Penderitaan dan Ketaatan: Kisah Para Rasul 5:40

Pendahuluan
Kitab Kisah Para Rasul memberikan gambaran yang jelas mengenai pertumbuhan gereja mula-mula, pekerjaan Roh Kudus, serta tantangan yang dihadapi para rasul dalam memberitakan Injil Kristus. Salah satu bagian yang memperlihatkan ketegangan antara otoritas manusia dan otoritas Allah terdapat dalam Kisah Para Rasul 5:40, yang berbunyi:
"Mereka taat kepada perkataan itu. Lalu mereka memanggil rasul-rasul itu dan menyuruh mereka didera, kemudian melarang mereka mengajar dalam nama Yesus. Sesudah itu mereka dilepaskan." (TB)
Ayat ini menggambarkan momen penting dalam sejarah gereja mula-mula. Setelah sidang Mahkamah Agama (Sanhedrin) dipengaruhi oleh nasihat Gamaliel, para rasul memang tidak dihukum mati, tetapi mereka tetap menerima hukuman cambuk (dera) dan larangan untuk mengajar dalam nama Yesus. Namun, meskipun mengalami penderitaan, mereka tetap setia kepada panggilan Allah. Eksposisi terhadap ayat ini membuka wawasan mengenai teologi penderitaan, ketaatan, dan pertumbuhan gereja dalam terang Injil.
Artikel ini akan membahas Kisah Para Rasul 5:40 secara sistematis: mulai dari latar belakang historis, analisis eksegetis, tafsiran teologis, serta aplikasinya bagi gereja masa kini. Pandangan beberapa ahli teologi Reformed seperti John Calvin, Matthew Henry, F.F. Bruce, serta pengkhotbah Puritan akan dijadikan referensi untuk memperkaya analisis.
I. Latar Belakang Konteks Kisah Para Rasul 5:40
1. Situasi Gereja Mula-Mula
Kisah Para Rasul 5 memperlihatkan masa ketika gereja sedang berkembang pesat melalui kesaksian para rasul. Mujizat dan tanda-tanda menyertai pelayanan mereka (Kis. 5:12-16). Namun, pertumbuhan ini menimbulkan kecemburuan dan kemarahan para imam dan anggota Sanhedrin, yang merasa otoritas mereka terancam (Kis. 5:17).
Penangkapan para rasul menjadi langkah represif untuk menghentikan gerakan ini. Tetapi Allah membebaskan mereka melalui malaikat, dan mereka terus memberitakan Injil (Kis. 5:18-21). Akhirnya, mereka kembali dihadapkan pada Sanhedrin untuk diadili.
2. Nasihat Gamaliel
Sebelum hukuman dijatuhkan, seorang Farisi bernama Gamaliel, guru hukum yang dihormati, memberikan nasihat bijaksana: jangan terburu-buru membinasakan para rasul, sebab jika pekerjaan mereka berasal dari manusia, ia akan lenyap, tetapi jika dari Allah, Sanhedrin tidak akan dapat menghentikannya (Kis. 5:34-39). Nasihat ini mencegah hukuman mati, tetapi tidak membebaskan para rasul dari penderitaan.
3. Posisi Ayat 40
Ayat 40 adalah klimaks dari keputusan Sanhedrin. Mereka menerima nasihat Gamaliel, tetapi tetap menghukum rasul-rasul dengan dera dan larangan mengajar. Keputusan ini mencerminkan kompromi: mereka tidak mengeksekusi mati, tetapi berusaha mempertahankan otoritas mereka melalui kekerasan dan intimidasi.
II. Analisis Eksegetis Kisah Para Rasul 5:40
1. "Mereka taat kepada perkataan itu"
Ungkapan ini menunjukkan bahwa Sanhedrin menerima nasihat Gamaliel. Namun, ketaatan ini bukanlah ketaatan sejati kepada Allah, melainkan kepatuhan pragmatis demi menghindari risiko menentang sesuatu yang mungkin dari Allah. John Calvin menafsirkan bahwa ketaatan Sanhedrin hanyalah “setengah hati,” karena meskipun mereka menahan diri dari pembunuhan, mereka tetap melawan Injil melalui hukuman dera. Hal ini menggambarkan hati manusia yang keras: mampu mengakui kebenaran secara intelektual, tetapi tetap menolak tunduk secara rohani.
