Keadaan Manusia Tanpa Kristus: Titus 3:3

Keadaan Manusia Tanpa Kristus: Titus 3:3

Pendahuluan

Surat Paulus kepada Titus merupakan salah satu surat pastoral yang kaya dengan ajaran mengenai hidup beribadah dan peran umat Allah dalam dunia. Salah satu bagian yang menonjol adalah Titus 3:3, yang berbunyi:

"Karena dahulu kita juga adalah orang-orang yang tidak taat, sesat, menjadi hamba berbagai-bagai nafsu dan keinginan, hidup dalam kejahatan dan kedengkian, penuh kebencian, saling membenci." (TB)

Ayat ini memiliki nilai teologis yang mendalam, sebab Paulus mengingatkan jemaat tentang kondisi mereka sebelum diselamatkan oleh kasih karunia Allah di dalam Kristus. Eksposisi terhadap ayat ini membawa kita pada pemahaman tentang doktrin dosa, kejatuhan manusia, serta pembenaran hanya oleh kasih karunia.

Para teolog Reformed, seperti John Calvin, Matthew Henry, dan para komentator modern seperti John Stott dan Philip Towner, memberikan penekanan yang penting pada ayat ini sebagai pengingat akan transformasi Injil. Dalam tulisan ini, kita akan menelaah Titus 3:3 secara sistematis dengan memperhatikan konteks, struktur ayat, dan implikasi teologisnya.

Konteks Titus 3:3

Konteks Surat

Surat Titus ditulis Paulus untuk menguatkan dan menuntun Titus dalam pelayanannya di Kreta. Fokus utamanya adalah pembentukan jemaat yang sehat melalui pengajaran yang benar dan hidup saleh (Tit. 1:5). Dalam pasal 3, Paulus menekankan relasi orang percaya dengan otoritas sipil, dengan sesama, dan yang terutama: dengan anugerah Allah yang menyelamatkan.

Ayat 3 menjadi jembatan penting antara peringatan moral (ay. 1-2) dan pernyataan Injil (ay. 4-7). Paulus pertama-tama mengingatkan jemaat tentang keadaan lama mereka yang penuh dosa, lalu menekankan bahwa keselamatan datang bukan dari perbuatan baik, melainkan karena belas kasihan Allah.

Analisis Frasa dan Kata dalam Titus 3:3

1. "Karena dahulu kita juga adalah orang-orang yang tidak taat"

Kata "dahulu" (pote, Yunani: ποτέ) menandakan kondisi lampau sebelum pertobatan. Paulus mengajak jemaat mengingat bahwa semua orang, termasuk dirinya, pernah berada dalam kondisi tidak taat.

  • John Calvin menafsirkan "tidak taat" sebagai gambaran manusia yang menolak Allah dan hukum-Nya, hidup dalam pemberontakan terhadap kebenaran. Ini menekankan natur manusia yang jatuh total (total depravity).

  • Matthew Henry melihatnya sebagai keadaan orang berdosa yang hidup tanpa arahan, melawan Allah, dan tidak tunduk pada Firman.

2. "Sesat"

Kata "sesat" (planōmenoi, Yunani: πλανώμενοι) berasal dari akar kata yang berarti "menyimpang dari jalan yang benar".

  • Calvin menekankan bahwa manusia tanpa Kristus bagaikan domba yang hilang, berjalan tanpa tujuan yang benar, sehingga terjebak dalam kesia-siaan.

  • Philip Towner menghubungkan istilah ini dengan kebutaan rohani, di mana manusia tertipu oleh berhala, filsafat palsu, atau hawa nafsunya sendiri.

3. "Menjadi hamba berbagai-bagai nafsu dan keinginan"

Paulus menekankan perbudakan rohani. Nafsu (epithymiai, Yunani: ἐπιθυμίαι) mengacu pada dorongan keinginan daging yang kuat.

  • John Stott menjelaskan bahwa manusia tanpa Kristus tidak sekadar jatuh dalam dosa, tetapi diperbudak oleh dosa. Inilah bentuk nyata dari keberdosaan total: kehendak manusia yang sudah terikat.

  • Teologi Reformed menekankan bahwa dosa bukan hanya tindakan, tetapi juga perbudakan natur manusia. Manusia "tidak dapat tidak berdosa" (non posse non peccare).

4. "Hidup dalam kejahatan dan kedengkian"

Dua aspek ini menggambarkan kondisi sosial akibat dosa. "Kejahatan" (kakia, Yunani: κακία) merujuk pada keinginan jahat, sementara "kedengkian" (phthonos, Yunani: φθόνος) berbicara tentang iri hati terhadap sesama.

  • Matthew Poole mencatat bahwa kedengkian adalah salah satu buah nyata dari dosa, yang membuat manusia tidak mampu mengasihi.

