PEMBAGIAN HUKUM TAURAT
PDT.BUDI ASALI, M.DIV.
Banyak orang tidak mengerti pembagian hukum Taurat dan karena itu kita akan mempelajari hal ini.
health, gadget |
a) Hukum Taurat bisa dibagi dalam 3 bagian:
1. Moral Law.
2. Ceremonial Law.
3. Judicial Law / Civil Law.
Pembagian ini harus dilakukan sekalipun istilah-istilah yang digunakan tidak ada dalam Alkitab. Ini seperti doktrin Allah Tritunggal yang menggunakan istilah ‘pribadi’ dan ‘hakekat’, dan semua istilah-istilah itu tak ada dalam Alkitab. Yang penting, ajarannya ada dalam Alkitab.
Pembagian hukum Taurat menjadi Ceremonial Law dan Moral Law harus ada karena kalau tidak maka akan terjadi kontradiksi antar ayat-ayat ini:
Matius 5:17-19 - “(17) Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. (19) Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga..
Efesus 2:15 - sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera,.
Text pertama mengatakan hukum Taurat itu berlaku selama-lamanya, sedangkan text kedua mengatakan bahwa hukum Taurat itu dihapuskan pada saat Yesus mati. Karena itu, tidak bisa tidak, kita harus mengartikan istilah hukum Taurat dalam kedua text di atas secara berbeda. Yang berlaku selama-lamanya (Matius 5:17-19) adalah Moral Law, sedangkan yang dihapuskan (Efesus 2:15) adalah Ceremonial Law.
Sedangkan Judicial Law / Civil Law, adalah seperti undang-undang negara, dan semua hukuman yang dilekatkan pada pelanggaran hukum-hukum dalam Alkitab, seperti rajam, bakar, potong tangan dsb, termasuk kelompok ini.
Misalnya:
Imamat 24:16 - “Siapa yang menghujat nama TUHAN, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jemaah itu. Baik orang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama TUHAN, haruslah dihukum mati..
Imamat 20:10 - Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu..
Ulangan 22:20-24 - “(20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa ke luar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati - sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (22) Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel. (23) Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan - jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, (24) maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu..
Penghujatan nama Tuhan dan zinah pasti termasuk moral law, tetapi hukumannya itu (hukuman mati, rajam dsb) yang termasuk civil law. Ini hanya berlaku di Israel pada saat itu, dan tidak berlaku di negara lain / pada jaman lain. Karena itu Yesus juga tak menyetujui hukuman mati terhadap perempuan yang dikatakan berzinah dalam Yohanes 7:53-8:11. Pertama karena Ia bukan hakim, dan kedua karena mereka pada saat itu ada di bawah penjajahan Romawi sehingga yang berlaku adalah hukum / undang-undang Romawi.
Orang-orang yang menolak pembagian hukum Taurat ini, harus memilih salah satu dari 2 hal ini:
a. Seluruh hukum Taurat tidak berlaku lagi pada jaman Perjanjian Baru.
Pandangan ini pasti akan menghadapi kesukaran yang tak bisa diatasi, dengan adanya ayat-ayat seperti Matius 5:17-19 Roma 3:31, dan juga banyaknya penggunaan ayat-ayat dari hukum Taurat / Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru, baik oleh Yesus sendiri, rasul-rasul, dan penulis-penulis Perjanjian Baru. Nanti kita akan melihat lebih banyak tentang hal ini.
b. Seluruh hukum Taurat tetap berlaku dalam Perjanjian Baru.
Pandangan ini juga menghadapi problem yang tak terpecahkan, karena:
(1) Banyak ajaran dari hukum Taurat yang memang jelas-jelas tak berlaku lagi dalam Perjanjian Baru.
Misalnya: sunat, Perjamuan Paskah, larangan makan, adanya imam-imam, korban-korban, hukum-hukum tentang najis / tahir, dan sebagainya.
(2) Juga adanya Efesus 2:15 dan Kolose 2:14 yang jelas mengatakan hukum Taurat dihapuskan pada saat Kristus mati.