2. "Menyuruh mereka didera"
Hukuman dera di sini kemungkinan besar adalah 39 cambukan (bdk. Ulangan 25:3; 2 Korintus 11:24). Tujuan hukuman ini bukan sekadar fisik, melainkan bentuk penghinaan publik. Matthew Henry menekankan bahwa penderitaan ini adalah "pengakuan kemartiran" pertama yang dialami oleh rasul-rasul, dan melalui itu gereja diperlihatkan bahwa iman sejati akan diuji dengan penderitaan.
3. "Melarang mereka mengajar dalam nama Yesus"
Larangan ini menunjukkan inti masalah: nama Yesus adalah pusat pertentangan. Otoritas agama Yahudi tidak keberatan dengan perbuatan sosial atau mukjizat, tetapi keberatan jika nama Yesus diproklamasikan sebagai Mesias dan Tuhan. F.F. Bruce menekankan bahwa oposisi terbesar terhadap gereja mula-mula adalah teologis: klaim Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Dengan demikian, konflik ini adalah konflik antara otoritas manusia yang menolak Kristus dan otoritas Allah yang meninggikan Kristus.
4. "Sesudah itu mereka dilepaskan"
Sanhedrin tidak berani menahan para rasul lebih lama, mungkin karena takut reaksi rakyat (Kis. 5:26). Namun, pelepasan ini bukanlah tanda kemenangan Sanhedrin, melainkan kemenangan Allah, karena meski dilepaskan dengan luka-luka, para rasul tetap bebas memberitakan Injil.
III. Tafsiran Teologis Menurut Tradisi Reformed
1. Teologi Penderitaan Kristen
John Calvin menekankan bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari panggilan Kristen. Dalam komentarnya, ia menulis bahwa penderitaan rasul-rasul dalam ayat ini adalah penggenapan nubuat Kristus bahwa murid-murid-Nya akan dianiaya oleh dunia (Yohanes 15:20). Dengan menerima dera, rasul-rasul menunjukkan bahwa Injil bukanlah jalan kemuliaan duniawi, tetapi jalan salib.
Puritan seperti Thomas Watson juga menekankan bahwa penderitaan karena Kristus adalah tanda keaslian iman. Penderitaan bukan kegagalan, tetapi bukti bahwa Allah sedang bekerja melalui umat-Nya.
2. Ketaatan kepada Allah di atas manusia
Konteks ayat 40 harus dilihat bersama dengan ayat 29: "Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia." Sanhedrin berusaha membungkam Injil, tetapi otoritas Kristus lebih tinggi daripada otoritas manusia. Herman Bavinck menekankan prinsip ini sebagai bagian dari doctrina de ecclesia: gereja hanya tunduk kepada Kristus sebagai Kepala, bukan kepada penguasa dunia yang menolak-Nya.
3. Kemurnian Injil dan Nama Kristus
Fakta bahwa larangan Sanhedrin berfokus pada "nama Yesus" menunjukkan bahwa inti dari gereja adalah kesaksian tentang Kristus yang disalibkan dan bangkit. Bagi teologi Reformed, ini sejalan dengan prinsip solus Christus: keselamatan hanya melalui Kristus. Para rasul rela didera, tetapi mereka tidak rela meninggalkan nama Kristus.
4. Providensia Allah
Nasihat Gamaliel (ay. 38-39) yang mencegah pembunuhan adalah bukti providensia Allah. John Owen menafsirkan bahwa bahkan orang yang belum bertobat dapat dipakai Allah untuk melindungi gereja-Nya. Hal ini menegaskan doktrin providensia: Allah memegang kendali atas sejarah, bahkan melalui keputusan musuh-musuh-Nya.
IV. Dimensi Historis dan Praktis
1. Penderitaan Gereja Sepanjang Sejarah
Ayat ini menjadi pola berulang dalam sejarah gereja. Dari penganiayaan Kekaisaran Romawi, Reformasi Protestan, hingga penganiayaan modern di berbagai negara, gereja sering menghadapi larangan memberitakan Kristus. Namun, sebagaimana para rasul tetap taat, demikian pula gereja dipanggil untuk tetap setia meski menghadapi penderitaan.
2. Relevansi dengan Prinsip Reformasi
Reformasi abad ke-16 menegaskan bahwa otoritas tertinggi adalah firman Allah, bukan tradisi manusia. Martin Luther di hadapan Diet of Worms (1521) menyatakan: “Hati nuraniku tertawan oleh Firman Allah.” Sikap ini sejajar dengan ketaatan para rasul di Kisah 5:40-42.
3. Aplikasi bagi Gereja Masa Kini
-
Gereja harus siap menghadapi resistensi dunia ketika memberitakan Kristus.
