Kisah Para Rasul 7:54–56 Kematian Stefanus dan Kemuliaan Kristus
.jpg)
Pendahuluan: Ketika Dunia Menolak Kebenaran
“Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama mendengar semuanya itu, sangat tertusuk hati mereka, lalu mereka mengertakkan gigi terhadap dia. Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit dan melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah, lalu katanya: ‘Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.’”(Kisah Para Rasul 7:54–56)
Perikop ini menggambarkan salah satu momen paling menggetarkan dalam sejarah gereja mula-mula: kematian martir pertama, Stefanus. Namun, di balik tragedi itu, tersingkaplah kemuliaan Kristus dan kepastian kemenangan iman.
Dalam teks ini, kita melihat dua dunia yang bertabrakan: dunia manusia yang keras hati dan dunia surgawi yang penuh kemuliaan. Di satu sisi, kemarahan dan kebencian manusia terhadap kebenaran; di sisi lain, kasih karunia dan kemuliaan Kristus yang menyambut hamba-Nya.
I. Latar Belakang: Kesaksian yang Mengundang Amarah
Kisah Para Rasul 7 adalah puncak dari pembelaan Stefanus di hadapan Mahkamah Agama. Ia menelusuri sejarah keselamatan dari Abraham hingga Musa, menunjukkan bahwa bangsa Israel terus-menerus menolak utusan Allah.
Stefanus menuduh mereka dengan tajam:
“Hai orang-orang yang keras kepala dan tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu melawan Roh Kudus…” (Kis. 7:51).
Kata-kata ini menusuk hati para pendengar—bukan karena mereka bertobat, tetapi karena mereka menolak kebenaran dengan kebencian.
John Calvin menafsirkan bagian ini dengan berkata:
“Kata-kata Injil adalah pedang yang memisahkan hati manusia; bagi yang rendah hati, itu membawa kehidupan, tetapi bagi yang keras hati, itu menimbulkan kemarahan.”
Reaksi Mahkamah Agama menunjukkan kebutaan rohani mereka. Mereka tertusuk bukan oleh penyesalan, tetapi oleh kemarahan yang lahir dari hati yang memberontak terhadap Allah.
II. Hati yang Keras dan Penolakan terhadap Roh Kudus
Frasa “sangat tertusuk hati mereka” menunjukkan respons emosional yang kuat terhadap kebenaran. Dalam bahasa Yunani, kata yang digunakan menggambarkan rasa perih yang dalam—namun bukan perih karena dosa, melainkan karena ego terluka.
Louis Berkhof dalam Systematic Theology menulis bahwa natur manusia yang berdosa “tidak dapat menerima hal-hal yang dari Roh Allah” (1 Korintus 2:14). Inilah yang terlihat pada Mahkamah Agama—mereka mengetahui hukum, tetapi hatinya mati secara rohani.
Dalam teologi Reformed, keadaan ini disebut total depravity—kerusakan total manusia akibat dosa. Tanpa anugerah Roh Kudus, manusia selalu menolak kebenaran.
Stefanus, yang dipenuhi Roh Kudus, berbicara dengan kuasa, tetapi orang-orang itu menolak suara Roh. Inilah ironi besar: mereka mengaku membela Allah, tetapi menolak utusan-Nya.
III. Stefanus yang Penuh Roh Kudus (Kisah Para Rasul 7:55)
Kontras terbesar dalam perikop ini terletak pada dua kondisi batin:
- Para penuduh yang penuh kemarahan.
- Stefanus yang penuh Roh Kudus.
Frasa “penuh dengan Roh Kudus” menunjukkan bahwa Stefanus hidup dalam penguasaan total oleh Roh Allah. Dalam dirinya terpancar buah Roh: damai, kasih, kesabaran, dan iman yang teguh.
R.C. Sproul menjelaskan bahwa “penuh dengan Roh Kudus” berarti “hidup di bawah otoritas dan kekuatan ilahi, bukan kendali emosi atau situasi.”
Ketika dunia mengamuk, Stefanus menatap ke atas. Ia tidak membalas amarah dengan amarah, melainkan mengarahkan pandangannya kepada Allah. Inilah bukti nyata dari iman yang hidup—iman yang melihat melampaui penderitaan menuju kemuliaan kekal.
IV. Penglihatan Surgawi: Langit Terbuka dan Kristus Berdiri
“Ia menatap ke langit dan melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah.”
Ungkapan “melihat kemuliaan Allah” adalah puncak dari pengalaman rohani Stefanus. Allah membuka tabir dunia jasmani agar hamba-Nya melihat realitas surgawi yang sejati.
Biasanya, dalam Alkitab, Kristus digambarkan “duduk di sebelah kanan Allah” (Ibrani 1:3). Namun di sini, Ia “berdiri.” Ini bukan kebetulan.
John Owen menafsirkan bahwa Kristus berdiri “sebagai Pembela dan Penyambut umat-Nya yang setia.” Ia tidak duduk dalam keagungan pasif, melainkan berdiri aktif untuk menyambut Stefanus ke dalam kemuliaan.
Inilah momen penghiburan terbesar bagi orang percaya: ketika dunia menolak, Kristus menyambut.
V. Kristus yang Berdiri di Sebelah Kanan Allah
Mengapa penting bahwa Kristus berdiri “di sebelah kanan Allah”?
Dalam simbolisme Alkitab, “sebelah kanan” melambangkan kuasa dan kehormatan tertinggi. Stefanus melihat Kristus bukan sebagai korban, tetapi sebagai Raja yang berkuasa.
