Yakobus 2:17–26 - Iman yang Hidup dan Nyata
.jpg)
Pendahuluan: Iman yang Hanya di Bibir
Banyak orang mengaku beriman kepada Tuhan. Mereka menyebut diri “orang percaya”, rajin menghadiri kebaktian, bahkan aktif dalam pelayanan. Namun, pertanyaannya: apakah iman yang mereka miliki benar-benar iman yang hidup, ataukah hanya iman yang mati—iman yang berhenti pada pengakuan, tanpa tindakan nyata yang menunjukkan kebenaran hatinya?
Yakobus, saudara Tuhan Yesus, menulis surat ini bukan untuk menentang ajaran Paulus tentang pembenaran oleh iman, melainkan untuk meluruskan kesalahpahaman bahwa iman dapat berdiri sendiri tanpa buah ketaatan. Ia berkata dengan tegas,
“Demikian juga halnya dengan iman: jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” (Yakobus 2:17)
Dalam bagian ini (Yakobus 2:17–26), Yakobus memberikan tiga ilustrasi yang kuat—iman tanpa perbuatan, iman yang hidup, dan teladan iman yang bekerja dalam tokoh-tokoh Alkitab—untuk menunjukkan bahwa iman sejati selalu menghasilkan tindakan yang nyata.
1. Iman yang Tidak Disertai Perbuatan adalah Mati (Yakobus 2:17–20)
Yakobus membuka bagian ini dengan pernyataan yang tajam:
“Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”
1.1. Iman yang mati bukan berarti tidak ada iman sama sekali, tetapi iman yang tidak memiliki kuasa untuk menyelamatkan. Seperti tubuh tanpa roh adalah mayat, demikian pula iman tanpa perbuatan adalah iman yang tak bernyawa.
John Calvin menjelaskan:
“Yakobus tidak berbicara tentang bagaimana manusia dibenarkan di hadapan Allah, tetapi bagaimana iman yang benar terbukti di hadapan manusia. Iman sejati bukanlah sesuatu yang kosong, melainkan selalu disertai dengan perbuatan baik.”
Artinya, Yakobus tidak sedang menentang teologi pembenaran oleh iman semata seperti yang Paulus ajarkan (Roma 3:28), tetapi ia menegaskan bahwa iman yang sejati tidak pernah berdiri sendiri. Iman sejati pasti membuahkan perbuatan yang mengalir dari kasih kepada Allah.
1.2. Contoh Iman yang Sia-sia (ayat 15–16)
Dalam ayat sebelumnya, Yakobus menggambarkan seseorang yang melihat saudaranya kekurangan pakaian dan makanan, namun hanya berkata, “Selamat jalan, kenakanlah pakaian dan makanlah sampai kenyang!” tanpa melakukan apa pun. Itu adalah iman yang berbicara tanpa bertindak—sebuah kemunafikan religius.
R.C. Sproul mengomentari:
“Kasih dan iman tidak pernah terpisah dalam kehidupan orang percaya. Jika seseorang berkata ia beriman tetapi menutup hati terhadap kebutuhan sesamanya, maka kasih Allah tidak tinggal di dalam dia.”
Iman tanpa belas kasihan kepada sesama adalah tanda bahwa hati seseorang belum diubah oleh kasih karunia Allah.
1.3. Iman yang hanya di kepala
Yakobus bahkan menantang pembacanya dengan mengatakan,
“Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” (Yakobus 2:19)
Ini menunjukkan bahwa iman intelektual semata tidak menyelamatkan. Setan pun memiliki pengakuan teologis yang benar tentang Allah, tetapi tidak memiliki penyerahan hati.
Charles Spurgeon menegaskan:
“Iman yang hanya tinggal di kepala tidak akan pernah menembus hati. Dan iman yang tidak mengubah hati tidak akan pernah menyelamatkan jiwa.”
Oleh sebab itu, iman sejati adalah iman yang menembus seluruh keberadaan manusia—pikiran, hati, dan kehendak—dan menghasilkan perubahan hidup yang nyata.
