KANON DAN PENGKANONAN ALKITAB
Pdt.Budi Asali, M.Div.
Istilah / kata ‘kanon’ berasal dari bahasa Yunani yang berasal dari bahasa Ibrani QANEH, yang arti sebenarnya adalah alat pengukur, tetapi yang belakangan digunakan dalam arti simbolis dan menunjuk pada ‘peraturan / kaidah tingkah laku’. Kata ini juga mendapat tempat bahasa gereja. Mula-mula kata itu menunjuk pada Pengakuan Iman yang sudah diformulasikan, atau doktrin gereja secara umum.
Juga menunjuk pada peraturan-peraturan gereja yang bermacam-macam, dan juga sekedar dalam arti suatu ‘daftar’, atau ‘seri’, yang kelihatannya diterapkan pada Alkitab. Dalam penggunaan dalam bahasa Yunani, kata ‘kanon’ kelihatannya pertama-tama diartikan sebagai daftar dari tulisan-tulisan kudus, tetapi dalam bahasa Latin kata itu menjadi nama / sebutan dari Kitab Suci sendiri, dan dengan demikian menunjukkan bahwa Kitab Suci merupakan peraturan / kaidah dari tingkah laku / tindakan yang mempunyai otoritas ilahi (The New Bible Dictionary, hal 186).
Pada jaman sekarang kata ‘kanon’ menunjuk pada daftar kitab-kitab yang termasuk dalam Kitab Suci.
II) Pengkanonan Alkitab.
1) Perjanjian Lama.
a) Tentang kanon Perjanjian Lama tidak ada persoalan, karena pada jaman Yesus hidup di dunia ini, kanon Perjanjian Lama itu sudah lengkap, dan Yesus tidak mengubahnya sehingga dianggap sebagai menyetujuinya.
‘Eerdmans’ Family Encyclopedia of the Bible’: “It is not possible to know for certain how the Old Testament came together in the collection of books we know now. But we do know which books made up the Old Testament in the period just before the birth of Jesus, and we can know which books Jesus and his apostles would have regarded as their ‘Bible’. ... It is clear that by the time of Jesus the Hebrew Scriptures usually consisted of the thirty-nine books we know today as the Old Testament” (= Tidak memungkinkan untuk mengetahui dengan pasti bagaimana Perjanjian Lama bisa terkumpul bersama-sama dalam kumpulan kitab-kitab yang kita ketahui sekarang. Tetapi kami tahu kitab-kitab mana yang membentuk Perjanjian Lama pada jaman persis sebelum kelahiran Yesus, dan kami tahu kitab-kitab mana yang dianggap oleh Yesus dan rasul-rasulNya sebagai ‘Alkitab’ mereka. ... Adalah jelas bahwa pada jaman Yesus Kitab Suci Ibrani umumnya terdiri dari 39 kitab yang kita kenal sekarang sebagai Perjanjian Lama) - hal 66.
Halley’s Bible Handbook: “In Jesus’ day this book was called ‘The Scriptures,’ and was taught regularly and read publicly in synagogs. It was commonly regarded among the people as the ‘Word of God.’ Jesus himself repeatedly called it the ‘Word of God.’ ... These ‘Scriptures’ were composed of the 39 books which constitute our Old Testament, though under a different arrangement. ... when this group of books was completed, and set apart as the definitely recognized Word of God, is involved in obscurity. The Jews’ tradition was that it was done by Ezra” (= Pada jaman Yesus buku ini disebut ‘Kitab Suci’, dan diajarkan secara teratur dan dibacakan di depan umum dalam sinagog-sinagog. Pada umumnya itu dianggap di antara umat / bangsa itu sebagai ‘Firman Allah’. Yesus sendiri berulangkali menyebutnya ‘Firman Allah’. ... ‘Kitab Suci’ ini terdiri dari 39 kitab yg membentuk Perjanjian Lama kita, sekalipun dalam susunan yang berbeda. ... kapan kumpulan kitab-kitab ini diselesaikan, dan dipisahkan sebagai Firman Allah yang diakui dengan pasti, merupakan sesuatu yang kabur / tidak jelas. Tradisi Yahudi mengatakan bahwa itu dilakukan oleh Ezra) - hal 405.
