Kehendak Bebas (Free Will): Libet vs. Arminianisme vs. Jonathan Edwards

Oleh: John Liem. 
Kehendak Bebas (Free Will): Libet vs. Arminianisme vs. Jonathan Edwards
Free will adalah mitos! Itulah kesimpulan dari mayoritas kaum neurobiologist yang mengamati sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Benjamin Libet. Di tahun 70 an, Libet pernah melakukan eksperimen yang meneliti hubunganantara gerak anggota tubuh dengan aktivitas otak. 

Beginilah eksperimen yang dia lakukan. Dia menempelkan berbagai sensor ke kepala si subyek dan juga jaritangannya. Pertama-tama si subyek diperlihatkan pergerakan sebuah titik di sebuah monitor. Lalu si subyek dianjurkan untuk menekan sebuah tombol kapan saja dia menginginkannya bersamaan dengan pengamatannya atas pergerakan titik itu. Nah sensor-sensor yang ditempelkan ke kepala dan jari si subyek akan merekam aktivitas otaknya. Eksperimen Libet ini menghasilkan 2 hal penting:

1. Ternyata aktivitas otak di bagian alam sadar (terutama di wilayah pengambilan keputusan) mendahului pergerakan jari tangan si subyek. Tentu saja hal ini tidak mengherankan. Kita bisa memahami keputusan di otak kita akan mendahului aksi kita.

2. Yang mengherankan adalah hal berikut ini. Libet mengamati keberadaan aktivitas otak di wilayah

bawah sadar (disebut sebagai potensi kesiapan) yang mendahului aktivitas di wilayah sadar yaitu di bagian pengambilan keputusan tadi.

Nah, kita bisa menarik sebuah kesimpulan penting dari nomor 2 itu. Apabila aktivitas otak di bagian pengambilan keputusan itu adalah tempat di mana free will kita berada, maka sesungguhnya keberadaan free will itu adalah sebuah oxymoron. Free will hanyalah mitos saja karena free will yang diagung-agungkankan sebagai hal yang bebas ternyata dikontrol oleh daerah bawah sadar. 

Dan tahukah anda, apa saja yang berada di bagian bawah sadar kita itu? Bermacam-macam isinya, mulai dari pengalaman-pengalaman kita, sensasi yang kita rasakan yang terekam secara tidak sadar, kebudayaan dan nilai-nilai yang kita serap, dan tentu saja genetika kita juga punya peranan di sana . Lalu apa implikasinya di dalam kehidupan kita sehari-hari? 

Neurobiologist mengatakan kita bisa berargumentasi, bahwa kejahatan yang kita lakukan sebenarnya bukan dilakukan oleh free will kita. Contoh: pada saat seorang pedofilia melakukan aksinya, sebenarnya bukan free will si pedofilia yang membuatnya melakukan hal itu. Genetika dia, trauma-trauma yang dia alami, atau hal-hal lainnya, itulah yang sebenarnya menjadi sumber aksi pedofilianya. Oleh karenanya tidak adil untuk menghukum si pedofilia karena bukan dialah satu-satunya yang menjadi sumber perbuatan-perbuatannya. Kacau bukan?
-------------
Apakah eksperimen Libet itu bisa dipertanggung jawabkan? Tentu saja! Eksperimen in telah diulangi berkali-kali oleh ilmuwan lainnya dan hasilnya memang seperti yang dijelaskan oleh Libet itu. Lalu apakah kesimpulandari eksperimen Libet ini bisa dipertanggung jawabkan? Benarkah "Free will hanyalah mitos" adalah kesimpulan yang valid? 

Para kritikus dari eksperimen ini mengatakan free will jauh melebihi dari sekedar memutuskan untuk menekan atau tidak menekan tombol. Free will adalah jauh lebih kompleks dari hal itu. Tentu saja pembelaan ini masuk akal. Libet sendiri tidak pernah menyimpulkan Free will hanyalah mitos. 

Walaupun Libet menyimpulkan bahwa wilayah pengambilan keputusan di otak kita (yaitu free will) bersumber di wilayah bawah sadar, tetapi tetap saja free will lah sang pemegang kendali. Dengan kata lain, Free will mempunyai hak veto terhadap sumber-sumber yang datang kepadanya.

