Damai Sejati: Pencarian yang Hanya Berakhir di Dalam Kristus

Damai Sejati: Pencarian yang Hanya Berakhir di Dalam Kristus

Pendahuluan

Setiap manusia, tanpa memandang usia, status, bangsa, atau latar belakang, merindukan satu hal yang sama: damai dalam hati. Kita semua, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, kaya maupun miskin, menginginkan ketenangan batin yang kokoh, yang tidak diguncangkan keadaan. Tetapi, faktanya, justru yang banyak kita temukan adalah kekosongan, kecemasan, rasa takut, kesumpekan, kekecewaan, dan kegelisahan.

Alkitab tidak menutup mata terhadap kenyataan ini. Amsal 14:13 berkata: “Di dalam tertawapun hati dapat merana, dan kesukaan dapat berakhir dengan kedukaan.” Senyum di wajah manusia sering hanya topeng, sementara batin mereka porak-poranda. Seorang badut mungkin bisa membuat ribuan orang tertawa, tetapi dalam dirinya sendiri, bisa jadi ia menyembunyikan air mata. Banyak orang berusaha mengisi kehampaan dengan beragam cara—tetapi semua itu gagal membawa damai sejati.

Para teolog Reformed melihat keresahan batin manusia sebagai bukti terdalam bahwa kita diciptakan untuk Allah. Agustinus pernah menulis dalam Confessiones: “Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai kami beristirahat di dalam Engkau.”

I. Cara-Cara Manusia Mencari Damai (yang Sia-Sia)

1. Mengejar Kebebasan Tanpa Batas

Banyak orang berpikir bahwa sumber ketidakbahagiaan mereka adalah batasan. Di sekolah ada aturan guru, di rumah ada otoritas orang tua, di tempat kerja ada atasan, dalam negara ada hukum, di gereja ada Firman Tuhan. Karena itu mereka memberontak, menganggap bahwa untuk bahagia mereka harus hidup bebas: “hidup semau gue.”

Fenomena ini terlihat jelas di dunia modern. Negara-negara Barat, yang menekankan kebebasan individu setinggi mungkin, justru menunjukkan statistik tertinggi dalam hal kecemasan, depresi, bahkan bunuh diri. John Calvin mengingatkan: “Kebebasan sejati bukanlah kebebasan untuk menuruti nafsu, melainkan kebebasan untuk hidup dalam ketaatan kepada Allah.”

Pengkhotbah dalam Pkh. 2:10–11 memberi kesaksian: ia telah mencoba semua bentuk kebebasan, tetapi akhirnya menyimpulkan bahwa semuanya adalah “kesia-siaan dan usaha menjaring angin.”

2. Mengejar Kepandaian

Sebagian orang berpikir bahwa kunci damai adalah pengetahuan. Mereka mengejar sekolah, gelar, buku, dan penelitian dengan harapan semakin pintar semakin tenang. Tetapi apa hasilnya? Banyak orang terpelajar justru diliputi kekosongan.

Salomo menulis: “Di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan” (Pkh. 1:18). Pengetahuan duniawi yang terlepas dari Allah hanya memperbesar beban hati. Martin Luther berkata: “Pengetahuan tanpa takut akan Allah bukanlah hikmat, melainkan kebodohan yang menyombongkan diri.”

3. Mengejar Popularitas dan Kekayaan

Manusia lain berpikir, jika saja mereka lebih kaya dan terkenal, maka hidup mereka akan damai. Tetapi sejarah membuktikan sebaliknya.

  • Muhammad Ali, petinju legendaris, pernah mengakui bahwa ia tidak memiliki damai dalam hati.

  • Marilyn Monroe, aktris terkenal dan kaya raya, berakhir dengan bunuh diri.

Raja Salomo, yang memiliki kekayaan dan kejayaan melampaui semua raja Yerusalem, tetap berkata: “Segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pkh. 2:11).

Charles Spurgeon pernah berkata: “Banyak orang telah menaiki tangga kesuksesan hanya untuk mendapati bahwa tangga itu bersandar pada tembok yang salah.”

4. Mengejar Kesenangan Duniawi

Ada juga yang mencari damai dengan hiburan: pesta, makanan, perjalanan, sex, bahkan narkoba. Memang sejenak mereka merasa lega, tetapi setelah kesenangan itu usai, kehampaan kembali menyerang.

Jonathan Edwards menyebut kesenangan duniawi sebagai “shadow happiness”—kebahagiaan semu, seperti bayangan yang selalu hilang saat kita coba tangkap.