Halley’s Bible Handbook: “Josephus considered the Old Testament Canon as fixed from the days of Artaxerxes, time of Ezra. Here are his words: ‘We have but 22 books, containing the history of all time, books that are believed to be divine. Of these, 5 belong to Moses, containing his laws and the tradition of the origin of mankind down to the time of his death. From the death of Moses to the reign of Artaxerxes the prophets who succeeded Moses wrote the history of the events that occurred in their own time, in 13 books. The remaining 4 books comprise hymns to God and precepts for the conduct of human life. From the days of Artaxerxes to our own times every event had indeed been recorded; but these recent records have not been deemed worthy of equal credit with those which preceded them, on account of the failure of the exact succession of the prophets. There is practical proof of the spirit in which we treat our Scriptures; for, although so great an interval of time has now passed, not a soul has ventured to add or to remove or to alter a syllable, and it is the instinct of every Jew, from the day of his birth, to consider these Scriptures as the teaching of God, and to abide by them, and, if need be, cheerfully to lay down his life in their behalf.’” (= Yosephus menganggap kanon Perjanjian Lama sebagai tertentu dari jaman Artaxerxes, pada jaman Ezra. Inilah kata-katanya: ‘Kami mempunyai hanya 22 kitab, berisi / memuat sejarah dari semua jaman / waktu, kitab-kitab yang dipercaya sebagai ilahi. Dari kitab-kitab ini, 5 adalah milik Musa, berisikan hukum-hukumnya dan tradisi tentang asal mula dari umat manusia sampai saat kematiannya. Dari saat kematian Musa sampai masa pemerintahan Artaxerxes, nabi-nabi yang menggantikan Musa menulis sejarah dari kejadian-kejadian yang terjadi pada jaman mereka sendiri, dalam 13 kitab. 4 kitab yang tersisa terdiri dari nyanyian pujian bagi Allah dan peraturan-peraturan untuk tingkah laku dari kehidupan manusia. Dari jaman Artaxerxes sampai jaman kami setiap kejadian memang telah dicatat; tetapi catatan-catatan yang terakhir ini tidak dianggap sama layaknya dengan catatan-catatan yang lebih dulu, karena kegagalan dari penggantian / rangkaian yang tepat / terperinci dari nabi-nabi. Ada bukti praktis dari semangat dengan mana kami memperlakukan Kitab Suci kami; karena, sekalipun ada jangka waktu yang begitu lama telah berlalu, tidak satu jiwapun yang berani menambahkan atau membuang atau mengubah satu suku katapun, dan merupakan naluri dari setiap orang Yahudi, sejak saat kelahirannya, untuk menganggap Kitab Suci ini sebagai ajaran Allah, dan mentaatinya, dan jika diperlukan, dengan gembira menyerahkan nyawanya, demi kepentingannya’.) - hal 405-406.
Halley’s Bible Handbook: “This testimony is of no small value. Josephus was born A. D. 37 in Jerusalem, of priestly aristocracy. He received an extensive education in Jewish and Greek culture. He was governor of Galilee and military commander in the wars with Rome, and was present at the destruction of Jerusalem. These words of Josephus are unquestionable testimony to the belief of the Jewish nation of Jesus’ day as to what books comprised the Hebrew Scriptures, and that that collection of books had been completed and fixed for 400 years preceding his time” (= Kesaksian ini tidak kecil nilainya. Yosephus dilahirkan pada tahun 37 M. di Yerusalem, dari keturunan imam. Ia menerima suatu pendidikan yang luas dalam kebudayaan Yahudi dan Yunani. Ia adalah gubernur dari Galilea dan komandan militer dalam perang dengan Roma, dan ia hadir pada saat penghancuran Yerusalem. Kata-kata Yosephus ini merupakan kesaksian yang tidak diragukan terhadap kepercayaan dari bangsa Yahudi dari jaman Yesus berkenaan dengan kitab-kitab apa yang dicakup oleh Kitab Suci Ibrani, dan bahwa kumpulan kitab-kitab itu telah diselesaikan / dilengkapi dan tetap / tertentu untuk 400 tahun sebelum jamannya) - hal 406.
Jadi Pengkanonan, Perjanjian Lama dalam jaman Yesus sudah ditetapkan kira-kira 400 tahun sebelumnya, dan sama dengan Perjanjian Lama kita sekarang ini, tetapi urut-urutannya berbeda.
Halley’s Bible Handbook: “The Hebrew Old Testament contains exactly the same books as our English Old Testament, but in different arrangement: ... By combining the 2 books each of Samuel, Kings and Chronicles into one, and Ezra and Nehemiah into one, and the Twelve Minor Prophets into one, these 24 books are the same as our 39. Josephus further reduces the number to 22, to make it correspond to the Hebrew alphabet by combining Ruth with Judges, and Lamentations with Jeremiah” (= Perjanjian Lama bahasa Ibrani terdiri dari kitab-kitab yang persis sama seperti Perjanjian Lama bahasa Inggris kita, tetapi dalam susunan yang berbeda: ... Dengan menggabungkan 2 kitab masing-masing dari Samuel, Raja-raja dan Tawarikh menjadi satu, dan Ezra dan Nehemia menjadi satu, dan dua belas nabi-nabi kecil menjadi satu, 24 kitab-kitab ini sama seperti 39 kitab kita. Yosephus selanjutnya mengurangi jumlah bilangan menjadi 22, untuk mencocokkannya / menyamakannya dengan alfabet Ibrani, dengan menggabungkan Rut dengan Hakim-hakim, dan Ratapan dengan Yeremia) - hal 26.
b) Kanon Perjanjian Lama dan Sidang Gereja.
