1 Tesalonika 5:23–24: Kekudusan dan Kesetiaan Allah dalam Menyucikan Umat-Nya

1 Tesalonika 5:23–24: Kekudusan dan Kesetiaan Allah dalam Menyucikan Umat-Nya

Pendahuluan: Panggilan Menuju Kekudusan yang Utuh

Rasul Paulus menutup suratnya kepada jemaat di Tesalonika dengan doa yang penuh kekuatan rohani:

“Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa, dan tubuhmu terpelihara sempurna tanpa cacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita. Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya.”
(1 Tesalonika 5:23–24)

Ayat ini merupakan penutup yang sangat kaya secara teologis. Di dalamnya terkandung dua tema besar: kekudusan dan kesetiaan Allah. Paulus ingin agar umat percaya tidak hanya hidup saleh secara lahiriah, tetapi mengalami transformasi total yang meliputi seluruh keberadaan mereka — roh, jiwa, dan tubuh — melalui karya Allah yang kudus dan setia.

Dalam teologi Reformed, ayat ini memperlihatkan doktrin pengudusan (sanctification) yang bukan hasil usaha manusia semata, tetapi karya Allah dalam diri orang percaya. John Calvin menulis dalam Institutes (III.3.9), “Pengudusan bukanlah pilihan tambahan dalam kehidupan Kristen; itu adalah bukti bahwa seseorang sungguh telah dipersatukan dengan Kristus.”

Kita akan menelusuri teks ini melalui tiga bagian utama:

  1. Sumber pengudusan: Allah damai sejahtera.
  2. Ruang lingkup pengudusan: seluruh keberadaan manusia.
  3. Jaminan pengudusan: kesetiaan Allah yang tidak berubah.

I. Sumber Pengudusan: Allah Damai Sejahtera

Paulus memulai dengan menyebut “Allah damai sejahtera.” Ini bukan sekadar sapaan rohani, melainkan pernyataan teologis yang dalam. Allah yang menguduskan adalah Allah yang mendamaikan — Ia yang membawa kedamaian melalui salib Kristus.

Dalam pandangan Reformed, damai sejahtera (shalom) bukan hanya ketiadaan konflik, tetapi keadaan di mana segala sesuatu berada dalam keteraturan yang sesuai dengan kehendak Allah. Herman Bavinck menjelaskan bahwa “damai sejahtera Allah adalah harmoni ilahi yang memulihkan tatanan ciptaan yang telah dirusak oleh dosa.”

Allah damai sejahtera bekerja dalam pengudusan bukan dengan paksaan, melainkan melalui kasih dan kuasa Roh Kudus. Paulus menegaskan dalam Roma 15:33, “Allah sumber damai sejahtera menyertai kamu.” Artinya, pengudusan sejati tidak dapat dipisahkan dari persekutuan dengan Allah yang mendamaikan.

John Murray dalam bukunya Redemption Accomplished and Applied menulis bahwa pengudusan adalah “karya berkelanjutan dari Allah dalam diri orang percaya, yang membebaskannya dari kuasa dosa dan memperbaruinya seturut gambar Kristus.” Dengan demikian, sumber pengudusan bukan berasal dari tekad manusia, tetapi dari Allah yang hidup dalam diri kita.

Allah damai sejahtera bukan hanya menetapkan standar kekudusan, tetapi juga memberikan kekuatan untuk mencapainya. Inilah dasar yang menenangkan hati orang percaya: Allah yang memulai pekerjaan baik di dalam kita akan menyelesaikannya (Filipi 1:6).

II. Ruang Lingkup Pengudusan: Roh, Jiwa, dan Tubuh

Paulus berdoa agar jemaat “dikuduskan seluruhnya” (holoteleis dalam bahasa Yunani). Kata ini berarti seluruh tanpa kekurangan. Paulus menegaskan bahwa kekudusan yang sejati bukan hanya bersifat rohani, melainkan mencakup seluruh aspek eksistensi manusia: roh, jiwa, dan tubuh.

