Takut akan Allah Dalam Perspektif Reformed

Pendahuluan
Konsep takut akan Allah merupakan tema penting dalam Kitab Suci yang berulang kali ditekankan, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Kitab Amsal 1:7 dengan jelas menyatakan: “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan.” Demikian pula Mazmur 111:10 menegaskan: “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN.” Dengan demikian, takut akan Allah bukan sekadar sikap emosional, melainkan fondasi bagi hikmat, pengetahuan, dan kehidupan rohani yang sejati.
Namun, dalam perkembangan teologi, pengertian takut akan Allah sering disalahpahami. Sebagian orang mengasosiasikannya dengan rasa takut yang penuh teror, seolah-olah Allah adalah penguasa yang kejam. Sebaliknya, ada pula yang mereduksinya menjadi sekadar rasa hormat tanpa unsur kekudusan yang gentar. Teologi Reformed mencoba menjaga keseimbangan: takut akan Allah mencakup rasa gentar, hormat, kagum, dan kasih yang tunduk, karena kita berhadapan dengan Allah yang kudus, berdaulat, dan penuh kasih.
Tulisan ini bertujuan menyelidiki konsep takut akan Allah dalam perspektif Reformed, dengan meninjau fondasi biblika, refleksi historis dari para teolog Reformed, implikasi praktis bagi kehidupan orang percaya, serta relevansinya di tengah dunia modern.
I. Fondasi Biblika tentang Takut akan Allah
1. Perjanjian Lama
Dalam PL, istilah Ibrani yir’ah sering dipakai untuk “takut” kepada Allah. Arti kata ini mencakup rasa takut literal, namun juga rasa hormat dan pengagungan. Misalnya:
-
Amsal 1:7 – “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan.”
-
Ulangan 10:12-13 – Israel dipanggil untuk “takut akan TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut segala jalan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada-Nya, dan berpegang pada perintah-Nya.”
Dari sini terlihat bahwa takut akan Allah berkaitan erat dengan ketaatan pada perintah-perintah-Nya. Ini bukan rasa takut pasif, melainkan sikap eksistensial yang membentuk seluruh hidup.
2. Perjanjian Baru
Dalam PB, istilah Yunani phobos (takut) juga memiliki nuansa ganda. Rasul Paulus menasihatkan jemaat untuk “mengerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Filipi 2:12). Petrus menulis, “Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudara seiman, takutlah akan Allah” (1 Petrus 2:17).
Yesus sendiri mengajarkan: “Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka” (Matius 10:28).
Dengan demikian, takut akan Allah bukan bertentangan dengan kasih, melainkan justru memperdalam kasih dan ketaatan.
II. Pemahaman Teologi Reformed tentang Takut akan Allah
1. John Calvin: Pietas dan Takut yang Kudus
Calvin menekankan bahwa inti dari pietas (kesalehan) adalah takut akan Allah. Dalam Institutes (I.2.2), ia menulis:
“Pietas adalah rasa hormat yang tulus bercampur dengan kasih akan Allah, yang timbul dari kesadaran akan kebaikan-Nya dan ketaatan yang penuh kerendahan hati terhadap kehendak-Nya.”
Bagi Calvin, takut akan Allah tidak boleh dipahami hanya sebagai ketakutan akan hukuman, melainkan sikap penuh hormat dan kasih terhadap Allah yang kudus. Takut ini menghasilkan kerendahan hati, ketaatan, dan kehidupan yang dikuduskan.
2. Jonathan Edwards: Fear as a Holy Affection
Edwards menekankan bahwa takut akan Allah adalah bagian dari holy affections. Dalam Religious Affections, ia membedakan antara servile fear (takut budak) dan filial fear (takut anak). Servile fear adalah ketakutan semata-mata terhadap hukuman, sedangkan filial fear adalah rasa hormat penuh kasih dari anak kepada Bapa.
Edwards menekankan bahwa takut akan Allah yang benar adalah filial fear, yang didasarkan pada kesadaran akan kekudusan dan kasih Allah. Takut ini tidak menghalangi sukacita, melainkan justru menyempurnakannya.
3. John Owen: Fear in Communion with God
Owen dalam karyanya Communion with God menegaskan bahwa takut akan Allah merupakan aspek esensial dari persekutuan dengan Allah. Ia menulis:
“Takut akan Allah adalah jiwa dari ketaatan, dan ketaatan adalah bukti dari takut yang benar.”
Dengan demikian, takut akan Allah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kudus. Tanpa takut akan Allah, ketaatan akan berubah menjadi formalitas kosong.
4. Herman Bavinck: Fear as the Beginning of Wisdom
Bavinck dalam Reformed Dogmatics menjelaskan bahwa takut akan Allah adalah fondasi dari seluruh etika Kristen. Menurutnya, kebijaksanaan manusia lahir dari kesadaran bahwa hidup manusia sepenuhnya berada di bawah providensi Allah. Takut akan Allah adalah pengakuan bahwa manusia tidak otonom, melainkan makhluk ciptaan yang bergantung sepenuhnya pada Sang Khalik.