The New Bible Dictionary: “Historical investigation reveals only a little about the actions of synods or of other authoritative bodies with regard to the formation of the Old Testament Canon. This need not surprise us, for it was not necessary for such authoritative bodies to have any great share in its formation. The Bible derives its authority neither from ecclesiastical statements not from any human authority” (= Penyelidikan yang bersifat sejarah menyatakan hanya sedikit tentang tindakan-tindakan dari sinode-sinode atau dari badan-badan yang berotoritas lainnya berkenaan dengan pembentukan kanon Perjanjian Lama. Ini tidak perlu mengejutkan kita, karena adalah tidak perlu bagi badan-badan berotoritas seperti itu untuk ikut ambil bagian dalam pembentukannya. Alkitab mendapatkan otoritasnya bukan dari pernyataan-pernyataan gereja maupun dari otoritas manusia manapun) - hal 187.
The New Bible Dictionary: “The Bible is autopistos, ‘self-authenticating’, radiating its divine authority itself. By the inward testimony of the Holy Spirit, man receives an eye which enables him to catch this light. As the Confessio Belgica, art. 5 says: ‘We believe without any doubt all that is implied in them; and not so much because the Church accepts them and regards them as such, but especially because the Holy Spirit gives us testimony in our hearts, that they come from God’ (cf. Westminster Confession, I. 4, 5)” [= Alkitab itu AUTOPISTOS, ‘membuktikan kebenarannya sendiri’, memancarkan otoritas ilahinya sendiri. Oleh kesaksian di dalam dari Roh Kudus, manusia menerima mata yang memampukan ia untuk menangkap terang ini. Seperti dikatakan Confessio Belgica, art. 5: ‘Kami percaya tanpa keraguan semua yang dinyatakan di dalam mereka; dan bukan karena Gereja menerima mereka dan menganggap mereka seperti itu, tetapi khususnya karena Roh Kudus memberi kami kesaksian dalam hati kami, bahwa mereka datang dari Allah’ (bdk. Westminster Confession, I. 4,5)] - hal 187.
The New Bible Dictionary: “Church councils and other authoritative bodies have come to conclusions regarding the Canon, and these judgments have, indeed, performed an important function in effecting the acknowledgement of the Canon. But it is not a Church council, nor any other human authority, that has canonized the books of the Bible or given them divine authority. The books possessed and also exercised divine authority before such bodies made their pronouncements; their divine authority was already acknowledged in larger or smaller circles. The Church councils did not give the books their divine authority, but simply recognized that they had it and exercised it” (= Sidang-sidang Gereja dan badan-badan berotoritas lainnya telah sampai pada kesimpulan berkenaan dengan kanon, dan penghakiman ini memang telah melakukan fungsi yang penting dalam menghasilkan pengakuan terhadap kanon. Tetapi bukanlah suatu Sidang Gereja, ataupun otoritas manusia manapun, yang telah mengkanonkan kitab-kitab dari Alkitab ataupun memberikan kitab-kitab itu otoritas ilahi. Kitab-kitab itu memiliki dan juga menjalankan otoritas ilahi sebelum badan-badan seperti itu membuat pernyataan mereka; otoritas ilahi mereka sudah diakui / dikenali dalam lingkungan-lingkungan yang lebih besar atau lebih kecil. Sidang-sidang Gereja tidak memberi kitab-kitab itu otoritas ilahi mereka, tetapi semata-mata mengenali bahwa kitab-kitab itu mempunyainya dan menjalankannya) - hal 187.
2) Perjanjian Baru.
Tentang kanon Perjanjian Baru, agak sukar untuk menentukannya dan melalui proses yang cukup lama.