Herman Bavinck menulis bahwa posisi Kristus di sebelah kanan Allah adalah “peneguhan bahwa seluruh otoritas surgawi dan duniawi telah diberikan kepada-Nya.”
Dengan demikian, penglihatan ini bukan hanya penghiburan pribadi, tetapi juga penyataan teologis: Kristus yang disalibkan kini dimuliakan dan memerintah.
Dalam saat terlemah Stefanus, ia justru melihat realitas terbesar—bahwa kematian bukan kekalahan, melainkan persekutuan dengan Raja yang hidup.
VI. Iman yang Melihat Kemuliaan di Tengah Penderitaan
Stefanus menunjukkan bagaimana iman sejati bekerja:
- Ia tidak memandang pada batu yang dilempar, tetapi pada kemuliaan Allah.
- Ia tidak fokus pada kebencian manusia, tetapi pada kasih Kristus.
Iman sejati bukanlah pelarian dari penderitaan, tetapi kemampuan untuk melihat Kristus di tengah penderitaan.
John Calvin menulis,
“Ketika mata jasmani tertutup oleh penderitaan, mata iman melihat lebih jauh, menembus surga yang terbuka.”
Inilah teologi salib (theologia crucis): kemuliaan Allah dinyatakan justru dalam penderitaan umat-Nya. Stefanus menjadi cermin dari Kristus yang disalibkan—mengasihi musuhnya dan menyerahkan nyawanya dengan damai.
VII. Reaksi Dunia terhadap Kemuliaan Kristus
Sementara Stefanus melihat kemuliaan, dunia menutup telinga.
“Mereka berteriak dengan suara nyaring sambil menutup telinga, lalu serentak menyerbu dia.” (Kisah Para Rasul 7:57)
Inilah respons dunia terhadap Injil: menolak mendengar kebenaran. Dosa membuat manusia menutup hati dan telinga terhadap suara Allah.
Bagi teologi Reformed, ini menunjukkan realitas reprobation—penolakan manusia yang tidak bertobat terhadap kasih karunia Allah. Namun di sisi lain, ini meneguhkan kebenaran preservation of the saints (ketekunan orang kudus). Meskipun dunia menolak, iman sejati tidak bisa dipadamkan.
Stefanus tetap bersaksi sampai akhir, membuktikan bahwa kasih karunia yang sejati akan bertahan bahkan di tengah kematian.
VIII. Stefanus: Gambar Kristus dalam Kematian
Dalam kisah ini, Stefanus adalah bayangan dari Kristus sendiri.
Perhatikan kesamaan mereka:
- Keduanya dituduh palsu.
- Keduanya diserang dengan kebencian.
- Keduanya berdoa bagi musuh-musuh mereka.
- Keduanya menyerahkan roh mereka kepada Allah.
“Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku.” (Kis. rohku.” (Kis. 7:59)
“Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Lukas 23:46)
Kematian Stefanus menjadi cerminan kasih Kristus yang sempurna. Di saat terakhir, ia tidak mengutuk, melainkan berdoa:
“Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka.” (Kis. 7:60)
Inilah puncak kasih Kristen—mengampuni di tengah penderitaan.
Charles Spurgeon menulis:
“Stefanus mati seperti rajawali yang terbang ke matahari—dengan mata tertuju kepada Kristus.”
IX. Aplikasi Teologis dan Praktis
-
Iman sejati melihat kemuliaan Allah lebih besar daripada penderitaan.
Dunia mungkin menghina, tetapi Allah memuliakan. -
Roh Kudus memberi kekuatan untuk bertahan dalam kesetiaan.
Tanpa Roh Kudus, kita akan menyerah pada ketakutan dan amarah. -
Kristus adalah Pembela umat-Nya.
Ia berdiri di sebelah kanan Allah untuk menyambut orang percaya. -
Penderitaan orang percaya bukan sia-sia.
Darah Stefanus menjadi benih gereja; kematiannya menuntun pada pertobatan Saulus (Kis. 8:1; 9:1–5). -
Kasih kepada musuh adalah bukti anugerah yang sejati.
Orang dunia membalas kebencian dengan kebencian; orang yang lahir baru membalas dengan doa dan kasih.
X. Kristus yang Berdiri bagi Umat-Nya Hari Ini
Stefanus melihat Kristus berdiri di sisi kanan Allah; hal yang sama menjadi penghiburan bagi gereja hingga hari ini.
Ketika kita ditolak karena iman, Kristus berdiri bagi kita. Ketika kita menderita demi kebenaran, Ia menyertai kita.
Ibrani 7:25 menegaskan bahwa Kristus “hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara bagi mereka.”
Ia tidak hanya berdiri pada waktu Stefanus mati, tetapi senantiasa berdiri bagi semua umat tebusan-Nya.
Penutup: Langit Terbuka bagi Orang Percaya
Kisah Para Rasul 7:54–56 adalah kisah tentang iman yang melihat langit terbuka di tengah dunia yang menolak.
Stefanus mati, tetapi ia menang. Dunia menutup telinga, tetapi surga terbuka.
John Calvin menulis dengan indah:
“Langit terbuka bukan hanya bagi Stefanus, tetapi bagi semua orang yang menatap kepada Kristus dengan iman.”
Kiranya kita pun memiliki iman seperti Stefanus—iman yang melihat Kristus di atas segalanya, iman yang bertahan di tengah penderitaan, dan iman yang yakin bahwa kemuliaan yang akan datang jauh melebihi segala penderitaan sekarang.