SURAT KEPADA JEMAAT TIATIRA (2): WAHYU 2:18-29

PDT. BUDI ASALI, M. DIV.
SURAT KEPADA JEMAAT TIATIRA (2).Wahyu 2:18-29 - “(Wahyu 2:18) ‘Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Tiatira: Inilah firman Anak Allah, yang mataNya bagaikan nyala api dan kakiNya bagaikan tembaga: (19) Aku tahu segala pekerjaanmu: baik kasihmu maupun imanmu, baik pelayananmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa pekerjaanmu yang terakhir lebih banyak dari pada yang pertama. (20) Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau membiarkan wanita Izebel, yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hambaKu supaya berbuat zinah dan makan persembahan-persembahan berhala. (21) Dan Aku telah memberikan dia waktu untuk bertobat, tetapi ia tidak mau bertobat dari zinahnya. (22) Lihatlah, Aku akan melemparkan dia ke atas ranjang orang sakit dan mereka yang berbuat zinah dengan dia akan Kulemparkan ke dalam kesukaran besar, jika mereka tidak bertobat dari perbuatan-perbuatan perempuan itu. (23) Dan anak-anaknya akan Kumatikan dan semua jemaat akan mengetahui, bahwa Akulah yang menguji batin dan hati orang, dan bahwa Aku akan membalaskan kepada kamu setiap orang menurut perbuatannya. (24) Tetapi kepada kamu, yaitu orang-orang lain di Tiatira, yang tidak mengikuti ajaran itu dan yang tidak menyelidiki apa yang mereka sebut seluk-beluk Iblis, kepada kamu Aku berkata: Aku tidak mau menanggungkan beban lain kepadamu. (25) Tetapi apa yang ada padamu, peganglah itu sampai Aku datang. (26) Dan barangsiapa menang dan melakukan pekerjaanKu sampai kesudahannya, kepadanya akan Kukaruniakan kuasa atas bangsa-bangsa; (27) dan ia akan memerintah mereka dengan tongkat besi; mereka akan diremukkan seperti tembikar tukang periuk - sama seperti yang Kuterima dari BapaKu - (28) dan kepadanya akan Kukaruniakan bintang timur. (29) Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat.’”.
SURAT KEPADA JEMAAT TIATIRA (2)
gadget, otomotif, asuransi
b. Tulisan Pdt. Eka Darmaputera, Ph. D. yang berjudul ‘Boleh diperbandingkan, jangan dipertandingkan’:

“Sebuah dongeng Hindu. Ada seorang raja yang adil, arif lagi bijaksana. Tiga orang puteranya, semua serba gagah, tampan dan perkasa. Konon menyadari usianya yang kian uzur, sri baginda ingin mempersiapkan segala sesuatu sebaik-baiknya sebelum ajal tiba. Demikianlah ia memutuskan untuk membagi semua harta di kerajaannya menjadi tiga. Semua, tanpa boleh ada yang tersisa atau terlupa. Masing-masing puteranya harus menerima persis sepertiga. Tak ada yang lebih atau kurang. Supaya jangan ada yang bangga, dan ada yang kecewa. Titah ini segera dilaksanakan tanpa masalah. Sampai sang raja sendiri menyadari, bahwa ternyata masih ada satu yang tersisa. Yaitu cincin yang selama ini melingkar di jari manisnya. Bagaimana membaginya? Namun bukan sri baginda namanya bila tidak menemukan jalan keluar juga pada akhirnya. Dengan diam-diam dan amat rahasia, pada suatu hari, dipanggilnya pandai mas yang paling ahli di seluruh kerajaannya. Pandai mas itu dititahkannya membuat dua buah cincin lagi. Syaratnya: sama persis dalam segala hal dengan cincin yang semula. Ringkas cerita, persoalan teratasi. Namun sementara. Sebab akhirnya, lama setelah baginda wafat, tiga pangeran itu toh mafhum juga bahwa tidak semua dari tiga cincin yang ada itu ‘asli’. Mereka segera bertengkar hebat sekali, masing-masing mengklaim bahwa cincin yang lain adalah ‘tiruan’, dan cuma cincinnya sendiri yang ‘asli’. Pertengkaran itu pasti akan berkelanjutan, bila mereka tidak segera menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu pasti membuat hati mendiang ayah mereka terluka dan amat berduka. Terlebih lagi, alangkah bodohnya yang mereka lakukan itu! Bertengkar menguras enerji dan emosi untuk hal yang tak dapat mereka buktikan! Akhirnya kembali ke akal sehat mereka. Mereka masing-masing bertekad merawat cincin mereka masing-masing. Tanpa mempersoalkan, apalagi mempertengkarkan, mana yang ‘asli’ dan mana yang ‘palsu’. Sebab mengenai ini, hanya ayahanda tercinta saja yang mengetahuinya. Untuk apa ‘dongeng’ tersebut? Untuk menolong kita memasuki pembicaraan yang akan cukup rumit dan peka. Yaitu, ketika Redaksi Penuntun meminta saya menunjukkan mana di antara ketiga ‘cincin’ itu yang ‘asli’. Melalui dongeng di atas saya telah memberikan pratanda apa yang bakal menjadi jawab saya nanti. Yang pertama-tama ingin saya katakan adalah, permintaan itu aneh tetapi wajar. Bahkan, saya yakin, apa yang diminta itu, adalah pertanyaan sebagian besar pembaca juga. Yaitu, setelah artikel-artikel mengenai ajaran keselamatan dari pelbagai macam agama / kepercayaan itu, kita pasti bertanya: manakah yang benar di antara ajaran yang berbeda-beda itu? Begitu lazimnya pertanyaan itu, sehingga banyak orang tidak merasa perlu bertanya terlebih dahulu: Tepatkah pertanyaan itu? Dan mungkinkah menjawab pertanyaan itu? Ternyata cukup banyak juga yang menjawab: ‘Ya! Pertanyaan itu bukan cuma tepat, tetapi juga perlu!’ Termasuk dalam kelompok ini, adalah sebagian besar pemimpin serta penganut agama (Anda juga?). Yaitu ketika dengan keyakinan yang tidak dibuat-buat, mereka berkata, ‘Anda mau tahu mana yang benar dari antara ajaran yang bermacam-macam itu? Ya agama saya! Apa lagi?!’ Bila Anda mendengar jawaban seperti itu, anjuran saya adalah jangan mendebatnya. Mengapa? Sebab yang saya bayangkan adalah, Anda pasti akan bertanya: ‘Dari mana dan bagaimana Anda tahu bahwa cuma agama Anda yang benar?’. Iya ‘kan?” (hal 170,171).