Baca Juga: Kekekalan Manusia Yesus
Karena kedua kemungkinan di atas (a. dan b.) sama-sama mustahil, maka penolakan terhadap pembagian hukum Taurat ini pasti merupakan pandangan yang salah.
Barnes Notes (tentang Matius 5:18): “The laws of the Jews are commonly divided into moral, ceremonial, and judicial.” [= Hukum-hukum dari orang-orang Yahudi biasanya dibagi menjadi hukum moral, ceremonial dan judicial.].
John Calvin: “15. MORAL, CEREMONIAL, AND JUDICIAL LAW DISTINGUISHED. The moral law ... The ceremonial law .... The judicial law, ... [= 15. Hukum moral, ceremonial, dan judicial dibedakan. Hukum Moral .... Hukum Ceremonial ... Hukum Judicial (undang-undang), ...] - Institutes of The Christian Religion, Book IV, Chapter 20, 15.
b) Moral Law dan Ceremonial Law; definisinya, perbedaannya dan ciri-cirinya.
Karena Civil Law tidak berhubungan dengan pembahasan kita saat ini, maka yang saya tekankan hanyalah Moral Law dan Ceremonial Law.
1. Moral Law.
A. H. Strong: “moral law. ... this law ... Is an expression of the moral nature of God, and therefore of Gods holiness,” [= hukum moral. ... hukum ini ... Adalah suatu pernyataan dari sifat dasar moral dari Allah, dan karena itu dari kekudusan / kesucian Allah,] - Systematic Theology, hal 537 (Libronix).
John Murray: “What is moral law? ... Moral law is in the last analysis but the reflection or expression of the moral nature of God. God is holy, just and good, and the law which is also holy, just and good is simply the correlate of the holiness and justice and goodness of God. Man is created in the image of God and the demand, the inescapable postulate of that relation that man sustains to God as responsible and dependent creature, is that he be conformed in the inmost fibre of his moral being and in all the conditions and activities of his person to the moral perfections of God.” [= Apakah Hukum Moral itu? ... Hukum Moral pada hakekatnya hanyalah bayangan / pantulan atau expresi dari sifat dasar moral dari Allah. Allah itu kudus / suci, adil dan baik, dan hukum yang juga adalah kudus / suci, adil dan baik hanya merupakan salah satu dari 2 hal yang berhubungan dari kekudusan dan keadilan dan kebaikan Allah. Manusia diciptakan dalam gambar Allah dan tuntutannya, dalil yang tak terhindarkan dari hubungan itu bahwa manusia menyokong Allah sebagai makhluk ciptaan yang bertanggung-jawab dan tergantung, adalah bahwa ia disesuaikan dalam karakter hakiki yang terdalam dari keberadaan moralnya dan dalam semua keadaan dan aktivitas dari pribadinya dengan kesempurnaan moral dari Allah.] - Collected Writings of John Murray, vol 1, hal 196.
Ia lalu mengutip 1Petrus 1:16 dan Matius 5:48.
1Petrus 1:16 - “sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus..
Matius 5:48 - “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”.
John Calvin: “The moral law (to begin first with it) is contained under two heads, one of which simply commands us to worship God with pure faith and piety; the other, to embrace men with sincere affection. Accordingly, it is the true and eternal rule of righteousness, prescribed for men of all nations and times, who wish to conform their lives to Gods will. For it is his eternal and unchangeable will that he himself indeed be worshiped by us all, and that we love one another. [= Hukum Moral (mulai pertama-tama dengannya) terdiri dari 2 hal utama, salah satu darinya hanya memerintahkan kita untuk berbakti / menyembah Allah dengan iman dan kesalehan yang murni; yang lain, untuk memeluk manusia dengan kasih yang tulus. Karena itu, itu adalah peraturan tentang kebenaran yang benar dan kekal, ditentukan untuk orang-orang dari semua bangsa dan jaman, yang ingin / mau menyesuaikan kehidupan mereka dengan kehendak Allah. Karena merupakan kehendakNya yang kekal dan tak bisa berubah bahwa Ia sendiri memang disembah oleh kita semua, dan bahwa kita saling mengasihi.] - Institutes of The Christian Religion, Book IV, Chapter 20, 15.
