Kejadian 5:25–27 - Pelajaran dari Kehidupan Metusalah
.jpg)
Teks Firman Tuhan:
“Ketika Metusalah berumur seratus delapan puluh tujuh tahun, ia memperanakkan Lamekh. Dan Metusalah hidup sesudah ia memperanakkan Lamekh tujuh ratus delapan puluh dua tahun lagi, dan ia memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan. Jadi seluruh umur Metusalah ada sembilan ratus enam puluh sembilan tahun, lalu ia mati.”(Kejadian 5:25–27)
Pendahuluan: Hidup Panjang, Tetapi Untuk Apa?
Setiap manusia mendambakan umur panjang. Dalam budaya modern, panjang umur sering dianggap sebagai tanda berkat dan kesuksesan. Namun, pertanyaannya: apakah hidup panjang itu berarti hidup yang benar di hadapan Allah?
Kisah Metusalah — manusia tertua dalam Alkitab, yang hidup 969 tahun — sering dikutip sebagai contoh umur panjang yang luar biasa. Namun, Alkitab tidak memberikan banyak detail tentang kehidupannya, selain silsilah dan fakta bahwa “ia mati.”
Menariknya, kisah Metusalah muncul dalam konteks silsilah Kain dan Set (Kejadian 4–5), yang menunjukkan kontras tajam antara garis keturunan orang fasik dan orang percaya. Pasal 5 bukan sekadar daftar nama, melainkan silsilah iman — kisah tentang bagaimana Allah memelihara garis keturunan yang membawa kepada Yesus Kristus, Sang Penebus.
Dalam konteks ini, kehidupan Metusalah mengajarkan kepada kita tiga pelajaran penting tentang makna hidup yang sejati:
-
Hidup panjang bukanlah ukuran kebenaran.
-
Hidup sejati hanya berarti jika dijalani dalam persekutuan dengan Allah.
-
Kasih karunia Allah bekerja bahkan melalui kehidupan yang tampak biasa.
I. Metusalah: Simbol Umur Panjang, Tetapi Bukan Ukuran Rohani
“Jadi seluruh umur Metusalah ada sembilan ratus enam puluh sembilan tahun, lalu ia mati.” (Kejadian 5:27)
Metusalah adalah manusia yang hidup paling lama di muka bumi — hampir seribu tahun. Namun, ironisnya, Alkitab tidak mencatat satu pun perbuatan, iman, atau kesaksian rohaninya. Hanya satu kalimat yang menutup hidupnya: “lalu ia mati.”
1. Umur Panjang Bukan Jaminan Keberkenanan Allah
Dalam komentarnya, John Calvin menulis:
“Kitab Kejadian tidak memuji panjang umur sebagai kebajikan, melainkan sebagai bukti kesabaran Allah terhadap manusia berdosa. Panjang umur mereka adalah kesempatan bagi pertobatan, bukan kebanggaan bagi dosa.”
Dengan kata lain, umur panjang Metusalah bukan tanda bahwa ia lebih suci, melainkan tanda kemurahan Allah yang menunda hukuman.
Dalam konteks sejarah penebusan, Metusalah hidup tepat hingga tahun air bah datang (perhitungan kronologis menunjukkan bahwa Metusalah mati pada tahun yang sama ketika Air Bah terjadi). Artinya, hidup panjangnya bertepatan dengan masa sebelum penghakiman Allah turun atas dunia.
Calvin menambahkan:
“Allah menunda murka-Nya supaya manusia diberi kesempatan bertobat. Hidup panjang Metusalah adalah simbol dari kesabaran ilahi yang memberi waktu bagi manusia untuk kembali kepada Tuhan.”
2. Kontras dengan Henokh
Dalam Kejadian 5, kita menemukan kontras mencolok antara Metusalah dan Henokh, kakeknya. Henokh hidup hanya 365 tahun, jauh lebih singkat daripada Metusalah. Namun tentang Henokh dikatakan:
“Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia diangkat oleh Allah.” (Kej. 5:24)
Di sini kita melihat bahwa panjangnya usia tidak menentukan nilai hidup di mata Tuhan. Henokh, yang hidup singkat, memiliki relasi yang lebih dalam dengan Allah daripada Metusalah, yang hidup hampir seribu tahun.