‘Eerdmans’ Family Encyclopedia of the Bible’: “Although there is little direct evidence from the earliest years, we have a good idea of how the New Testament took on its present shape. The first gatherings of Christians probably followed the practice of the Jewish synagogues and had regular readings from the Old Testament during their meetings. Since they were worshipping Jesus Christ, it was natural to them to add an account of some part of his life and teaching. At first this may have been in the form of a first-hand account from someone who had known Jesus during his lifetime. But then, as the churches grew in numbers, and as the eye-witnesses began to die, it became necessary to write these stories down. This was the way the four Gospels (Matthew, Mark, Luke and John) came into being, and they obviously had an important place in the worship and life of the early churches. Then the apostles and other leaders had written a number of letters to various churches and individuals. Since these often gave general guidance on Christian life and beliefs, their usefulness for the whole church was soon recognized. Acts was accepted because it continued the story from Luke’s Gospel. It preserved the only full account of the beginnings of Christianity. We know that by the year AD 200 the church was officially using the four Gospels - and no others, although fictitious tales about Jesus and writings by other Christian leaders who came after the apostles were in circulation. But the mainstream church clearly accepted only the Gospels of Matthew, Mark, Luke and John as their authority for the life and teaching of Jesus. By this time, too, Paul’s letters were generally accepted as of equal importance with the Gospels. It was only later that the remaining books of the New Testament became generally accepted. Revelation, for example, was certainly read in the second century. But not until the third century was it circulating widely. Hebrews was read towards the end of the first century, but took longer to become accepted in the Western churches. It was not generally acknowledged by the church in the West until the fourth century, partly because of doubts as to whether Paul wrote it. It took longer, too, for 2Peter, 2 and 3 John, James and Jude to be accepted by the church as basic Scripture. Perhaps this was because of questions about the content of these books. The New Testament books were mainly used at first for public reading. If they were unsuitable for this purpose, their usefulness must have seemed limited. It is clear that no church council arbitrarily decided that certain books composed the New Testament. Rather, over a period of time, the church discovered that certain writings had a clear and general authority, and were helpful and necessary for their growth. At the Council of Laodicea (AD 363) and the Council of Carthage (AD 397) the bishops agreed on a list of books identical to our New Testament, except that at Laodicea Revelation was left out” [= Sekalipun hanya ada sedikit bukti langsung dari tahun-tahun yang paling awal, kita mempunyai gagasan yang baik tentang bagaimana Perjanjian Baru mendapatkan bentuknya yang sekarang ini. Pertemuan (kebaktian) mula-mula oleh orang-orang Kristen mungkin mengikuti praktek dari sinagog-sinagog Yahudi dan mempunyai pembacaan biasa / teratur dari Perjanjian Lama dalam pertemuan / kebaktian mereka. Karena mereka menyembah Yesus Kristus, maka adalah wajar bagi mereka untuk menambahkan suatu cerita tentang beberapa bagian dari kehidupan dan ajaranNya. Mula-mula ini mungkin ada dalam bentuk cerita tangan pertama dari orang yang telah mengenal Yesus selama masa hidupNya. Tetapi lalu, karena gereja bertumbuh dalam jumlah, dan karena para saksi mata itu mati, maka menjadi perlu untuk menuliskan cerita-cerita itu. Inilah yang menyebabkan adanya keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes), dan keempat Injil ini jelas mendapatkan tempat yang penting dalam penyembahan dan kehidupan dari gereja-gereja mula-mula. Lalu rasul-rasul dan pemimpin-pemimpin menulis sejumlah surat kepada berbagai-bagai gereja dan individu. Karena surat-surat ini sering memberikan bimbingan umum tentang kehidupan dan kepercayaan Kristen, kegunaan surat-surat ini untuk seluruh gereja segera diakui. Kitab Kisah Rasul diterima karena kitab itu melanjutkan cerita dari Injil Lukas. Kitab ini memelihara satu-satunya cerita lengkap tentang permulaan kekristenan. Kita tahu bahwa pada tahun 200 M. gereja secara resmi menggunakan 4 Injil - dan tidak ada yang lain, sekalipun cerita-cerita fiksi tentang Yesus dan tulisan-tulisan dari pemimpin-pemimpin Kristen lain, yang datang setelah rasul-rasul, ada dalam peredaran. Tetapi aliran utama gereja secara jelas menerima hanya Injil-injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes sebagai otoritas mereka untuk kehidupan dan ajaran Yesus. Pada saat ini, juga, surat-surat Paulus secara umum diterima dan dianggap sama pentingnya dengan Injil-injil tersebut. Baru belakangan maka sisa kitab-kitab dari Perjanjian Baru diterima secara umum. Kitab Wahyu, misalnya, pasti dibaca pada abad kedua. Tetapi baru pada abad ketiga kitab ini beredar secara luas. Surat Ibrani dibaca pada akhir abad pertama, tetapi membutuhkan waktu lebih lama untuk diterima dalam gereja-gereja Barat. Surat Ibrani ini tidak diakui secara umum oleh gereja di Barat sampai abad keempat, sebagian disebabkan karena keraguan apakah Paulus menulisnya atau tidak. Juga 2Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yakobus, dan Yudas, membutuhkan waktu lebih lama untuk diterima oleh gereja sebagai Kitab Suci dasar. Mungkin ini disebabkan karena pertanyaan-pertanyaan tentang isi dari kitab-kitab ini. Kitab-kitab Perjanjian Baru mula-mula digunakan pada umumnya untuk pembacaan di depan umum. Jika mereka tidak cocok untuk tujuan ini, kebergunaan mereka pasti kelihatan terbatas. Adalah jelas bahwa tidak ada sidang gereja yang memutuskan secara mutlak bahwa kitab-kitab tertentu membentuk Perjanjian Baru. Tetapi sebaliknya, dalam jangka waktu tertentu, gereja mendapatkan bahwa tulisan-tulisan tertentu mempunyai otoritas yang jelas dan umum, dan membantu dan penting untuk pertumbuhan mereka. Pada sidang gereja Laodikia (tahun 363 M.) dan sidang gereja Carthage (tahun 397 M.) para uskup menyetujui suatu daftar kitab-kitab yang identik dengan Perjanjian Baru kita kecuali bahwa pada sidang gereja Laodikia kitab Wahyu dihapuskan / tidak dipertimbangkan] - hal 68.