5. Mengejar Kesibukan Tanpa Henti

Sebagian orang berusaha menutupi kegelisahan dengan sibuk bekerja, bermain, atau mengisi waktu dengan berbagai kegiatan. Tetapi begitu mereka berhenti sejenak, kekosongan itu kembali menyergap. Seperti orang Jawa katakan: keslimur—damai semu yang hilang saat kesibukan berhenti.

II. Sumber Sejati dari Ketidakdamaiannya Manusia

Jika semua jalan itu gagal, maka kita perlu bertanya: apa sebenarnya sumber dari ketidakdamaian itu?

1. Dosa sebagai Akar Masalah

Alkitab menegaskan bahwa manusia pada mulanya diciptakan baik adanya (Kejadian 1:31). Tetapi dosa dalam Kejadian 3 merusak semuanya. Hubungan manusia dengan Allah putus, dan akibatnya timbullah ketakutan, rasa malu, kegelisahan, dan kematian rohani.

Yesaya 57:20–21 menggambarkan: “Orang-orang fasik adalah seperti laut yang berombak-ombak sebab tidak dapat tetap tenang … Tiada damai bagi orang-orang fasik itu.”

Calvin menjelaskan: “Dosa bukan hanya melawan Allah, tetapi juga merusak hati nurani, sehingga manusia menjadi musuh bagi dirinya sendiri.”

2. Upaya Manusia yang Gagal Membereskan Dosa

Manusia berusaha menutupi dosa dengan tiga cara:

  • Membenarkan diri (seperti Adam dan Hawa).

  • Menutupi dengan perbuatan baik (bagaikan bau keringat yang ditutup minyak wangi).

  • Melarikan diri pada kesenangan dan kesibukan.

Tetapi semua itu gagal, karena dosa tidak bisa dibereskan manusia. Spurgeon berkata: “Seorang berdosa tidak bisa menebus dirinya sendiri lebih dari seorang yang tenggelam bisa menarik dirinya keluar dari laut dengan rambutnya.”

III. Jalan yang Allah Berikan

Syukur kepada Allah, Ia tidak meninggalkan manusia dalam kebinasaan. Allah sendiri menyediakan jalan melalui Yesus Kristus.

1. Kristus Membereskan Dosa di Salib

Di atas kayu salib, Yesus berseru: “Sudah selesai” (Yoh. 19:30). Itu berarti hutang dosa lunas. John Owen menyebut karya salib Kristus sebagai “the death of death in the death of Christ”—kematian dosa di dalam kematian Kristus.

2. Datang kepada Kristus dengan Iman

Yesus berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28). Luther menafsirkan undangan ini sebagai panggilan Injil yang universal: siapa pun yang sadar akan dosanya boleh datang kepada Kristus dan menerima damai.

Roma 5:1 menegaskan: “Kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.”

3. Hidup dalam Ketaatan kepada Kristus

Tidak cukup hanya datang; kita dipanggil untuk memikul kuk Kristus (Mat. 11:29). Calvin menekankan bahwa ketaatan bukan syarat untuk diselamatkan, tetapi bukti bahwa kita benar-benar telah diperdamaikan dengan Allah.

Yesaya 48:18 menegaskan: “Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering.”

IV. Aplikasi Pastoral

  1. Dalam kehidupan pribadi – banyak orang Kristen masih kehilangan damai karena tidak sungguh-sungguh menyerahkan beban dosa kepada Kristus. Kuncinya adalah mengaku dan percaya.

  2. Dalam keluarga – damai Kristus menjadi dasar relasi suami-istri dan orang tua-anak. Tanpa Injil, keluarga hanya akan menjadi ladang konflik.

  3. Dalam pekerjaan dan pelayanan – kita dipanggil bekerja bukan untuk mencari damai melalui hasil kerja, melainkan bekerja dari damai yang sudah kita terima di dalam Kristus.

  4. Dalam penderitaan – sekalipun dunia kacau, damai Kristus tidak terguncang. Spurgeon berkata: “Damai Allah bukanlah ketiadaan badai, melainkan ketenangan di tengah badai.”

Kesimpulan

Pencarian damai adalah pencarian universal, tetapi semua jalan manusia berakhir sia-sia. Damai sejati hanya ada dalam Kristus yang menanggung dosa di salib. Seperti dikatakan Agustinus: “Hati kami gelisah sampai beristirahat di dalam Engkau.”

Hari ini Kristus mengundang: “Marilah kepada-Ku.” Jika kita datang, percaya, dan taat kepada-Nya, kita akan mengalami damai sejati—damai yang melampaui segala akal (Flp. 4:7), damai yang tidak bisa diberikan dunia, dan damai yang kekal hingga kekekalan.

Next Post Previous Post