Auto

Keluaran 3:1–10 - Panggilan Kudus dari Allah yang Mahakudus

Keluaran 3:1–10 - Panggilan Kudus dari Allah yang Mahakudus

Pendahuluan

Setiap panggilan ilahi dimulai bukan dari manusia, tetapi dari Allah sendiri. Allah yang berdaulat memanggil manusia yang lemah, tidak layak, bahkan takut, untuk menjadi alat-Nya dalam melaksanakan rencana keselamatan-Nya. Demikian pula yang terjadi dalam kisah panggilan Musa di semak yang menyala tetapi tidak terbakar. Peristiwa ini bukan hanya sejarah masa lalu, melainkan wahyu teologis yang mengungkapkan karakter Allah dan cara-Nya bekerja di dunia.

Keluaran 3:1–10 adalah salah satu perikop paling penting dalam seluruh Perjanjian Lama. Di sinilah Allah menyingkapkan diri-Nya sebagai “AKU ADALAH AKU”, Allah yang kudus, transenden, tetapi juga penuh belas kasihan terhadap umat-Nya. Di sini pula Musa—yang sebelumnya gagal, melarikan diri, dan merasa tidak layak—dipanggil kembali menjadi alat penebusan bagi Israel.

Kita akan menelusuri ayat demi ayat untuk melihat bagaimana Allah memanggil hamba-Nya, apa makna kekudusan Allah, dan bagaimana umat-Nya harus menanggapi panggilan itu.

I. Musa di Tanah Midian: Persiapan dalam Kesunyian (Keluaran 3:1–2a)

“Adapun Musa adalah penggembala kambing domba Yitro, mertuanya, imam di Midian; sekali ketika ia menggiring kambing domba itu keseberang padang gurun, sampailah ia ke gunung Allah, yakni gunung Horeb. Lalu Malaikat TUHAN menampakkan diri kepadanya di nyala api yang keluar dari semak duri.”

Sebelum Allah memakai Musa, Ia terlebih dahulu membentuknya. Setelah empat puluh tahun dalam istana Mesir, Musa menghabiskan empat puluh tahun berikutnya di padang gurun Midian. Dalam kesunyian itu, Allah sedang mengerjakan pembentukan rohani yang tidak dilakukan oleh pendidikan Mesir.

John Calvin menulis, “Allah sering kali menyingkirkan hamba-hamba-Nya dari keramaian dunia agar mereka belajar rendah hati dan bergantung penuh pada-Nya. Musa tidak mungkin dipakai oleh Allah sebelum kesombongan Mesir dikikis habis dari jiwanya.”

Padang gurun bukanlah tempat kehancuran, tetapi tempat persiapan. Musa, sang pangeran Mesir, harus menjadi gembala domba. Pekerjaan yang tampak sederhana ini adalah pelatihan ilahi. Allah sedang menyiapkannya menjadi gembala umat Israel. Seperti Daud yang kelak memimpin Israel setelah menggembalakan domba, demikian pula Musa dipersiapkan untuk menggembalakan bangsa yang keras kepala.

Aplikasi:
Allah sering kali menggunakan padang gurun kehidupan kita—masa-masa sepi, penolakan, atau kegagalan—sebagai sekolah rohani. Di sanalah kita belajar bahwa keberhasilan pelayanan tidak ditentukan oleh kemampuan kita, tetapi oleh ketaatan dan kerendahan hati.

II. Api di Semak Duri: Wahyu tentang Kekudusan Allah (Keluaran 3:2b–5)

“Musa melihat, maka tampaklah kepadanya semak itu menyala, tetapi tidak dimakan api. Musa berkata: ‘Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak itu?’ Ketika dilihat TUHAN bahwa Musa menyimpang untuk memeriksanya, berserulah Allah dari tengah-tengah semak itu: ‘Musa, Musa!’ dan ia menjawab: ‘Ya, Allah.’ Lalu firman-Nya: ‘Janganlah datang dekat-dekat, tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.’”

Tanda semak yang menyala tetapi tidak terbakar adalah simbol yang sarat makna teologis. Para penafsir Reformed melihatnya sebagai gambaran Allah yang hadir di tengah penderitaan umat-Nya tanpa membinasakan mereka.