Catatan: KANON DAN PENGKANONAN ALKITAB
Sekalipun kelihatannya penentuan kanon Perjanjian Baru agak meragukan dan boleh dikatakan bersifat subyektif, tetapi perlu diingat bahwa Tuhan, yang adalah pengarang sesungguhnya dari Kitab Suci, pasti memimpin gereja dalam proses kanonisasi Perjanjian Baru tersebut.
3) Allah yang memimpin / mengatur pengkanonan.
The New Bible Dictionary: “The books of the Old Testament, like those of the New, were inspired by God. ... But the Holy Spirit worked also in the hearts of God’s people, so that they came to accept these books as the Word of God, and submitted to their divine authority. God’s ‘singular providence’ extended over the origin of the separate books, as well as over their collection” (= Kitab-kitab Perjanjian Lama, seperti kitab-kitab Perjanjian Baru, diilhamkan oleh Allah. ... Tetapi Roh Kudus juga bekerja dalam hati dari umat Allah, sehingga mereka menerima kitab-kitab ini sebagai Firman Allah, dan tunduk pada otoritas ilahinya. Providensia Allah yang aneh / luar biasa ini meliputi asal usul dari kitab-kitab itu secara terpisah, maupun pengumpulan kitab-kitab itu) - hal 187.
4) Kitab-kitab Apocrypha.
a) Apakah kitab-kitab Apocrypha itu?
Halley’s Bible Handbook: “The Apocrypha. This is the name usually given to the 14 books contained in some Bibles between the Old and New Testaments. They originated in the 1st to 3rd centuries B. C., mostly of uncertain authorship, and were added to the Septuagint, which was Greek translation of the Old Testament made in that period. They were not in the Hebrew Old Testament. They were written after Old Testament prophecy, oracles and direct revelation had ceased” [= Apokripa. Ini adalah nama / sebutan yang biasanya diberikan pada 14 kitab-kitab yang ada dalam beberapa Alkitab di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kitab-kitab ini berasal usul dari abad 1-3 S. M., kebanyakan dari pengarang yang tidak pasti, dan ditambahkan kepada Septuaginta, yang merupakan terjemahan dari Perjanjian Lama yang dibuat pada jaman itu. Kitab-kitab itu tidak ada dalam Perjanjian Lama bahasa Ibrani. Kitab-kitab itu ditulis setelah nubuat, firman, dan wahyu langsung Perjanjian Lama telah berhenti] - hal 406-407.
b) Penolakan dan penerimaan terhadap kitab-kitab Apokripa.
