Kisah Para Rasul 5:33 Murka Sanhedrin dan Keteguhan Rasul

Kisah Para Rasul 5:33 Murka Sanhedrin dan Keteguhan Rasul

Pendahuluan

Kisah Para Rasul 5:33 berbunyi:

“Mendengar perkataan itu sangatlah tertusuk hati mereka dan mereka bermaksud membunuh rasul-rasul itu.” (TB)

Ayat ini muncul setelah Petrus dan para rasul memberikan kesaksian yang penuh kuasa di hadapan Mahkamah Agama (Sanhedrin). Konteksnya adalah rangkaian peristiwa setelah Ananias dan Safira dihukum mati oleh Allah (Kis. 5:1–11), mujizat-mujizat besar yang dikerjakan oleh para rasul (Kis. 5:12–16), penangkapan mereka oleh imam besar dan orang Saduki (Kis. 5:17–18), hingga campur tangan malaikat Tuhan yang membebaskan mereka (Kis. 5:19–20).

Di hadapan Sanhedrin, Petrus menegaskan ketaatan yang lebih tinggi kepada Allah daripada kepada manusia (Kis. 5:29). Ia juga memberitakan Yesus sebagai Juruselamat yang ditinggikan Allah sebagai Pemimpin dan Penebus (Kis. 5:30–31). Respon Sanhedrin sangat keras: hati mereka “tertikam” atau “terbelah”, sehingga timbul niat untuk membunuh.

Eksposisi ayat ini penting karena memperlihatkan kontras antara kuasa Injil yang menusuk hati dengan reaksi manusia yang menolak kebenaran. Para ahli teologi Reformed menafsirkan bagian ini sebagai gambaran nyata dari kebobrokan hati manusia berdosa, sekaligus sarana untuk memperlihatkan keteguhan para rasul yang ditopang oleh Roh Kudus.

Analisis Leksikal dan Konteks

Kata “tertikam hati” (διεπρίοντο)

Istilah Yunani διεπρίοντο berarti “terbelah dua” atau “sangat tersayat.” Kata ini dipakai juga dalam Kisah Para Rasul 7:54, saat Stefanus bersaksi di hadapan Mahkamah Agama, di mana mereka “sangat tertusuk hati dan menggertakkan gigi.” Konotasinya bukanlah kesedihan menuju pertobatan, melainkan kemarahan yang mendalam.

John Calvin menafsirkan bahwa tusukan hati di sini bukanlah karya Roh Kudus yang menginsafkan dosa, melainkan reaksi emosional yang dipenuhi kebencian karena kebenaran telah mengungkap kejahatan mereka. Dengan demikian, tusukan hati dapat membawa dua hasil: pada orang yang dipilih Allah, tusukan itu melahirkan pertobatan (Kis. 2:37); pada orang yang menolak, tusukan itu melahirkan amarah.

Kata “bermaksud membunuh” (ἐβούλοντο ἀνελεῖν)

Frasa ini menandakan suatu keputusan serius, bukan sekadar emosi sesaat. Mereka benar-benar ingin mengakhiri hidup para rasul. William Hendriksen menekankan bahwa kebencian terhadap Injil selalu berujung pada keinginan untuk membungkam suara kebenaran, bahkan dengan kekerasan. Inilah pola yang konsisten sejak Yesus sendiri ditolak dan disalibkan.

Konteks Teologis

1. Kontras antara Injil dan Hati yang Keras

Kisah Para Rasul 2:37 mencatat bahwa saat Petrus berkhotbah di hari Pentakosta, orang banyak “tertikam hatinya” dan bertanya: “Apakah yang harus kami perbuat?” Reaksi mereka adalah pertobatan. Namun di Kisah Para Rasul 5:33, tusukan hati itu berbuah kebencian.

Matthew Henry menekankan bahwa kebenaran yang sama bisa menjadi “bau kehidupan” bagi sebagian orang, tetapi juga menjadi “bau kematian” bagi yang lain (2 Kor. 2:16). Kerasnya hati Sanhedrin menunjukkan betapa dalamnya dosa telah membutakan manusia.

2. Ketaatan kepada Allah vs. Otoritas Manusia

Latar belakang ayat ini adalah pernyataan Petrus: “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5:29). Sanhedrin, sebagai pemegang otoritas religius Yahudi, merasa terhina karena otoritas mereka dipinggirkan. R.C. Sproul menegaskan bahwa inilah inti konflik antara gereja dan dunia: siapakah otoritas tertinggi?

Ketaatan para rasul kepada Allah menyingkapkan keberdosaan Mahkamah Agama yang lebih memilih mempertahankan kuasa manusia daripada tunduk kepada otoritas ilahi.

3. Kristologi dalam Pemberitaan Rasul

Pernyataan Petrus mengenai Yesus sebagai Juruselamat yang ditinggikan (Kis. 5:30–31) menjadi inti pertentangan. Bagi Sanhedrin, Yesus adalah penyesat yang mati terkutuk. Tetapi bagi para rasul, Ia adalah Mesias yang dimuliakan.

