ROMA 11:33 (KEKAYAAN, HIKMAT DAN PENGETAHUAN)

ROMA 11:33 (ARTI KEKAYAAN, HIKMAT DAN PENGETAHUAN)
gadget, bisnis, otomotif
Roma 11: 33, Paulus mengatakan, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” 

Di sini, kita belajar bahwa Paulus menekankan begitu dalamnya: kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah.

1.Pertama, dalamnya kekayaan Allah. 

Kata “kekayaan” dalam ayat ini diterjemahkan riches dalam Alkitab terjemahan Inggris. Kata Yunaninya adalah ploutos bisa diterjemahkan kepenuhan (fulness). Dengan kata lain, di titik pertama, Paulus menekankan akan kepenuhan Allah. 

Apa yang dimaksud dengan kepenuhan Allah? Kepenuhan Allah berarti Allah itu begitu penuh, limpah, dan kaya dengan segala macam anugerah-Nya bagi kita. Jika kita mencoba membayangkan makna penuh dan kaya, kita akan mendapatkan gambaran pengertian yang lebih melimpah. Kaya atau penuh bukan secara materi, tetapi secara kualitas. Ketika air minum di dalam gelas dikatakan telah penuh, berarti tidak ada satu inci pun di gelas tersebut yang bisa diisi air. 

Begitu juga dengan kepenuhan atau kekayaan Allah. Allah yang penuh berarti tidak ada satu inci pun yang kurang pada diri Allah. Dengan kata lain, di dalam Dia ada kesempurnaan yang kepada-Nya kita menaruh iman dan pengharapan. Kesempurnaan-Nya inilah yang diajarkan Paulus berikutnya di ayat ini, yaitu bahwa keputusan-keputusan-Nya tak ter selidiki dan jalan-jalan-Nya tak terselami. 

Allah yang sempurna (penuh) adalah Allah yang memiliki keputusan dan jalan yang sangat berbeda dari manusia (bdk. Yesaya 55:8). Kata “keputusan” di sini di dalam KJV diterjemahkan judgment (penghakiman), di mana bahasa Yunaninya adalah krima (yang mungkin ada hubungannya dengan kriminal). 

Mengapa Allah yang sempurna adalah Allah yang memiliki keputusan yang tak ter selidiki dan jalan yang tak terselami? Karena keputusan dan jalan Allah selalu bersifat kekekalan, sedangkan keputusan dan jalan manusia selalu bersifat kesementaraan. 

Dalam konteks ini, Paulus ingin: 

Pertama, mengingatkan baik orang Yahudi maupun non-Yahudi melihat akan kesempurnaan Allah yang keputusan (penghakiman) dan jalan-Nya sangat luar biasa dan dahsyat, dan bukan melihat pada kehebatan diri. Ketika manusia melihat terus pada kesempurnaan Allah, pada saat itulah manusia semakin sadar kelemahan dirinya. 

Dr. John Calvin di dalam bukunya yang terkenal Institutes of the Christian Religion mengajar bahwa manusia baru bisa menyadari akan naturnya yang lemah dan terbatas sampai dia membandingkan dirinya dengan Allah yang Maha kudus itu. Artinya, kesempurnaan dan kekudusan Allah mengakibatkan manusia sadar diri dan bertobat, serta kembali kepada-Nya. 

Bagaimana dengan kita? Apakah kesempurnaan dan kekudusan Allah menguduskan kita yang berdosa ini? Ataukah doktrin ini hanya menjadi doktrin yang memenuhi kepala kita sebagai bahan theologi saja? Biarlah kita ditegur dan diajar kembali tentang pentingnya kita sadar akan diri kita yang berdosa, lemah, dll, dan mengarahkan hati dan hidup kita kepada kesempurnaan dan kekudusan Allah yang mengakibatkan kita memiliki hidup yang berarti dan berkemenangan. 

Hidup yang berarti adalah hidup yang menempatkan arti itu pada Sang Sumber Pengertian, yaitu Tuhan, di saat itulah kita menemukan arti hidup. Jangan pernah mencari arti hidup di dalam pengertian dunia yang berdosa, karena itu sia-sia adanya. 

Kedua, Paulus juga ingin mengingatkan adanya kaitan erat antara predestinasi dengan respon pertama yang tepat yaitu kagum akan kedalaman kekayaan/kepenuhan Allah. Ketika seseorang telah dipilih Allah menjadi umat-Nya, respon yang paling tepat sebagai orang yang telah dipilih adalah kagum akan kesempurnaan Allah. 

