Kisah Para Rasul 5:41 Sukacita dalam Penderitaan karena Kristus

Kisah Para Rasul 5:41
"Rasul-rasul itu meninggalkan Mahkamah Agama dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus."
Pendahuluan
Saudara-saudara yang terkasih di dalam Tuhan Yesus Kristus,
Setiap kita pasti mendambakan kehidupan yang penuh damai, bebas dari penderitaan, dan penuh dengan kenyamanan. Namun, ketika kita membaca Alkitab, khususnya kisah perjalanan gereja mula-mula dalam Kitab Kisah Para Rasul, kita menemukan gambaran yang sangat berbeda: iman yang sejati seringkali justru beriringan dengan penderitaan, penolakan, dan aniaya.
Ayat kita hari ini, Kisah Para Rasul 5:41, menampilkan suatu paradoks yang mengejutkan. Para rasul, setelah dicambuk dan dipermalukan oleh Mahkamah Agama karena memberitakan Injil Kristus, justru meninggalkan sidang itu dengan sukacita. Bagi manusia pada umumnya, penderitaan adalah alasan untuk meratap, tetapi bagi para rasul, penderitaan karena Kristus adalah alasan untuk bersukacita.
Dalam khotbah ini, kita akan mengekspose teks ini dengan cermat, menggali arti teologisnya, melihat pendapat beberapa teolog Reformed, dan akhirnya merenungkan penerapannya bagi kehidupan kita sebagai orang percaya masa kini.
Latar Belakang Teks
Konteks dari ayat ini terdapat dalam Kisah Para Rasul 5:17-42. Setelah mukjizat besar yang dilakukan oleh para rasul, imam-imam kepala dan orang Saduki menjadi iri hati. Mereka menangkap para rasul dan memasukkan mereka ke dalam penjara. Namun, malaikat Tuhan membebaskan mereka dan memerintahkan mereka untuk terus memberitakan Injil di Bait Allah.
Ketika para rasul dipanggil kembali ke hadapan Mahkamah Agama, mereka diperintahkan agar berhenti berbicara dalam nama Yesus. Petrus dan rasul-rasul dengan berani menjawab, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (ayat 29). Setelah itu, meski Gamaliel memberi nasihat untuk tidak membinasakan mereka, para rasul tetap dicambuk sebelum dilepaskan.
Dan di sinilah kita menemukan ayat yang menjadi fokus kita: mereka meninggalkan pengadilan itu dengan hati yang penuh sukacita, karena dianggap layak menderita penghinaan demi Nama Yesus.
Eksposisi Ayat
1. "Rasul-rasul itu meninggalkan Mahkamah Agama dengan gembira…"
Ungkapan ini menyoroti sikap batin para rasul setelah mengalami penderitaan fisik dan penghinaan. Secara manusiawi, dicambuk, dipermalukan, dan diancam adalah pengalaman yang menimbulkan rasa sakit, ketakutan, dan trauma. Tetapi sikap mereka justru berbeda: mereka bersukacita.
John Calvin dalam Commentary on Acts menjelaskan bahwa sukacita ini lahir bukan dari penderitaan itu sendiri, melainkan dari kesadaran bahwa penderitaan mereka adalah sebuah persekutuan dengan Kristus. Bagi Calvin, penderitaan karena Kristus adalah tanda keaslian iman dan anugerah Allah yang besar.
Martin Lloyd-Jones menambahkan bahwa sukacita ini adalah buah Roh Kudus. Sukacita bukanlah hasil dari usaha manusia atau dari suasana hati, melainkan pekerjaan Roh Kudus yang menguatkan hati orang percaya untuk melihat penderitaan dari perspektif ilahi.
2. "...karena mereka telah dianggap layak…"
Kata “dianggap layak” di sini sangat penting. Artinya, penderitaan demi Kristus bukanlah kutuk, melainkan kehormatan. Dalam teologi Reformed, kita diajarkan bahwa penderitaan orang percaya bukan kebetulan, melainkan bagian dari kedaulatan Allah.
Seperti yang dikatakan oleh Herman Bavinck, penderitaan dalam hidup orang percaya bukanlah sia-sia, tetapi bagian dari “vocatio crucis” — panggilan salib. Allah, dalam hikmat-Nya, menganggap umat-Nya layak untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, sehingga mereka dimurnikan dan dipersiapkan untuk kemuliaan yang akan datang.
Turretin juga menekankan bahwa penderitaan karena iman adalah tanda pemilihan Allah, sebab tidak semua orang dianggap layak untuk menderita demi Nama Yesus. Hal ini adalah anugerah yang harus diterima dengan syukur.
3. "...menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus."