John Calvin: “It is a fact that the law of God which we call the moral law is nothing else than a testimony of natural law and of that conscience which God has engraved upon the minds of men. [= Merupakan suatu fakta bahwa hukum Allah yang kita sebut Hukum Moral bukan lain dari pada suatu kesaksian dari hukum alam dan hukum hati nurani yang telah Allah ukir pada pikiran manusia.] - Institutes of The Christian Religion, Book IV, Chapter 20, 16.
Barnes Notes (tentang Matius 5:18): “The moral laws are such as grow out of the nature of things, and which cannot, therefore, be changed - such as the duty of loving God and his creatures. These cannot be abolished, as it can never be made right to hate God, or to hate our fellow-men. Of this kind are the ten commandments, and these our Saviour has neither abolished nor superseded.” [= Hukum-hukum moral adalah hukum-hukum itu yang tumbuh dari sifat dasar dari hal-hal, dan yang karena itu tidak bisa diubah - seperti kewajiban untuk mengasihi Allah dan makhluk-makhlukNya. Ini tidak bisa dihapuskan, karena tidak pernah bisa dibuat benar untuk membenci Allah, atau untuk membenci sesama kita. Dari jenis ini adalah 10 hukum Tuhan, dan ini sang Juruselamat tidak hapuskan atau gantikan.].
John Murray: “No rational being can ever be relieved from the obligation to love the Lord our God with all the heart and soul and strength and mind, and his neighbours as himself. Moral law is the moral perfection of God coming to expression for the regulation of life and conduct.” [= Tak ada makhluk berakal bisa dibebaskan dari kewajiban untuk mengasihi Tuhan Allah kita dengan segenap hati dan jiwa dan kekuatan dan pikiran, dan sesamanya seperti dirinya sendiri. Hukum moral adalah kesempurnaan moral Allah yang dinyatakan bagi pengaturan dari kehidupan dan tingkah laku.] - Collected Writings of John Murray, vol 1, hal 196.
Ia lalu melanjutkan bahwa hukum moral ini ada dalam hati nurani manusia, sehingga manusia yang tidak mempunyai hukum Taurat (seperti bangsa-bangsa non Israel dalam jaman Perjanjian Lama) tetap bisa tahu apa yang benar dan apa yang salah. Tetapi ia juga menambahkan bahwa karena masuknya dosa, maka sekalipun tidak hilang, tetapi hati nurani itu menjadi rusak.
John Murray: “But if this is what moral law essentially is, where is it to be found? What is its content? It is true that the sense of obligation is engraven upon the moral constitution of man. It is the apostle Paul who says that the Gentiles who have not the law do by nature the things of the law, in that they show the work of the law written in their hearts, their conscience also bearing witness and their thoughts accusing or else excusing them. Man has a conscience and that mean that in some vague sense at least he recognizes that there is a distinction between right and wrong. But the conscience of man though indispensable to the fact and sense of obligation, and though not eradicated by sin, has nevertheless suffered just as much damage by the ruin of sin as does any other function or activity of his being.” [= Tetapi jika ini adalah apa hukum moral itu secara hakiki, dimana itu bisa ditemukan? Apa isinya? Adalah benar bahwa perasaan kewajiban diukir pada pembentukan moral dari manusia. Adalah rasul Paulus yang mengatakan bahwa orang-orang non Yahudi yang tidak mempunyai hukum Taurat melakukan secara alamiah hal-hal dari hukum Taurat, dalam mana mereka menunjukkan bahwa pekerjaan hukum Taurat tertulis dalam hati mereka, hati nurani mereka juga menyaksikan dan pikiran mereka menuduh atau sebaliknya membebaskan mereka (dari tuduhan). Manusia mempunyai suatu hati nurani dan itu berarti bahwa dalam arti yang kabur setidaknya ia mengenali bahwa di sana ada suatu perbedaan antara benar dan salah. Tetapi hati nurani manusia sekalipun penting / tak bisa diabaikan bagi fakta dan perasaan kewajiban, dan sekalipun tidak dihapuskan oleh dosa, bagaimanapun telah mengalami kerusakan yang sama banyaknya oleh kehancuran dosa seperti fungsi / tindakan atau aktivitas yang lain apapun dari keberadaannya.] - Collected Writings of John Murray, vol 1, hal 196.