“Orang-orang ini (dalam ilmunya) ‘memperbandingkan’ agama-agama tapi tidak ‘mempertandingkan’nya. Mereka tidak berminat untuk mencari mana yang lebih benar dan lebih unggul. Dan semua itu dilakukan dengan seilmiah serta seobyektif mungkin. Sebab itu biasanya enak dan mengasyikkan berdiskusi dengan orang-orang dari kelompok ini! Toleran, terbuka, dan simpatik! Berbeda dengan kelompok pertama.” (hal 173).

“Dengan tetap menghormati kekhasan masing-masing agama, kita harus tetap mengatakan bahwa semua agama ada pada dataran yang sama. Ada perbedaan, namun (dalam bahasa Inggris) ‘they are different in degree, but not in kind’. Berbeda dalam banyak hal, tapi tidak dalam hakikat. Secara hakiki, semua adalah satu kategori.” (hal 174).

“Dengan membuat perbandingan itu, kita dipaksa dan dilatih untuk terbuka dan rendah hati. Di samping itu, manfaat yang sering tidak kita sadari adalah: kita tidak hanya dibuat lebih mengenal kepercayaan orang lain, tetapi juga kepercayaan kita sendiri. Kita hanya dapat membuat perbandingan, apabila kita mengenal dengan baik dan dengan benar ajaran sendiri maupun ajaran orang lain, bukan? Sayang sekali, bagi banyak penganut agama polemik dan apologetik masih lebih digemari ketimbang perbandingan dan dialog. Padahal, dengan polemik dan apologetik, tanpa sadar kita terdorong untuk melebih-lebihkan diri sendiri dan mencari-cari atau menekan-nekankan kelemahan orang lain. Sikap yang tidak kristiani, bukan? Tanpa sadar kita tergiring untuk semakin menutup diri. Kehilangan kesempatan untuk belajar dari kekurangan diri sendiri dan kelebihan orang lain. Kehilangan kesempatan untuk diperkaya oleh orang lain dan sekaligus menjadi berkat bagi orang lain! Sayang sekali! Tapi itu yang sering terdengar. ‘Orang Kristen tidak perlu belajar apa-apa dari siapa-siapa! Kita sudah punya Yesus!’ Menarik sekali kata-kata ini! Tetapi naif! Sebab justru bila Anda benar-benar sudah punya Yesus maka, seperti Dia, Anda akan tahu apa artinya kerendahan hati dan ‘mengosongkan diri’, terbuka untuk belajar dari siapa saja! Justru bila Anda benar-benar sudah punya Yesus, Anda akan dapat mendemonstrasikan iman yang seperti kanak-kanak bukan iman Farisi yang penuh dengan keangkuhan hati!” (hal 174-175).