Frasa ini menegaskan alasan penderitaan: bukan karena kejahatan mereka, bukan karena kesalahan moral, tetapi karena Nama Yesus. Inilah inti dari penderitaan Kristen sejati.
Yesus sendiri sudah menubuatkan hal ini dalam Yohanes 15:18-20: “Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku daripada kamu.” Dengan demikian, penderitaan para rasul bukanlah kejutan, melainkan konfirmasi bahwa mereka sungguh mengikuti Kristus.
R.C. Sproul menulis bahwa penderitaan karena Kristus adalah bagian tak terpisahkan dari panggilan gereja. Injil bukan hanya janji berkat, tetapi juga panggilan untuk memikul salib. Jika gereja tidak mengalami penolakan dunia, kemungkinan besar gereja telah berkompromi dengan dunia.
Pandangan Teologi Reformed
1. John Calvin
Calvin melihat penderitaan ini sebagai “stempel keaslian” dari iman. Ia menekankan bahwa Allah memurnikan gereja melalui penderitaan, sehingga jemaat tidak bergantung pada dunia, melainkan pada anugerah-Nya. Sukacita para rasul adalah tanda iman sejati yang melihat melampaui penderitaan menuju kemuliaan kekal.
2. Herman Bavinck
Bavinck menyatakan bahwa penderitaan orang percaya memiliki dimensi eskatologis. Dengan menderita bersama Kristus, kita dimeteraikan sebagai anak-anak Allah dan pewaris kerajaan-Nya. Bavinck mengutip Roma 8:17, “Jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, kita akan dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.”
3. R.C. Sproul
Sproul menekankan realitas konflik antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia. Sukacita para rasul mencerminkan kemenangan iman yang melihat penderitaan sebagai bagian dari peperangan rohani. Bagi Sproul, penderitaan demi Kristus adalah bukti keberanian iman dan tanda bahwa kerajaan Allah sedang maju.
4. Martin Lloyd-Jones
Lloyd-Jones menyoroti aspek pastoral dari teks ini. Sukacita dalam penderitaan bukanlah sikap masokis, tetapi karya Roh Kudus yang menanamkan pengharapan di dalam hati orang percaya. Ia mengingatkan bahwa gereja yang setia pasti akan menghadapi aniaya, tetapi di sanalah kita menemukan sukacita rohani yang sejati.
Aplikasi bagi Kehidupan Kita
-
Penderitaan karena Kristus adalah kehormatan, bukan kutuk.
Dunia modern sering menolak penderitaan. Tetapi firman Tuhan mengingatkan bahwa penderitaan demi iman adalah anugerah yang harus disyukuri. -
Sukacita sejati datang dari perspektif ilahi.
Kita diajar untuk memandang penderitaan bukan dari kacamata dunia, tetapi dari perspektif Allah. Sukacita lahir ketika kita menyadari bahwa penderitaan kita adalah bagian dari rencana Allah yang kekal. -
Setia kepada Kristus lebih penting daripada kenyamanan hidup.
Para rasul lebih memilih dicambuk daripada menyangkal Kristus. Dalam kehidupan kita, tantangannya mungkin berupa tekanan sosial, ekonomi, atau budaya. Apakah kita tetap setia kepada Kristus meski harus kehilangan kenyamanan duniawi? -
Penderitaan menghasilkan kesaksian yang kuat.
Gereja mula-mula bertumbuh bukan karena bebas dari penderitaan, tetapi justru karena iman mereka bersinar di tengah penderitaan. Dunia melihat sukacita yang tidak dapat dimengerti oleh logika manusia. -
Penderitaan mengingatkan kita akan pengharapan eskatologis.
Semua penderitaan ini sementara, tetapi kemuliaan kekal menanti. Seperti kata Paulus dalam 2 Korintus 4:17, “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang jauh lebih besar daripada segala-galanya.”
Penutup
Saudara-saudara yang terkasih, Kisah Para Rasul 5:41 mengajarkan kepada kita bahwa penderitaan karena Kristus bukanlah alasan untuk meratap, melainkan untuk bersukacita. Para rasul meninggalkan Mahkamah Agama dengan hati yang penuh sukacita, karena mereka tahu penderitaan mereka adalah bagian dari kehormatan yang Allah berikan.
Seperti yang diajarkan para teolog Reformed, penderitaan adalah anugerah Allah yang memurnikan, menguatkan, dan menghubungkan kita dengan Kristus. Kiranya kita juga, di tengah segala tantangan zaman ini, boleh memiliki iman yang sama: melihat penderitaan bukan sebagai akhir, melainkan sebagai jalan menuju kemuliaan bersama Kristus.