Mazmur 2:1–3 Pemberontakan Bangsa-Bangsa dan Kedaulatan Kristus
Pendahuluan
Mazmur 2 merupakan salah satu mazmur yang paling sering dikutip dalam Perjanjian Baru dan dianggap sebagai salah satu mazmur mesianik yang penting. Bagian awalnya, yaitu ayat 1–3, membuka gambaran tentang perlawanan bangsa-bangsa terhadap Allah dan Sang Raja yang diurapi-Nya. Ayat-ayat ini bukan hanya menggambarkan situasi politik pada zaman Israel kuno, melainkan juga memiliki makna teologis yang jauh lebih mendalam, yakni menyatakan konflik universal antara kedaulatan Allah dengan pemberontakan manusia.
Dalam tradisi Reformed, Mazmur 2 dipahami sebagai bagian dari rencana kekal Allah yang menyingkapkan karya penebusan melalui Mesias, yaitu Kristus Yesus. John Calvin, misalnya, menekankan bahwa mazmur ini berbicara mengenai Kristus sebagai Raja yang dijanjikan dan bagaimana dunia yang berdosa menolak kedaulatan-Nya. Hal ini sekaligus memperlihatkan ketegangan antara kehendak manusia yang memberontak dan kehendak Allah yang berdaulat penuh.
Latar Belakang Historis dan Literer
Mazmur 2 sering dianggap sebagai mazmur kerajaan (royal psalm), yaitu mazmur yang berkaitan dengan penobatan raja Israel. Secara historis, teks ini mungkin digunakan dalam konteks liturgi kerajaan untuk menegaskan bahwa raja Israel adalah wakil Allah yang diurapi. Namun, makna mazmur ini tidak berhenti pada dimensi historis-politik, melainkan meluas kepada nubuat tentang Mesias.
Dalam Kanon Perjanjian Lama, Mazmur 2 ditempatkan setelah Mazmur 1, sehingga membentuk pasangan pembukaan kitab Mazmur. Jika Mazmur 1 menekankan hukum Tuhan sebagai fondasi kehidupan yang berbahagia, Mazmur 2 menegaskan kedaulatan Allah dan Mesias atas bangsa-bangsa. Kombinasi ini menandai tema utama seluruh kitab Mazmur: ketaatan kepada firman Allah dan pengakuan akan kedaulatan-Nya.
Analisis Teks: Mazmur 2:1–3
Teks Ibrani berbunyi:
Ayat 1:.“Mengapa rusuh bangsa-bangsa, mengapa suku-suku bangsa mereka-reka perkara yang sia-sia? Ayat 2:.“Raja-raja dunia bersiap-siap dan para pembesar bermufakat bersama-sama melawan TUHAN dan yang diurapi-Nya.”Ayat 3:Marilah kita memutuskan belenggu-belenggu mereka dan membuang tali-tali mereka dari kita!”
Mazmur 2:1
Kata kerja ragash (bergemuruh, rusuh) melukiskan kegaduhan kacau bangsa-bangsa yang memberontak. Ungkapan yehgu riq (“merancang perkara sia-sia”) menyiratkan kesia-siaan rencana manusia yang bertentangan dengan kehendak Allah. Di sini, penulis mazmur menegaskan bahwa segala usaha melawan Allah tidak akan berhasil karena sia-sia adanya.
John Calvin menafsirkan bahwa ayat ini menyingkapkan kebodohan dunia dalam menolak Kristus, sebab mereka berusaha melawan kuasa ilahi yang tidak dapat digulingkan. R. C. Sproul menambahkan bahwa “kesia-siaan” tersebut mencerminkan natur pemberontakan manusia yang selalu berakhir dalam kehancuran.
Mazmur 2:2
Ayat ini menampilkan persekutuan para penguasa dunia melawan TUHAN dan Mesias-Nya. Kata mashiach (yang diurapi) digunakan di sini, menunjuk pada raja Israel, tetapi dalam penggenapan mesianik, menunjuk kepada Kristus.
Menurut Herman Bavinck, perlawanan ini bukan hanya fenomena politik, melainkan ekspresi dari kebencian mendasar manusia terhadap otoritas Allah. William Hendriksen menekankan bahwa persekutuan para raja melawan Allah ini digenapi dalam peristiwa penyaliban Yesus, ketika para penguasa Yahudi dan Romawi bersekongkol melawan Dia (Kis. 4:25–28).
Mazmur 2:3
Seruan bangsa-bangsa: “Marilah kita memutuskan belenggu-belenggu mereka dan membuang tali-tali mereka dari kita!” mencerminkan sikap manusia yang menganggap hukum dan kedaulatan Allah sebagai belenggu. Padahal, dalam kenyataan teologis, hanya dalam hukum Allah manusia memperoleh kebebasan sejati.
John Owen menafsirkan bahwa dosa membuat manusia memandang hukum Allah sebagai pengekangan, bukan sebagai jalan hidup. Pandangan ini sejalan dengan konsep Reformed tentang kebobrokan total (total depravity), yakni kecenderungan manusia yang berdosa untuk menolak segala bentuk otoritas Allah.