Roma 2:14-16 - “(14) Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. (15) Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela. (16) Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus..
Ini menyebabkan hati nurani itu tidak bisa menjadi standard yang sempurna! Jadi standard yang benar hanyalah Kitab Suci / Alkitab (Collected Writings of John Murray, vol 1, hal 196-197).
John Murray: “Yes, the conscience of man may give us the dictum that there is a distinction between right and wrong, that it is right to do right and it is wrong to do wrong, but it cannot tell us what the right is, nor how we are to apply it and fulfil it. The fact is that in the matter of right and wrong we are just as dependent upon special divive revelation as we are in the realm of truth. It is the principle of our Christian faith that we have in Holy Scripture a complete, infallible and sufficient rule of duty and conduct.” [= Ya, hati nurani manusia bisa memberi kita pernyataan yang patut diperhatikan bahwa disana ada perbedaan antara benar dan salah, bahwa adalah benar untuk melakukan yang benar dan adalah salah untuk melakukan yang salah, tetapi hati nurani itu tidak bisa memberitahu kita apa yang benar itu, atau bagaimana kita harus menerapkannya dan memenuhinya. Faktanya adalah bahwa dalam persoalan benar dan salah, kita sama tergantungnya pada wahyu / penyataan khusus seperti kita ada dalam alam / dunia kebenaran. Merupakan prinsip dari iman Kristen kita bahwa kita mempunyai dalam Kitab Suci suatu peraturan yang lengkap, tak bisa salah dan cukup tentang kewajiban dan tingkah laku.] - Collected Writings of John Murray, vol 1, hal 197.
Jadi ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan tentang hukum moral:
a. Itu merupakan pantulan / bayangan atau pernyataan dari sifat dasar Allah sendiri.
b. Itu tidak bisa berubah / dihapuskan.
c. Itu berlaku untuk semua manusia dari segala jaman.
d. Itu ada dalam hati nurani manusia, tetapi karena masuknya dosa ke dalam dunia, itu menjadi kabur.
e. Karena itu manusia membutuhkan wahyu khusus, yaitu firman Tuhan, dan ini merupakan peraturan yang lengkap, sempurna, dan tak bisa salah bagi kehidupan moral kita, supaya sesuai dengan kehendak Allah.
2. Ceremonial Law.
John Calvin: “The ceremonial law was the tutelage of the Jews, with which it seemed good to the Lord to train this people, as it were, in their childhood, until the fullness of time should come (Galatians 4:3-4; cf. ch. 3:23-24), in order that he might fully manifest his wisdom to the nations, and show the truth of those things which then were foreshadowed in figures. [= Hukum Ceremonial adalah instruksi / penjagaan / perwalian bagi orang-orang Yahudi, dengan mana kelihatan baik bagi Tuhan untuk melatih bangsa ini, seakan-akan dalam masa kanak-kanak mereka, sampai kegenapan waktunya tiba (Gal 4:3-4; bdk. Galatia 3:23-24), supaya Ia bisa secara penuh / lengkap menyatakan hikmatNya kepada bangsa-bangsa, dan menunjukkan kebenaran dari hal-hal itu yang pada saat itu memberikan bayangan lebih dulu dalam gambar-gambar / simbol-simbol.] - Institutes of The Christian Religion, Book IV, Chapter 20, 15.
Galatia 4:1-4 - “(1) Yang dimaksud ialah: selama seorang ahli waris belum akil balig, sedikitpun ia tidak berbeda dengan seorang hamba, sungguhpun ia adalah tuan dari segala sesuatu; (2) tetapi ia berada di bawah perwalian dan pengawasan sampai pada saat yang telah ditentukan oleh bapanya. (3) Demikian pula kita: selama kita belum akil balig, kita takluk juga kepada roh-roh dunia. (4) Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus AnakNya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat..
Galatia 3:23-24 - “(23) Sebelum iman itu datang kita berada di bawah pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan. (24) Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman..