B.B. Warfield menekankan bahwa Kristus yang ditinggikan selalu menjadi batu sandungan. Reaksi Sanhedrin adalah contoh nyata bahwa Injil yang sejati tidak pernah netral: ia menuntut respons mutlak, apakah iman atau penolakan.

Eksposisi Ayat Menurut Teologi Reformed

A. John Calvin

Calvin melihat bahwa “tusukan hati” Sanhedrin berbeda dengan tusukan hati orang yang bertobat di Kisah Para Rasul 2. Tusukan yang sejati adalah pekerjaan Roh Kudus yang meluluhkan hati, tetapi tusukan yang palsu adalah akibat dari hati yang keras menolak kebenaran.

Calvin juga menekankan bahwa niat membunuh para rasul menunjukkan betapa kuatnya kebencian manusia terhadap Injil. Mereka lebih memilih membungkam suara kebenaran daripada merendahkan diri di hadapan Allah.

B. Matthew Henry

Henry menafsirkan bahwa reaksi Sanhedrin adalah gambaran dari kebutaan rohani. Mereka seharusnya tersungkur memohon pengampunan, tetapi justru merencanakan pembunuhan. Henry mengingatkan bahwa Injil yang benar akan selalu memprovokasi kebencian dari hati yang belum diperbarui.

Bagi orang percaya, ini menjadi penghiburan: jika para rasul pun dibenci, jangan heran jika gereja juga akan ditolak.

C. John Stott

Dalam tafsirannya The Message of Acts, Stott menekankan bahwa ayat ini memperlihatkan betapa Injil tidak pernah diterima secara netral. Ia menimbulkan reaksi yang tajam, baik itu pertobatan ataupun perlawanan. Sanhedrin memilih jalan perlawanan.

Namun Stott juga menyoroti pemeliharaan Allah: meskipun ada niat untuk membunuh, Allah memakai Gamaliel untuk menunda eksekusi itu (Kis. 5:34–39). Ini menunjukkan bahwa Allah tetap berdaulat atas rencana jahat manusia.

D. R.C. Sproul

Sproul menyoroti tema otoritas dalam perikop ini. Baginya, konflik antara Sanhedrin dan para rasul adalah konflik mengenai siapa yang berhak mengatur kehidupan manusia. Injil menuntut ketaatan penuh kepada Kristus, yang otomatis menantang otoritas dunia.

Sproul juga mengingatkan bahwa reaksi Sanhedrin adalah pola berulang dalam sejarah gereja: setiap kali otoritas Kristus diberitakan, dunia akan menanggapinya dengan permusuhan.

Aplikasi Teologis

1. Realitas Kebencian Dunia terhadap Injil

Ayat ini meneguhkan ajaran Yesus sendiri: “Jika dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku” (Yohanes 15:18). Injil tidak selalu menghasilkan pertobatan; sering kali justru menghasilkan kebencian.

Bagi gereja masa kini, hal ini menjadi peringatan agar tidak mencari penerimaan dunia dengan mengurangi ketajaman Injil.

2. Kuasa Firman yang Tak Terhentikan

Meskipun Sanhedrin bermaksud membunuh, Injil tetap diberitakan. Firman Allah menusuk hati, baik untuk menyelamatkan maupun untuk menghukum. Sebagaimana dinyatakan dalam Ibrani 4:12, firman Allah hidup dan kuat, lebih tajam daripada pedang bermata dua.

3. Kedaulatan Allah atas Rencana Jahat Manusia

Rencana jahat Sanhedrin tidak langsung terlaksana karena Allah mengatur keberadaan Gamaliel. Hal ini paralel dengan salib Kristus: meskipun manusia bermaksud jahat, Allah mengubahnya menjadi sarana keselamatan (Kis. 2:23).

Kedaulatan Allah menjamin bahwa tidak ada rencana manusia yang bisa menggagalkan misi Injil.

4. Panggilan untuk Ketaatan yang Radikal

Pernyataan Petrus sebelumnya (Kis. 5:29) menantang gereja untuk menempatkan Allah di atas semua otoritas manusia. Reaksi Sanhedrin justru menegaskan bahwa pilihan ini tidak mudah; sering kali ia mendatangkan penganiayaan. Namun inilah panggilan iman yang sejati.

Kesimpulan

Kisah Para Rasul 5:33 memperlihatkan kontras yang tajam antara kuasa Injil dan kerasnya hati manusia. Firman Allah yang diberitakan para rasul menusuk hati Sanhedrin, tetapi bukannya melahirkan pertobatan, malah membangkitkan amarah dan niat membunuh.

Para ahli teologi Reformed seperti Calvin, Henry, Stott, dan Sproul menegaskan bahwa ayat ini adalah cermin kebobrokan hati manusia berdosa, sekaligus bukti kedaulatan Allah yang menopang kesaksian gereja.

Bagi gereja masa kini, pesan utamanya adalah panggilan untuk setia memberitakan Injil meskipun ditolak, dengan keyakinan bahwa kuasa Firman tidak akan pernah dapat dibungkam.

Next Post Previous Post