Matthew Henry berkomentar:
“Lebih baik hidup singkat dan berkenan kepada Allah, daripada hidup panjang tetapi tidak memiliki hubungan dengan-Nya.”
3. Dunia yang Lama dan Dosa yang Mendalam
Pada masa Metusalah, dunia semakin rusak. Kejahatan manusia bertambah besar di hadapan Allah (Kejadian 6:5). Walau hidup di masa sebelum air bah, Metusalah adalah bagian dari generasi yang menyaksikan kemerosotan moral dunia.
Bagi para teolog Reformed, ini menjadi peringatan serius. Umur panjang tanpa ketaatan hanyalah perpanjangan kesempatan untuk berbuat dosa. Tanpa anugerah Allah, umur panjang tidak membawa manusia lebih dekat kepada surga, melainkan semakin jauh dari Allah.
II. Hidup Sejati adalah Berjalan Bersama Allah
1. Hidup Panjang Tanpa Allah = Kosong
Kejadian 5 mengulangi pola yang sama: “Ia memperanakkan... lalu ia mati.” Pola ini menegaskan akibat dosa: kematian adalah upah dosa (Roma 6:23). Silsilah ini menunjukkan bahwa bahkan orang-orang yang hidup lama pun tidak dapat melarikan diri dari kutuk dosa.
Spurgeon berkata:
“Lembaran sejarah manusia adalah daftar panjang nama-nama yang diakhiri dengan kalimat sama: lalu ia mati. Inilah bukti nyata bahwa dosa telah merasuki semua keturunan Adam.”
Meskipun Metusalah hidup panjang, ia tetap mati. Tidak ada satu pun umur panjang yang dapat membatalkan hukuman dosa. Ini mengingatkan kita bahwa yang menentukan nilai hidup bukanlah durasinya, melainkan arah dan tujuannya.
2. Hidup Bersama Allah: Teladan dari Henokh
John Calvin menulis:
“Melalui Henokh dan Metusalah, Allah menunjukkan dua sisi kehidupan: satu yang fana dan yang lain yang kekal. Panjang umur tidak menyelamatkan, tetapi persekutuan dengan Allah yang menyelamatkan.”
Kita belajar bahwa hidup berarti berjalan bersama Allah, bukan sekadar bertahan hidup. Hidup yang bergaul dengan Allah menghasilkan buah rohani, kasih, dan kesetiaan.
Kejadian 6:9 menggambarkan Nuh dengan kata yang sama:
“Nuh adalah orang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; Nuh hidup bergaul dengan Allah.”
Ini menunjukkan bahwa persekutuan dengan Allah adalah ciri khas orang pilihan-Nya dalam setiap zaman.
3. Aplikasi: Apakah Hidup Kita Bergaul dengan Allah?
Sebagaimana dikatakan oleh John Piper, teolog Reformed kontemporer:
“Tuhan menciptakan kita bukan supaya hidup panjang di bumi, melainkan supaya hidup memuliakan Dia. Umur panjang tanpa kemuliaan Allah hanyalah hidup yang sia-sia.”
III. Kesabaran dan Anugerah Allah di Balik Hidup Metusalah
1. Arti Nama “Metusalah”
Matthew Henry mencatat:
“Melalui nama Metusalah, Allah memperingatkan dunia akan datangnya murka-Nya. Namun Ia menunda penghakiman itu selama hidup Metusalah, menunjukkan kesabaran ilahi yang luar biasa.”
Metusalah menjadi lambang kesabaran Allah yang memberi waktu bagi manusia untuk bertobat.
Petrus menulis:
“Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya... Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.” (2 Petrus 3:9)
2. Hidup Panjang: Bukti Kesabaran Allah
“Hidup panjang Metusalah adalah seperti jam pasir yang terus berjalan. Setiap tahun yang berlalu adalah satu tahun tambahan bagi manusia untuk bertobat, sebelum air bah datang.”