Charles Hodge: “The fourth class of laws are those called, positive, which derive all their authority from the explicit command of God. Such are external rites and ceremonies, as circumcision, sacrifices, and the distinction between clean and unclean meats, and between months, days, and years. The criterion of such laws is that they would not be binding unless positively enacted; and that they bind those only to whom they are given, and only so long as they continue in force by the appointment of God. Such laws may have answered important ends, and valid reasons doubtless existed why they were imposed; still they are specifically different from those commands which are in their own nature morally obligatory. The obligation to obey such laws does not arise from their fitness for the end for which they have been given, but solely from the divine command.” [= Golongan ke 4 dari hukum-hukum adalah hukum-hukum itu yang disebut hukum positif, yang mendapatkan semua otoritas mereka dari perintah yang explicit dari Allah. Yang seperti itu adalah upacara-upacara luar / lahiriah, seperti sunat, korban-korban, dan perbedaan antara daging yang tahir dan najis, dan perbedaan antara bulan-bulan, hari-hari dan tahun-tahun. Kriteria dari hukum-hukum seperti itu adalah bahwa mereka tidak mengikat kecuali disahkan secara positif; dan bahwa mereka hanya mengikat orang-orang kepada siapa hukum-hukum itu diberikan, dan hanya selama mereka tetap berlaku oleh penetapan Allah. Hukum-hukum seperti itu mungkin / bisa telah memenuhi tujuan-tujuan penting, dan tak diragukan ada alasan-alasan yang sah mengapa hukum-hukum itu diadakan; tetapi hukum-hukum itu tetap berbeda secara khusus dari perintah-perintah / hukum-hukum itu yang dalam sifat dasar mereka bersifat wajib / mengikat secara moral. Kewajiban untuk mentaati hukum-hukum seperti itu tidak muncul dari kecocokan mereka untuk tujuan untuk mana mereka telah diberikan, tetapi semata-mata dari perintah ilahi.] - Systematic Theology, vol 3, hal 269 (Libronix).
Calvin (tentang Matius 5:19): “But it is asked, were not ceremonies among the commandments of God, the least of which we are now required to observe? I answer, We must look to the design and object of the Legislator. God enjoined ceremonies, that their outward use might be temporal, and their meaning eternal. That man does not break ceremonies, who omits what is shadowy, but retains their effect. [= Tetapi ditanyakan, apakah Hukum Ceremonial tidak termasuk hukum-hukum / perintah-perintah Allah, sehingga yang terkecil darinyapun harus kita taati? Saya menjawab, Kita harus melihat pada rancangan dan tujuan dari Sang Pembuat Hukum. Allah memerintahkan Hukum Ceremonial, supaya penggunaan lahiriah mereka bersifat sementara, dan arti mereka bersifat kekal. Orang itu tidak melanggar Hukum Ceremonial, yang menghilangkan apa yang bersifat bayangan, tetapi mempertahankan arti sebenarnnya.].
John Calvin: “This fact was very clearly revealed in the ceremonies. For what is more vain or absurd than for men to offer a loathsome stench from the fat of cattle in order to reconcile themselves to God? Or to have recourse to the sprinkling of water and blood to cleanse away their filth? In short, the whole cultus of the law, taken literally and not as shadows and figures corresponding to the truth, will be utterly ridiculous. [= Fakta ini dinyatakan dengan sangat jelas dalam Ceremonial Law. Karena apa yang lebih sia-sia atau konyol / menggelikan dari pada bagi manusia untuk mempersembahkan bau busuk yang menjijikkan dari lemak dari ternak untuk mendamaikan diri mereka sendiri dengan Allah? Atau untuk mendapatkan penolong pada pemercikan air dan darah untuk membersihkan kotoran mereka? Singkatnya, seluruh sistim dari hukum, diambil secara hurufiah dan bukan sebagai bayangan-bayangan dan simbol-simbol yang sesuai dengan kebenaran, adalah menggelikan sepenuhnya.] - Institutes of The Christian Religion, Vol II, Chapter VII, 1.
Catatan: Penekanan saya dengan komentar Calvin di atas ini adalah bahwa, Ceremonial Law, ditinjau sendirian / secara hurufiah, dan dipisahkan dari tujuannya ataupun penggenapannya, merupakan sesuatu yang sepenuhnya konyol dan tak ada logikanya!!