Tetapi berapa banyak kita melihat realita baik dari jemaat Kristen maupun pemimpin gereja, setelah mereka mengetahui doktrin predestinasi/pemilihan Allah, mereka banyak yang tidak setuju dan bahkan menolak, karena dianggap itu pilih kasih atau Allah tidak adil? Realita yang tidak bertanggungjawab ini BUKAN respon orang Kristen yang beres dan tepat, karena jika kita berlaku demikian, kita sedang mempertanyakan Allah itu sendiri yang berdaulat (bdk. Roma 9:12-21). 

Respon yang benar setelah kita merenungkan kedaulatan Allah di dalam pemilihan/predestinasi ini, kita semakin kagum akan kesempurnaan Allah dan bersyukur. Bagaimana dengan kita? Apakah predestinasi hanya menjadi bahan untuk kita berdebat theologi dengan orang lain? Ataukah predestinasi menyadarkan kita akan anugerah Allah dan membagikan anugerah itu kepada orang lain melalui pemberitaan Injil? Ingatlah! Predestinasi menjadi dasar pengabaran Injil, bukan malahan memperkecil mandat penginjilan?

2. Kedua, dalamnya hikmat Allah.

Kata “hikmat” dalam bahasa Yunani sophia artinya kebijaksanaan (wisdom). 

Poin kedua yang bisa kita pelajari adalah tentang dalamnya hikmat Allah. 

Apa itu hikmat? Apakah orang yang memiliki hikmat identik dengan orang pandai? TIDAK! Orang pandai belum tentu berhikmat, tetapi orang berhikmat bisa pandai. 

Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. mengajar bahwa orang berhikmat adalah orang yang memakai hikmatnya di dalam memutuskan hal-hal praktis, sedangkan orang pandai hanya pandai berteori saja. Dunia lebih memerlukan orang berhikmat ketimbang orang pandai, karena orang pandai hanya tahu teori, tetapi orang berhikmat tahu teori dan praktik. Lalu, hikmat itu sumbernya dari mana? Tentu dari Allah. Allah memberikan hikmat kepada manusia sebagai peta dan teladan Allah. 

Tetapi dosa mengakibatkan hikmat manusia menjadi rusak total, akibatnya hikmat yang seharusnya dipakai untuk memuliakan Allah di dalam memutuskan segala sesuatu akhirnya menjadi hikmat yang menguntungkan diri sendiri. Itulah sebabnya, Kristus diutus menebus dosa manusia. Kristus bukan hanya menebus dosa manusia saja, tetapi Ia juga mengembalikan manusia kepada natur aslinya demi kemuliaan-Nya. Itu sebabnya, dalam memulihkan natur asli manusia, Ia (Kristus) adalah hikmat kita (bdk. 1Korintus 1:30; Kolose 2:3; Wahyu 5:12). 

Dengan menaruh sumber hikmat kita pada Kristus dan firman-Nya (Alkitab), kita akan mendapatkan hikmat sejati yang datang dari Allah, bukan dari manusia. Melalui firman-Nya ini, kita juga mendapatkan hikmat bahwa Allah adalah Sumber Hikmat yang jauh lebih berhikmat dari manusia yang sebenarnya tidak berhikmat secara sempurna. Dia yang adalah Sumber Hikmat memberikan hikmat itu kepada kita yang adalah umat pilihan-Nya untuk menangkap hikmat Allah meskipun samar-samar. 

Dalam konteks ini, kita mendapatkan betapa dahsyat hikmat Allah yang mengajar kita akan predestinasi Allah. Oleh karena itu, di ayat 35, Paulus mengatakan, “Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya?” Terjemahan KJV, “Or who hath first given to him, and it shall be recompensed unto him again?” 

Terjemahan dari teks Yunani yang diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. (2003), “Atau siapa yang sebelumnya memberikan kepada-Nya, lalu (itu) akan diberi kembali kepadanya?” (hlm. 862) Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) bisa memberikan pengertian yang lebih jelas akan ayat ini, “Siapakah pernah memberi sesuatu kepada Tuhan sehingga bisa menuntut balasan-Nya?”” 

Di sini, kita belajar bahwa karena hikmat bersumber dari Allah, maka tidak ada satu orang pun yang layak memberikan petunjuk hikmat kepada Allah, lalu kita berani menagih balik hak kita setelah kita “mengajari” Allah! Bagaimana dengan kita? Kita sering kali merasa diri berhikmat. Mungkin karena kita sudah merasa diri dewasa, berumur tua, dll. Umur, perawakan, dan hal-hal fenomenal lainnya tidak membuktikan kita berhikmat SEJATI. 

Orang yang memiliki hikmat sejati diukur dari seberapa dalam, setia, taat, jujur, kita menaklukkan diri kita yang berdosa ini ke bawah kedaulatan Allah di dalam Alkitab. Orang yang berhikmat sejati ditandai oleh suatu ciri bahwa orang itu bisa membedakan dengan tegas manakah kehendak Allah dengan kehendak manusia: yang baik vs yang tidak, yang berkenan kepada Allah vs yang tidak berkenan, yang sempurna vs fana/tidak sempurna (Roma 12:2). Mari kita memiliki hikmat sejati untuk memuliakan Tuhan!

