menegaskan bahwa salah satu masalah terbesar gereja modern adalah pandangan yang rendah tentang Allah. Dalam kumpulan khotbahnya God Transcendent and Other Selected Sermons, Tozer berulang kali menekankan betapa mendesaknya gereja kembali kepada pengenalan akan Allah yang agung, kudus, dan transenden.

Tozer berkata: “The low view of God entertained almost universally among Christians is the cause of a hundred lesser evils everywhere among us.” Artinya, banyak kelemahan iman, dangkalnya ibadah, dan kompromi moral dalam gereja bersumber pada gambaran Allah yang terlalu kecil.

Yesaya 57:15 memberikan visi yang seimbang: Allah adalah Yang Mahatinggi dan Mahakudus, yang bersemayam di tempat tinggi, namun sekaligus hadir bersama orang yang rendah hati dan remuk. Inilah paradoks ilahi: Allah yang transenden sekaligus imanen.

Dalam khotbah ini kita akan membahas tiga bagian besar:

  1. Allah yang Transenden: Keagungan, kekudusan, dan kebesaran-Nya.

  2. Allah yang Imanen: Kasih karunia-Nya bagi yang rendah hati.

  3. Implikasi Praktis: Hidup kudus, rendah hati, dan penuh penyembahan.

II. ALLAH YANG TRANSENDEN

1. Allah yang Tinggi dan Berdaulat

Yesaya menyebut Allah sebagai “Yang Mahatinggi, yang bersemayam untuk selama-lamanya.” Ini menunjuk pada Allah yang berdaulat atas segala ciptaan. Ia bukan bagian dari ciptaan, melainkan Pencipta yang berdiri di atas segalanya.

Herman Bavinck menulis dalam Reformed Dogmatics: “Transcendence is not merely God being far away, but His absolute otherness, His exaltedness above creation.” Allah adalah Pencipta yang tidak dapat direduksi menjadi apa pun dalam ciptaan.

Calvin dalam Institutes (I.1.2) menegaskan bahwa kita tidak dapat mengenal diri kita sendiri tanpa terlebih dahulu mengenal Allah. Karena itu, kesadaran akan transendensi Allah adalah titik awal teologi yang benar.

2. Allah yang Tidak Terbatas

Mazmur 113:4-6 menyatakan: “TUHAN tinggi mengatasi segala bangsa, kemuliaan-Nya mengatasi langit. Siapakah seperti TUHAN, Allah kita, yang diam di tempat tinggi, yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi?”

Louis Berkhof menegaskan bahwa Allah adalah infinite being: tidak terbatas dalam kuasa, pengetahuan, dan keberadaan-Nya. Kita tidak bisa memahami Allah secara penuh, hanya mengenal sejauh Ia menyatakan diri.

Tozer menulis: “Forever God stands apart, in Himself, above the world, infinitely exalted.” Jika Allah tidak transenden, maka Ia tidak lebih dari sekadar makhluk besar. Tetapi karena Ia transenden, Ia layak disembah.

3. Allah yang Kudus

Yesaya 6:3 mencatat seruan para serafim: “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” Kekudusan adalah inti dari transendensi Allah.

R.C. Sproul dalam The Holiness of God berkata: “To say that God is holy is to say that He is transcendentally separate, above and beyond us, utterly distinct.” Kekudusan berarti keterpisahan Allah dari dosa dan kesempurnaan-Nya dalam segala hal.

Bagi Tozer, hilangnya rasa hormat akan kekudusan Allah adalah tragedi besar gereja modern. Ia menulis: “We have lost our sense of awe, and with it, we have lost our moral compass.”

III. ALLAH YANG IMANEN

Yesaya tidak berhenti pada pernyataan tentang Allah yang tinggi. Ia menambahkan: “tetapi Aku juga ada bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati.” Inilah keseimbangan: Allah yang jauh sekaligus dekat.

1. Inkarnasi: Allah Menjadi Manusia

Yohanes 1:14 berkata: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya.” Kristus adalah Allah yang transenden yang merendahkan diri untuk hadir di tengah umat manusia.

Calvin menulis dalam Institutes (II.12.1): “In Christ, God has clothed Himself with our flesh, that He might draw near to us without consuming us with His majesty.” Inkarnasi adalah bukti imanensi Allah.

