Kasih Karunia dan Kewajiban untuk Memiliki Pikiran yang Rohani

Pendahuluan
Salah satu realitas kehidupan rohani yang paling penting tetapi sering kali diabaikan adalah masalah pikiran yang rohani. Rasul Paulus menekankan dalam Roma 8 bahwa ada dua orientasi hidup yang berbeda dan bertolak belakang: hidup menurut daging dan hidup menurut Roh. Pembedaan ini bukanlah sesuatu yang samar, melainkan sangat jelas dan menentukan.
John Owen, salah satu teolog besar Puritan dari tradisi Reformed, dalam karyanya The Grace and Duty of Being Spiritually Minded, menekankan bahwa memiliki pikiran yang rohani adalah tanda nyata dari seorang yang sungguh-sungguh memiliki hidup baru di dalam Kristus. Menurutnya, “Pikiran yang rohani adalah kasih karunia besar yang diberikan Allah sekaligus kewajiban yang harus dipelihara oleh setiap orang percaya.”
Dengan kata lain, bukan hanya anugerah, tetapi juga panggilan dan tanggung jawab kita untuk mengarahkan seluruh pikiran, hati, dan hasrat kita kepada Allah.
Hari ini kita akan membahas tiga hal utama:
-
Hakikat pikiran yang rohani
-
Rintangan dan tantangan dalam memelihara pikiran yang rohani
-
Jalan kasih karunia dan tanggung jawab kita dalam membangun hidup yang berpusat pada Roh
1. Hakikat Pikiran yang Rohani
a. Orientasi Hati dan Pikiran
Roma 8:5 menjelaskan bahwa orang yang hidup menurut Roh akan memikirkan hal-hal yang dari Roh. Kata “memikirkan” di sini bukan sekadar aktivitas mental, melainkan orientasi hati yang terus-menerus. Pikiran rohani bukan berarti seseorang hanya memikirkan ayat Alkitab sepanjang hari atau selalu berbicara tentang hal-hal gerejawi, melainkan sebuah kondisi batin di mana pusat kehidupan, keinginan, dan orientasi kita tertuju kepada Allah.
John Calvin dalam Institutes menekankan bahwa manusia diciptakan untuk mengenal Allah dan hidup dalam relasi dengan-Nya. Pikiran yang rohani berarti kita diarahkan untuk mengingat, merenungkan, dan mengutamakan hal-hal yang memuliakan Allah dalam segala aspek kehidupan.
b. Buah dari Pikiran Rohani: Hidup dan Damai
Roma 8:6 menyebutkan bahwa keinginan Roh menghasilkan hidup dan damai sejahtera. Di sini Paulus menegaskan perbedaan radikal: orientasi daging membawa kepada maut, tetapi orientasi Roh membawa kepada kehidupan. Hidup yang rohani berarti kita mengalami persekutuan sejati dengan Allah di dalam Kristus. Damai sejahtera yang dimaksud bukan sekadar ketenangan psikologis, tetapi shalom – keselarasan batin dengan Allah yang memampukan kita menghadapi dunia yang rusak.
Jonathan Edwards menambahkan bahwa tanda sejati dari pekerjaan Roh Kudus adalah ketika hati manusia dipenuhi dengan kasih akan Allah dan kerinduan untuk menyenangkan-Nya. Inilah inti dari pikiran yang rohani: kasih kepada Allah menjadi pusat dari semua pertimbangan kita.
2. Rintangan dan Tantangan dalam Memelihara Pikiran yang Rohani
a. Natur Dosa yang Masih Melekat
Meskipun kita sudah ditebus, natur dosa masih berusaha menarik kita kepada hal-hal duniawi. John Owen menyebut ini sebagai “kecenderungan alami jiwa yang rusak.” Pikiran manusia secara default condong kepada hal-hal yang fana, bukan kepada kekekalan. Dosa menutup mata rohani kita sehingga lebih mudah memikirkan hal-hal sementara daripada memusatkan diri pada hal-hal surgawi.
b. Godaan Dunia Modern
Jika pada abad ke-17 Owen berbicara tentang kesibukan dunia dan kenikmatan dosa, maka pada abad ke-21 ini, kita bisa mengatakan godaan terbesar datang dari distraksi digital, materialisme, dan hedonisme. Dunia modern menawarkan begitu banyak hal yang mengisi pikiran kita: berita tanpa henti, media sosial, hiburan instan, pencapaian karier, dan pencarian kenyamanan hidup. Semua ini dengan mudah menyita perhatian dan menggeser pikiran kita dari Kristus.
