1 Tesalonika 5:14–22 Hidup Kudus di Tengah Jemaat
.jpg)
Pendahuluan
Surat Paulus kepada jemaat di Tesalonika merupakan salah satu tulisan yang paling hangat dan pastoral di seluruh Perjanjian Baru. Paulus menulis kepada jemaat muda yang sedang menghadapi penganiayaan, ajaran palsu, dan kebingungan tentang kedatangan Kristus yang kedua. Dalam pasal 5, khususnya ayat 14–22, Paulus memberikan serangkaian perintah praktis yang menuntun umat percaya untuk hidup dalam kekudusan dan kasih di tengah komunitas Kristen.
Teks ini bukan sekadar daftar aturan moral, melainkan panduan spiritual yang menggambarkan kehidupan yang dipenuhi oleh Roh Kudus. Reformed theology menekankan bahwa kehidupan kudus ini tidak berasal dari kekuatan manusia, tetapi merupakan buah karya Roh Kudus dalam hati orang yang telah dibenarkan oleh iman.
Eksposisi Ayat per Ayat
1 Tesalonika 5:14 – “Kami nasihatkan kepadamu, saudara-saudara, tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang.”
Paulus menggunakan kata noutheteo (menasihati atau menegur) yang berarti mendidik dengan kasih. Ini menggambarkan peran komunitas Kristen sebagai tubuh Kristus yang saling membangun.
Menurut John Calvin, ayat ini menegaskan bahwa “gereja harus dipenuhi dengan semangat penggembalaan satu terhadap yang lain.” Ia menulis dalam Commentary on Thessalonians bahwa teguran terhadap yang tidak tertib bukanlah tindakan menghakimi, tetapi bagian dari kasih yang sejati untuk menuntun saudara kembali kepada ketaatan.
Tiga kelompok yang disebut Paulus—yang tidak tertib, yang tawar hati, dan yang lemah—mencerminkan keragaman kondisi spiritual dalam jemaat. Bagi Calvin, ini menunjukkan pentingnya hikmat pastoral dalam memperlakukan setiap orang sesuai kebutuhannya: disiplin bagi yang lalai, penghiburan bagi yang putus asa, dan dukungan bagi yang lemah.
Reformed theologian seperti John Stott juga menekankan keseimbangan antara kebenaran dan kasih dalam pelaksanaan disiplin rohani. “Kasih tanpa kebenaran adalah sentimentalisme; kebenaran tanpa kasih adalah kekerasan,” tulisnya dalam The Message of Thessalonians.
Kesabaran terhadap semua orang merupakan buah Roh (Galatia 5:22). Di sini Paulus menegaskan bahwa kesabaran adalah karakter ilahi yang wajib diwujudkan dalam relasi komunitas Kristen.
1 Tesalonika 5:15 – “Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang.”
Dalam konteks penganiayaan dan pertentangan, dorongan Paulus untuk tidak membalas kejahatan adalah cerminan ajaran Kristus dalam Matius 5:44. Calvin menegaskan bahwa orang percaya harus “menyadari bahwa pembalasan adalah hak Allah,” dan bahwa panggilan orang Kristen adalah meneladani Kristus yang menderita tanpa membalas dendam (1 Petrus 2:23).
Jonathan Edwards dalam khotbahnya Charity and Its Fruits menyatakan bahwa kasih sejati adalah kasih yang aktif mencari kebaikan bahkan bagi mereka yang memusuhi kita. Tindakan membalas kebaikan atas kejahatan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan kasih yang bersumber dari anugerah.
Prinsip ini memiliki implikasi sosial yang dalam: komunitas Kristen dipanggil menjadi agen damai di tengah dunia yang keras dan penuh permusuhan. Ketika gereja hidup dengan kasih yang tidak membalas kejahatan, dunia melihat refleksi nyata dari Injil Kristus.
1 Tesalonika 5:16–18 – “Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”
Tiga perintah ini merupakan inti dari kehidupan rohani orang Kristen yang sejati.
1. Bersukacitalah senantiasa.
Sukacita Kristen bukanlah hasil keadaan lahiriah, tetapi buah dari relasi dengan Kristus. Paulus sendiri menulis ini dari pengalaman penderitaan, namun ia tetap bersukacita karena hidupnya tertambat pada Kristus yang hidup.
Calvin menulis, “Sukacita orang percaya tidak bergantung pada kemakmuran dunia, tetapi pada kepastian bahwa Allah adalah Bapa yang memelihara segala sesuatu untuk kebaikan anak-anak-Nya.”
2. Tetaplah berdoa.
Artinya bukan berdoa tanpa henti secara literal, melainkan hidup dalam kesadaran terus-menerus akan kehadiran Allah. Bagi Reformed theologians seperti Matthew Henry, doa yang konstan adalah napas rohani dari jiwa yang bergantung sepenuhnya kepada Tuhan.