Halley’s Bible Handbook: “The Apocrypha. ... Josephus rejected them as a whole. They were never recognized by the Jews as part of the Hebrew Scriptures. They were never quoted by Jesus, nor anywhere in the New Testament. They were not recognized by the Early Church as of canonical authority, nor as of divine inspiration. When the Bible was translated into Latin in the 2nd century A.D., its Old Testament was translated, not from the Hebrew Old Testament, but from the Greek Septuagint version of the Old Testament. From the Septuagint these Apocryphal books were carried over into the Latin translation; and from thence into the Latin Vulgate, which became the common version in Western Europe till the time of the Reformation. Protestants, basing their movement on the Divine Authority of God’s Word, at once rejected these Apocryphal books as being no part of God’s Word, as the Early Church and ancient Hebrews had done. Then the Roman Catholic Church, in the council of Trent, A.D. 1546, which was held to stop the Protestant movement, declared these books to be canonical, and they are still in the Duoay Version (Roman Catholic Bible)” [= Apokripa. ... Yosephus menolak kitab-kitab itu secara keseluruhan. Kitab-kitab itu tidak pernah diakui oleh orang-orang Yahudi sebagai bagian dari Kitab Suci Ibrani. Kitab-kitab itu tidak pernah dikutip oleh Yesus, atau dimanapun dalam Perjanjian Baru. Kitab-kitab itu tidak diakui oleh Gereja mula-mula sebagai mempunyai otoritas kanonikal, ataupun sebagai mempunyai ilham ilahi. Pada waktu Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke 2 S. M., Perjanjian Lamanya diterjemahkan, bukan dari Perjanjian Lama bahasa Ibrani, tetapi dari versi Septuaginta berbahasa Yunani dari Perjanjian Lama. Dari Septuaginta kitab-kitab Apokripa ini dibawa ke dalam terjemahan bahasa Latin; dan dari sana ke dalam Latin Vulgate, yang menjadi versi utama di Eropah Barat sampai jaman Reformasi. Orang-orang Protestant, yang mendasarkan gerakan mereka pada Otoritas Ilahi dari Firman Allah, segera menolak kitab-kitab Apokripa ini sebagai bukan bagian dari Firman Allah, seperti yang telah dilakukan oleh Gereja mula-mula dan orang-orang Ibrani kuno. Lalu Gereja Roma Katolik, dalam Sidang Gereja Trent pada tahun 1546 M. yang diadakan untuk menghentikan gerakan Protestan, menyatakan kitab-kitab ini sebagai kanonikal, dan mereka tetap ada dalam Versi Duoay (Alkitab Roma Katolik)] - hal 406-407.
c) Gereja Roma Katolik yang menambahi Alkitab dengan kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika.
Mula-mula ada 15 kitab Apocrypha yang ditambahkan kepada Alkitab oleh orang Roma Katolik, yaitu:
1. Kitab Esdras yang pertama.
2. Kitab Esdras yang kedua.
3. Tobit.
4. Yudit.
5. Tambahan-tambahan pada kitab Ester.
6. Kebijaksanaan Salomo.
7. Yesus bin Sirakh.
8. Barukh.
9. Surat dari nabi Yeremia.
10. Doa Azarya dan Lagu pujian ketiga pemuda.
11. Susana.
12. Bel dan naga.
13. Doa Manasye.
14. Kitab Makabe yang pertama.
15. Kitab Makabe yang kedua.
Catatan: KANON DAN PENGKANONAN ALKITAB
Dalam Kitab Suci Roma Katolik bahasa Indonesia, no 10,11,12 dijadikan satu kitab, yaitu ‘Tambahan-tambahan pada kitab Daniel’.
Tetapi 3 dari kitab-kitab Apocrypha ini akhirnya ditolak oleh Council of Trent, yaitu no 1, no 2 dan no 13, dan karena itu akhirnya hanya 12 kitab Apocrypha yang dimasukkan ke dalam Alkitab mereka.
Loraine Boettner mengatakan bahwa:
a. Kitab Esdras yang kedua ditolak karena di dalamnya ada penolakan terhadap doa untuk orang mati (2Esdras 7:105) - ‘Roman Catholicism’, hal 80.
Jadi, mereka menolak kitab ini karena tak cocok dengan ajaran mereka.
b. Sebetulnya ada lebih banyak lagi kitab-kitab Apocrypha yang lain, tetapi semua ini tidak pernah dimasukkan ke dalam Kitab Suci Roma Katolik. Mengapa? Loraine Boettner menjawab:
“The Council of Trent evidently selected only books that would help them in their controversy with the Reformers, and none of these gave promise of doing that” (= Council of Trent dengan jelas menyeleksi hanya buku-buku yang akan membantu mereka dalam pertentangan dengan para Reformator, dan tidak ada satupun dari buku-buku itu menjanjikan mereka untuk melakukan hal itu) - ‘Roman Catholicism’, hal 87.
Di sini terlihat dengan jelas bahwa memang ada ‘politik’ dalam pemilihan kitab-kitab yang mana yang akan dimasukkan ke dalam Kitab Suci mereka.
Ke 12 kitab-kitab Apocrypha ini tebalnya kira-kira 2/3 Perjanjian Baru. Dahulu, semua kitab-kitab ini diletakkan di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan disebut dengan nama Deuterokanonika (= kanon yang kedua). Tetapi pada tahun 1992, Roma Katolik mengeluarkan ‘The Catechism of the Catholic Church’ (= Katekisasi Gereja Katolik), dimana diputuskan bahwa kitab-kitab Deuterokanonika itu diselipkan ke sela-sela kitab-kitab Perjanjian Lama, dan dianggap sebagai Perjanjian Lama! Jadi, boleh dikatakan ‘pangkat’ / ‘status’ dari kitab-kitab ini dinaikkan dari kanon yang kedua menjadi kanon yang pertama!