Seperti yang dikatakan oleh David Wells, seorang teolog Reformed kontemporer, “Masalah terbesar orang Kristen modern bukanlah kurangnya informasi, melainkan pikiran yang tercerai-berai dan hati yang tidak fokus pada Allah.”
c. Kelalaian Rohani
Banyak orang Kristen jatuh bukan karena dosa besar, tetapi karena kelalaian kecil yang menumpuk. Kurangnya doa, jarangnya merenungkan Firman, hati yang jarang diarahkan kepada Tuhan, semua itu membuat pikiran kita tumpul secara rohani.
Owen memperingatkan bahwa bahaya terbesar bukanlah ketika kita diserang musuh dari luar, melainkan ketika hati kita sendiri dingin terhadap Allah.
3. Kasih Karunia dan Tugas Kita dalam Memelihara Pikiran yang Rohani
a. Kasih Karunia sebagai Dasar
Pertama-tama, kita harus menegaskan bahwa memiliki pikiran yang rohani bukanlah hasil usaha manusia semata. Ini adalah karya Roh Kudus yang memperbarui hati kita. Paulus berkata dalam Filipi 2:13, “Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.”
Artinya, anugerah mendahului kewajiban. Tanpa Roh Kudus, tidak ada seorang pun yang mampu memusatkan pikirannya kepada Allah. Namun kasih karunia Allah bukan berarti kita pasif. Kasih karunia justru memberi kita kemampuan untuk menjalankan tanggung jawab kita.
b. Disiplin Rohani sebagai Kewajiban
John Owen berkata, “Kasih karunia tidak meniadakan kewajiban, melainkan memberdayakannya.” Maka ada beberapa disiplin yang menjadi bagian kewajiban kita:
-
Doa yang terus-menerus – doa bukan hanya meminta, tetapi juga sarana untuk mengarahkan pikiran kepada Allah.
-
Renungan Firman setiap hari – Firman adalah makanan bagi pikiran rohani. Tanpa Firman, pikiran kita akan dipenuhi oleh suara dunia.
-
Persekutuan orang percaya – komunitas iman membantu menjaga fokus kita pada hal-hal rohani.
-
Pengudusan diri dalam hal kecil – belajar menolak pikiran yang sia-sia, mengendalikan imajinasi, dan mengarahkan hati kepada hal-hal surgawi.
c. Memelihara Kesadaran akan Allah
Salah satu prinsip praktis yang ditekankan oleh Owen adalah mindfulness of God – kesadaran terus-menerus akan kehadiran Allah. Ini sejalan dengan nasihat Calvin yang menyebut bahwa seluruh hidup kita adalah “hidup di hadapan wajah Allah” (coram Deo).
Dengan kesadaran ini, kita tidak hanya mengingat Allah ketika beribadah di gereja, tetapi juga ketika bekerja, belajar, atau bahkan melakukan hal-hal sederhana dalam hidup.
d. Buah Nyata dari Pikiran Rohani
Jika kita sungguh memiliki pikiran yang rohani, buahnya akan nyata:
-
Hati yang penuh damai meskipun dunia penuh kekacauan.
-
Kerinduan untuk memuliakan Allah dalam segala hal.
-
Keteguhan menghadapi pencobaan karena kita berakar dalam kasih karunia.
-
Hidup yang memancarkan kasih dan kebenaran Kristus.
Aplikasi Praktis Bagi Jemaat
-
Periksa orientasi pikiran kita setiap hari. Apakah lebih banyak tertuju pada hal-hal duniawi atau surgawi?
-
Gunakan teknologi dengan bijak. Jangan biarkan ponsel dan media sosial mencuri fokus rohani kita.
-
Bangun kebiasaan rohani kecil tetapi konsisten. Lebih baik doa singkat setiap jam daripada panjang tapi jarang.
-
Isi pikiran dengan kebenaran Injil. Hafalkan ayat-ayat Firman Tuhan yang dapat menolong kita melawan pikiran duniawi.
-
Ingat bahwa kita hidup di hadapan Allah. Tidak ada satu pun momen dalam hidup yang lepas dari perhatian-Nya.
Kesimpulan
Saudara-saudara, menjadi seorang Kristen bukan hanya soal apa yang kita lakukan, tetapi juga soal bagaimana kita berpikir. Pikiran yang rohani adalah tanda sejati dari orang yang hidup dalam Roh. Ini adalah kasih karunia yang Allah berikan melalui Roh Kudus, tetapi sekaligus kewajiban yang harus kita jalankan setiap hari.
Seperti kata John Owen, “Orang yang pikirannya dipenuhi oleh dunia ini tidak memiliki jaminan kekekalan. Tetapi orang yang pikirannya dipenuhi oleh Allah telah memiliki cicipan sorga sejak di bumi.”
Kiranya kita semua, oleh anugerah Kristus, belajar hidup dengan pikiran yang senantiasa tertuju kepada Allah, sehingga hidup kita dipenuhi damai sejahtera dan menghasilkan buah yang memuliakan Dia.