Komentar saya:

(1) Cerita tentang raja, 3 anaknya dan cincin, dikatakan oleh penulis ini sebagai pratanda terhadap jawabannya terhadap pertanyaan: ‘mana agama yang benar?’. Ini secara implicit menunjukkan bahwa penulis ini beranggapan bahwa kita tidak bisa mengetahui mana agama yang benar dan mana agama yang salah. Pandangan semacam ini jelas merupakan pandangan sesat yang bukan hanya bertentangan dengan Alkitab, tetapi juga merendahkan dan tidak mempercayai Alkitab. Alkitab sendiri menyatakan bahwa Kitab Suci kita bermanfaat untuk menyatakan kesalahan dan mendidik orang dalam kebenaran (2Timotius 3:16). Dan Alkitab juga menyatakan bahwa Yesus mengclaim diriNya sebagai ‘jalan, kebenaran dan hidup’ sehingga tanpa Dia tak seorangpun sampai kepada Bapa (Yoh 14:6). Saya bertanya-tanya dalam hati saya sendiri: apa makna ayat-ayat seperti itu bagi penulis ini?

(2) Penulis ini mengatakan bahwa ‘berapologetik’ merupakan ‘sikap yang tidak kristiani’! Ada 2 hal yang ingin saya persoalkan tentang hal ini.

Yang pertama: mungkin karena ia terlalu banyak belajar dari orang agama lain, maka ia tidak mempunyai waktu untuk membaca / mempelajari Kitab Sucinya sendiri, sehingga ia belum pernah membaca atau menyelidiki 1Petrus 3:15b yang berbunyi: “Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu,”. Perlu diketahui bahwa kata ‘pertanggungan jawab’ dalam 1Petrus 3:15b ini diterjemahkan dari kata bahasa Yunani APOLOGIAN, dari mana kata ‘Apologetik’ berasal! Ini berarti bahwa ayat ini justru mengharuskan orang kristen untuk berapologetik! Juga kalau kita melihat kehidupan dan pelayanan Paulus maupun Stefanus dalam Kisah Para Rasul, maka kita akan melihat bahwa mereka sering berdebat / berapologetik (Kisah Para Rasul 6:8-10 Kis 9:22,29 dsb).

Yang kedua: sebetulnya dengan mengatakan bahwa berapologetik merupakan sikap yang tidak kristiani, dan juga dengan memberikan cerita tentang raja dan ke 3 anaknya itu, maka ia sendiri sudah berapologetik. Ia berapologetik bahwa orang kristen tidak boleh berapologetik! Bukankah ini menggelikan dan bodoh? Tidak usah heran bahwa ia bisa sampai pada kesimpulan bodoh seperti itu, karena apologetiknya tidak menggunakan Kitab Suci tetapi hanya menggunakan sebuah dongeng Hindu!

(3) Juga ‘berapologetik’ sama sekali tidak berarti ‘melebih-lebihkan diri sendiri, ataupun mencari-cari dan menekan-nekankan kelemahan orang lain’, tetapi ‘membela ajaran kristen terhadap serangan pihak non kristen’, bukan hanya dengan tujuan menguatkan orang-orang kristen terhadap serangan pihak luar, tetapi sekaligus untuk memberitakan Injil terhadap si penyerang dan mempertobatkannya / menyelamatkannya (ini jelas mempunyai motivasi kasih!). Dan dalam berapologetik harus ada sikap jujur dan tulus, bukan ‘melebih-lebihkan diri sendiri, ataupun mencari-cari dan menekan-nekankan kelemahan orang lain’, yang secara implicit menunjukkan suatu sikap yang tidak jujur. Dengan memberi definisi seenaknya tentang apologetik, penulis ini ingin orang mempercayainya bahwa berapologetik itu tidak baik!

(4) Penulis ini mengatakan bahwa ‘semua agama ada pada dataran yang sama. ... Berbeda dalam banyak hal, tapi tidak dalam hakikat. Secara hakiki, semua adalah satu kategori.’. Ini menunjukkan bahwa ia tidak mengerti inti kekristenan maupun agama lain, yang jelas bukan hanya berbeda tetapi bahkan bertolak belakang!

(5) Hal lain yang perlu dibahas dari kata-kata di atas adalah kata-kata “justru bila Anda benar-benar sudah punya Yesus maka, seperti Dia, Anda akan tahu apa artinya kerendahan hati dan ‘mengosongkan diri’, terbuka untuk belajar dari siapa saja!”. Lagi-lagi penulis ini rupanya tidak pernah mempelajari kata-kata Yesus yang berkata kepada murid-muridNya:

(a) “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.” (Matius 7:15).