1. Roh: Dimensi Relasi dengan Allah

Roh adalah bagian terdalam manusia, tempat Roh Kudus berdiam (Roma 8:16). Dalam aspek ini, pengudusan berarti pemulihan relasi dengan Allah. Sebelum diselamatkan, roh manusia mati dalam dosa; tetapi melalui Kristus, roh itu dihidupkan kembali. Calvin menjelaskan bahwa “roh manusia dihidupkan bukan hanya agar ia berpikir benar, tetapi agar ia mencintai kebenaran Allah.”

2. Jiwa: Pusat Kepribadian dan Kehendak

Jiwa (psyche) mencakup pikiran, perasaan, dan kehendak. Pengudusan dalam jiwa berarti pembaruan batin setiap hari. Roma 12:2 mengatakan, “Berubahlah oleh pembaharuan budimu.” Dalam proses ini, Roh Kudus memperbarui pola pikir yang sebelumnya dikuasai oleh dunia.

R.C. Sproul menekankan bahwa pengudusan adalah “proses berpikir secara teologis.” Artinya, semakin kita mengenal Allah, semakin pikiran kita disucikan dari kesalahan dan ketidakpercayaan. Kehidupan batin yang kudus bukanlah hasil meditasi kosong, melainkan hasil pengenalan akan kebenaran Allah.

3. Tubuh: Alat yang Kudus untuk Kemuliaan Allah

Sering kali orang Kristen berpikir bahwa kekudusan hanya soal roh dan jiwa. Namun Paulus juga menekankan tubuh: “Tubuhmu adalah bait Roh Kudus” (1 Korintus 6:19). Dalam teologi Reformed, tubuh bukanlah sesuatu yang jahat, melainkan bagian dari ciptaan Allah yang baik, yang akan ditebus pada kebangkitan akhir.

Karena itu, pengudusan mencakup bagaimana kita menggunakan tubuh — mata, tangan, mulut, dan seluruh anggota badan — untuk memuliakan Allah. Anthony Hoekema dalam Saved by Grace menulis, “Kekudusan tubuh berarti menundukkan setiap tindakan fisik di bawah kedaulatan Kristus.”

Dengan demikian, pengudusan bukan hanya soal moralitas pribadi, tetapi penyembahan total terhadap Allah dalam seluruh keberadaan kita.

III. Tujuan Pengudusan: Tanpa Cacat pada Kedatangan Kristus

Paulus melanjutkan:

“Semoga roh, jiwa, dan tubuhmu terpelihara sempurna tanpa cacat pada kedatangan Yesus Kristus.”

Kata “tanpa cacat” (amemptōs) menunjuk pada istilah yang sering dipakai untuk korban persembahan dalam Perjanjian Lama — korban yang kudus dan tidak bercela. Paulus memakai istilah ini untuk menggambarkan umat Allah yang disiapkan menjadi persembahan hidup bagi Tuhan (Roma 12:1).

Pengudusan adalah proses menuju kesempurnaan, tetapi kesempurnaan itu baru akan digenapi sepenuhnya pada kedatangan Kristus. Di sinilah letak ketegangan teologis yang penting: kekudusan sudah dimulai sekarang, tetapi akan disempurnakan kelak.

Bavinck menulis, “Di dunia ini, pengudusan adalah benih kekudusan surgawi; buahnya akan matang pada hari kemuliaan.” Dengan kata lain, hidup kudus bukanlah hasil kerja keras untuk mencapai kesempurnaan manusiawi, tetapi tanda bahwa kita sedang diarahkan menuju kemuliaan kekal.

Oleh karena itu, setiap penderitaan, pencobaan, dan proses pembentukan yang kita alami adalah bagian dari karya Allah dalam mempersiapkan kita sebagai mempelai Kristus yang tanpa noda dan cela (Efesus 5:27).

IV. Jaminan Pengudusan: Kesetiaan Allah yang Tidak Berubah

“Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya.”