  • William Hendriksen menambahkan bahwa kedengkian melahirkan perpecahan, kebencian, dan kekerasan dalam komunitas manusia.

5. "Penuh kebencian, saling membenci"

Kebencian (stygētoi, Yunani: στυγητοί) menggambarkan permusuhan timbal balik yang lahir dari hati yang tidak diubah.

  • Calvin melihat ini sebagai konsekuensi logis dari hidup dalam dosa: ketika relasi dengan Allah rusak, relasi dengan sesama pun hancur.

  • Teologi Reformed menegaskan bahwa kasih hanya dapat lahir dari kelahiran baru oleh Roh Kudus. Tanpa itu, kebencian mendominasi relasi manusia.

Implikasi Teologis

1. Doktrin Dosa dan Kejatuhan Manusia

Ayat ini memberikan salah satu deskripsi paling komprehensif tentang kondisi manusia tanpa Kristus. Semua aspek kehidupan tercakup: pikiran (tidak taat, sesat), kehendak (diperbudak nafsu), dan relasi sosial (penuh kebencian).

  • Total Depravity: Sesuai ajaran Reformed, dosa memengaruhi seluruh aspek manusia. Bukan berarti manusia tidak dapat melakukan kebaikan relatif, tetapi di hadapan Allah, seluruh natur manusia telah rusak.

  • Augustinus menekankan bahwa hati manusia tanpa anugerah hanya menghasilkan dosa, karena kehendaknya sudah terikat pada kejahatan.

2. Kebutuhan Akan Anugerah

Dengan menggambarkan kondisi lampau, Paulus menegaskan bahwa keselamatan tidak mungkin dicapai oleh usaha manusia.

  • Sola Gratia: Manusia hanya dapat diselamatkan oleh kasih karunia Allah semata, sebagaimana dilanjutkan dalam Titus 3:4-7.

  • John Owen menulis bahwa tanpa karya Roh Kudus yang memperbarui, manusia tetap dalam keadaan "mati dalam dosa dan pelanggaran".

3. Etika Kristen sebagai Respons

Pengingat ini mendorong jemaat untuk hidup dalam kerendahan hati dan kasih. Jika dahulu mereka pun hidup dalam kebencian, maka sekarang mereka harus mengasihi musuh, tunduk pada pemerintah, dan hidup damai.

  • Matthew Henry menekankan bahwa mengingat keadaan lama membuat orang percaya rendah hati, tidak sombong dalam iman, dan murah hati terhadap sesama.

  • John Calvin menambahkan bahwa kesadaran akan dosa lampau menjadi dasar untuk menghargai kasih karunia yang telah mengubah hidup.

Aplikasi bagi Gereja Masa Kini

  1. Kesadaran akan Dosa
    Gereja masa kini seringkali tergoda untuk melupakan realitas dosa dengan menekankan motivasi positif. Namun Titus 3:3 mengingatkan bahwa penginjilan harus dimulai dengan kesadaran akan keberdosaan.

  2. Penginjilan Berbasis Kasih Karunia
    Karena semua orang "dahulu juga demikian", maka tidak ada ruang untuk superioritas rohani. Injil ditawarkan bukan sebagai prestasi moral, melainkan sebagai anugerah.

  3. Kasih dalam Relasi Sosial
    Dalam masyarakat yang penuh polarisasi dan kebencian, orang percaya dipanggil untuk menunjukkan kasih. Mereka yang dahulu "saling membenci" sekarang dipanggil untuk "saling mengasihi dengan kasih persaudaraan" (Rm. 12:10).

  4. Kehidupan Kudus
    Kesadaran akan perbudakan dosa masa lalu seharusnya mendorong umat untuk hidup dalam kekudusan, menjauhi hawa nafsu, dan hidup dalam Roh.

Kesimpulan

Titus 3:3 merupakan potret gelap kondisi manusia tanpa Kristus: tidak taat, sesat, diperbudak nafsu, penuh kejahatan, kedengkian, dan kebencian. Paulus menuliskan hal ini bukan untuk menghukum jemaat, melainkan untuk mengingatkan mereka akan kasih karunia Allah yang telah membebaskan.

Para teolog Reformed menekankan bahwa ayat ini menjadi bukti total depravity, yang mengajarkan bahwa manusia sepenuhnya bergantung pada kasih karunia Allah. Dengan mengingat keadaan lama, jemaat terdorong untuk hidup dalam kerendahan hati, kasih, dan syukur atas anugerah keselamatan.

Titus 3:3, dalam terang Injil, bukan sekadar gambaran suram, melainkan juga latar belakang yang memperjelas cahaya kasih karunia Allah di dalam Kristus. Sebagaimana Paulus melanjutkan di ayat 4-7, kasih dan kemurahan Allah-lah yang membawa perubahan sejati.

Next Post Previous Post