(b) “‘Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap ragi orang Farisi dan Saduki.’” (Matius 16:6). Bandingkan juga dengan Matius 16:12 yang menunjukkan bahwa kata ‘ragi’ di sini menunjuk pada ‘ajaran’.

(c) “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu!” (Matius 24:4).

Dari ayat-ayat ini terlihat dengan jelas bahwa Yesus tidak pernah mengajarkan ‘kerendahan hati / pengosongan diri’ dalam arti ‘terbuka untuk belajar dari siapa saja’! Bdk. juga dengan 1Yohanes 4:1-3.

(6) Mengatakan bahwa kita perlu belajar dari orang beragama lain, sekalipun seolah-olah merupakan sikap yang rendah hati tetapi sebetulnya merupakan sikap yang merendahkan Kitab Suci kita sendiri. Kitab Suci kita adalah Firman Allah yang sudah lengkap, dan juga merupakan satu-satunya Firman Allah. Karena itu, dalam persoalan kebenaran ROHANI, kita tidak perlu belajar dari orang yang beragama lain! Kita tentu harus terbuka dalam arti mau mengadakan diskusi / dialog dengan orang beragama lain, tetapi tujuannya bukan untuk belajar kebenaran rohani dari mereka, tetapi sebaliknya untuk mengajarkan kebenaran rohani kepada mereka, atau dengan kata lain, untuk memberitakan Injil dan mempertobatkan mereka!

c) Kata ‘membiarkan’ ini lagi-lagi menunjukkan kontras antara gereja Efesus dengan gereja Tiatira, tetapi di sini gereja Efesusnya yang baik sedangkan gereja Tiatiranya yang jelek.

John Stott: “It permitted one of its members to teach outrageous licence and apparently made no attempt to restrain her. In this too the church of Thyatira was the opposite of the church of Ephesus. Ephesus could not bear evil, self-styled apostles but had no love (2:2,4); Thyatira had love but tolerated an evil, self-styled prophetess.” [= Gereja ini membiarkan salah seorang anggotanya untuk mengajarkan kebebasan yang memalukan dan kelihatannya tidak berusaha untuk mengekangnya. Dalam hal ini gereja Tiatira juga bertolak belakang dengan gereja Efesus. Efesus tidak dapat sabar terhadap rasul-rasul gadungan yang jahat, tetapi tidak mempunyai kasih (2:2,4); Tiatira mempunyai kasih tetapi menoleransi seorang nabiah gadungan yang jahat.] - hal 71.

John Stott: “Ephesus ‘hated’ the works of the Nicolaitans and could not endure them (vv. 2,6); Pergamum ‘had’ some who held the doctrine of Balaam and of the Nicolaitans (vv. 14,15); but Thyatira actually ‘tolerated’ them (v. 20). The Christians of Thyatira seem to have had either a very poor conscience or a very feeble courage. They were as weak and spineless towards the new Jezebel as Ahab had been towards the old.” [= Efesus ‘membenci’ pekerjaan dari para pengikut Nikolaus dan tidak dapat sabar terhadap mereka (ay 2,6); Pergamus ‘mempunyai’ beberapa orang yang memegang ajaran Bileam dan Nikolaus (ay 14,15); tetapi Tiatira betul-betul ‘menoleransi’ mereka (ay 20). Orang-orang Kristen di Tiatira kelihatannya mempunyai hati nurani yang sangat jelek atau keberanian yang sangat lemah. Mereka sama lemah dan tak bertulangnya terhadap Izebel yang baru seperti Ahab terhadap Izebel yang lama / dulu.] - hal 74.

Catatan: ‘tak bertulang’ = lemah.

Steve Gregg: “There is a striking contrast between this church and that in Ephesus, for the church in Thyatira was not defective in love, whereas Ephesus had abandoned its first love. But while Ephesus had no tolerance for error and false messengers, Thyatira’s fault was a willingness to ‘allow that woman Jezebel who calls herself a prophetess, to teach and seduce My servants to commit sexual immorality and eat things sacrificed to idols’ (v. 20). This contrast points up the difficulty of striking a balance between a generous and forgiving love and a proper intolerance for heresy and sin in the church.” [= Ada kontras yang menyolok antara gereja ini dan gereja Efesus, karena gereja di Tiatira tidak cacat dalam kasih, sedangkan Efesus telah meninggalkan kasih yang semula / pertama. Tetapi sementara Efesus tidak mempunyai toleransi untuk kesalahan dan utusan-utusan palsu, kesalahan Tiatira adalah kerelaan untuk ‘membiarkan wanita Izebel, yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hambaKu supaya berbuat zinah dan makan persembahan-persembahan berhala’ (ay 20). Kontras ini menunjukkan sukarnya menjaga keseimbangan antara ‘kasih yang murah hati dan mengampuni’ dan ‘ketidak-toleransian yang benar terhadap kesesatan dan dosa dalam gereja’.] - hal 71.