3. Air Bah: Akhir dari Kesabaran Ilahi
Charles Spurgeon menegaskan:
“Kasih karunia Allah yang ditolak terlalu lama akan berubah menjadi penghakiman. Allah sabar, tetapi tidak diam selamanya.”
Dalam konteks ini, kehidupan Metusalah menjadi tanda peringatan dan pengharapan. Peringatan bahwa murka Allah nyata, namun juga pengharapan bahwa Allah menunda hukuman supaya manusia berbalik kepada-Nya.
IV. Pelajaran Reformed tentang Hidup dan Kematian
1. Kematian Tidak Dapat Dihindari
Meskipun hidup hampir seribu tahun, Metusalah tetap mati. Hal ini menegaskan doktrin Reformed tentang dosa asal dan kefanaan manusia.
Roma 5:12 berkata:
“Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.”
John Calvin mengomentari:
“Silsilah ini menunjukkan bahwa kematian adalah upah dosa, dan tidak seorang pun dapat luput dari kutuk ini, kecuali mereka yang ditebus oleh Kristus.”
2. Kesetiaan Allah dalam Menepati Janji
Melalui setiap generasi, Allah tetap setia memelihara garis keturunan yang akan membawa kepada Kristus. Dari Adam ke Set, dari Henokh ke Nuh, dari Sem ke Abraham, dan akhirnya ke Mesias.
Matthew Henry menulis:
“Setiap nama dalam silsilah ini adalah saksi kesetiaan Allah. Di tengah dunia yang binasa, janji penebusan tetap berjalan.”
Artinya, bahkan ketika kehidupan manusia tampak monoton dan tidak penting, Allah sedang bekerja melalui sejarah untuk menggenapi rencana penebusan-Nya.
3. Hidup yang Diperpendek Bukanlah Kutuk
Henokh dan Nuh adalah dua contoh bahwa hidup yang lebih singkat bisa lebih berharga di mata Tuhan daripada hidup yang panjang tanpa iman.
Mazmur 90:12 berkata:
“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.”
Kehidupan bukan diukur dari jumlah tahun, tetapi dari hubungan kita dengan Sang Pemberi Hidup.
V. Penerapan Praktis bagi Orang Percaya Masa Kini
1. Nilai Hidup Tidak Ditentukan oleh Panjang Umur
Dalam dunia modern yang memuja umur panjang dan kesehatan fisik, kita diingatkan: umur panjang tanpa mengenal Allah hanyalah hidup yang sia-sia.
Spurgeon berkata:
“Hidup panjang tidak ada artinya tanpa arah yang benar. Satu hari bersama Kristus lebih berharga daripada seribu tahun tanpa-Nya.”
Kita harus memeriksa diri: apakah kita mengejar umur panjang, atau kehidupan yang berkenan kepada Allah?
2. Hargai Kesabaran Allah
Panggilan ini relevan: gunakan waktu hidup sebagai kesempatan untuk bertobat dan melayani.
Efesus 5:15–16 berkata:
“Perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.”
3. Hidup di Dalam Kristus: Hidup yang Benar-Benar Hidup
Dalam Kristus, kita menemukan arti hidup sejati. Ia berkata:
“Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” (Yohanes 11:25)
Teologi Reformed menegaskan: hidup kekal bukanlah soal panjangnya waktu, tetapi hubungan kekal dengan Allah melalui Kristus.
Kesimpulan: Hidup Panjang, Hidup Benar, atau Hidup Kekal?
Kejadian 5:25–27 mungkin tampak seperti catatan sederhana tentang umur Metusalah, tetapi bagi iman Reformed, ayat ini menyimpan pelajaran rohani yang dalam.
-
Kesabaran Allah yang luar biasa.
-
Kepastian penghakiman atas dosa.
John Calvin menutup tafsirnya atas bagian ini dengan kalimat tajam:
“Allah memanjangkan hidup Metusalah bukan untuk memuliakannya, tetapi untuk memuliakan diri-Nya sendiri dalam kesabaran-Nya.”