Jadi ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan tentang Ceremonial Law:
a. Ceremonial Law berlaku hanya untuk sementara, dan berlaku hanya untuk orang-orang Israel / Yahudi, bukan untuk semua manusia.
b. Ceremonial Law diberikan oleh Allah karena ada maksud / rancangan tertentu, dan sebetulnya bukan karena pelanggaran terhadap hukum itu memang merupakan sesuatu yang salah.
c. Ceremonial Law selalu merupakan simbol / type / bayang-bayang dari sesuatu yang akan datang, dan pada waktu penggenapannya datang, maka Ceremonial Law itu dihapuskan.
d. Kalau Ceremonial Law diambil sendirian / secara hurufiah, terpisah dari artinya / tujuannya / penggenapannya, akan merupakan sesuatu yang konyol / menggelikan dan tak ada logikanya!
R. L. Dabney: If its nature is moral and practical, the substitution of the substance for the types does not supplant it. The reason that the ceremonial laws were temporary was that the necessity for them was temporary. They were abrogated because they were no longer needed. But the practical need for a Sabbath is the same in all ages. When it is made to appear that this day is the bulwark of practical religion in the world, that its proper observance everywhere goes hand in hand with piety and the true worship of God; that where there is no Sabbath there is no Christianity, it becomes an impossible supposition that God would make the institution temporary. The necessity for the Sabbath has not ceased, therefore it is not abrogated. In its nature, as well as its necessity, it is a permanent, moral command. All such laws are as incapable of change as the God in whose character they are founded. Unlike mere positive or ceremonial ordinances, the authority of which ceases as soon as God sees fit to repeal the command for them, moral precepts can never be repealed; because the purpose to repeal them would imply a change in the unchangeable, and a depravation in the perfect character of God. [= Jika sifat dasarnya bersifat moral dan praktis, maka penggantian dari substansi untuk type-nya tidak menggantikannya. Alasan bahwa hukum-hukum ceremonial bersifat sementara adalah bahwa kebutuhan untuk hukum-hukum itu bersifat sementara. Mereka dibatalkan karena mereka tidak lagi dibutuhkan. Tetapi kebutuhan praktis bagi suatu Sabat adalah sama dalam semua jaman. Pada waktu terlihat bahwa hari ini merupakan benteng dari agama praktis dalam dunia, dan bahwa dimana tidak ada Sabat tidak ada kekristenan, maka menjadi suatu anggapan yang tidak mungkin bahwa Allah membuat hukum itu bersifat sementara. Kebutuhan untuk hari Sabat belum berhenti, karena itu hukum ini tidak dibatalkan. Dalam sifat alamiahnya, maupun dalam kebutuhannya, itu merupakan suatu perintah yang bersifat kekal dan moral. Semua hukum-hukum seperti itu tidak bisa berubah, sama seperti Allah, dalam karakter siapa hukum-hukum itu didirikan. Berbeda dengan semata-mata peraturan-peraturan positif atau ceremonial / bersifat upacara, yang otoritasnya berhenti begitu Allah melihatnya cocok untuk mencabut perintah untuk mereka, perintah-perintah moral tidak pernah bisa dicabut; karena maksud untuk mencabut mereka secara implicit menunjukkan suatu perubahan di dalam ‘Yang Tak Bisa Berubah’ (Allah), dan suatu kejahatan / kerusakan dalam karakter yang sempurna dari Allah.] - Lectures in Systematic Theology, hal 379-380.
Catatan: sangat banyak penafsir yang berangggapan bahwa hukum Sabat termasuk Ceremonial Law, tetapi saya setuju dengan Dabney bahwa hukum Sabat (tak boleh bekerja, harus berbakti, dsb) termasuk Moral Law. Hanya harinya, yang dalam Perjanjian Lama adalah hari Sabtu, termasuk Ceremonial Law, dan karena itu bisa diubah menjadi Minggu dalam Perjanjian Baru.
c) Moral Law berlaku selama-lamanya / tak dihapuskan, tetapi Ceremonial law memang dihapuskan sejak saat kematian Kristus.