-
Ketaatan kepada Allah harus diutamakan di atas tekanan sosial atau politik.
-
Penderitaan karena Kristus bukan alasan untuk mundur, tetapi kesempatan untuk memuliakan Allah.
V. Eksposisi Teologis Mendalam: Tiga Tema Utama
1. Tema Otoritas: Allah vs. Manusia
Sanhedrin berusaha mempertahankan otoritas agama mereka, tetapi otoritas itu kosong karena menolak Kristus. Otoritas sejati hanya berasal dari Allah. Kuyper menekankan prinsip sphere sovereignty: negara, gereja, dan keluarga memiliki lingkup masing-masing, tetapi otoritas tertinggi tetap pada Allah.
2. Tema Penderitaan: Jalan Salib
Yesus sendiri mengatakan bahwa murid harus memikul salib (Mat. 16:24). Kisah 5:40 memperlihatkan penderitaan itu secara nyata. Bagi Calvin, penderitaan adalah sacramentum bagi gereja—bukan sakramen resmi, tetapi tanda lahiriah bahwa kita adalah milik Kristus.
3. Tema Sukacita dalam Penderitaan
Meskipun ayat 40 menutup dengan dera dan larangan, ayat 41 menunjukkan bahwa para rasul justru bersukacita karena dianggap layak menderita bagi nama Yesus. Ini paradoks Injil: penderitaan menjadi sumber sukacita rohani. Reformator melihat hal ini sebagai pekerjaan Roh Kudus yang meneguhkan hati umat.
VI. Sintesis Pandangan Ahli Teologi Reformed
-
John Calvin: menekankan kerasnya hati manusia yang bisa mengakui kebenaran tetapi tetap menolak tunduk. Penderitaan para rasul adalah bagian dari panggilan Allah.
-
Matthew Henry: menyoroti penderitaan sebagai tanda pengakuan iman dan sarana pertumbuhan gereja.
-
F.F. Bruce: menegaskan bahwa konflik utama adalah teologis, yakni penolakan terhadap nama Yesus.
-
Herman Bavinck: menekankan ketaatan gereja hanya kepada Kristus sebagai Kepala.
-
Puritan (Watson, Owen): melihat penderitaan sebagai bukti iman sejati dan providensia Allah yang memelihara gereja.
VII. Implikasi bagi Gereja Masa Kini
-
Keteguhan dalam Injil
Gereja modern sering menghadapi tekanan untuk mengurangi penekanan pada Kristus demi relevansi. Namun, Kisah 5:40 menegaskan bahwa inti iman adalah kesaksian tentang nama Yesus, yang tidak boleh dikompromikan. -
Kesediaan Menderita
Panggilan Kristen tidak menjanjikan kenyamanan duniawi, melainkan kesiapan memikul salib. Gereja dipanggil untuk memandang penderitaan sebagai bagian dari persekutuan dengan Kristus. -
Ketaatan pada Firman
Dalam dunia yang semakin menolak kebenaran Alkitab, gereja harus meneladani para rasul: lebih taat kepada Allah daripada manusia. -
Penghiburan dalam Providensia
Allah tetap berdaulat atas sejarah, bahkan melalui keputusan musuh-musuh Injil. Ini memberi penghiburan bahwa gereja tidak akan pernah hancur, sebab Kristus adalah Kepala yang berkuasa.
Kesimpulan
Kisah Para Rasul 5:40 adalah ayat yang singkat namun sarat makna teologis. Di dalamnya, kita melihat bagaimana Sanhedrin, meski menahan diri dari pembunuhan karena nasihat Gamaliel, tetap melawan Injil dengan dera dan larangan. Namun, justru melalui penderitaan itu, Injil semakin dimuliakan.
Dari perspektif teologi Reformed, ayat ini menegaskan tiga kebenaran utama:
-
Otoritas Allah di atas manusia – gereja harus lebih taat kepada Kristus daripada kepada otoritas dunia.
-
Penderitaan sebagai bagian dari panggilan Kristen – penderitaan karena Kristus adalah tanda keaslian iman.
-
Providensia Allah yang menopang gereja – Allah memegang kendali bahkan melalui keputusan musuh Injil.
Bagi gereja masa kini, pesan ini tetap relevan: kesetiaan kepada Kristus mungkin mendatangkan penderitaan, tetapi dalam penderitaan itulah kuasa Injil nyata, dan sukacita sejati ditemukan. Sebagaimana para rasul rela didera demi nama Yesus, demikian pula gereja dipanggil untuk setia hingga akhir.