Resep Sederhana Hidup Bahagia Menurut Perspektif Reformed

Pendahuluan
Kebahagiaan adalah tema universal yang dicari oleh setiap manusia sepanjang zaman. Dalam filsafat Yunani, kebahagiaan sering dihubungkan dengan eudaimonia—kehidupan yang baik dan penuh makna. Sementara itu, dalam pemikiran modern, kebahagiaan kerap direduksi menjadi kesenangan atau pemenuhan keinginan pribadi. Namun, teologi Reformed melihat kebahagiaan bukan sekadar kondisi emosional, melainkan realitas yang berakar dalam persekutuan dengan Allah di dalam Kristus.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menegaskan bahwa tujuan tertinggi hidup manusia adalah mengenal Allah dan menikmati Dia. Dengan demikian, kebahagiaan sejati tidak mungkin dilepaskan dari kebenaran Alkitab dan karya penebusan Kristus. Tulisan ini berusaha menyusun “resep sederhana” hidup bahagia dalam perspektif Reformed, dengan menimbang pandangan para teolog seperti Calvin, Jonathan Edwards, Herman Bavinck, dan para pemikir kontemporer.
I. Fondasi Biblika tentang Kebahagiaan
1. Mazmur dan Kebahagiaan yang Berakar pada Allah
Kitab Mazmur penuh dengan ungkapan tentang kebahagiaan. Mazmur 1 menyatakan: “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik… tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN.” Kebahagiaan sejati dimulai dari kehidupan yang tertanam dalam firman Allah, bukan dalam kesenangan duniawi.
Herman Bavinck menafsirkan bahwa kebahagiaan manusia adalah summum bonum (kebaikan tertinggi) yang hanya ditemukan ketika manusia berada dalam relasi yang benar dengan Sang Pencipta. Hal ini menegaskan bahwa setiap upaya mencari kebahagiaan di luar Allah hanya berakhir dalam kekosongan.
2. Yesus dan Sabda Bahagia
Dalam Khotbah di Bukit (Matius 5:3-12), Yesus memperkenalkan paradigma kebahagiaan yang radikal: berbahagia adalah orang miskin di hadapan Allah, yang berdukacita, yang lapar dan haus akan kebenaran. Ini merupakan antitesis terhadap pandangan dunia yang mengaitkan kebahagiaan dengan kekayaan, kesehatan, atau status sosial.
Menurut John Stott, sabda bahagia bukan sekadar janji eskatologis, tetapi realitas yang dimulai sejak sekarang. Reformator melihatnya sebagai undangan untuk hidup dalam ketaatan iman yang melampaui logika dunia.
3. Paulus dan Sukacita dalam Kristus
Surat-surat Paulus, terutama Filipi, menekankan sukacita yang tidak tergantung situasi eksternal. Paulus, meskipun dalam penjara, menyatakan, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan!” (Filipi 4:4). Bagi Paulus, kebahagiaan sejati adalah mengetahui Kristus (Filipi 3:8).
Jonathan Edwards menafsirkan bahwa sukacita Kristen bersumber pada the excellency of Christ. Dengan kata lain, kebahagiaan bukan soal keadaan, melainkan relasi dengan Kristus yang mulia.
II. Teologi Reformed tentang Kebahagiaan
1. Calvin dan Tujuan Hidup Manusia
Calvin menulis bahwa “pengetahuan sejati tentang diri kita dan Allah” merupakan jalan menuju kebahagiaan. Ia menekankan bahwa manusia diciptakan untuk menikmati Allah, dan ketidaktaatan menyebabkan manusia mencari kebahagiaan di tempat yang salah.
Bagi Calvin, resep sederhana kebahagiaan adalah pietas—kesalehan yang berakar pada iman, ketaatan, dan penyerahan diri penuh kepada Allah.
2. Bavinck: Kebahagiaan sebagai Shalom
Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menekankan bahwa kebahagiaan sejati adalah shalom: damai sejahtera yang mencakup keselamatan, keselarasan, dan pemulihan ciptaan. Shalom ini hanya mungkin melalui rekonsiliasi dengan Allah melalui Kristus.
Oleh karena itu, kebahagiaan bukanlah kondisi psikologis belaka, melainkan realitas teologis yang bersifat komunal dan kosmik.
3. Edwards: Delight in God
Jonathan Edwards dalam The End for Which God Created the World menekankan bahwa Allah menciptakan dunia untuk menyatakan kemuliaan-Nya, dan manusia menemukan kebahagiaan tertinggi ketika ia delights in God. Kebahagiaan bukan sekadar “memiliki berkat Allah,” melainkan “menikmati Allah sendiri.”
Edwards menegaskan bahwa sukacita Kristen melibatkan afeksi, bukan hanya intelektual. Maka, kebahagiaan sejati mencakup pengalaman kasih Allah yang memenuhi hati.