1. Moral Law berlaku selama-lamanya / tidak dihapuskan.
Ini akan saya bahas secara panjang lebar dalam pelajaran yang akan datang.
2. Ceremonial Law dihapuskan sejak saat kematian Kristus.
Efesus 2:15 - sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera,.
Apa alasannya untuk mengatakan bahwa hukum Taurat yang dibatalkan di sini adalah Ceremonial Law?
a. Kontext dari Efesus 2:15 menunjukkan bahwa itu merupakan pemisah antara Yahudi dan non Yahudi, dan itu pasti adalah Ceremonial Law (salah satunya adalah sunat, ay 11), karena Moral Law bukanlah pemisah antara Yahudi dan non Yahudi.
Efesus 2:11-18 - “(11) Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu - sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya sunat, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, - (12) bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. (13) Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ‘jauh,’ sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus. (14) Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, (15) sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, (16) dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. (17) Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ‘jauh’ dan damai sejahtera kepada mereka yang ‘dekat,’ (18) karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa..
William Hendriksen (tentang Efesus 2:15): The passage (verse 15) teaches that Christ, by his suffering and death, put an end to the law of ceremonies, and caused its binding power to cease. These ceremonial regulations had served their purpose. [= Textnya (ay 15) mengajarkan bahwa Kristus, oleh penderitaan dan kematianNya, mengakhiri Ceremonial Law, dan menyebabkan kuasa mengikatnya berhenti. Peraturan-peraturan Ceremonial ini telah memenuhi tujuan mereka.].
Catatan: perhatikan bahwa Ceremonial Law diberikan karena adanya tujuan tertentu, dan setelah tujuan itu tercapai, maka Ceremonial Law itu dihapuskan!
D. Martyn Lloyd-Jones (tentang Efesus 2:15): Christ has broken down the middle wall of partition, the enmity. And that is how He has done it. Christ is the end of the law for righteousness to everyone that believeth. There is no need any longer for the ceremonial and the ritual of the Jew; it has been finished. Christ is the fulfilment of it all. They were but types pointing to Him. [= Kristus telah menghancurkan tembok pemisah di tengah-tengah, permusuhan. Dan itu adalah bagaimana Ia telah melakukannya. Kristus adalah tujuan dari hukum Taurat untuk kebenaran bagi setiap orang yang percaya (Roma 10:4). Disana tidak ada lagi kebutuhan untuk Ceremonial dan upacara dari orang-orang Yahudi; itu telah diselesaikan. Kristus adalah penggenapan dari semuanya. Mereka hanyalah TYPE-TYPE yang menunjuk kepadaNya.] - An Exposition of Ephesians 2 (Libronix).
Catatan: perhatikan bahwa banyak dari Ceremonial Law yang memang merupakan type-type dari Kristus, dan karena itu pada saat anti-typenya datang, maka typenya dihapuskan!
Calvin (tentang Efesus 2:15): “It is evident, too, that Paul is here treating exclusively of the ceremonial law; for the moral law is not a wall of partition separating us from the Jews, but lays down instructions in which the Jews were not less deeply concerned than ourselves. This passage affords the means of refuting an erroneous view held by some, that circumcision and all the ancient rites, though they are not binding on the Gentiles, are in force at the present day upon the Jews. On this principle there would still be a middle wall of partition between us, which is proved to be false. [= Adalah jelas, juga, bahwa di sini Paulus sedang membicarakan / menangani Ceremonial Law secara exklusif; karena Hukum Moral bukanlah suatu tembok pemisah yang memisahkan kita dari orang-orang Yahudi, tetapi memberikan instruksi-instruksi dalam mana orang-orang Yahudi tidak kurang terlibat secara mendalam dari pada diri kita sendiri. Text ini menyediakan cara membantah pandangan yang salah yang dipegang oleh sebagian orang, bahwa sunat dan semua praktek upacara kuno, sekalipun tidak mengikat orang-orang non Yahudi, tetap berlaku pada jaman sekarang terhadap orang-orang Yahudi. Pada prinsip ini akan tetap ada suatu tembok pemisah di antara kita, yang terbukti adalah salah.].