Pulpit Commentary: “In Ephesus there is much zeal for orthodoxy, but little love; in Thyatira there is much love, but a carelessness about false doctrine.” [= Di Efesus ada banyak semangat untuk ke-orthodox-an, tetapi sedikit kasih; di Tiatira ada banyak kasih, tetapi ceroboh tentang doktrin / ajaran sesat.] - hal 65.

6) James B. Ramsey menyoroti Wahyu 2: 19 dan Wahyu 2: 20 bersama-sama, dan lalu memberikan komentar sebagai berikut:

“Does not Thyatira thus set forth a type of church character, which, sad to say, has been widely and fearfully realized? Have not intense activity, earnest zeal in works of charity, in ministering to the wants and woes of suffering man, and faith and patience in enduring all the toils and self-denials which this has demanded, been found often in a church side by side with great charity to soul-destroying error and its teachers? Let the churches remember that there is no such system of compensations in the spiritual kingdom, as will allow zeal in one thing to make up for neglect of another. Works of charity cannot compensate for indifference to truth.” [= Apakah Tiatira tidak diajukan sebagai gambaran dari karakter gereja, yang dengan sedih harus dikatakan, telah terjadi secara luas dan menakutkan? Bukankah aktivitas yang hebat, semangat yang sungguh-sungguh dalam pekerjaan kasih, dalam melayani kebutuhan dan kesengsaraan orang-orang yang menderita, dan iman dan kesabaran dalam menanggung semua jerih payah dan penyangkalan diri yang dituntut oleh hal ini, telah sering ditemukan dalam sebuah gereja di sisi ‘kemurahan hati / kasih’ yang besar terhadap kesalahan yang menghancurkan jiwa dan pengajar-pengajarnya? Biarlah gereja-gereja mengingat bahwa tidak ada sistim kompensasi dalam kerajaan rohani, yang mengijinkan semangat di satu hal untuk mengompensasi pengabaian dalam hal lain. ‘Pekerjaan kasih’ tidak bisa menggantikan ‘ketidak-acuhan terhadap kebenaran’.] - hal 158.

Wahyu 2: 21: “Dan Aku telah memberikan dia waktu untuk bertobat, tetapi ia tidak mau bertobat dari zinahnya.”.

1) Adalah sesuatu yang luar biasa bahwa Kristus begitu sabar terhadap nabiah palsu ini. Tetapi andaikata Ia tidak begitu sabar terhadap orang berdosa, apa yang terjadi dengan diri kita sendiri?

Tetapi kata-kata ‘Aku memberi dia waktu untuk bertobat’ juga menunjukkan bahwa kesabaran Tuhan terhadap dosa kita ada batasnya, dan kalau waktu untuk bertobat itu tidak digunakan dengan baik, maka ada saatnya Tuhan pasti menghukum. bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:

Roma 2:4-5 - “(4) Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahanNya, kesabaranNya dan kelapangan hatiNya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan? (5) Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan.”.

Lukas 13:6-9 - “(6) Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini: ‘Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya. (7) Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! (8) Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, (9) mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!’”.

2) Kata ‘zinah’ di sini seharusnya adalah ‘percabulan’.

A. T. Robertson: “PORNEIA (fornication) here, but MOICHEUO (to commit adultery) in verse 22.” [= PORNEIA (percabulan) di sini, tetapi MOICHEUO (berzinah) dalam ayat 22.] - hal 309.

3) ‘ia tidak mau bertobat’.

KJV: ‘she repented not’ [= ia tidak bertobat].

RSV: ‘she refuses to repent’ [= ia menolak untuk bertobat].

NIV: ‘she is unwilling’ [= ia tidak mau].

NASB: ‘she does not want to repent’ [= ia tidak mau bertobat].

Seringkali seseorang tidak mau bertobat dari dosanya (termasuk perzinahan / percabulan), karena ia menghibur dirinya sendiri dalam dosa itu, dengan memberi nama lain terhadap dosa itu, sehingga tidak menunjukkan hal itu sebagai dosa.