Lalu apa hubungan antara eksperimen Libet dengan perdebatan antara Arminianisme vs Calvinisme? Saya pikir eksperimen Libet lebih mendukung pandangan Calvinisme. Nanti akan saya jelaskan kedekatan antara kesimpulan dari mayoritas neuroscientist dengan Calvinisme. Supaya penjelasan ini bisa dipahami, kita harus mengerti terlebih dulu definisi berikut ini:

1. Determinisme adalah sebuah paham yang berakar pada hukum sebab-akibat. Segala sesuatu itu ada sebabnya. Anda tentu tahu hukum aksi=reaksi dari Newton? Nah hukum Netwon itu adalah sebuah determinisme. Tentu saja determinisme bersebrangan dengan free will. Menurut determinisme, Free will bukanlah sumber, dia hanya sebuah akibat. 

Tentu saja apa yg menjadi sumber dari Free Will akan menjadi perdebatan panjang. Bagi kaum neuroscientist yang mayoritasnya adalah penganut materialisme murni yg tidak mempercayai keberadaan jiwa/roh, maka free will hanyalah sebuah hasil dari reaksi atom-atom di otak saja.

2.Libertarianis free will adalah free will yang dianut oleh kaum arminian. Free will bagi kaum arminian adalah bebas dari kontrol apa pun baik dari faktor eksternal maupun internal. Walaupun faktor eksternal maupun internal ini memiliki pengaruh terhadap free will, tetap saja mereka tidak mengontrol free will kita. Lalu siapakah yang mengontrol free will kita itu? 

Tentu saja diri kita sendiri, pikiran kita, perhitungan kita, dan sebaigainya yang tidak bisa diveto oleh siapa pun termasuk oleh Tuhan. Karena menurut kaum arminianisme, free will adalah berseberangan dengan determinisme maka free will ini disebut incompatible (non-compatible) dengan determinisme.

3. Compatibilist free will pada umumnya dianut oleh kaum calvinist. Jonathan Edwards menjelaskan free will yang berjalan bersamaan dengan determinisme.Menurut Edwards, dalam hal ini determinisme adalah kedaulatan Tuhan.

Lalu bagaimanakah pandangan arminian tentang free will? Saya berikan sebuah ilustrasi berikut. Misalnya anda ditanya mau makan nasi goreng atau bakmi ayam? Mari kita teliti proses libertarian free will yang dianut oleh arminian ini. 

Menurut arminian, tidak ada sesuatu pun yang menyebabkan dia memilih nasi goreng maupun bakmi selain daripada dirinya sendiri (yaitu pikiran dia, pertimbangan-pertimbangan dia, sifat dia). Tentu saja presentasi dari makanan itu (faktor eksternal) akan mempengaruhi free will nya tetapi hal itu bukan penentu alias bukanlah penyebab dari free will itu. 

Tentu saja pengalamannya (faktor internal) mempengaruhi pilihannya (misalnya kemarin dia sudah makan bakmi, apakah hari ini dia masih mau makan bakmi lagi?), tetapi pengalaman itu bukanlah sumber dari free willnya. Itulah definisi dari libertarian free will! Free willnya itu benar-benar bebas. Dia bisa memilih nasi goreng sebagaimana pula dia bisa pula memilih bakmi dengan sama kuatnya (hal ini disebut principle of alternative possibilities). 

Nah hal yang seperti itulah yang terjadi pada saat dia mendengar berita injil. Apakah dia mau menerima atau menolak Yesus? Libertarian free will yg dia miliki yg akan membuat dia sebagai satu-satunya penentu keselamatan dirinya. Roh Kudus tidak akan campur tangan, Roh Kudus hanya bisa mempengaruhi tetapi bukan penentu keselamatan. Yang menentukan keselamatan adalah free will nya yang sudah menerima sebuah anugerah pendahuluan (prevenient grace) sehingga dia bisa menerima atau menolak Yesus dengan sama kuatnya (prevenient grace ini telah menetral kan free will nya dari efek dosa).

Kalau kita teliti, argumen tentang libertarian free will ini sangat lemah sekali! Mari kita teliti lagi ilustrasi tentang mau makan nasi goreng atau bakmi. Arminian mengatakan presentasi dari makanan itu bisa mempengaruhi tetapi bukan penentu free will nya? Nah pertanyaan saya adalah di manakah batas antara mempengaruhi dan menentukan free will? 

Saya yakin pengalaman anda akan membantah argumen tentang libertarian free will ini. Misalnya nasi goreng itu dimasak oleh pembantu anda, sedang bakmi itu dibeli dari restoran yg terkenal enaknya. Jujur saja, bisakah anda mengatakan masakan dari restoran terkenal ini hanya sekedar mempengaruhi free will dan bukan penentu free will? Apakah principle of alternative possibilities masih berlaku dalam hal ini yaitu anda bisa memilih nasi goreng maupun bakmi dengan sama kuatnya? Jelas tidak mungkin!