Catatan: saya tidak tahu apakah itu adalah saat pertama pengesahan kitab-kitab itu sebagai Perjanjian Lama, tetapi yang jelas pada tahun 1992 itu kitab-kitab itu disahkan sebagai Perjanjian Lama.
‘The Catechism of the Catholic Church’, nomer 120, berbunyi sebagai berikut:
“It was by the apostolic Tradition that the Church discerned which writings are to be included in the list of the sacred books. This complete list is called the canon of Scripture. It includes 46 books for the Old Testament (45 if we count Jeremiah and Lamentations as one) and 27 for the New. The Old Testament: Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy, Joshua, Judges, Ruth, 1 and 2 Samuel, 1 and 2 Kings, 1 and 2 Chronicles, Ezra and Nehemiah, Tobit, Judith, Esther, 1 and 2 Maccabees, Job, Psalms, Proverbs, Ecclesiastes, the Song of Songs, the Wisdom of Solomon, Sirach (Ecclesiasticus), Isaiah, Jeremiah, Lamentations, Baruch, Ezekiel, Daniel, Hosea, Joel, Amos, Obadiah, Jonah, Micah, Nahum, Habakkuk, Zephaniah, Haggai, Zachariah and Malachi” [= Oleh Tradisi rasulilah Gereja membedakan tulisan-tulisan mana yang harus dimasukkan dalam daftar kitab-kitab kudus. Daftar lengkap ini disebut kanon Kitab Suci. Itu mencakup 46 kitab untuk Perjanjian Lama (45 jika kita menghitung Yeremia dan Ratapan sebagai 1 kitab) dan 27 kitab untuk Perjanjian Baru. Perjanjian Lama: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-Hakim, Rut, 1 dan 2 Samuel, 1 dan 2 Raja-Raja, 1 dan 2 Tawarikh, Ezra dan Nehemia, Tobit, Yudit, Ester, 1 dan 2 Makabe, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Yesaya, Yeremia, Ratapan, Barukh, Yehezkiel, Daniel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, dan Maleakhi].
‘The Catechism of the Catholic Church’, nomer 138, berbunyi sebagai berikut:
“The Church accepts and venerates as inspired the 46 books of the Old Testament and the 27 books of the New” (= Gereja menerima dan menghormati 46 kitab-kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab-kitab Perjanjian Baru sebagai diilhamkan).
Catatan: bandingkan dengan Perjanjian Lama yang kita akui yang hanya terdiri dari 39 kitab!
Sering ada yang mengatakan bahwa bukan orang Katolik yang menambahi Alkitab, tetapi orang Kristen Protestanlah yang mengurangi Alkitab. Ini merupakan omong kosongnya orang yang sama sekali tidak mengerti sejarah, karena Gereja Roma Katolik baru memasukkan kitab-kitab Deutrokanonika ke dalam Alkitab mereka (di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) pada tahun 1546 (dan itupun hanya disebut / dianggap sebagai ‘kanon yang kedua / Deuterokanonika’). Sebelum itu, Alkitab Katolik hanyalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru seperti yang digunakan oleh Kristen Protestan.
Di atas sudah kita lihat kutipan dari ‘Eerdmans’ Family Encyclopedia of the Bible’ dan Halley’s Bible Handbook, yang mengutip kata-kata Josephus, yang jelas menunjukkan bahwa Perjanjian Lama orang-orang Yahudi (termasuk Yesus sendiri) sama dengan Perjanjian Lama kita kecuali dalam hal urut-urutannya.
Encyclopedia Britannica 2000 juga mengatakan bahwa Alkitab Yahudi hanya mencakup Perjanjian Lama, dan tidak mencakup Deuterokanonika.
Encyclopedia Britannica 2000 (dengan topik ‘Bible’): “The Jewish Bible includes only the books known to Christians as the Old Testament” (= Alkitab Yahudi mencakup hanya kitab-kitab yang dikenal oleh orang-orang Kristen sebagai Perjanjian Lama).
Kesimpulan: KANON DAN PENGKANONAN ALKITAB
Jelas bahwa bukan Kristen Protestan yang mengurangi Alkitab, tetapi Katoliklah yang menambahi Alkitab.
d) Penolakan gereja Kristen Protestan terhadap kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika.