Contoh:

a) Seorang laki-laki memandangi seorang wanita (yang bukan istrinya), dan pada waktu ditegur, lalu menjawab: ‘Aku kan sedang mengagumi keindahan ciptaan Tuhan?’.

b) Gara-gara foto telanjang / setengah telanjang pada sampul majalah, maka ada acara TV beberapa waktu yang lalu (tgl 2 Agustus 1999) yang mempersoalkan pertanyaan: ‘Telanjang: porno atau seni?’. Menyebut ‘telanjang’ dengan istilah ‘seni’ menunjukkan suatu penyebutan terhadap dosa dengan nama lain sehingga tidak menunjukkan dosa.

Kalau kita mau bertobat, kita harus belajar untuk menyebut dosa sebagai dosa!

Wahyu 2: 22-23: “(22) Lihatlah, Aku akan melemparkan dia ke atas ranjang orang sakit dan mereka yang berbuat zinah dengan dia akan Kulemparkan ke dalam kesukaran besar, jika mereka tidak bertobat dari perbuatan-perbuatan perempuan itu. (23) Dan anak-anaknya akan Kumatikan dan semua jemaat akan mengetahui, bahwa Akulah yang menguji batin dan hati orang, dan bahwa Aku akan membalaskan kepada kamu setiap orang menurut perbuatannya.”.

1) ‘Aku akan melemparkan dia ke atas ranjang orang sakit’.

a) Terjemahan bagian ini.

KJV: ‘I will cast her into a bed’ [= Aku akan melemparkan dia ke atas sebuah ranjang].

NASB: ‘I will cast her upon a bed of sickness’ [= Aku akan melemparkan dia ke atas sebuah ranjang kesakitan].

NIV: ‘I will cast her on a bed of suffering’ [= Aku akan melemparkan dia ke atas sebuah ranjang penderitaan].

Sebetulnya yang memberikan terjemahan hurufiah adalah KJV, karena kata-kata ‘orang sakit’ / ‘kesakitan’ / ‘penderitaan’ sebetulnya tidak ada, dan hanya merupakan penafsiran.

William Hendriksen: “she is going to be cast upon a bed, that is, stricken with sickness;” [= ia akan dilemparkan ke atas ranjang, yaitu, dihajar dengan penyakit;] - hal 72.

Tetapi penafsiran ini mempunyai dasar, yaitu latar belakang Ibrani.

Beasley-Murray: “To fall on a bed is a Hebraistic expression for becoming ill. To throw on a bed is to inflict illness.” [= ‘Jatuh ke atas ranjang’ merupakan suatu ungkapan Ibrani untuk ‘menjadi sakit’. ‘Melemparkan ke atas ranjang’ berarti ‘memberi penyakit’.] - hal 91.

b) Hukumannya berhubungan dengan dosanya.

Sesuatu yang menarik dalam hal ini adalah bahwa dosa dan hukumannya itu berhubungan. Dosanya adalah dimana ia melakukan perzinahan di atas ranjang, dan hukumannya adalah dimana ia dilemparkan ke atas ranjang (menjadi sakit).

James B. Ramsey: “Her sin becomes her punishment. She is to find the bed of her pleasures the bed of helplesness and wasting disease,” [= Dosanya menjadi hukumannya. Ia akan menjumpai ranjang kesenangannya sebagai ranjang ketidak-berdayaan dan penyakit yang menghancurkan,] - hal 157.

Geoffrey B. Wilson: “Christ will turn Jezebel’s bed of pleasure into a bed of suffering,” [= Kristus akan membalik ranjang kesenangan Izebel menjadi ranjang penderitaan,] - hal 38.

Mungkin Tuhan melakukan hal ini supaya di atas ranjang penderitaannya itu ‘wanita Izebel’ itu bisa menyadari / teringat akan dosa-dosanya / perzinahannya yang ia lakukan di atas ranjang yang sama, dan bertobat.

2) ‘mereka yang berbuat zinah dengan dia akan Kulemparkan ke dalam kesukaran besar, jika mereka tidak bertobat dari perbuatan-perbuatan perempuan itu.’.

a) Ini adalah perzinahan jasmani.

Ada yang beranggapan bahwa ‘berbuat zinah’ di sini adalah penyembahan berhala, yang memang sering disebut sebagai ‘perzinahan rohani’ (Yeremia 3:6-10 Yeh 16 Yeh 23 bdk. 2Korintus 11:2). Tetapi mengingat bahwa dalam pesta / perayaan kafir sering ada perzinahan jasmani, maka saya lebih condong untuk beranggapan bahwa perzinahan di sini adalah perzinahan jasmani. Juga hukuman Tuhan dengan melemparkan wanita Izebel itu ke atas ranjang orang sakit, kelihatannya menunjukkan bahwa dosanya juga berhubungan dengan ranjang. Jadi itu menunjuk pada perzinahan jasmani.

b) Pada waktu terjadi perzinahan, maka kedua belah pihak dihukum.