Nah silakan anda terapkan sendiri ilustrasi bakmi itu ke dalam proses keselamatan. Bukan Tuhan sang penentu keselamatan kita tetapi libertarian free will kita sendiri yg telah mendapatkan anugerah pendahuluan pada saat mendengarkan berita injil. 

Saya sering membaca kesaksian, orang-orang yang paling responsif menerima Kristus adalah tahanan di penjara (apalagi yg menunggu hukuman mati). Mengapakah demikian? Apakah karena libertarian free willnya? Apakah faktor eksternal (yaitu lingkungannya) hanya mempengaruhi bukan penentu dalam hal ini? Padahal orang ini sewaktu hidup di luar penjara, sama sekali tidak pernah tertarik dengan hal-hal rohani. Apakah kita masih akan mengatakan bukan Tuhan yang telah membuat dia menerima Yesus melainkan free willnya sendiri?

Selain itu konsep prevenient grace yg akan menetralkan free will sehingga dia bisa menerima atau menolak Yesus itu memiliki kelemahan. Jikalau free will saya menjadi netral, apakah saya bisa untuk tidak menerima dan tidak menolak Yesus? Bukan kah tidak menerima dan tidak menolak Yesus adalah wujud dari kenetralan itu sendiri? Mengapa prevenient grace membuat saya akan memilih dari dua opsi

itu yaitu menerima atau menolak? Mengapa free will saya tidak melakukan opsi yang ketiga ini?

Dan yang terakhir, alkitab sendiri tidak pernah menuliskan yg disebut sebagai prevenient grace (anugerah pendahuluan). Alkitab menulis "anugerah itu akan menyelamatkan" bukan "anugerah akan memberikan kemungkinan untuk selamat". Kaum arminian sendiri mengakui hal ini. Dengan kata lain

prevenient grace hanyalah hasil olahan dari pikiran manusia yang tidak pernah ada di alkitab.
--------------- 
Lalu bagaimana dengan kaum reformed? Apakah mereka mempercayai keberadaan free will? Teolog Jonathan Edwards tidak menolak keberadaan free will. Hanya saja menurut Jonathan Edwards yang disebut sebagai free will bukanlah versi Libertarian Free Will yang sudah saya jelaskan sebelumnya.

Edwards mendefinisikan free will sebagai pikiran kita melakukan tindak pemilihan (our mind choosing) terhadap opsi-opsi yang ada. Nah, jikalau Liberatarian Free Will menyatakan tindak pemilihan ini dilakukan dalam posisi pikiran kita yang netral (indifference), yang tidak akan disebabkan oleh apa pun baik dari luar maupun dari dalam diri saya, 

Edwards menyangkal posisi kenetralan itu. Edwards mengatakan tindak pemilihan di dalam pikiran itu dipengaruhi oleh motivasi hati. Di dalam hal ini, motivasi hati kita yang paling kuatlah yg akan menentukan free will itu. Saya beri contoh pandangan Edwards ini dengan analogi yang sama yaitu memilih antara makan bakmi vs nasi goreng. 

Libertarian Free Will mengatakan tidak akan ada apa pun yang bisa menjadi sumber dari free will kita untuk memilih salah satu dari 2 opsi itu selain dari pikiran kita yang berdiri sendiri (self-determined). Sedang Edwards menyatakan motivasi hati kita yang paling kuat lah yang akan menentukan free will kita. Misalnya saya sudah makan bakmi yang sama ini kemarin, hari ini saya tetap akan memilih bakmi ini karena saya tahu pasti rasanya lebih lezat dari nasi goreng itu. 

Nah karena motivasi saya untuk makan yang lebih lezat telah mengalahkan motivasi-motivasi saya yang lainnya, maka saya pun akan secara otomatis ber free will makan bakmi.


Jadi menurut Edwards, Free will kita adalah bebas tetapi juga adalah terikat pada saat bersamaan. Free will kita bebas memilih dari opsi yang ada tetapi dia kan terikat pada motivasi hati kita yang terkuat. Jadi apa yang dinyatakan oleh Edwards ini sebenarnya lebih mendekati kesimpulan dari kaum neuro scientist yang sudah membuktikan bagian otak bawah sadar kita yang akan menentukan free will kita.

(eksperimen Benjamin Libet).
Kehendak Bebas (Free Will): Libet vs. Arminianisme vs. Jonathan Edwards
Next Post Previous Post