2. Roh Kudus: Allah yang Tinggal dalam Hati Orang Percaya

1 Korintus 3:16 menyatakan: “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” Roh Kudus menghadirkan kehadiran Allah yang transenden ke dalam hati kita.

Herman Bavinck berkata: “The Spirit makes the transcendent God present and active in the life of believers, so that they live in communion with Him.”

3. Kasih Karunia bagi yang Rendah Hati

Yakobus 4:6 berkata: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” Allah yang transenden memilih berdiam di hati yang remuk, bukan di hati yang sombong.

Tozer menegaskan: “God will not dwell with the proud; His dwelling is with the brokenhearted who know their need of Him.”

IV. IMPLIKASI PRAKTIS BAGI UMAT TUHAN

1. Hidup dalam Kekudusan

Karena Allah kudus, kita pun dipanggil untuk hidup kudus. 1 Petrus 1:16 menegaskan: “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.”

John Owen, teolog Puritan Reformed, menulis: “Be killing sin, or sin will be killing you.” Hidup kudus berarti berjuang setiap hari melawan dosa dengan kuasa Roh Kudus.

2. Hidup dalam Penyembahan yang Benar

Ibrani 12:28-29 berkata: “Marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut, sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.”

Tozer mengkritik keras ibadah modern yang dangkal. Ia berkata: “We are not here to entertain ourselves but to bow before the Holy One.” Penyembahan sejati adalah respons penuh hormat terhadap transendensi Allah.

3. Hidup dalam Kerendahan Hati

Kesadaran akan transendensi Allah menghancurkan kesombongan manusia. Seperti Yesaya berseru: “Celakalah aku! Aku binasa!” (Yesaya 6:5).

Jonathan Edwards dalam Religious Affections menekankan bahwa kerendahan hati adalah tanda lahiriah dari kasih karunia sejati. Orang yang benar-benar mengenal Allah pasti merendahkan diri di hadapan-Nya.

4. Penghiburan bagi yang Menderita

Yesaya 57:15 menegaskan bahwa Allah yang tinggi itu hadir untuk menghidupkan hati orang yang remuk. Bagi umat yang tertindas, inilah penghiburan: Allah yang agung justru dekat dengan mereka.

Bavinck menulis: “The greatness of God’s transcendence makes His condescension all the more marvelous, that the Infinite One stoops to dwell with the lowly.”

V. ALLAH TRANSENDEN DALAM TEOLOGI REFORMED

1. John Calvin

Calvin menekankan bahwa kita mengenal Allah hanya sejauh Ia menyatakan diri. Tanpa wahyu-Nya, transendensi Allah akan membuat kita binasa.

2. Herman Bavinck

Bavinck menegaskan bahwa Allah adalah transenden sekaligus imanen. Dua aspek ini tidak boleh dipisahkan. Jika hanya menekankan transendensi, Allah tampak jauh; jika hanya imanensi, Allah tampak terlalu kecil.

3. Louis Berkhof

Berkhof mengajarkan bahwa atribut transendensi (mahakuasa, mahatahu, mahahadir) harus dibaca bersama atribut imanensi (kasih, kesetiaan, penyertaan). Keduanya bersatu dalam pribadi Allah yang satu.

4. R.C. Sproul

Sproul menekankan bahwa tanpa visi akan kekudusan Allah, kita tidak akan mengerti betapa seriusnya dosa dan betapa agungnya salib Kristus.

VI. PENUTUP

Hari ini kita telah merenungkan Allah yang transenden. Ia adalah Yang Mahatinggi, Mahakudus, tak terbatas, dan berdaulat atas segala sesuatu. Namun Ia juga Allah yang imanen, yang mendekat, yang tinggal bersama orang yang rendah hati, yang masuk ke dalam dunia melalui Kristus, dan yang hadir melalui Roh Kudus.

Respon kita adalah:

  1. Hidup dalam kekudusan.

  2. Beribadah dengan hormat.

  3. Merendahkan diri di hadapan-Nya.

  4. Menemukan penghiburan dalam kehadiran-Nya.

Tozer benar ketika berkata: “What comes into our minds when we think about God is the most important thing about us.” Mari kita memiliki visi yang benar tentang Allah—Allah yang transenden sekaligus imanen, kudus sekaligus penuh kasih karunia.

Kiranya kita hidup sebagai umat yang tunduk, menyembah, dan berjalan dalam kekudusan di hadapan Allah yang agung.

Amin.

Next Post Previous Post