Kalau tadi terlihat bahwa ‘wanita Izebel’nya dihukum, maka sekarang ditunjukkan bahwa orang-orang kristen yang berzinah dengannya juga akan dihukum / dihajar, kalau mereka tidak bertobat.


Orang yang menggoda orang kristen untuk berzinah memang adalah orang brengsek dan harus dihukum, tetapi orang kristen yang menyerah pada godaan itu dan yang lalu jatuh ke dalam perzinahan, akan sama-sama dihukum / dihajar.

c) ‘kesukaran besar’.

Ada yang menafsirkan bahwa ini menunjuk kepada ‘masa kesukaran besar’ (‘The Great Tribulation’) yang akan datang menjelang kedatangan Yesus yang keduakalinya, dan lalu mengatakan bahwa orang-orang yang mengalami hukuman ini jelas adalah orang yang tidak sungguh-sungguh kristen, karena orang kristen sejati tidak akan mengalami masa kesukaran besar.

Theodore H. Epp: “Mereka yang melakukan perzinahan dengan Izebel itu akan dibuang ke dalam kesukaran besar kecuali kalau mereka bertobat. Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang itu adalah mereka yang belum dilahirkan kembali. Wahyu pasal 3 menulis tentang perjanjian orang-orang beriman yang tidak melakukan hal di atas: ‘Maka oleh sebab engkau sudah memeliharakan pengajaranKu dari hal sabar itu, Akupun akan memeliharakan engkau dari pada masa pencobaan yang akan datang ke atas segala isi dunia, supaya mencoba segala orang yang duduk di bumi’ (kutipan ini dari Alkitab terjemahan lama. Dalam terjemahan baru hal ini tidak disebutkan secara lengkap). Hal ini akan membantu memecahkan salah satu pertentangan yang kini sedang tersebar luas di antara orang-orang yang percaya akan Alkitab. Dua ayat dari Alkitab ini mengatakan dengan jelas kepada kita siapa yang akan masuk dalam kesukaran dan siapa yang tidak akan mengalaminya. Mereka yang belum dilahirkan kembali, adalah orang-orang yang akan dibuang ke dalam kesukaran yang akan datang itu. Orang-orang yang sudah lahir baru, sesuai dengan perjanjian Juruselamat kita, tidak akan melewati kesukaran besar yang akan datang itu.” - ‘Kristus Berkata-kata kepada GerejaNya’, hal 78.

Catatan:

1. Ayat dari Wahyu 3 yang dimaksudkannya adalah Wah 3:10. Tetapi saya tidak terlalu melihat perbedaan antara Terjemahan Lama dengan Terjemahan Baru.

Wahyu 3:10 (TB): “Karena engkau menuruti firmanKu, untuk tekun menantikan Aku, maka Akupun akan melindungi engkau dari hari pencobaan yang akan datang atas seluruh dunia untuk mencobai mereka yang diam di bumi.”.

2. Apa yang dikatakan oleh Theodore H. Epp di atas merupakan ajaran Dispensationalisme, yang menganggap bahwa orang kristen sejati akan mengalami ‘rapture’ [= pengangkatan] sebelum tibanya masa kesukaran besar, sehingga tidak mengalami masa kesukaran besar itu.

Saya berpendapat bahwa sedikitnya ada 2 kesalahan dalam kata-kata Theodore H. Epp ini:

a. Saya berpendapat bahwa ‘kesukaran besar’ di sini bukanlah ‘masa kesukaran besar’ yang akan terjadi menjelang kedatangan Kristus yang keduakalinya, tetapi kesukaran besar biasa. Saya juga tidak yakin bahwa Wahyu 3:10 menunjuk pada masa kesukaran besar. Tentang apa arti dari Wah 3:10 ini kita akan mempelajarinya nanti pada waktu membahas surat kepada gereja Filadelfia (Wah 3:7-13).

b. Orang Kristen yang masih hidup pada saat terjadinya ‘masa kesukaran besar’ itu, akan mengalami masa kesukaran besar itu (bdk. Wahyu 7:14 - ‘Mereka ini adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar;’).

Saya berpendapat bahwa ajaran Dispensationalisme, yang mengatakan bahwa orang kristen akan diangkat / mengalami rapture sebelum masa kesukaran besar ini, bukan saja salah, tetapi juga berbahaya. Mengapa? Karena ajaran ini menyebabkan orang kristen tidak merasa perlu untuk bersiap sedia menghadapi masa kesukaran besar tersebut, sehingga pada saat masa kesukaran besar itu terjadi, maka mereka tidak akan bisa menghadapinya dengan baik / benar.