2. Iman yang Hidup Terbukti Melalui Ketaatan (Yakobus 2:21–24)
Setelah menegur iman yang mati, Yakobus memberikan dua contoh iman yang hidup dan nyata: Abraham dan Rahab. Dua tokoh ini mewakili dua latar belakang yang kontras—Abraham, bapa bangsa dan teladan orang beriman; Rahab, seorang perempuan berdosa dari bangsa kafir. Namun keduanya memiliki satu kesamaan: iman mereka terbukti melalui tindakan nyata.
2.1. Abraham: Iman yang Diuji dalam Ketaatan
“Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah?” (Yakobus 2:21)
Yakobus mengacu pada peristiwa di Kejadian 22, ketika Allah menguji iman Abraham dengan meminta Ishak, anak tunggalnya, untuk dipersembahkan sebagai korban. Tindakan Abraham bukanlah sumber pembenaran, melainkan bukti dari iman yang telah ada sebelumnya.
Yakobus menambahkan:
“Kamu lihat, bahwa iman bekerja sama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.” (Yakobus 2:22)
Dalam Kejadian 15:6, tertulis bahwa “Abraham percaya kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Paulus mengutip ayat ini untuk menegaskan bahwa manusia dibenarkan oleh iman, bukan oleh perbuatan (Roma 4:3). Tetapi Yakobus menyoroti aspek lain: iman yang benar pasti membuahkan perbuatan.
John Calvin menjelaskan hubungan ini dengan indah:
“Kita dibenarkan oleh iman saja, tetapi iman yang membenarkan tidak pernah sendirian. Iman sejati selalu disertai dengan ketaatan kepada Allah.”
Dengan kata lain, Abraham tidak dibenarkan karena ia mempersembahkan Ishak, melainkan karena iman yang membawanya untuk taat bahkan ketika perintah Allah tampak tidak masuk akal. Ketaatan Abraham menjadi bukti bahwa imannya adalah iman yang hidup.
2.2. Rahab: Iman yang Bertindak di Tengah Bahaya
“Demikian juga Rahab, perempuan sundal itu, dibenarkan karena perbuatannya, ketika ia menyembunyikan orang-orang yang diutus itu di rumahnya dan menolong mereka lolos melalui jalan lain.” (Yakobus 2:25)
Rahab adalah contoh luar biasa dari iman yang bertindak di tengah risiko besar. Ia bukan hanya percaya bahwa Allah Israel adalah Tuhan yang hidup, tetapi ia bertindak berdasarkan iman itu dengan melindungi para pengintai (Yosua 2).
R.C. Sproul menulis:
“Rahab tidak hanya memiliki pengetahuan tentang Allah Israel, tetapi ia menunjukkan bahwa ia mempercayai Allah itu dengan mempertaruhkan hidupnya. Di situlah iman sejati ditemukan—di dalam keberanian untuk taat bahkan ketika itu berbahaya.”
Dari dua contoh ini, Yakobus menunjukkan bahwa iman sejati bukanlah sesuatu yang pasif. Iman sejati selalu aktif, bergerak, dan berbuah dalam tindakan nyata.
3. Iman yang Menyelamatkan Selalu Berbuah (Yakobus 2:24–26)
“Kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” (Yakobus 2:24)
Ayat ini sering disalahartikan sebagai kontradiksi terhadap ajaran Paulus. Namun, konteksnya menunjukkan bahwa Yakobus berbicara tentang pembenaran di hadapan manusia, bukan di hadapan Allah.
Paulus menekankan dasar pembenaran (iman kepada Kristus), sedangkan Yakobus menekankan bukti pembenaran (perbuatan sebagai buah iman).
John Stott menjelaskan perbedaan ini dengan jernih:
“Paulus menentang legalisme yang menempatkan perbuatan sebagai dasar keselamatan, sedangkan Yakobus menentang antinomianisme yang menolak pentingnya perbuatan. Mereka berdiri berhadapan dengan musuh yang berbeda, tetapi berdiri di pihak yang sama.”
Dengan kata lain, Yakobus dan Paulus tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Keduanya setuju bahwa iman sejati pasti menghasilkan buah ketaatan.