Matthew Henry menjelaskan, “Api melambangkan kehadiran Allah yang kudus dan menyucikan. Semak yang tidak terbakar menunjukkan kasih karunia Allah yang menopang umat-Nya di tengah nyala penderitaan.”

Dalam penglihatan itu, kekudusan Allah menjadi tema utama. Allah memanggil Musa dengan nama, menandakan relasi pribadi, tetapi segera memerintahkan Musa untuk menanggalkan kasutnya—tanda penghormatan dan kesadaran akan kekudusan Allah.

R.C. Sproul menulis dalam The Holiness of God, “Ketika manusia berdiri di hadapan Allah yang kudus, ia menyadari bahwa dirinya hina dan berdosa. Kekudusan Allah bukan sekadar atribut moral; Ia adalah api yang menghanguskan segala dosa.”

Kekudusan Allah mengandung dua aspek:

  1. Transendensi – Allah terpisah dari ciptaan, tidak sama dengan manusia.

  2. Kemurnian moral – Allah suci, tidak bercampur dosa.

Musa harus belajar bahwa pelayanan sejati dimulai dari pengenalan akan kekudusan Allah. Tidak ada seorang pun dapat diutus oleh Allah tanpa terlebih dahulu sujud di hadapan-Nya.

Aplikasi:
Kita hidup di zaman yang menekankan keakraban dengan Allah, namun sering kali kehilangan rasa hormat kepada-Nya. Keluaran 3 mengingatkan kita bahwa Allah memang dekat, tetapi Ia tetap kudus. Ibadah sejati lahir dari kesadaran akan kemuliaan dan kekudusan-Nya.

III. Allah yang Menyatakan Diri-Nya: Allah Abraham, Ishak, dan Yakub (Keluaran 3:6)

“Lagi Ia berfirman: ‘Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.’ Lalu Musa menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah.”

Dalam wahyu ini, Allah memperkenalkan diri bukan dengan nama baru, tetapi dengan identitas perjanjian-Nya. Ia adalah Allah nenek moyang Israel—yang setia kepada janji-Nya.

John Gill, teolog Baptis Reformed abad ke-18, menjelaskan bahwa penyebutan tiga patriark ini menunjukkan kesinambungan janji perjanjian anugerah. Allah yang memanggil Abraham, yang menuntun Ishak, dan yang meneguhkan Yakub adalah Allah yang sama yang kini memanggil Musa.

Reformator John Calvin menekankan bahwa hal ini adalah bukti kesetiaan Allah (faithfulness of God). Meskipun Israel telah menderita ratusan tahun di Mesir, janji Allah tidak pernah gagal. “Allah tidak pernah melupakan umat perjanjian-Nya, bahkan ketika mereka tampak terlupakan oleh dunia,” tulis Calvin.

Reaksi Musa adalah takut dan menutupi wajahnya. Ini adalah respons alami manusia berdosa di hadapan kemuliaan Allah. Musa sadar bahwa ia tidak layak memandang kemuliaan yang kudus. Reaksi ini sejajar dengan reaksi Yesaya dalam Yesaya 6 dan Petrus dalam Lukas 5:8. Kekudusan Allah selalu menyingkapkan ketidaklayakan manusia.

Aplikasi:
Iman yang sejati selalu disertai rasa takut yang kudus (reverent fear). Takut akan Tuhan bukanlah rasa takut yang menjauhkan, tetapi rasa hormat yang mendekatkan dengan kerendahan hati. Orang percaya yang mengenal kasih karunia akan tetap memiliki rasa kagum yang mendalam terhadap kekudusan Allah.

IV. Allah yang Mendengar Seruan Umat-Nya (Keluaran 3:7–9)

“Dan TUHAN berfirman: ‘Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas... Dan sekarang, seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku juga, dan Aku telah melihat pula, betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka.’”

Di sini, kita melihat sisi lain dari karakter Allah: belas kasihan dan perhatian-Nya terhadap penderitaan umat-Nya. Allah yang kudus juga adalah Allah yang berbelas kasih.