3. Mengucap syukurlah dalam segala hal.
Ucapan syukur tidak berarti menolak realitas penderitaan, tetapi mengakui bahwa Allah berdaulat atas semua hal. R.C. Sproul menulis bahwa “iman yang sejati tidak hanya memuji Tuhan atas berkat, tetapi juga dalam badai, karena kita tahu tangan-Nya tidak pernah lepas dari kemudi.”
Ketiga perintah ini saling terkait: sukacita menumbuhkan doa, doa memperdalam ucapan syukur, dan ucapan syukur memperkokoh sukacita.
1 Tesalonika 5:19–22 – “Jangan padamkan Roh, jangan anggap rendah nubuat-nubuat. Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik. Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan.”
Dalam ayat-ayat ini, Paulus beralih kepada aspek kehidupan rohani yang berkaitan dengan pekerjaan Roh Kudus.
“Jangan padamkan Roh” – Calvin menjelaskan bahwa Roh Kudus bekerja melalui Firman dan pelayanan gereja. Memadamkan Roh berarti menolak otoritas Firman, mengabaikan nasihat rohani, atau mengeraskan hati terhadap kebenaran.
John Owen, dalam The Holy Spirit, menulis bahwa orang percaya dapat “memadamkan” Roh bukan karena kuasa atas-Nya, tetapi dengan menolak dorongan-Nya yang lembut dalam hati. Oleh sebab itu, setiap orang percaya dipanggil untuk peka terhadap pimpinan Roh Kudus melalui Firman.
“Jangan anggap rendah nubuat-nubuat” – Dalam konteks zaman Paulus, nubuat berarti penyataan Firman Tuhan untuk membangun jemaat. Calvin menegaskan bahwa “nubuat sejati bukanlah ramalan, melainkan pewartaan yang menyingkapkan kehendak Allah melalui Firman.” Gereja Reformed percaya bahwa bentuk pewahyuan baru telah berhenti, namun prinsip ini tetap berlaku: kita tidak boleh mengabaikan pemberitaan Firman Tuhan.
“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” – Ini adalah prinsip discernment atau pembedaan roh. Herman Bavinck menulis bahwa iman yang sehat adalah iman yang berpikir, yang menilai segala sesuatu dengan standar kebenaran Firman Allah.
“Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan” – Ini menegaskan panggilan kekudusan. Sproul menulis bahwa kekudusan bukanlah pilihan opsional bagi orang percaya, melainkan bukti regenerasi yang sejati. “Kekudusan bukan syarat keselamatan, tetapi konsekuensinya.”
Aplikasi Teologis dan Praktis
-
Kekudusan dalam Komunitas Kristen
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kekudusan tidak pernah bersifat individualistik. Hidup kudus berarti hidup dalam relasi yang benar dengan sesama orang percaya. Gereja yang sehat adalah gereja yang saling menasihati, menghibur, dan menopang. -
Etika Kasih dalam Penganiayaan
Tidak membalas kejahatan adalah bentuk kasih yang radikal. Calvin mengatakan bahwa kasih ini lahir dari iman kepada kedaulatan Allah. Ketika kita percaya bahwa Allah memegang kendali, kita tidak perlu mengambil pembalasan di tangan sendiri. -
Kehidupan Rohani yang Konsisten
Perintah untuk bersukacita, berdoa, dan bersyukur menunjukkan bahwa kehidupan Kristen sejati bersumber dari hubungan yang intim dengan Allah. Roh Kudus yang berdiam dalam diri kita memampukan kita untuk hidup dalam sukacita yang tidak tergoyahkan. -
Pentingnya Disernmen Rohani
Dalam dunia yang penuh ajaran palsu, kemampuan menilai segala sesuatu berdasarkan Firman adalah kunci. Seperti diingatkan oleh Bavinck, iman yang sejati bukan iman buta, tetapi iman yang berakar dalam pengenalan yang benar akan Allah.
Kesimpulan
1 Tesalonika 5:14–22 adalah gambaran indah tentang kehidupan gereja yang hidup dalam anugerah dan pimpinan Roh Kudus. Paulus tidak sekadar memberi aturan moral, tetapi menunjukkan bagaimana kasih karunia Kristus memulihkan dan membentuk komunitas yang kudus.
Reformed theology menegaskan bahwa kekuatan untuk hidup seperti ini tidak berasal dari manusia, tetapi dari karya Roh Kudus yang memperbarui hati. Seperti dikatakan Calvin, “Kasih karunia Kristus tidak hanya mengampuni dosa, tetapi juga memperbaharui seluruh manusia.”
Marilah kita menjadi gereja yang hidup sesuai dengan panggilan ini: saling menasihati, penuh sukacita, bertekun dalam doa, dan senantiasa bersyukur—sebab inilah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kita.