BACA JUGA: BUKTI ALLAH TRITUNGGAL
Calvin (tentang Efesus 2:15): “What had been metaphorically understood by the word wall is now more plainly expressed. The ceremonies, by which the distinction was declared, have been abolished through Christ. What were circumcision, sacrifices, washings, and abstaining from certain kinds of food, but symbols of sanctification, reminding the Jews that their lot was different from that of other nations; [= Apa yang telah dimengerti secara simbolis oleh kata tembok sekarang dinyatakan dengan lebih jelas. Ceremonial Law, dengan mana pembedaan itu dinyatakan, telah dihapuskan melalui Kristus. Apakah sunat, korban-korban, pembasuhan-pembasuhan, dan berpantang dari jenis-jenis makanan tertentu, kecuali simbol-simbol dari pengudusan, untuk mengingatkan orang-orang Yahudi bahwa jenis / kumpulan mereka berbeda dari jenis / kumpulan dari bangsa-bangsa lain;].
Catatan: ini lagi-lagi menunjukkan tujuan dari Ceremonial Law.
Calvin (tentang Efesus 2:15): “Paul declares not only that the Gentiles are equally with the Jews admitted to the fellowship of grace, so that they no longer differ from each other, but that the mark of difference has been taken away; for ceremonies have been abolished. [= Paulus menyatakan bukan hanya bahwa orang-orang non Yahudi secara sama dengan orang-orang Yahudi diterima pada persekutuan kasih karunia, sehingga mereka tidak lagi berbeda satu dari yang lain, tetapi bahwa tanda dari perbedaan itu telah disingkirkan; karena Ceremonial Law telah dihapuskan.].
Catatan: ini menunjukkan bahwa Ceremonial Law merupakan tanda yang membedakan Yahudi dan non Yahudi.
b. Ayat paralel dari Efesus 2:15 adalah Kolose 2:14, dan seluruh kontext dari Kolose 2:14 berbicara tentang Ceremonial Law.
Kolose 2:11-23 - (11) Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, (12) karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. (13) Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, (14) dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakanNya dengan memakukannya pada kayu salib: (15) Ia telah melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dan menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenanganNya atas mereka. (16) Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus. (18) Janganlah kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat, serta berkanjang pada penglihatan-penglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi, (19) sedang ia tidak berpegang teguh kepada Kepala, dari mana seluruh tubuh, yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh urat-urat dan sendi-sendi, menerima pertumbuhan ilahinya. (20) Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia, mengapakah kamu menaklukkan dirimu pada rupa-rupa peraturan, seolah-olah kamu masih hidup di dunia: (21) jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini; (22) semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia. (23) Peraturan-peraturan ini, walaupun nampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri, menyiksa diri, tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi..
Catatan:
(1) Kata Sabat pada akhir ay16 tidak menunjuk pada Sabat Yahudi ataupun Sabat Kristen.
Adam Clarke (tentang Kolose 2:16): it is not clear that the apostle refers at all to the Sabbath in this place, whether Jewish or Christian; his sabbatoon, of sabbaths or weeks, most probably refers to their feasts of weeks,” [= sama sekali tidak jelas bahwa sang rasul menunjuk pada Sabat di tempat ini, apakah Sabat Yahudi atau Sabat Kristen; kata sabbatoon yang digunakannya, yang berarti tentang Sabat-Sabat atau minggu-minggu paling memungkinkan menunjuk pada perayaan / pesta mingguan mereka,].
(2) Yang saya beri garis bawah ganda menunjukkan bahwa itu adalah ceremonial law [= hukum yang berhubungan dengan upacara keagamaan]. Itulah surat hutang yang Kristus hapuskan di kayu salib.
BACA JUGA: PRO KONTRA PENGHAPUSAN HUKUM MORAL
Kolose 2:14 - “dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakanNya dengan memakukannya pada kayu salib:”.
KJV: ‘Blotting out the handwriting of ordinances that was against us, which was contrary to us, and took it out of the way, nailing it to his cross;’ [= Menghapuskan tulisan tangan tentang ketentuan-ketentuan hukum yang menentang kita, yang bertentangan dengan kita, dan menyingkirkannya, dengan memakukannya pada salibNya;].
Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div: meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America