Perhatikan tiga kata penting: memperhatikan, mendengar, dan mengetahui. Ini bukan hanya pengamatan pasif, tetapi keterlibatan aktif. Allah tahu penderitaan umat-Nya secara pribadi dan berjanji untuk turun tangan menyelamatkan.

R.C. Sproul menjelaskan, “Ketika Alkitab berkata bahwa Allah ‘turun’, itu bukan berarti Ia berpindah tempat, tetapi Ia bertindak nyata dalam sejarah untuk menyatakan anugerah-Nya.”

Pernyataan “Aku telah turun untuk melepaskan mereka” adalah bayangan dari inkarnasi Kristus. Seperti Allah yang turun untuk membebaskan Israel, demikian pula dalam Perjanjian Baru, Allah datang dalam pribadi Yesus Kristus untuk membebaskan umat-Nya dari perbudakan dosa.

John Piper menulis, “Setiap pembebasan dalam Perjanjian Lama menunjuk pada pembebasan terbesar yang digenapi dalam Kristus. Allah tidak hanya melihat penderitaan kita; Ia datang untuk menyelamatkan kita melalui salib.”

Janji Allah untuk membawa Israel ke tanah yang baik dan luas adalah simbol dari warisan surgawi bagi orang percaya. Canaan melambangkan perhentian kekal yang dijanjikan kepada umat pilihan Allah (Ibrani 4:8–10).

Aplikasi:
Ketika kita merasa tertindas, ditinggalkan, atau berada dalam kesulitan, ingatlah bahwa Allah memperhatikan, mendengar, dan mengetahui. Doa kita tidak pernah sia-sia di hadapan Allah yang hidup. Ia tidak hanya tahu penderitaan kita, tetapi Ia juga hadir untuk membebaskan kita dalam waktu-Nya.

V. Allah yang Memanggil Musa untuk Menjadi Alat-Nya (Keluaran 3:10)

“Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.”

Inilah puncak dari panggilan Musa. Setelah Allah menyatakan kekudusan dan belas kasihan-Nya, kini Ia memanggil Musa menjadi alat pelaksanaan rencana keselamatan-Nya.

Perhatikan urutannya:

  1. Wahyu Allah (ayat 2–6) – Musa mengenal siapa Allah.

  2. Belas kasihan Allah (ayat 7–9) – Musa mengenal hati Allah.

  3. Panggilan Allah (ayat 10) – Musa dipanggil untuk melayani Allah.

Panggilan pelayanan selalu berakar pada pengenalan akan Allah yang benar. Musa tidak dipanggil karena kemampuan, tetapi karena kedaulatan dan anugerah Allah.

John Calvin menulis, “Allah tidak pernah memanggil manusia karena kehebatannya, tetapi karena kasih karunia-Nya. Panggilan Musa adalah bukti bahwa Allah dapat memakai bejana tanah liat untuk menggenapi maksud-Nya yang mulia.”

Namun panggilan ini juga menuntut ketaatan radikal. Musa harus kembali ke Mesir—tempat di mana ia dulu gagal dan menjadi buronan. Allah memanggilnya untuk menghadapi Firaun, simbol kekuasaan dunia yang menindas umat Allah.

Matthew Henry menafsirkan, “Ketika Allah memanggil, Ia juga memampukan. Musa tidak dipanggil untuk bekerja dengan kekuatannya sendiri, tetapi dalam kuasa Dia yang mengutusnya.”

Panggilan Allah selalu disertai dengan penyertaan-Nya. Dalam ayat-ayat selanjutnya (ayat 11–12), Allah berjanji, “Aku akan menyertai engkau.” Inilah inti teologi panggilan dalam Alkitab: “Di mana ada tugas dari Allah, di situ ada penyertaan Allah.”

Aplikasi:
Setiap orang percaya dipanggil untuk suatu tugas ilahi. Mungkin bukan memimpin bangsa keluar dari Mesir, tetapi menjadi terang Kristus di lingkungan kerja, keluarga, atau gereja. Ketaatan terhadap panggilan Allah berarti mempercayakan diri sepenuhnya kepada-Nya, meski kita merasa lemah.