Dan celakanya dalam persoalan ini yang mengikuti pandangan ini sangat banyak, yaitu hampir seluruh Kharismatik dan juga sebagian dari Protestan.

3) ‘Dan anak-anaknya akan Kumatikan’.

a) Kata ‘nya’ menunjuk kepada ‘wanita Izebel’, karena kata ‘nya’ itu ada dalam bentuk ‘feminine’ [= perempuan], dan karenanya diterjemahkan ‘her’ dalam bahasa Inggris.

b) Apa arti dari ‘anak-anak’?

Steve Gregg: “Her ‘children’ may be her followers or her natural offspring.” [= ‘Anak-anak’nya mungkin adalah para pengikutnya atau betul-betul keturunannya.] - hal 71.

1. Kalau diartikan ‘keturunan jasmani’.

Pembunuhan anak sebagai hukuman sering terjadi dalam Kitab Suci, seperti dalam kasus tulah ke 10 di Mesir (Keluaran 12:29-30), dalam kasus Daud (2Samuel 12:14-23), dan dalam kasus Yerobeam (1Raja 14:1-18). Mungkin karena Tuhan tahu itu adalah sangat menyakitkan.

Tetapi awas, kalau saudara menghadapi orang yang kematian anak, jangan menghakimi dengan mengatakan itu pasti terjadi karena hukuman Tuhan atas dosa mereka. Kematian anak juga bisa terjadi bukan sebagai hukuman Tuhan, tetapi sebagai serangan setan, misalnya dalam kasus Ayub (Ayub 1:18-19).

2. Kalau diartikan ‘pengikut’.

James B. Ramsey lebih memilih arti ‘pengikut’ dari pada ‘anak secara jasmani’. Kalau ini memang menunjuk kepada orang kristen yang telah mengikuti Izebel itu, maka jelas bahwa orang kristen itu adalah orang kristen KTP. Tuhan tidak akan pernah menghukum anak-anakNya yang sejati dengan hukuman mati. Bahkan dalam arti yang ketat, Tuhan tidak pernah bisa menghukum anak-anakNya yang sejati, karena semua hukuman sudah ditanggung oleh Kristus (Roma 8:1). Tuhan memang masih bisa menghajar anak-anakNya, tetapi karena hajaran ini ditujukan untuk memperbaiki mereka (Ibr 12:5-11), maka tidak mungkin Ia memberikan hajaran dalam bentuk kematian. Memang orang kristen yang sejati tentu akan mati, tetapi status kematian itu bukan ‘hukuman’ ataupun ‘hajaran’ tetapi sekedar ‘pemanggilan pulang’.

4) ‘dan semua jemaat akan mengetahui, bahwa Akulah yang menguji batin dan hati orang, dan bahwa Aku akan membalaskan kepada kamu setiap orang menurut perbuatannya.’.

a) Allah menghukum supaya jemaat mengetahui kemahatahuan dan keadilanNya (bdk. Keluaran 14:4 Yeh 11:10-11). Tetapi kadang-kadang Allah melakukan sebaliknya, yaitu mengampuni / tidak menghukum, supaya orang mengenal Dia (Yeh 20:44). Dengan kadang-kadang melakukan yang pertama dan kadang-kadang melakukan yang kedua, Allah menunjukkan kepada manusia akan kedaulatanNya (Ia berhak memilih Ia mau melakukan yang mana, menghukum atau mengampuni), dan juga akan kasih dan keadilanNya.


b) Kata-kata “Akulah yang menguji (Lit: ‘menyelidiki’) batin dan hati orang” di sini berhubungan dengan penggambaran tentang Yesus dalam ay 18: ‘mataNya bagaikan nyala api’.

William Hendriksen: “His penetrating eyes see the hidden motive that makes people follow Jezebel, namely, unwillingness to suffer persecution for the sake of Christ.” [= MataNya yang bisa menembus melihat motivasi yang tersembunyi yang membuat orang-orang mengikuti Izebel, yaitu, ketidak-relaan untuk mengalami penganiayaan demi Kristus.] - hal 72.

Orang-orang itu pasti mempunyai segala macam alasan untuk membenarkan tindakan mereka dalam mengikuti ‘wanita Izebel’ itu. Alasan-alasan itu bisa saja mengelabui manusia, tetapi tidak bisa mengelabui Tuhan. Tuhan tahu bahwa alasan sebenarnya adalah: mereka tidak rela menderita bagi Dia.SURAT KEPADA JEMAAT TIATIRA (2)

-bersambung-
Next Post Previous Post