Kristen Protestan menolak kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika ini dengan alasan:
1. Dalam Perjanjian Baru, ada kira-kira 260 kutipan langsung dari Perjanjian Lama, dan juga ada kira-kira 370 penggunaan bagian-bagian Perjanjian Lama yang tidak merupakan kutipan langsung. Ini menunjukkan bahwa baik Yesus maupun rasul-rasul mengakui otoritas Perjanjian Lama sebagai Firman Allah, dan menggunakannya sebagai dasar hidup, iman dan ajaran mereka. Tetapi baik Yesus maupun rasul-rasul tidak pernah mengutip dari kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika tersebut sebagai dasar ajaran mereka, padahal kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika itu sudah ada / beredar pada jaman Tuhan Yesus hidup di dunia ini. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui kitab-kitab Apocrypha itu sebagai Firman Allah!
2. Penulis kitab-kitab Apocrypha itu sendiri tidak menunjukkan dirinya sebagai penulis Firman Tuhan yang diberikan Allah kepada manusia.
Untuk itu bandingkan Wahyu 22:18-19 yang terletak pada akhir Kitab Suci / Perjanjian Baru dengan 2Makabe 15:37b-38 yang terletak pada akhir dari kitab-kitab Deuterokanonika:
Wahyu 22:18-19 berbunyi: “(18) Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-mala-petaka yang tertulis di dalam kitab ini. (19) Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus seperti yang tertulis di dalam kitab ini”.
Dari Wahyu 22:18-19 ini terlihat dengan jelas otoritas dari tulisan rasul Yohanes ini sebagai Firman Tuhan yang tidak boleh ditambahi ataupun dikurangi.
BACA JUGA: BUKTI ALLAH TRITUNGGAL
Sekarang bandingkan dengan 2Makabe 15:37b-38 yang berbunyi: “Maka aku sendiripun mau mengakhiri kisah ini. Jika susunannya baik lagi tepat, maka itulah yang kukehendaki. Tetapi jika susunannya hanya sedang-sedang dan setengah-setengah saja, maka hanya itulah yang mungkin bagiku”.
Ini sama sekali tidak menunjukkan orang yang menuliskan Firman Tuhan di bawah pengilhaman Roh Kudus! Perhatikan kata-kata ‘kukehendaki’ dan ‘hanya itulah yang mungkin bagiku’. Bagaimana kita bisa mempercayai otoritas tulisan seperti ini, sedangkan penulisnya sendiripun tidak yakin akan kebenaran tulisannya!
3. Dalam kitab-kitab Apocrypha itu ada kesalahan-kesalahan, seperti:
a. Yudit 1:1,7,11 menyebut Nebukadnezar sebagai raja Asyur di Niniwe (bdk. juga dengan Yudit 1:16 2:1,4,14,21 4:1), sedangkan kita tahu bahwa sebetulnya Nebukadnezar adalah raja Babilonia (Daniel 4:4-6,30).
b. Tobit 5:13 menceritakan tentang seorang malaikat yang bernama Rafael, yang berdusta dengan memperkenalkan dirinya sebagai ‘Azarya bin Ananias’, atau ‘Azarya anak laki-laki dari Ananias’.
Bagaimana mungkin kitab-kitab yang mengandung kesalahan seperti itu bisa disetingkatkan dengan Kitab Suci / Firman Tuhan?
4. Dalam kitab-kitab Apocrypha ada doktrin ‘salvation by works’ (= keselamatan karena perbuatan baik) yang sesat / tidak alkitabiah.
Contoh:
· Tobit 4:10 - “Memang sedekah melepaskan dari maut dan tidak membiarkan orang masuk ke dalam kegelapan”.
· Tobit 12:9 - “Memang sedekah melepaskan dari maut dan menghapus setiap dosa”.
· Tobit 14:10-11a - “Nak, ingatlah kepada apa yang telah diperbuat Nadab kepada bapa pengasuhnya, yaitu Ahikar. Bukankah Ahikar hidup-hidup diturunkan ke bagian bawah bumi? Tetapi Allah telah membalas kelaliman Nadab ke atas kepalanya sendiri. Ahikar keluar menuju cahaya, sedangkan Nadab turun ke kegelapan kekal, oleh karena ia telah berusaha membunuh Ahikar. Karena melakukan kebajikan maka Ahikar luput dari jerat maut yang dipasang baginya oleh Nadab. Sedangkan Nadab jatuh ke dalam jerat maut yang juga membinasakannya. Makanya anak-anakku, camkanlah apa yang dihasilkan oleh sedekah dan apa yang dihasilkan oleh kelaliman”.
· Sirakh 3:3 - “Barangsiapa menghormati bapanya memulihkan dosa”.
Doktrin ‘Salvation by works’ (= keselamatan karena perbuatan baik) yang sesat / tidak alkitabiah ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat di bawah ini:
Roma 3:27-28 - “Jika demikian, apa dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman! Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat”.
Gal 2:16a - “Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus”.
Galatia 2:21b - “... sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus”.
Efesus 2:8-9 - “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri”.
Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div: meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-o0o-