5. Abraham Kuyper: Fear in Public and Private Life
Kuyper menekankan bahwa takut akan Allah bukan hanya urusan pribadi, melainkan juga publik. Ia melihat bahwa masyarakat yang kehilangan takut akan Allah akan jatuh pada sekularisme dan anarki moral. Maka, takut akan Allah adalah dasar kehidupan sosial, politik, dan budaya yang sehat.
III. Dimensi Teologis Takut akan Allah
1. Takut sebagai Respons terhadap Kekudusan Allah
Yesaya 6 menunjukkan bahwa ketika nabi Yesaya melihat kemuliaan Allah, ia diliputi rasa takut dan berkata: “Celakalah aku! Aku binasa!” (Yesaya 6:5). Rasa takut ini adalah respons yang wajar terhadap kekudusan Allah yang mutlak.
Teologi Reformed menekankan bahwa Allah adalah totally other, sehingga manusia yang berdosa hanya dapat berdiri dengan gentar di hadapan-Nya. Namun, melalui Kristus, rasa takut ini tidak menghancurkan, melainkan membawa kepada keselamatan.
2. Takut dan Kasih: Dua Dimensi yang Tak Terpisahkan
Seringkali orang memisahkan takut dan kasih. Namun, dalam pandangan Reformed, keduanya saling melengkapi. 1 Yohanes 4:18 menyatakan bahwa kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan. Namun, ini bukan berarti meniadakan takut akan Allah, melainkan mengubahnya dari servile fear menjadi filial fear.
Takut akan Allah yang benar adalah buah dari kasih karunia: kita menghormati Allah karena kasih-Nya telah menyelamatkan kita.
3. Takut dan Hikmat
Amsal 9:10 menyatakan: “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN.” Dalam teologi Reformed, hikmat adalah penerapan pengetahuan yang benar tentang Allah dalam kehidupan praktis. Tanpa takut akan Allah, pengetahuan hanya menghasilkan kesombongan.
IV. Kontras: Takut yang Salah dan Takut yang Benar
1. Takut yang Salah
-
Takut budak (servile fear): hanya takut akan hukuman tanpa kasih.
-
Takut legalistik: berpusat pada usaha memenuhi hukum untuk menghindari murka Allah.
-
Takut natural: seperti takut pada bencana, sakit, atau kematian, tanpa melibatkan dimensi rohani.
2. Takut yang Benar
-
Takut anak (filial fear): menghormati Allah sebagai Bapa.
-
Takut penuh kekaguman (reverential awe): menyadari kebesaran dan kekudusan Allah.
-
Takut yang melahirkan hikmat: membawa manusia pada hidup benar dan kudus.
V. Implikasi Praktis Takut akan Allah
1. Takut akan Allah dan Etika Hidup
Takut akan Allah melahirkan kehidupan yang berintegritas. Orang yang takut akan Allah tidak akan berkompromi dengan dosa, meskipun tidak ada orang lain yang melihat.
2. Takut akan Allah dan Ibadah
Ibadah sejati lahir dari hati yang gentar dan hormat kepada Allah. Liturgi Reformed menekankan kekudusan Allah, sehingga umat mendekat dengan rendah hati dan penuh syukur.
3. Takut akan Allah dan Kehidupan Sosial
Takut akan Allah menumbuhkan keadilan sosial. Seorang hakim yang takut akan Allah tidak akan menerima suap. Seorang pemimpin yang takut akan Allah akan memerintah dengan adil.
4. Takut akan Allah dan Penginjilan
Takut akan Allah juga mendorong misi. Paulus berkata: “Karena kami tahu apa artinya takut akan Tuhan, maka kami berusaha meyakinkan orang” (2 Korintus 5:11).
VI. Relevansi Takut akan Allah di Dunia Modern
Dunia modern cenderung mengabaikan takut akan Allah. Sekularisme menempatkan manusia sebagai pusat, sehingga kehilangan rasa gentar terhadap Allah yang kudus. Akibatnya, lahir generasi yang haus makna, namun miskin hikmat.
Teologi Reformed menawarkan koreksi: hanya dengan memulihkan takut akan Allah, manusia dapat kembali kepada fondasi hikmat dan kebahagiaan sejati. Seperti kata Calvin: “Hati manusia adalah pabrik berhala.” Tanpa takut akan Allah, manusia akan selalu menyembah berhala baru dalam bentuk materialisme, hedonisme, atau narsisme.
Kesimpulan
Takut akan Allah merupakan tema sentral dalam Kitab Suci dan teologi Reformed. Konsep ini bukanlah rasa takut yang menghancurkan, melainkan rasa hormat penuh kasih terhadap Allah yang kudus dan penuh kasih karunia. Para teolog Reformed, mulai dari Calvin hingga Bavinck, menekankan bahwa takut akan Allah adalah fondasi pietas, sumber hikmat, dan inti etika Kristen.
Takut akan Allah yang sejati membebaskan manusia dari ketakutan duniawi, mengarahkan hidup pada kekudusan, dan menuntun kepada kebahagiaan sejati di dalam Kristus. Oleh sebab itu, resep sederhana untuk hidup bijak dan kudus adalah: “Hiduplah dengan takut akan Allah dalam kasih karunia Kristus.”