VI. Implikasi Teologis dan Praktis bagi Umat Tuhan

Dari eksposisi ini, kita dapat menarik beberapa prinsip teologis penting yang ditekankan oleh para teolog Reformed:

1. Allah adalah Pribadi yang Kudus dan Tak Terjangkau

Kekudusan Allah menjadi dasar bagi seluruh ibadah dan pelayanan. Tanpa pengenalan akan kekudusan-Nya, pelayanan menjadi sekadar aktivitas manusiawi. Reformator John Calvin menyebut ini sebagai “the sense of divine majesty” — kesadaran akan kebesaran Allah yang menuntun kita pada penyembahan sejati.

2. Allah adalah Pribadi yang Setia pada Janji Perjanjian-Nya

Penyebutan Allah Abraham, Ishak, dan Yakub menunjukkan bahwa janji Allah tidak pernah gagal. Ini adalah fondasi dari teologi perjanjian Reformed: Covenant Faithfulness of God. Allah memegang teguh janji-Nya meskipun umat-Nya tidak setia.

3. Allah yang Kudus juga adalah Allah yang Penuh Belas Kasihan

Kekudusan dan kasih Allah bukan dua sifat yang bertentangan, melainkan saling melengkapi. Dalam salib Kristus, kedua sifat ini bertemu sempurna: kekudusan menuntut hukuman atas dosa, tetapi kasih menyediakan Penebus.

4. Panggilan Allah adalah Anugerah, bukan Hasil Kelayakan

Musa tidak dipanggil karena prestasi, tetapi karena kasih karunia. Ini sejalan dengan doktrin Reformed tentang kedaulatan Allah dalam panggilan (sovereign calling). Seperti Musa, kita pun dipanggil bukan karena layak, tetapi karena Allah berdaulat memilih dan mengutus kita.

5. Setiap Panggilan Ilahi Selalu Disertai Penyertaan Allah

Panggilan tanpa penyertaan akan berakhir pada keputusasaan. Namun penyertaan tanpa ketaatan akan menjadi sia-sia. Allah yang memanggil adalah Allah yang menyertai dan memampukan.

VII. Refleksi: Dari Padang Gurun Menuju Tanah Perjanjian

Kisah Musa mengajarkan kita bahwa panggilan Allah sering kali dimulai di padang gurun—tempat sepi, di mana manusia merasa terlupakan. Namun justru di tempat seperti itulah Allah berbicara. Ia memanggil bukan karena kekuatan kita, tetapi karena kasih karunia-Nya.

Padang gurun Musa mungkin menggambarkan padang gurun rohani kita: kehilangan semangat, kegagalan, atau perasaan tidak berguna. Namun jika kita membuka telinga rohani, kita akan mendengar suara Allah yang memanggil, “Musa, Musa!”—atau “(nama Anda), Aku mengutus engkau.”

Sebagaimana Musa menanggalkan kasutnya, kita pun harus menanggalkan kesombongan, dosa, dan kebergantungan pada diri sendiri. Hanya dalam kerendahan hati kita dapat menyaksikan kemuliaan Allah.

VIII. Penutup: Tanggapan terhadap Panggilan Kudus

Keluaran 3:1–10 bukan sekadar kisah panggilan seorang nabi besar, tetapi cermin panggilan setiap orang percaya. Allah yang kudus telah datang kepada kita melalui Kristus, memanggil kita keluar dari kegelapan menuju terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9).

Seperti Musa, kita mungkin merasa tidak layak, tidak mampu, atau takut. Namun Allah yang sama yang berbicara dari semak duri juga berbicara melalui salib Kristus—tanda bahwa Ia hadir di tengah penderitaan kita, dan kasih karunia-Nya cukup bagi kita.

John Piper menutup refleksinya atas teks ini dengan kalimat yang sangat indah:

“Api di semak duri adalah lambang kasih karunia—api yang menyala tetapi tidak membinasakan. Demikianlah kasih karunia Allah bekerja dalam hidup kita: Ia membakar dosa, tetapi tidak menghancurkan kita.”

Kiranya kita semua belajar seperti Musa: mengenal Allah yang kudus, mendengarkan suara-Nya, dan menanggapi dengan ketaatan. Sebab tempat kita berdiri—di tengah dunia yang gelap ini—adalah tanah yang kudus bila Allah hadir di sana.

Next Post Previous Post