Kalimat ini menjadi puncak penghiburan bagi setiap orang percaya. Paulus tahu bahwa perjalanan menuju kekudusan tidak mudah. Namun ia menegaskan bahwa keberhasilan proses itu tidak bergantung pada kemampuan manusia, melainkan pada kesetiaan Allah.

Dalam teologi Reformed, ini dikenal sebagai doktrin ketekunan orang-orang kudus (perseverance of the saints). Allah yang memanggil dalam kasih karunia-Nya akan menjaga umat-Nya sampai akhir. John Piper menulis, “Kekudusan sejati tidak bergantung pada kekuatan tekad kita, tetapi pada kekuatan janji Allah.”

John Calvin juga berkata, “Kesetiaan Allah adalah dasar di mana kita berdiri; jika kita goyah, Ia tetap teguh.” Ayat ini menunjukkan bahwa pengudusan bukan hanya kewajiban moral, tetapi janji ilahi yang pasti digenapi.

Kesetiaan Allah yang dimaksud bukan sekadar kejujuran, tetapi keandalan-Nya dalam menepati janji perjanjian-Nya. Allah yang memanggil dengan kasih-Nya tidak akan meninggalkan pekerjaan tangan-Nya (Mazmur 138:8).

Kita bisa jatuh, gagal, dan lambat dalam bertumbuh, tetapi kasih setia Allah tidak berubah. Charles Spurgeon pernah berkata, “Jika bukan karena kesetiaan Allah, maka tidak satu pun orang percaya yang akan bertahan satu jam pun dalam kekudusan.”

V. Aplikasi Praktis: Hidup dalam Keyakinan dan Ketekunan

1. Berjalan dalam Keyakinan akan Karya Allah

Kita dipanggil untuk hidup dalam ketenangan batin, bukan karena kita sempurna, tetapi karena Allah bekerja dalam kita. Filipi 2:13 berkata, “Allah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.”

Keyakinan ini menumbuhkan rasa syukur dan penyembahan. Kita tidak berjuang untuk diterima oleh Allah, tetapi karena telah diterima oleh-Nya dalam Kristus.

2. Menjaga Kekudusan Hidup

Walau pengudusan adalah karya Allah, kita dipanggil untuk mengambil bagian secara aktif. Paulus berkata, “Pekerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Filipi 2:12). Hidup kudus berarti menolak dosa, mematikan keinginan daging, dan mengejar keserupaan dengan Kristus.

John Owen memperingatkan, “Jika kamu tidak membunuh dosa, maka dosa akan membunuhmu.” Oleh karena itu, pengudusan sejati tidak pernah pasif; ia menuntut ketaatan yang lahir dari kasih kepada Kristus.

3. Memandang pada Kedatangan Kristus

Pengudusan selalu memiliki orientasi eskatologis. Semakin kita menantikan kedatangan Kristus, semakin kita dimurnikan (1 Yohanes 3:3). Harapan akan kedatangan Tuhan bukan sekadar penghiburan masa depan, tetapi motivasi moral untuk hidup kudus hari ini.

Kesimpulan: Allah yang Setia, Umat yang Disucikan

Khotbah ini menegaskan bahwa kekudusan bukanlah pilihan, melainkan panggilan yang pasti digenapi oleh Allah yang setia.
1 Tesalonika 5:23–24 adalah doa yang penuh pengharapan — bahwa Allah yang telah memanggil kita dalam Kristus akan menyempurnakan kita pada hari kedatangan-Nya.

Dalam terang teologi Reformed, kita memahami bahwa pengudusan adalah karya kasih karunia dari awal hingga akhir. Bavinck merangkumnya dengan indah:

“Keselamatan berasal dari Allah, dikerjakan oleh Allah, dan disempurnakan oleh Allah. Karena itu, bagi-Nya-lah segala kemuliaan.”

Kiranya kita hidup setiap hari dalam keyakinan akan kesetiaan Allah, yang sedang menguduskan kita, menyiapkan kita, dan akan menyempurnakan kita pada hari Kristus Yesus. Amin.

Next Post Previous Post