Perspektif Teologi Reformed
1. Kedaulatan Allah dan Kesia-siaan Pemberontakan
Teologi Reformed sangat menekankan kedaulatan Allah atas sejarah. Ayat 1–3 memperlihatkan bahwa meskipun bangsa-bangsa merencanakan pemberontakan, semua rencana itu sia-sia. Calvin menegaskan bahwa tidak ada kuasa manusia atau pemerintahan dunia yang dapat melawan Allah dan Kristus.
Louis Berkhof menambahkan bahwa teks ini menunjukkan antitesis antara kota Allah (civitas Dei) dan kota dunia (civitas terrena). Pemberontakan bangsa-bangsa merupakan manifestasi dari kota dunia yang selalu menolak pemerintahan Allah.
2. Kristus sebagai Mesias yang Diurapi
Dalam tradisi Reformed, seluruh Kitab Suci berpusat pada Kristus. Mazmur 2:2 secara eksplisit menunjuk kepada Dia. Petrus dan Yohanes dalam Kisah Para Rasul 4 mengutip ayat ini untuk menjelaskan bahwa penolakan terhadap Yesus oleh Herodes, Pilatus, bangsa-bangsa, dan umat Israel merupakan penggenapan nubuat Mazmur 2.
Menurut Geerhardus Vos, Mazmur 2 mengungkapkan dimensi eskatologis kerajaan Allah yang digenapi dalam Kristus. Kristus adalah Raja sejati yang dijanjikan, dan seluruh perlawanan bangsa-bangsa hanyalah persiapan bagi kemenangan-Nya yang final.
3. Pemberontakan sebagai Cerminan Dosa Asal
Teologi Reformed menegaskan bahwa sejak kejatuhan manusia dalam dosa, hati manusia cenderung melawan Allah. Ayat 3 memperlihatkan kecenderungan ini secara jelas. Ketika bangsa-bangsa berkata, “Marilah kita memutuskan belenggu-belenggu mereka,” itu menunjukkan sikap manusia berdosa yang ingin merdeka dari otoritas Allah.
Cornelius Van Til menjelaskan bahwa seluruh sistem pemikiran non-Kristen pada dasarnya berakar pada pemberontakan terhadap Allah. Mazmur 2:1–3 adalah gambaran universal tentang epistemologi pemberontakan ini: manusia berusaha membangun otonomi, padahal itu hanyalah ilusi.
4. Penghiburan bagi Orang Percaya
Bagi orang percaya, teks ini membawa penghiburan besar. Meskipun dunia tampak melawan Kristus dan umat-Nya, rencana Allah tidak dapat digagalkan. Sproul menekankan bahwa Allah duduk di takhta-Nya dan tertawa (ay. 4), sebagai tanda bahwa semua usaha melawan-Nya hanyalah kesia-siaan.
Bagi gereja, ini berarti panggilan untuk tetap setia dan tidak gentar menghadapi perlawanan dunia. Seperti dinyatakan Abraham Kuyper, Kristus memerintah atas setiap jengkal kehidupan, dan semua perlawanan akhirnya akan ditundukkan di bawah kaki-Nya.
Implikasi Teologis dan Praktis
-
Kedaulatan Kristus atas Bangsa-bangsa
Mazmur 2 mengajarkan bahwa Kristus bukan hanya Raja Israel, melainkan Raja segala bangsa. Ini memiliki implikasi misiologis: gereja dipanggil untuk memberitakan Injil kepada segala bangsa karena Kristus memerintah atas mereka. -
Kesia-siaan Pemberontakan Manusia
Segala upaya menolak hukum Allah akan berakhir dengan kegagalan. Hal ini menantang gereja untuk menegaskan kembali supremasi firman Allah dalam masyarakat modern yang cenderung menolak otoritas ilahi. -
Kebobrokan Total dan Kebutuhan akan Penebusan
Ayat 3 memperlihatkan natur manusia yang berdosa: menganggap hukum Allah sebagai belenggu. Ini menunjukkan kebutuhan mendasar manusia akan penebusan dalam Kristus yang membebaskan dari kuasa dosa. -
Penghiburan dan Keyakinan dalam Iman
Bagi umat Allah, teks ini menjadi sumber penghiburan. Dunia boleh melawan, tetapi Kristus telah menang. Gereja dipanggil untuk berpegang pada janji ini dalam menghadapi tekanan, penganiayaan, atau sekularisme.
Kesimpulan
Mazmur 2:1–3 merupakan teks yang kaya makna, baik secara historis, literer, maupun teologis. Dari perspektif Reformed, ayat ini menyingkapkan realitas universal: bangsa-bangsa selalu berusaha melawan Allah dan Mesias-Nya, tetapi semua usaha itu sia-sia. Kristus sebagai Mesias yang diurapi adalah pusat dari nubuat ini, dan dalam diri-Nya kedaulatan Allah dinyatakan penuh.
Pemberontakan manusia hanyalah cerminan dari dosa asal, tetapi bagi orang percaya, Mazmur ini membawa penghiburan: rencana Allah tidak dapat digagalkan. Gereja dipanggil untuk tetap setia, memberitakan Injil, dan hidup di bawah otoritas Kristus yang berdaulat atas segala bangsa.