3. Ketiga, dalamnya pengetahuan Allah. 

Kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani gnōsis yang berarti pengetahuan (knowledge). Bukan hanya kesempurnaan dan hikmat, Allah juga memiliki pengetahuan yang luar biasa. Ketika dunia berdosa menawarkan segala macam pengetahuan dunia, maka Paulus “menawarkan” dan mendorong kita bukan melihat pengetahuan dunia terlalu banyak, tetapi melihat pengetahuan Allah yang Maha dahsyat. Apakah pengetahuan di sini identik dengan hikmat Allah? Ada kaitannya, tetapi tidak sama. 

Hikmat lebih mengarah kepada kebijaksanaan, sedangkan pengetahuan lebih mengarah kepada totalitas pengetahuan/pikiran. Allah yang memiliki pengetahuan jauh melampaui manusia adalah Allah yang memiliki totalitas pemikiran dan kehendak yang jauh di atas manusia. 

Apa perbedaannya? 

Pertama, pemikiran Allah selalu bersifat kekekalan, sedangkan pikiran manusia selalu sementara sifatnya. Allah selalu memikirkan hal-hal yang kekal, bukan kesementaraan, karena Allah itu sendiri pada diri-Nya kekal. Kekekalan Allah ini ditunjukkan dengan dipilih-Nya beberapa manusia untuk menjadi anak-anak-Nya. Bukan hanya itu saja, Allah yang kekal adalah Allah yang memelihara umat-Nya baik di dalam keselamatan maupun kehidupan sehari-hari. 

Di dalam memelihara inilah, kadang-kadang Allah memakai cara-cara yang di luar pikiran manusia. Ia menguji manusia melalui penderitaan, kesakitan, bahkan penganiayaan. Semuanya itu membuktikan Allah memelihara iman umat-Nya sehingga umat-Nya bukan menjadi umat yang manja, tetapi menjadi umat pilihan-Nya yang dewasa secara rohani. 

Lalu, bagaimana dengan pikiran manusia? Manusia selalu berpikir pendek. Melihat sesuatu tampak sulit, manusia sudah marah, putus asa, dll, sehingga jalan pikirannya selalu sementara sifatnya. Tetapi puji Tuhan, umat pilihan-Nya dimungkinkan memiliki pikiran Allah (meskipun tidak sempurna), di mana mereka tidak perlu putus asa dan khawatir ketika menghadapi penderitaan, melainkan mereka terus berharap hanya kepada Allah yang memiliki pengetahuan tak terbatas. 

Kedua, pemikiran Allah tidak pernah berkontradiksi, sedangkan pemikiran manusia banyak yang berkontradiksi. Kalau di poin pertama, kita belajar sifat pengetahuan Allah, di poin kedua, kita belajar akan kualitas pengetahuan Allah. 

Ev. Ivan Kristiono, M.Div. pernah mengajar bahwa di dalam Allah tidak ada kontradiksi. Karena Pribadi Allah tidak berkontradiksi dengan diri-Nya, maka begitu juga pengetahuan-Nya. Ketika Dia memiliki kehendak dan pikiran yang telah ditetapkan-Nya sebelumnya, maka itulah yang Ia jalankan dan kehendak-Nya itu berkaitan erat dengan karakter dan Pribadi-Nya. 


Jadi, tidak ada istilah Allah “ragu-ragu” atau plin-plan! Itu sebabnya doktrin Open-Theism dan Dispensasionalisme (salah satu doktrin akhir zaman) yang mengajarkan bahwa Allah itu plin-plan adalah salah! Bagaimana dengan pikiran manusia? Karena manusia adalah pribadi ciptaan Allah yang berdosa, maka semua pengetahuannya juga rusak total, bahkan banyak yang berkontradiksi. Ambil contoh, orang tertentu bisa berkata X di hari pertama, mungkin di hari kedua, dia akan berkata Y bahkan sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan X. Itu membuktikan ketidakkonsistenan pengetahuan/pikiran manusia berdosa. 

Bahkan lebih tajam lagi, Pdt. Dr. Stephen Tong mengajarkan bahwa semua filsafat manusia berdosa yang melawan Allah akan berkontradiksi dengan dirinya sendiri (self-contradictory). Mengapa bisa demikian? Karena semua filsafat manusia berdosa itu adalah produk manusia berdosa yang terlepas bahkan menolak Kebenaran Allah sebagai satu-satunya dasar pengetahuan.
Next Post Previous Post