4. Kuyper: Anugerah Umum dan Anugerah Khusus
Abraham Kuyper menyoroti bahwa ada bentuk kebahagiaan umum yang dapat dinikmati semua orang melalui anugerah umum—seperti keluarga, seni, atau pekerjaan. Namun, kebahagiaan penuh hanya dimiliki orang percaya melalui anugerah khusus, yaitu keselamatan dalam Kristus.
Ini memberi ruang bagi apresiasi terhadap kebahagiaan sehari-hari, sembari tetap menekankan supremasi kebahagiaan rohani.
III. Resep Sederhana Hidup Bahagia Menurut Perspektif Reformed
1. Hidup dalam Persekutuan dengan Allah
Kebahagiaan dimulai dari relasi yang benar dengan Allah. Yesus berkata, “Akulah pokok anggur yang benar… barangsiapa tinggal di dalam Aku, ia berbuah banyak” (Yohanes 15:5). Hidup bahagia berarti hidup dalam doa, firman, dan ibadah yang mendalam.
2. Bersyukur dalam Segala Hal
Reformed menekankan providence Allah yang mengatur segala sesuatu. Dengan keyakinan ini, orang percaya dapat hidup dalam ucapan syukur meski dalam penderitaan. Seperti Paulus berkata: “Mengucap syukurlah dalam segala hal” (1 Tesalonika 5:18).
3. Menghidupi Kasih dalam Relasi
Yesus merangkum hukum Taurat dalam dua perintah: mengasihi Allah dan sesama. Kebahagiaan sejati tumbuh ketika manusia hidup dalam kasih, bukan egoisme. Richard Baxter menulis dalam The Saints’ Everlasting Rest bahwa kasih kepada sesama merupakan bagian dari istirahat kekal yang sudah dapat dialami sejak sekarang.
4. Menghidupi Panggilan dan Pekerjaan dengan Setia
Teologi Reformed menekankan vocatio: setiap pekerjaan yang halal adalah panggilan dari Allah. Dengan bekerja untuk kemuliaan Allah (Kolose 3:23), orang percaya menemukan makna dan kepuasan yang lebih dalam daripada sekadar mencari keuntungan duniawi.
5. Mengarahkan Pandangan pada Kekekalan
Resep bahagia terakhir adalah perspektif eskatologis. Paulus berkata: “Penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Roma 8:18).
Kebahagiaan sejati adalah pengharapan akan langit baru dan bumi baru, di mana Allah akan menghapus segala air mata (Wahyu 21:4). Kesadaran ini membuat orang percaya dapat menjalani hidup dengan sukacita meski di tengah kesulitan.
IV. Perbandingan dengan Pandangan Dunia
1. Hedonisme
Hedonisme mendefinisikan kebahagiaan sebagai kesenangan maksimal. Namun, pengalaman membuktikan bahwa kesenangan duniawi bersifat fana. Teologi Reformed menegaskan bahwa hanya Allah yang dapat memuaskan dahaga jiwa manusia (Yeremia 2:13).
2. Stoikisme
Stoikisme menekankan ketenangan batin dengan mengendalikan emosi. Ada nilai kebajikan di sini, namun teologi Reformed melihat bahwa kebahagiaan sejati bukan sekadar pengendalian diri, melainkan transformasi hati oleh Roh Kudus.
3. Humanisme Sekuler
Humanisme modern menekankan otonomi manusia dan pencarian makna tanpa Allah. Sebaliknya, Reformed menegaskan bahwa manusia hanya dapat menemukan kebahagiaan sejati dalam ketergantungan pada Sang Pencipta.
V. Implikasi Praktis bagi Orang Percaya
-
Membangun disiplin rohani: doa, firman, dan sakramen sebagai sumber sukacita.
-
Menghidupi komunitas iman: kebahagiaan bertumbuh dalam tubuh Kristus.
-
Melayani sesama: memberi diri adalah jalan menuju sukacita.
-
Menjaga hati dari materialisme: bahagia bukanlah memiliki lebih, melainkan mencukupkan diri dalam Kristus.
-
Hidup dengan orientasi eskatologis: mengarahkan pandangan kepada kebahagiaan kekal bersama Allah.
Kesimpulan
Dalam terang teologi Reformed, resep sederhana hidup bahagia dapat dirumuskan demikian: hidup dalam persekutuan dengan Allah melalui Kristus, bersyukur dalam providensi-Nya, mengasihi Allah dan sesama, setia dalam panggilan hidup, serta berharap pada penggenapan kekal.
Kebahagiaan sejati bukanlah hasil pencapaian manusia, melainkan anugerah Allah yang dialami dalam Kristus. Inilah kebahagiaan yang tidak tergoncangkan oleh penderitaan atau kematian, karena berakar dalam Allah yang kekal.
Seperti kata Agustinus (yang banyak memengaruhi teologi Reformed): “Hati kami gelisah sampai menemukan perhentian di dalam Engkau, ya Allah.” Inilah inti kebahagiaan yang sejati, sederhana, dan abadi.