3.1. Tubuh tanpa roh adalah mati (Yakobus 2:26)
Yakobus menutup bagian ini dengan ilustrasi terakhir:
“Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.”
Roh memberi kehidupan kepada tubuh; demikian pula perbuatan memberi bukti kehidupan iman. Tanpa perbuatan, iman hanyalah kerangka kosong—tanpa kehidupan, tanpa kuasa, tanpa kasih.
Charles Spurgeon menggambarkannya demikian:
“Ibarat bunga yang indah tanpa aroma, demikianlah iman tanpa perbuatan. Ia mungkin tampak hidup, tetapi tidak memiliki kehidupan sejati.”
Iman yang sejati adalah iman yang memancarkan kehidupan baru—yang membawa kasih, pengorbanan, dan ketaatan kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan.
4. Aplikasi Praktis: Menghidupi Iman yang Nyata
4.1. Uji Diri: Apakah Iman Kita Hidup atau Mati?
Pertanyaan penting bagi kita bukanlah “Apakah saya memiliki iman?”, tetapi “Apakah iman saya hidup iman saya hidup?”
Apakah iman saya terlihat dalam kasih kepada sesama, dalam kesetiaan melayani, dalam ketekunan menghadapi penderitaan, dan dalam ketaatan kepada firman Tuhan?
Iman yang mati puas dengan pengetahuan Alkitab, tetapi tidak mengasihi Tuhan. Iman yang mati bisa berdoa dengan fasih, tetapi hatinya dingin. Namun, iman yang hidup menumbuhkan kasih, kesabaran, dan pengorbanan.
4.2. Pelayanan sebagai Buah Iman
Setiap pelayanan sejati lahir dari iman yang hidup. Orang yang percaya kepada Kristus akan rindu untuk memuliakan-Nya melalui perbuatan kasih.
R.C. Sproul menulis:
“Perbuatan baik tidak menambah keselamatan kita, tetapi membuktikan bahwa kita sungguh telah diselamatkan.”
Perbuatan baik bukanlah syarat masuk surga, melainkan bukti bahwa surga sudah bekerja di dalam kita.
4.3. Kasih kepada Sesama sebagai Wujud Iman
Yakobus 2 berbicara tentang iman yang menolong saudara seiman dalam kebutuhan praktis. Di zaman modern, iman yang hidup terlihat dalam kepedulian terhadap yang miskin, yang sakit, yang terabaikan.
John Calvin menulis dalam Institutes:
“Tidak mungkin seseorang mengenal kasih Allah tanpa sekaligus digerakkan untuk mengasihi sesamanya.”
Kasih yang lahir dari iman adalah tanda pasti dari kelahiran baru.
5. Kesimpulan: Iman yang Bekerja dalam Kasih
Yakobus 2:17–26 mengingatkan kita bahwa iman sejati tidak bisa diam. Iman sejati adalah iman yang bekerja, iman yang melayani, iman yang berbuah. Iman sejati tidak hanya berkata “Tuhan, Tuhan”, tetapi juga melakukan kehendak-Nya.
Seperti Abraham, iman kita diuji melalui ketaatan. Seperti Rahab, iman kita terbukti dalam tindakan kasih yang berani.
Iman yang sejati tidak memisahkan antara percaya dan taat, antara pengakuan dan tindakan.
Pesan Akhir
-
Paulus mengajarkan bahwa kita dibenarkan oleh iman.
-
Yakobus menegaskan bahwa iman yang membenarkan tidak pernah tanpa perbuatan.
-
Calvin menyatukan keduanya: iman sejati adalah iman yang bekerja melalui kasih.
-
Spurgeon menutup dengan hikmat: “Tunjukkanlah imanmu melalui perbuatanmu; biarlah dunia melihat Kristus hidup dalam dirimu.”
Kiranya setiap kita memeriksa diri dan berkata, seperti Abraham dan Rahab,
“Imanku kepada Allah bukanlah kata-kata kosong, tetapi kehidupan yang diubahkan oleh kasih karunia Kristus.”