Mengandalkan Providensia Allah Dalam Hikmat Kekal-Nya

“Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!” Ayub 38:4 
Mengandalkan Providensia Allah Dalam Hikmat Kekal-Nya
Allah adalah Allah yang kekal, dan Ia mengetahui segala sesuatu sebagai saat ini. Di dalam pikiran Allah, segala sesuatu adalah satu titik, bukan hal-hal yang saling tumpang tindih. Pengetahuan Allah tidak bergantung pada perubahan masa. Pengetahuan-Nya di luar batasbatas tahun dan hari. Bagi-Nya masa lalu dan masa depan adalah satu. Ia melihat segala sesuatu di dalam kekekalan sebagai satu pengetahuan sederhana. Pengetahuan Allah sama kekalnya dengan Diri-Nya. 

Ia yang pertama dan yang terakhir,  yang awal dan akhir. Semua ciptaan menyusut menjadi tak berarti sama sekali jika kita membandingkannya dengan Allah sang Pencipta. Keberagaman dan perubahan di dalam dunia tidak menghasilkan obyek baru bagi pikiran Allah. Ia bukan memahami satu hal saat ini dan lalu baru hal lain yg menyusul kemudian di belakangnya. Sekalipun ada urutan peristiwa ketika peristiwa-peristiwa itu terjadi, di dalam pengetahuan Allah bukan terpampang secara berurutan satu per satu. Allah mengetahui apa yang bakal terjadi dan sekaligus semua susunan kejadian yang akan digelar di panggung dunia. 

Jika Allah adalah kekal, betapa kurang ajar dan bodoh jika kita yang fana mempertanyakan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakantindakan Allah. Bagaimana mungkin kita sebagai ciptaan tak berdaya yang bahkan tidak dapat memahami soal-soal kemarin, mengira kita dapat mengukur pergerakan kekekalan dengan intelek kita yang rendah? Kita bahkan tidak dapat memperkirakan musibah yang tidak diharapkan menimpa rencana yang telah diatur matang. 

Jika kita tidak sanggup memahami pergerakan dari laut atau sifat alami dari sinar, bagaimana mungkin kita berani mengecam tindakan Allah yang kekal yang begitu tak terhingga melampaui jangkauan akal kita? Kebijaksanaan dari satu Pribadi tak terbatas mustahil mampu dipindai (di-scanning) oleh otak seekor cacing bodoh yang hanya memiliki nafas kehidupan beberapa menit saja di dunia ini. Bagaimana mungkin keabadian dinilai oleh satu makhluk ciptaan yang terkurung oleh waktu? 


Oleh karena itu, kapanpun jika kita disodorkan oleh setan atau hati kita yang bobrok mencela kebijaksaan dan karya Allah yang kita anggap tidak layak, sebaiknya kita melihat ke belakang pada keberadaan kekal Allah dan jangka hidup kita yang singkat, dan menutup mulut kita sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ayub. 

Diterjemahkan dari buku “Voices From The Past” dengan cuplikan karya Stephen Charnock (1628-1680), The Existence & Attributes of God, pp.68-87 . https://teologiareformed.blogspot.com/

Next Post Previous Post